Suku Cirebon: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Natsukusha (bicara | kontrib)
k →‎Aksara Rikasara Cirebon: klaim mengada-ada
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Nyilvoskt (bicara | kontrib)
k Mengembalikan suntingan oleh 103.148.130.103 (bicara) ke revisi terakhir oleh Ramdan Herawan
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(32 revisi perantara oleh 17 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{refimprove}}
{{ethnic group|
|group=Wong Cirebon/Urang Cirebon<br>꧋ꦮꦺꦴꦁꦕꦶꦫꦺꦧꦺꦴꦤ꧀<br>ᮅᮛᮀ ᮎᮤᮛᮨᮘᮧᮔ᮪
|image={{image array
|perrow = 4
Baris 14:
|poptime=1.877.514 jiwa (sensus 2010) <ref name=":0"/>
|population= '''± 2 juta'''
|popplace=[[Jawa Barat]]<br><small>([[Kabupaten Cirebon]], [[Kabupaten Indramayu]], [[Kota Cirebon]])
|langs=[[Bahasa Jawa Cirebon| Jawa Cirebon]], [[Bahasa Sunda Cirebon|Sunda Cirebon]], [[Bahasa Indonesia|Indonesia]]
|rels=[[Islam]]
|related= [[Orang Banyumasan| Jawa Banyumasan]], [[Suku Sunda|Sunda Priangan]], [[Suku Banten|Sunda Banten]]
}}
 
'''Suku Cirebon''' adalah kelompok etnis keurunan jawa cirebonan (rumpun jawa banyumasan) yang tersebar di sekitar wilayah [[Kabupaten Cirebon]], dan [[Kota Cirebon]],. [[KabupatenMenggunakan Indramayu]].istilah Wong sebagai penanda keturunan jawa, dan Selain itu, suku Cirebon juga dapat ditemui di [[Kabupaten Indramayu]], sebagian [[Kabupaten Majalengka]] (sebelah utara atau biasa disebut sebagai Wilayah "Pakaleran"), sebagian [[Kabupaten Subang]] sebelah utara mulai dari Blanakan, Pamanukan, hingga Pusakanagara dan sebagian Pesisir utara [[Kabupaten Karawang]] mulai dari [[Pedes, Karawang|Pesisir Pedes]] hingga [[Cilamaya Wetan, Karawang|Pesisir Cilamaya]] di [[Jawa Barat|Provinsi Jawa Barat]] dan di sekitar [[Losari, Brebes|Kec. Losari]] di [[Kabupaten Brebes]], provinsi [[Jawa Tengah]].
 
Selain itu, Suku Cirebon tersebar di banyak provinsi-provinsi di Indonesia. Pada sensus penduduk 2010 Suku Cirebon berjumlah 1.877.514 jiwa, dengan 961.406 laki-laki dan 916.108 perempuan.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html|title=Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia|last=Na’im|first=Akhsan|date=Oktober 2011|website=Badan Pusat Statistik|access-date=20 Januari 2020}}</ref> Rasionya yaitu sekitar 0,79% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia pada tahun 2010 dari semua suku di Indonesia. Provinsi terbanyak yang terdapat suku Cirebon adalah Provinsi Jawa Barat (1.812.842 jiwa), Banten (41.645 jiwa), dan Lampung (8.406 jiwa). Sebanyak 1.425.272 jiwa (75,91%) bermukim di perkotaan dan 452.242 jiwa (25,09%) bermukim di pedesaan.<ref name=":0" /> Masyarakat Suku Cirebon memeluk agama [[Islam]]. Bahasa yang dituturkan oleh orang Cirebon adalah [[Bahasa Jawa]] mayoritas digunakan dalam percakapan sehari hari yang juga ada gabungan sedikit atau beberapa bahasa yakni dari [[Bahasa Sunda|Sunda]], [[Bahasa Arab|Arab]] dan [[Bahasa China|China]] yang mereka sebut sebagai [[Bahasa Cirebon|Bahasa Cirebonan]]an atau [[Bahasa Cirebon|Bahasa Jawa Dialek Cirebon]]<ref>{{Cite book|last=T.D.|first=Sudjana|date=2015|url=|title=Kamus Bahasa Cirebon|location=Bandung|publisher=Humaniora|isbn=978-979-9231-38-8|pages=xiv|url-status=live}}</ref>.Mereka juga memiliki dialek Bahasa Sunda tersendiri yang jarang dituturkan yang disebut [[Bahasa Sunda Cirebon]].<ref>{{Cite book|last=|first=Abdurrachman dkk.|date=1985|url=https://labbineka.kemdikbud.go.id/files/upload/bbs_ZEKBCRTN_1568726183.pdf|title=Struktur Bahasa Sunda Dialek Cirebon|location=Jakarta|publisher=Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|isbn=|pages=ix|url-status=live}}</ref>
 
