Poerbatjaraka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
AC-rusak2300 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(12 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 29:
}}
 
'''Mpu Prof. Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka''' (ejaan alternatif: '''Purbacaraka''', {{lahirmati|[[Surakarta]], [[Hindia Belanda]]|01|01|1884|[[Jakarta]], [[Indonesia]]|25|07|1964}}) adalah seorang [[budayawan]], ilmuwan Jawa, [[Filologi|filolog]] [[Autodidak|otodidak]], dan terutama pakar [[sastra Jawa Kuno]]. Poerbatjaraka adalah putra seorang [[bangsawan]], Kanjeng Raden Mas Tumenggung Poerbodipoero, yang merupakan sentono dalem (keluarga raja) [[Keraton]] [[Kasunanan Surakarta]]. Poerbodipoero adalah kerabat keluarga kesayangan Sunan [[Pakubuwana X|Pakubuwono X]]. Sekaligus menjabat sebagai Bupati Anom, ia adalah seorang sastrawan dan sering kali mengubahmenggubah perjalanan-perjalanan Sunan Pakubuwono X dalam bentuk tembang.
 
Poerbatjaraka menunjukkan minat pada sastra Jawa sejak usia dini, membacadengan darimembaca buku-buku dalam koleksi keraton. Meskipun hanya bersekolah di sekolah dasar, pengetahuannya tentang sastra Belanda dan Jawa memungkinkannya untuk mengambil posisi di Dinas Purbakala di Batavia. Karena intelektual akademinya, ia dikirim oleh pemerintahan Hindia Belanda ke [[Universitas Leiden]] di [[Belanda]]. Dia diizinkan mendapatkan gelar doktor di Leiden. Dia kemudian kembali ke Hindia Belanda untuk bekerja di [[Museum Nasional Indonesia|Museum Gajah]], Batavia (sekarang Jakarta), membuat katalog teks-teks Jawa dan menulis karya ilmiah. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi profesor di [[Universitas Indonesia]], [[Universitas Gadjah Mada|Gajah Mada]], dan [[Universitas Udayana|Udayana]]. Berkat penelitiannya, Poerbatjaraka dijuluki sebagai ''"Bapak dan perintis ilmu Sastra Indonesia."''
 
== Latar belakang ==
Baris 42:
== Masa kecil ==
[[Berkas:Pakubuwono X in uniform.jpg|jmpl|Sunan [[Pakubuwana X|Pakubuwono X]], raja [[Kasunanan Surakarta]] pada masa Poerbatjaraka. Ia menantang keras atas keputusan Poerbatjaraka untuk meninggali lingkungan keraton.]]
Poerbatjaraka lahir dengan nama lahir (''asma timur'') Raden Mas Lesya, pada 1 Januari 1884 di Surakarta, Hindia Belanda. Sebagai putra bangsawan dari pasangan KRMT. Poerbodipoero Yoedonegoro, Bupati Anom Kasunanan Surakarta, dan RAy. Semu Prawirancono, Lesya memperoleh sejumlah hak-hak istimewa. Bukan hanya karena itu, hubungan antara ayahnya, Bupati Anom, dengan Sunan Pakubuwono X baik sekali, karena sejak bayi, Pakubuwono X diasuh oleh Poerbodipoero. Pendidikan tari-nyanyi-menari, bernyanyi, dan sastra juga diberikan oleh Bupati Anom tersebut. Tidak hanya ayahnya yang dipandang baik oleh Pakubuwono X, ibunya, RAy. Semu Prawirancono, sangat gemar denganmenggemari buku-buku sastra juga, dan pandai memasak sampai Pakubuwono X pun tertambat seleranya.
 
Salah satu hak istimewanya Lesya adalah memperoleh kesempatan untuk bersekolah di [[HIS]] (Hollandsch-Indische School), yang umumnya disediakan hanya untuk anak-anak dari golongan bangsawan dan tokoh-tokoh terkemuka, yang berlangsung selama 7 (tujuh) tahun. Di sinisana, Lesya belajar bahasa Melayu, bahasa Belanda dan pengetahuan dasar lainnya. Akan tetapi, sebelum ia bisa menyelesaikan edukasinya, ia dikeluarkan di tengah-tengah masa pendidikan dengan alasannyaalasan yang tidak jelas. Ia merasa bahwa guru-gurunya (orang Belanda) melihat bahwa kemampuan akademiknya sangat “membahayakan” bagi Belanda.
 
