Jamus Kalimasada: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Masgatotkaca (bicara | kontrib)
 
(12 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Unreferenced|date=Desember 2020}}
'''Serat Jamus Kalimasada''' adalah nama sebuah pusaka dalam dunia [[wayang|pewayangan]] yang dimiliki oleh [[Yudistira|Prabu Puntadewa]] (alias [[Yudistira]]), pemimpin para [[Pandawa]]. Pusaka ini berwujud kitab,3 senjata ampuh dan merupakan benda yang sangat dikeramatkan dalam [[Indraprasta|Kerajaan Amarta]].
 
== Asal-UsulKisah Katadalam Pewayangan ==
Salah satu kisah [[wayang|pewayangan]] [[Jawa]] menceritakan tentang asal usul terciptanya pusaka Jamus Kalimasada. Pada mulanya terdapat seorang raja bernama Prabu Kalimantara dari Kerajaan Nusahantara yang menyerang kahyangan bersama para pembantunya, yaitu Sarotama dan Ardadedali. Dengan mengendarai Garuda Banatara, Kalimantara mengobrak-abrik tempat tinggal para [[dewa]].
Sebagian pendapat mengatakan bahwa istilah ''Kalimasada'' berasal dari kata ''[[Syahadat|Kalimat Syahadat]]'', yaitu sebuah kalimat utama dalam [[agama Islam]]. Kalimat tersebut berisi pengakuan tentang adanya [[Tuhan]] yang tunggal, serta [[Nabi Muhammad]] sebagai utusan-Nya.
 
[[Batara Guru]] raja kahyangan meminta bantuan [[Sakutrem|Bambang Sakutrem]] dari pertapaan Sapta Arga untuk menumpas Kalimantara. Dengan menggunakan kesaktiannya, Sakutrem berhasil membunuh semua musuh para dewa tersebut. Jasad mereka berubah menjadi pusaka. Kalimantara berubah menjadi kitab bernama Jamus Kalimasada, Sarotama dan Ardadedali masing-masing menjadi panah, sedangkan Garuda Banatara menjadi payung bernama Tunggulnaga.
Menurut pendapat tersebut, istilah Kalimasada diciptakan oleh [[Sunan Kalijaga]], salah seorang penyebar agama Islam di [[Pulau Jawa]] pada abad ke-16. Konon, Sunan Kalijaga menggunakan [[wayang kulit]] sebagai media dakwah, antara lain ia memasukkan istilah Kalimat Syahadat ke dalam dunia pewayangan.
 
Sakutrem kemudian memungut keempat pusaka tersebut dan mewariskannya secara turun-temurun, sampai kepada cicitnya yang bernama [[Wiyasa|Resi Wiyasa]] atau [[Abyasa|Abiyasa]]. Ketika kelima cucu Abiyasa, yaitu para [[Pandawa]] membangun kerajaan baru bernama [[Indraprasta|Amarta]], pusaka-pusaka tersebut pun diwariskan kepada mereka sebagai pusaka yang dikeramatkan dalam istana.
Namun pendapat lain mengatakan bahwa sebelum datangnya agama Islam, istilah Kalimasada sudah dikenal dalam kesusastraan Jawa. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Dr. Kuntara Wiryamartana, SJ. Istilah Kalimasada bukan berasal dari kata ''Kalimat Syahadat'', melainkan berasal dari kata ''Kalimahosaddha''.
 
Di antara pusaka-pusaka Kerajaan Amarta, Jamus Kalimasada menempati peringkat utama. Kisah-kisah pedalangan banyak yang bercerita tentang upaya musuh-musuh Pandawa untuk mencuri Kalimasada. Meskipun demikian pusaka keramat tersebut senantiasa kembali dapat direbut oleh Yudistira dan keempat adiknya.
Istilah ''Kalimahosaddha'' ditemukan dalam naskah ''[[Kakawin Bharatayuddha]]'' yang ditulis pada tahun [[1157]] atau abad ke-12, pada masa pemerintahan [[Jayabhaya|Maharaja Jayabhaya]] di [[Kerajaan Kadiri]]. Istilah tersebut jika dipilah menjadi ''Kali-Maha-Usaddha'', yang bermakna "obat mujarab Dewi Kali".
 