== Kontroversi ==
Baris 185:
# ''Angadahna Ing Pepadu'' (Jauhi Pertengkaran)
# ''Amapesa Ing Bina Batan'' (jangan serakah dalam hidup bersama)
 
== Aksara Cacarakan Cirebon ==
Bahasa Cirebon dalam perjalanannya menggunakan aksara yang dikenal dengan nama Rikasara, Cacarakan Cirebon, aksara Arab Pegon serta aksara [[Jawi|Jawa]].<ref name=uka>Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Gramedia</ref> Aksara Cacarakan Cirebon merupakan jenis aksara yang bentuknya lebih dekat dengan aksara Bali ketimbang aksara Carakan Jawa.{{fact}} Sementara Rikasara Cirebon<ref name=prayitno>{{Cite web |url=http://regional.liputan6.com/read/2982612/makna-ukiran-unik-di-tiang-masjid-keramat-cirebon |title=Prayitno, Panji. 2017. Makna Ukiran Unik di Tiang Masjid Keramat Cirebon. &#91;&#91;Jakarta&#93;&#93;: Liputan 6 |access-date=2017-07-17 |archive-date=2017-07-22 |archive-url=https://web.archive.org/web/20170722110641/http://regional.liputan6.com/read/2982612/makna-ukiran-unik-di-tiang-masjid-keramat-cirebon |dead-url=yes }}</ref> merupakan jenis aksara yang digunakan sebelum tahun 1650-an (abad 17) dimana para ahli berpendapat bahwa Rikasara tersebut memiliki keterkaitan dengan aksara Palawa.
 
=== Cacarakan Cirebon ===
 
Cacarakan Cirebon mencapai masa keemasannya pada periodisasi sastra sekitar abad ke 16 (tahun 1500-an) dimana sastra pesisiran berkembang pesat, seiring berpindahnya kekuasaan politik dari Majapahit ke kesultanan-kesultanan Muslim seperti Cirebon dan Demak pasca banyaknya ''ningrat-ningrat'', sastrawan dan seniman Majaphit yang menyingkir ke Bali. Sastra Pesisiran yang berkembang pada periodisasi keemasan tersebut berusaha membalutkan nilai-nilai keislaman dengan elemen-elemen kuno dari kebudayaan Majapahit <ref name=Rochkyatmo/> Sastra Pesisiran yang turut membawa cacarakan Cirebon pada masa keemasannya dimulai ketika pengaruh Islam mulai memasuki pulau Jawa termasuk di wilayah [[Kesultanan Cirebon]]. ada setidaknya tiga pusat utama perkembangan sastra pesisiran yaitu di Gresik, Demak dan di wilayah [[kesultanan Cirebon]] yang meliputi Cirebon hingga [[Banten]] pada masa itu.
 