Walaupun itubegitu, Lesya tetap memfasihkan pengetahuannyakemampuan akanberbahasa bahasaBelandanya Belandamelalui dengan bercakap-cakappercakapan dengan tentara Belanda yang berada di keraton. Para serdadu Belanda senang bercakap-cakap dengan Lesya karena perangainya yang terbuka. Lesya juga, sebagai putra tertua kerabat keluarga tersayang Pakubuwono X, ditugaskan untuk mendampingi putra-putra Pakubuwuno X ke sekolah [[Europeesche Lagere School|ELS]] (Europeesche Lagere School), termasuk Raden Mas [[Pakubuwana XI|Antasena]], yang di nantinyadinantinya menjadi penerus tahta Surakarta. Karena kedekatan Lesya dengan putra-putra Pakubuwuno X, ia dapat mengikuti pelajaran, walaupun tidak pernah terdaftar sebagai murid resmi. Dengan kedasarankecerdasaran intelektual yang sangat pintar, dan juga tekunketekunan belajar, dia sendiri berhasil sampai kelas 6 (enam), dan yang lain gagal dijalandi tengah jalan. Di kelas tersebut, Lesya dikeluarkan, dengan alasan “sudah terlalu tua.” Selalu giat untuk belajar, Lesya juga sangat gemar membaca. Pada usia muda, ia sudah belajar membaca kitab-kitab dan naskah-naskah klasik Jawa, beberapa di antaranya dalam bentuk naskah [[manuskrip]] yang bisa ia temukan dalam [[perpustakaan]] keraton.
 
Perkenalan pertamanya dengan sastra Jawa Kuno terjadi ketika ia menemukan buku karangan ahli [[Indologi]] termasyhur, Prof. Dr. [[Johan Hendrik Caspar Kern|Hendrik Kern]]. Buku ini sebenarnya hadiah Residen Belanda kepada Pakubuwono X, tetapi, karena ia kurang mengerti isi buku ini dan tidak fasih dalam bahasa Belanda, sehingga memberikannya kepada Poerbodipoero, yang dimaksudkan agar dapat menjelaskan isi buku tersebut. Sejak saat itu, Lesya menjadi sangat tertarik pada sastra Jawa Kuno.
 
Pada tahun 1900an1900-an, Lesya yang sudah remaja masuk ke kehidupan aristokrat Keraton Surakarta, dan diberikan nama Lesya Atmopradonggo. Nama itu disesuaikan dengan tugas yang diembannya di keraton, yakni sebagai penabuh gamelan, menyelenggarakan uyon-uyon serta "nembang" atau melantunkan lagu-lagu Jawa.
 
Lesya yang gemar dengan sastra Jawa mendekati para punggawa keraton yang gemar akan sastra Jawa, yang kala itu sering suka mengadakan pertemuan-pertemuan untuk berdiskusi, di mana mereka membicarakan sastra Jawa, terutama beberapa bagian syair dan karya sastra lainnya yang sulit. Lesya yang masih muda suka mengikuti pertemuan ini. Karena ia merasa sudah banyak berpengetahuan kala itu berkat buku-buku Belanda, pernah suatu ketika ia menantang seorang abdi dalem senior. Hal ini ternyata berbuntut panjang dan Lesya merasa tidak betah lagi dalam suasana ini, dan akhirnya tersingkir dari lingkar sastra itu karena dianggap sombong atas kritiknya dengan usianya yang masih muda.
 
Karena Lesya merasa lebih cocok dengan pendekatan ilmiah yang dibacanya dari buku-buku Belanda, maka ia menulis surat kepada [[Residen]] [[Surakarta]] waktu itu, Residen Helpke. Pada awalnya Pakubuwono X tidak mengizinkannya pindah ke [[Batavia]],. menurutnyaMenurutnya, Lesya tidak berterimakasih,berterima kasih karena sudah disekolahkan dan sudah menjadi pandai, tetapi mau meninggalkan Surakarta. Berkat perantaraan Residen Helpke, akhirnya Pakubuwono X menyetujui, karena untuk Lesya, di Surakarta, pengetahuannya tidak akan tambahbertambah. Sang residen yang sudah mendengar kepandaian Lesya lalu mengirimnya ke Batavia pada tahun 1910.
 