== Akulturasi Nilai Keislaman pada Makna Kalimasada ==
''Kakawin Bharatayuddha'' mengisahkan perang besar antara keluarga [[Pandawa]] melawan [[Korawa]]. Pada hari ke-18 panglima pihak Korawa yang bernama [[Salya]] bertempur melawan [[Yudistira]]. Yudistira melemparkan kitab pusakanya yang bernama ''Pustaka Kalimahosaddha'' ke arah Salya. Kitab tersebut berubah menjadi tombak yang menembus dada Salya.
Kedatangan Islam di tanah Jawa melalui jalan akulturasi budaya dengan menggeser makna-makna asal pewayangan dari Hindu menuju Islam, seperti halnya akulturasi budaya Hindu India ke Hindu Nusantara. Pada akulturasi Hindu-India ke Hindu-Nusantara, akulturasi ini berbentuk perubahan alur kisah, status maupun struktur ''wiracarita'' yang mewujud pada penokohan dan status tokoh yang ada dalam cerita<ref>{{Cite book|last=Damar|first=Sasongko|date=2012|url=https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20313017-S43605-Transformasi%20cerita.pdf|title=Transformasi Cerita Mahabharata dalam Komik R. A. Kosasih: Sebuah Telaah Perbandingan|location=Depok|publisher=Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia|pages=3|url-status=live}}</ref>. Ketika Islam tiba di Indonesia, sejak era akhir pemerintahan Sriwijaya<ref>{{Cite journal|last=Fatimi|first=S.Q.|date=1963|title=Two letters from the Mahārājā to the Kẖalīfah: a study in the early history of Islam in the East|url=https://www.jstor.org/stable/20832672|journal=Islamic Studies|volume=2|issue=1|pages=121-140}}</ref>, akulturasi budaya terjadi perlahan melalui bauran antara pendatang dari negeri-negeri di Timur yang menetap di wilayah Pesisir dengan penduduk Sriwijaya <ref>{{Cite journal|last=Wolters|first=O.W.|date=1966|title=A Note on the Capital of Śrīvijaya during the Eleventh Century|url=https://doi.org/10.2307/1522654|journal=Artibus Asiae: Supplementum|volume=23|pages=225-239|doi=10.2307/1522654}}</ref>. Hal ini juga terjadi di wilayah Pulau Jawa dengan menetapnya pendatang dari negeri-negeri Timur di wilayah Pesisir Utara seperti Gresik<ref>{{Cite journal|last=Adha|first=Syamsul Idul|date=2021|title=Kropak Ferrara: Reconsidering The 16th Century Javanese Muslim Identity|url=https://tashwirulafkar.net/index.php/afkar/article/view/45|journal=Tashwirul Afkar|volume=40|issue=1}}</ref>.
 
Penyebaran Islam yang terjadi kemudian juga mengikuti pola akulturasi dengan mengadaptasi budaya Hindu-Buddha, memodifikasi simbolisasi dan menggeser pemaknaan yang sejalan dengan agama Islam<ref name=":0">{{Cite book|last=Pranowo|first=M. Bambang|date=2009|url=https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=715201|title=Memahami Islam Jawa|location=Jakarta|publisher=Pustaka Alvabet|isbn=978-979-3064-70-3|url-status=live}}</ref>. Akulturasi ini juga terjadi pada literatur Hindu-Buddha Nusantara, salah satunya adalah pemaknaan ulang metafora Jamus Kalimasada. Menurut Salim A. Fillah, merujuk pada sumber-sumber manuskrip ''Het Boek van Bonang''<ref>{{Cite book|last=Schrieke|first=B. J. O.|url=https://openlibrary.org/books/OL14028024M/Het_boek_van_Bonang|title=Het Boek van Bonang|location=Utrecht|url-status=live}}</ref> dan Serat Walisana<ref>{{Cite book|last=Kamila|first=Syifa|date=2018|url=https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/159733|title=PERJALANAN MENUJU MANUSIA SEMPURNA: PERKEMBANGAN KARAKTER SUNAN KALIJAGA DALAM SERAT WALISANA KOLEKSI PERPUSTAKAAN PURA PAKUALAMAN NOMOR 0136/PP/73 PUPUH VIII-XIII|location=Jogjakarta|publisher=Departemen Bahasa dan Sastra, Universitas Gadjah Mada|url-status=live}}</ref>, perubahan makna metaforis ini digunakan oleh Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga sebagai pengejawantahan nilai-nilai Islam pada Kalimasada.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah ''Kalimahosaddha'' sudah dikenal masyarakat Jawa sejak beberapa abad sebelum munculnya Sunan Kalijaga. Mungkin yang terjadi adalah Sunan Kalijaga memadukan istilah ''Kalimahosaddha'' dengan ''Kalimat Syahadat'' menjadi ''Kalimasada'' sebagai sarana untuk berdakwah. Tokoh ini memang terkenal sebagai ulama sekaligus budayawan di Tanah Jawa.
 