Berbeda dengan Demak yang pada masa itu menjadi rujukan bagi daerah pedalaman sekitarnya yang mayoritas dihuni oleh [[suku Jawa]](cikal bakal daerah Mataram), perkembangan Cacarakan dan sastra pesisiran di wilayah [[kesultanan Cirebon]] tidak sehomogen dengan apa yang terjadi di Demak, heterogenitas antara pesisir Cirebon yang multi-etnis ditambah dengan pedalaman Cirebon yang juga dihuni oleh [[suku Sunda]] yang berbeda bahasa dan pola tulisan membuat Cacarakan dan sastra Cirebon mengakomodir pola-pola ucap dan kebiasaan-kebiasaan sastra dari wilayah sekitarnya sehingga menyebabkan teks-teks sastra yang berasal dari wilayah [[kesultanan Cirebon]] walau ditulis dengan pola aksara carakan yang tidak jauh berbeda (Cirebon menerapkan pola aksara cacarakan dengan gaya satu tembok sementara Jawa menerapkan pola carakan dengan gaya dua tembok) namun teks-teks tersebut tidak dimengerti oleh pembaca dari wilayah Jawa bagian tengah.<ref name=Rochkyatmo/>
 
Cacarakan Cirebon menurut TD Sudjana pada awalnya berasal dari Pallawa yang menyebar di Nusantara, para aristokrat yang menggunakan Pallawa sebagai aksara ini kemudian mengembangkan pola-pola aksara di wilayah yang diperintahnya, dan kemudian menjadi aksara daerahnya masing seperti aksara Carakan Jawa, Sunda dan Aksara Cacarakan Cirebon, oleh karena itu Cacarakan Cirebon oleh budayawan Cirebon TD Sudjana dikiaskan sebagai sesuatu hal yang memiliki makna budi luhur sebagai penunjang tegaknya akhlak bangsa dan kepribadian bangsa.<ref name=Rochkyatmo>Rochkyatmo, Amir. 1996. Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa. [[Jakarta]]: Direktorat Jenderal Kebudayaan</ref>
 
== Bahasa ==
 
Dahulu [[Bahasa Cirebon]] ini digunakan dalam perdagangan di pesisir Jawa Barat mulai Cirebon yang merupakan salah satu pelabuhan utama, khususnya pada abad ke-15 sampai ke-17. Bahasa Cirebon dipengaruhi mayoritas budaya jawa dan pula oleh budaya Sunda karena keberadaannya yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, khususnya Sunda Kuningan dan Sunda Majalengka dan juga dipengaruhi oleh Budaya China, Arab dan Eropa hal ini dibuktikan dengan adanya kata "Taocang (Kuncir)" yang merupakan serapan China, kata "Bakda (Setelah)" yang merupakan serapan Bahasa Arab dan kemudian kata "Sonder (Tanpa)"<ref name="Sudjana, TD 2005">Sudjana, TD. 2005. "Kamus Bahasa Cirebon". Bandung: Humaniora Utama Press</ref> yang merupakan serapan bahasa eropa (Belanda). Bahasa Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno [[bahasa Jawa]] seperti kalimat-kalimat dan pengucapan, misalnya ingsun (saya) dan sira (kamu) yang sudah tak digunakan lagi oleh [[bahasa Jawa]] Baku.
 
=== Perdebatan Bahasa Cirebon (Dialek Bahasa Jawa atau Bahasa Mandiri) ===
Baris 208 ⟶ 197:
==== Bahasa Cirebon Sebagai Sebuah Dialek Bahasa Jawa ====
 
Penelitian menggunakan kuesioner sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar (makan, minum, dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter menunjukkan perbedaan kosakata bahasa Cirebon dengan bahasa Jawa Mataraman di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 24 persen,untuk bahasa cirebon dan Bahasa Jawa ngapak memiliki kemiripan 90 %, sementara perbedaannya dengan dialek Jawa arekan di Jawa Timur mencapai 25 persen. Untuk persamaan dengan Jawa Tengah & Yogyakarta sebanyak 76% sedangkan persamaan dengan Jawa Timur sebanyak 75%. Untuk diakui sebagai dialek bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.<ref name="PR"/>
 