== Masa di Batavia ==
[[Berkas:KITLV 3953 - Kassian Céphas - Dr. GAJ Hazeu cropped - c 1902.tif|jmpl|lurus|Saat di Universitas Leiden, Poerbatjaraka menjadi asisten dari Dr. [[G. A. J. Hazeu]] (''gambar'').]]
Di Batavia, Lesya dipekerjakan di [[Dinas Purbakala]], [[Museum Gajah]]. Di museum, ia bertemu dengan Dr. Hendrik Kern, seorang ahli sejarah dan sastra Jawa terkemuka dari Belanda (sebenernya Kern lahir di Purworejo). Pada masa iamasanya di sinisana, Lesya dianggap pandai dan sering dimintai tolong oleh para pakar. Ia juga rajin menulis di jurnal-jurnal ilmiah Belanda, melanjutkan pelajarannya akan [[sastra Jawa Kuno]], dan mulai mempelajari [[Bahasa Sanskerta]].
 
Dr. Hendrik Kern, yang memperhatikan potensi Lesya, memutuskan untuk mengirimnya ke Belanda. Sesuai tradisi bangsawan Jawa, disaat kenaikan pangkat secara berkala, mereka diberi gelar yang lebih tinggi dan dapat menentukan nama baru. Lesya Atmopradonggo diberikan nama dewasa oleh Pakubuwuono X: ''Poerbatjaraka''. Nama ini terdiri dari kata ''purba'' (utama) dan ''caraka'' (utasanutusan atau duta), dari aksara [[Hanacaraka]] yang memiliki arti utusan utama. Gelar kebangsawanan Raden Mas Ngabehi, yang lebih rendah dari gelar Kanjeng Raden Mas Tumenggung milik ayahnya, juga diberikan pada kala ini.
 
== Di Belanda ==
[[Berkas:Pimpinan Koloniaal Onderwijscongres ketiga.png|jmpl|Pimpinan ''Koloniaal Onderwijcongres'' ketiga di Leiden. Baris terdepan di tengah ''Poerbatjaraka''; baris kedua dan ketiga dari kiri: ''N.J.Krom'' dan ''G.A.J.Hazeu''; baris belakang, kedua dari kiri, ''J.M.M van Asch van Wijk'', ketiga dari kiri ''Moh. Zain''.]]
Dr. Hendrik Kern mengirimnya ke [[Leiden]], Belanda untuk langsung belajar di program doktor di [[Universitas]] [[Leiden]] sebagai asisten Prof. G.A.J. Hazeu, mahaguru sastra Jawa, menggantikan Samsi Sastrowidagdo.
 
Ia berangkat ke Belanda pada bulan Agustus 1921. Poerbatjaraka sama sekali tidak punyamempunyai ijazah formal, bahkan ijazah HIS sekalipun tidak ada, namun tetap diberikan kesempatan untuk menempuh ujian-ujian akademis di Leiden karena intelektualnya. Pengetahuannya di bidang yang ditekuninya dikagumi oleh Hazeu, dan itu ia perlihatkan juga di masyarakat Belanda. Poerbatjaraka publikasikanmempublikasikan sejumlah artikel dan naskah kuno dalam majalah ''Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde'' (Jurnal Ilmu Humaniora dan Ilmu Sosial Asia Tenggara). Pada Juni 1926, Poerbatjaraka diperkenankan berpromosi dan mendapatkan gelar doktor dengan disertasinya: ''Agastya in den Archipel'' (Argastya di Nusantara).
 
Poerbatjaraka merupakan anggota yang aktif dan unik di dalam organisasi [[Perhimpoenan Indonesia]]. Ia juga menjadi anggota yang terhomat dalam organisasi sarjana ''Oostersch Genootschap'' (Masyarakat Timur), di mana ia beberapa kali berbicara, dan pada Januari 1925, memberikan pertunjukan tarian Jawa.
Baris 76:
Sekembalinya ke Batavia pada tahun 1927, ia diberi pekerjaan di Museum Gajah sebagai kurator naskah manuskrip dan diberi tugas untuk mengkatalogisasi semua naskah Jawa. Sebenarnya, ia ingin mengajar pada [[Algemeene Middelbare School|AMS]] Surakarta tetapi tidak diberi kesempatan, dan walaupun saat ketika fakultas sastra dibuka, kesempatan tersebut tetap tertutup baginya. Menurut Poerbatjaraka, pihak Belanda memang sengaja menyimpannya di museum, agar ia tidak dapat mengembangkan kemampuannya dengan mengajar.
 
