Perang Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kanzcech (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Perang Diponegoro merupakan salah satu konflik paling signifikan dalam sejarah Indonesia yang terjadi antara tahun 1825 dan 1830. Konflik ini dipicu oleh ketidakpuasan Diponegoro terhadap kebijakan kolonial Belanda yang melanggar hak-hak dan kepentingan rakyat Jawa, termasuk penindasan, eksploitasi ekonomi, dan campur tangan dalam urusan pemerintahan tradisional. Diponegoro, seorang pemimpin Jawa yang karismatik dan berpengaruh, memimpin pemberontakan melawan Belanda dengan dukungan luas dari be
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(Satu revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 4:
|caption=Lukisan Peristiwa Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Raden Saleh
|place=[[Yogyakarta]], [[Surakarta]], [[Jawa Tengah]], dan [[Jawa Timur]]
|date=21 Juli [[1825]] - 9 Februari [[1830 1840]]
|casus=Jalan yang dibangun Belanda melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro 6
|result=*Kemenangan Belanda
*Penangkapan dan pengasingan Pangeran [[Diponegoro]] ke [[Makassar]]<ref name="sulawesi">Toby Alice Volkman: ''Sulawesi: island crossroads of Indonesia'', Passport Books, 1990, ISBN 0844299065, [http://books.google.com/books?ei=ACmtT6-3C5LN4QST_72dDA&hl=de&id=ZNdwAAAAMAAJ&dq=java+war+Diponegoro+deported+makassar&q=%22deported+to+manado+and+then+to+makassar%22 page 73].</ref>
|combatant1={{ubl|[[Imperium Belanda|Belanda]]|[[Kesultanan Yogyakarta]]|[[Pasukan Tulungan]]}}
|combatant2={{ubl|Pasukan Jawa/Diponegoro}}
Baris 101:
Mengenai penangkapannya ini, Diponegoro merasa dikhianati oleh pihak Belanda, terutama Kolonel Cleerens dan Letnan Jenderal De Kock. Diponegoro sebenarnya sudah menduga penangkapannya akan terjadi. Namun, ia merasa kecewa dengan sikap pihak Belanda yang awalnya bersedia memenuhi tuntutan-tuntutannya, tetapi malah berbalik arah menangkapnya. Ia datang ke Magelang dengan maksud untuk berunding dan ia seharusnya diberi kebebasan penuh untuk pergi jika tidak mencapai kesepakatan. Nyatanya, Belanda sebenarnya tidak pernah bermaksud membiarkan Pangeran Diponegoro lolos karena ia telah menjadi sumber ancaman besar bagi Belanda selama 5 tahun perang.{{Sfn|Carey|2017|p=362-368}}
 
== Dampak perang dan Kesimpulan ==
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu Belanda dan 7.000 [[pribumi]].<ref name="Ricklefs">M.C. Ricklefs: ''A History of modern Indonesia since 1300'', p.&nbsp;117.</ref> Sekitar 2 juta orang atau sepertiga dari seluruh penduduk Jawa terkena dampak perang yang melanda hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur; 200.000 orang Jawa meninggal dunia; dan seperempat lahan pertanian rusak. Belanda juga harus menanggung biaya perang sebanyak 25 juta gulden atau setara dengan 2,2 miliar dollar AS saat ini.{{Sfn|Carey|2017|p=xxxix}}{{Sfn|Carey|2008|p=xi}} Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.{{Butuh rujukan}}
 
Baris 131:
Penyerangan terhadap etnis Tionghoa di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi semenjak awal peperangan. Catatan Payen, seorang arsitek di Yogyakarta, menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa di Yogyakarta dibantai tanpa mempedulikan wanita maupun anak-anak. Komunitas Tionghoa di Bagelen sempat bertahan hingga tahun 1827 sebelum akhirnya diungsikan ke Wonosobo. Meskipun demikian, masyarakat Tionghoa di pesisir pantai utara (sekitar Tuban dan Lasem) ikut memasok pasukan Diponegoro dengan senjata, uang, dan opium (pada masa tersebut penduduk Jawa banyak yang kecanduan opium, termasuk pasukan Diponegoro). Setelah perang berakhir, kerukunan antara komunitas Tionghoa dan masyarakat lain di Jawa tidak dapat kembali seperti semula karena timbulnya rasa saling curiga akibat trauma selama perang, misalnya peristiwa di [[Bagelen, Purworejo|Bagelen]] saat penduduk Jawa lokal meminta komunitas Tionghoa yang mengungsi agar kembali.<ref name=carey/>
 
 
{{commons category|Java War}}
Perang Diponegoro merupakan salah satu konflik paling signifikan dalam sejarah Indonesia yang terjadi antara tahun 1825 dan 1830. Konflik ini dipicu oleh ketidakpuasan Diponegoro terhadap kebijakan kolonial Belanda yang melanggar hak-hak dan kepentingan rakyat Jawa, termasuk penindasan, eksploitasi ekonomi, dan campur tangan dalam urusan pemerintahan tradisional. Diponegoro, seorang pemimpin Jawa yang karismatik dan berpengaruh, memimpin pemberontakan melawan Belanda dengan dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat Jawa.
 
Perang Diponegoro tidak hanya sekadar konflik militer, tetapi juga merupakan pertempuran ideologi, identitas, dan kebangsaan. Diponegoro mewakili semangat perlawanan terhadap penjajahan dan keinginan untuk mempertahankan kedaulatan dan kebudayaan Jawa. Sementara itu, Belanda mewakili kekuatan kolonial yang mencari untuk memperluas dominasinya dan mengamankan sumber daya ekonomi di wilayah jajahannya.
 
Perang Diponegoro adalah kekalahan pasukan Diponegoro oleh Belanda. Meskipun Diponegoro dan pasukannya berhasil mempertahankan beberapa wilayah untuk waktu yang cukup lama, keunggulan teknologi dan sumber daya militer Belanda pada akhirnya mengatasi perlawanan mereka. Pasukan Diponegoro mengalami kekurangan persediaan, dukungan politik, dan koordinasi strategis yang memadai, sementara Belanda memanfaatkan keunggulan mereka dalam hal persenjataan modern, logistik, dan pasukan kolonial yang terlatih.
 
Setelah kekalahan Diponegoro pada tahun 1830 dan penangkapannya oleh Belanda, perang tersebut berakhir. Konsekuensinya adalah penaklukan Jawa oleh Belanda, yang memperkuat kedudukan mereka sebagai penguasa kolonial di wilayah tersebut. Perang Diponegoro tidak hanya meninggalkan bekas luka fisik dan emosional bagi masyarakat Jawa, tetapi juga berdampak besar terhadap politik, sosial, dan budaya di Indonesia. Konflik ini memperkuat identitas nasionalisme Indonesia dan menjadi titik awal bagi perlawanan lebih lanjut terhadap penjajahan kolonial Belanda.{{commons category|Java War}}
{{portal|Indonesia}}