Kalimasada memiliki struktur kata yang mirip dengan ''Kalimat Syahadat.'' Dalam lakon wayang ''Serat Jamus Kalimasada,'' jimat Kalimasada digambarkan sebagai ''ageman'' yang bermakna ''senjata'', dan ''pegangan'' yang berkonotasi dengan ''ajian'' dan ''kepercayaan''<ref name=":0" />''.'' Ageman Kalimasada dimaknai oleh Sunan Kalijaga sebagai pegangan nilai dan pandangan hidup Islam yang menyelamatkan Punakawan dari kekeliruan hidup yang berujung pada api neraka<ref>{{Cite journal|last=Putri|first=Vira Ananda|date=2021|title=Membongkar Hukum Akulturasi Budaya Sunan Kalijaga|url=https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/twt/article/view/3050/3595|journal=Tsaqofah & Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam|volume=6|issue=2}}</ref>.
Kisah dalam Pewayangan
Salah satu kisah [[wayang|pewayangan]] [[Jawa]] menceritakan tentang asal usul terciptanya pusaka Jamus Kalimasada. Pada mulanya terdapat seorang raja bernama Prabu Kalimantara dari Kerajaan Nusahantara yang menyerang kahyangan bersama para pembantunya, yaitu Sarotama dan Ardadedali. Dengan mengendarai Garuda Banatara, Kalimantara mengobrak-abrik tempat tinggal para [[dewa]].
 
== Referensi ==
[[Batara Guru]] raja kahyangan meminta bantuan [[Sakutrem|Bambang Sakutrem]] dari pertapaan Sapta Arga untuk menumpas Kalimantara. Dengan menggunakan kesaktiannya, Sakutrem berhasil membunuh semua musuh para dewa tersebut. Jasad mereka berubah menjadi pusaka. Kalimantara berubah menjadi kitab bernama Jamus Kalimasada, Sarotama dan Ardadedali masing-masing menjadi panah, sedangkan Garuda Banatara menjadi payung bernama Tunggulnaga.
<references />
 
Sakutrem kemudian memungut keempat pusaka tersebut dan mewariskannya secara turun-temurun, sampai kepada cicitnya yang bernama [[Wiyasa|Resi Wiyasa]] atau [[Abyasa|Abiyasa]]. Ketika kelima cucu Abiyasa, yaitu para [[Pandawa]] membangun kerajaan baru bernama [[Indraprasta|Amarta]], pusaka-pusaka tersebut pun diwariskan kepada mereka sebagai pusaka yang dikeramatkan dalam istana.
 
Di antara pusaka-pusaka Kerajaan Amarta, Jamus Kalimasada menempati peringkat utama. Kisah-kisah pedalangan banyak yang bercerita tentang upaya musuh-musuh Pandawa untuk mencuri Kalimasada. Meskipun demikian pusaka keramat tersebut senantiasa kembali dapat direbut oleh Yudistira dan keempat adiknya.
 
{{wayang-stub}}
[[Kategori:Wayang]]
[[Kategori:Lakon Wayang]]