Tetapi Poerbatjaraka tetap menantang batasan-batasan yang dikenakan padanya. Ia tekun menyelidiki buku-buku dan prasasti kuno dan hasil karyanya terus terbit berupa tulisn dalam majalah ilmiah atau berupa buku-buku. Tidak kurang dari 50 (lima pulupuluh) buah karya ilmiah Poerbatjaraka berada dalam perpustakaan Museum Gajah.
 
Poerbatjaraka juga merupakan salah satu anggota Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta, pada 25—27 Juni 1938. Pada tahun 1940an1940-an, saat [[Palagan Pasifik Barat Daya dalam Perang Dunia II|teater Pasifik]] [[Perang Dunia II]] pecah dan mulainya ekspansi [[Kekaisaran Jepang]] ke Asia Tenggara, Poerbatjaraka dan keluarganya meninggalimeninggalkan Batavia yang memiliki risiko tinggi menjadi zona perang, dan kembali ke kediaman Poerbodipoeran di lingkungan Keraton Surakarta, Surakarta.
 
Di Surakarta, Poerbatjaraka mengajarkan [[Prof. Dr. R.M. Soetjipto Wirjosoeparto|Prof. Dr. RM. Soetjipto Wirjosoeparto]] dan [[Koentjaraningrat|Prof. D.R. RM. Koentjaraningrat]]. Sambil bekerja di Museum Surakarta, mereka menerima pelajaran dari Poerbatjaraka mengenai Jawa Kuno dan Sansekerta. Kemudian Prof. Soetjipto pindah mendalami ilmu sejarah, sedangkan Prof. Koenjaraningrat mengambil jurusan antropologi.
 
Poerbatjaraka, yang ayahnya dulu merupakan sentono dalem (kerabat keluarga) kesayangan Pakubuwono X, menasehati penerusnya, [[Pakubuwana XI|Pakubuwono XI]], akrab waktu kecil dipanggil Raden Mas Antasena, yang ia sering dampingi ke sekolah ELS. Kedua anak Poerbatjaraka tumbuh besar bersama anak-anak Pakubuwuno XI. Kecantikan putri Poerbatjaraka, RAy. Ratna Himawati, yang luar biasa membuat para aristokrat keraton terpesona, dan menjulukinya sebagai ''Mawar Keraton Solo.'' Keluarga Poerbatjaraka hadir dalam penobatan [[Pakubuwana XII|Pakubuwuno XII]] pada 11 Juni 1945, penerus Pakubuwono XI yang gemar dipanggil ''Bobbie'' oleh RAy. Ratna Himawati dan kerabat dekat lainnya. Sampai tahun 1950, Poerbatjaraka dan keluarganya tinggal di kediaman keluarga nDalemndalem Poerbodipoeran sampai selesainya Perang Kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949.
 
== Masa Republik Indonesia dan kematian ==
[[Berkas:Ugm-Gedung Poerbatjaraka.jpg|jmpl|Gedung 'Poerbatjaraka' di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.|216x216px]]
Poerbatjaraka dan keluarganya pindah ke Jakarta pada tahun 1950, dan tinggal di kediaman baru di daerah [[Menteng, Jakarta Pusat|Menteng]], Jakarta. Ia menjadi anggota Panitia Lambang Negara yang dibentuk [[Soekarno|Presiden Soekarno]] pada 10 Januari 1950. Anggota lainnya yakni [[Syarif Hamid II dari Pontianak|Sultan Hamid II]] (ketua panitia), [[Ki Hadjar Dewantara|Ki Hajar Dewantara]], [[Mohammad Yamin]], [[Mohammad Natsir]] (ketua partai islam terbesar, yaitu Masyumi), dan juga [[Melkias Agustinus Pellaupessy|MA Pellaupessy]], selaku menteri penerangan yang juga mewakili Indonesia Timur karena beliau berasal dari Ambon. Poerbatjaraka merupakan tokoh yang mengusulkan lambang pohon beringin di dada lambang negara [[Lambang negara Indonesia|Garuda Pancasila]].
 
Pada masa ini, ia juga menjadi profesor di [[Universitas Indonesia]], Jakarta, [[Universitas Gajah Mada|Universitas Gadjah Mada]], [[Yogyakarta]] dan [[Universitas Udayana]], [[Denpasar]], [[Bali]]. Bahkan di Denpasar, ia lah yang mendirikan [[Fakultas sastraIlmu UGMBudaya Universitas Udayana|Fakultas Sastra]].
 
Di masa pensiunnya, ia terus menulis tentang sejarah dan sastra Jawa untuk jurnal di Indonesia dan Belanda. Pada tahun 1952, ia menerbitkan koleksi studinya dalam sebuah buku berjudul ''Kapustakaan Djawi''. Pada tahun 1957, [[Pemerintah India]] mengundang Poerbatjaraka ke [[India]] untuk menghadiri [[Waisak|peringatan Buddha Jayanti]]. Peristiwa tersebut merupakan salah satu lembaran bahagia dalam kehidupan Poerbatjaraka, karena kepuasannya yang terletak pada kemampuannya untuk menerjemahkan buku-buku indah penuh pelajaran mulia seperti ''[[Ramayana]], [[Kakawin Arjunawiwāha|Arjunawiwaha]], Suluk Wijil, dan Dewa Ruci''.
 
Poerbatjaraka diangkat menjadi anggota kehormatan Institut Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda pada tahun 1963. Pada tahun 1964, Jurnal Kajian Budaya Indonesia menerbitkan dua puluh enam artikel untuk menghormatinya yang berulang tahun ke-80. Padalalu pada tanggal 3 Mei, civitas akademika Universitas Nasional Jakarta memberinya gelar "Mpu" atas jasa-jasanya di bidang penelitian dan pengembangan ilmu sastra di Indonesia. Pada 25 Juli padadi tahun yang sama, beliau tutup usia pada umur 80 tahun di Jakarta. Poerbatjaraka dimakamkan di [[Taman Pemakaman Umum Karet Bivak|Karet Bivak]], Jakarta.
 
Pada 17 Agustus 1969, atas pengabdiannya kepada budaya Indonesia, terutama dalam bidang sastra, sejarah, arkeologi, dan filologi, Poerbatjaraka diberikan kehormatan anumerta [[Bintang Mahaputera Utama|Bintang Maha Putera Utama]] oleh [[Soeharto|Presiden Soeharto]], lima tahun setelah ia meninggal dunia.
 
== Kehidupan pribadi ==
Poerbatjaraka lahir dalam keluarga Keraton Surakarta sebagai putra tertua dari Kanjeng Raden Mas Tumenggung Purbadipura, yang dekat dengan Sunan Pakubuwono IX dan membesarkan putra mahkotanya, Pakubuwono X. Nama Poerbatjaraka, yang berarti "Duta Besarbesar Utamautama", diberikan oleh Pakubuwono X, yang mengizinkannya untuk dikirim ke Leiden, Belanda sebagai perwakilan Keraton Surakarta. Sekembalinya, Poerbatjaraka diperintahkan oleh Pakubuwono X untuk menikah dengan BRAy. Roosinah Poeger, putri GPH. Poeger dari keluarga Keraton Yogyakarta, untuk meredakan ketegangan antara kedua keraton.

Seorang bangsawan Jawa yang terpandang, ia bangga dengan kebangsawannya, dan dikenang dengan baik karena selalu mengikuti adat keraton dan mengenakan pakaian Jawa sampai akhir hayat. Sepanjang hidupnya, Poerbatjaraka tidak pernah ragu untuk berbagi ilmu dan kebijaksanaan, ia selalu bersedia membantu kerabatnya. Anggota keluarga Poerbatjaraka merupakan keturunan dari Sunan Pakubuwana X dari Keraton Surakarta, Sultan Hamengkubuwana VI dari Keraton Yogyakarta dan KGPAA. MangkunagoroMangkunegoro I dari Keraton Mangkunegaran.
 
== Lihat pula ==