Meski kajian Linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa Cirebon ”hanyalah” dialek (Karena Penelitian Guiter mengatakan harus berbeda sebanyak 80% dari Bahasa terdekatnya), tetapi sampai saat ini '''Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003''' masih tetap mengakui Cirebon sebagai bahasa dan bukan sebagai sebuah dialek. Dengan kata lain, belum ada revisi terhadap perda tersebut. Menurut Kepala Balai Bahasa Bandung Muh. Abdul Khak, hal itu sah-sah saja karena perda adalah kajian politik. Dalam dunia kebahasaan menurut dia, satu bahasa bisa diakui atas dasar tiga hal. Pertama, bahasa atas dasar pengakuan oleh penuturnya, kedua atas dasar politik, dan ketiga atas dasar Linguistik.
Baris 218 ⟶ 207:
==== Bahasa Cirebon sebagai Bahasa Mandiri ====
 
Revisi Perda, sebenarnya memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan terbesar yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa Cirebon, yang tidak mau disebut orang Jawa maupun orang Sunda. Ketua '''''Lembaga Basa lan Sastra Cirebon''''' Nurdin M. Noer mengatakan, bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa Ngapak dan sebagian kosakata Sunda. Meskipun dalam percakapan orang Cirebon masih bisa memahami banyak kosakata pada bahasa Jawa Ngapak umumnya, dia mengatakan kosakata bahasa Jawa dialek Cirebon terus berkembang tidak hanya ”mengandalkan” kosakata dari bahasa Jawa pada umumnya apalagi Sunda.
::”Selain itu, bahasa Cirebon sudah punya banyak dialek. Contohnya saja dialek Plered, Jaware, dan Dermayon,” ujarnya. Jika akan dilakukan revisi atas perda tadi, kemungkinan besar masyarakat bahasa Cirebon akan memprotes.
Baris 228 ⟶ 217:
Selama ini bahasa Cirebon dianggap sebagai dialek dari bahasa Jawa dikarenakan beberapa pihak yang menginginkan Cirebon tetap menjadi bagian dari budaya Jawa hanya berpegang pada penelitian model Guiter saja yang mengharuskan perbedaan antar kedua subjek bahasa sebesar 80%, tetapi jika menggunakan pendekatan Lauder, pendekatan ini mengkritisi jumlah persentase yang diajukan guiter yaitu sebesar 80% karena menurut Lauder, cukup 70% saja dalam kajian dialektometri bagi sesuatu untuk dikatakan sebagai "bahasa" yang Mandiri.
.
Lauder, sudah menggunakan metode yang lazim dan umum dilakukan dalam kajian dialektologi terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, yaitu metode dialektometri, hanya yang menarik dari pandangannya itu ialah usulannya tentang modifikasi kategori persentase perbedaan unsur kebahasaan untuk menyebutkan suatu isolek sebagai bahasa atau dialek yang diajukan oleh Guiter, Guiter menitik beratkan perbedaan kebahasaan harus sekitar 80%. Menurutnya, persentase untuk dianggap beberapa isolek sebagai bahasa yang berbeda, jika perbedannyaperbedaannya di atas 80% tterlalu tinggi untuk bahasa-bahasa di Indonesia. Karena kategori kajian guiter itu dibangun di atas data bahasa-bahasa Barat (eropa dan sejenisnya), karena itu perlu dimodifikasi. Kenyatan lain, menurutnya, ialah berdasarkan hasil penelitian berbagai bahasa daerah di Indonesia memperlihatkan perbedaan antara bahasa yang satu dengan yang lainnya hanya sekitar 65%–70% saja, dimanadi mana perbedaan kosakata antara Bahasa Jawa Cirebon dengan Bahasa Jawa lainnya adalah hanya sekitar 24-25% saja yang dalam pendekatan Lauder dianggap belum bisa menjadi sebuah bahasa mandiri dikarenakan menurut Lauder harus butuh kurang lebih setidaknya 70% perbedaan.<ref>Kawi, Djantera. 2002. Peneltian,kekerabatan dan pemetaan bahasa-bahasa daerah di Indonesia: provinsi Kalimantan Timur. [[Jakarta]]:Departemen Penddikan Nasional</ref>
 
=== Kosakata ===
 
Sebagian besar kosakata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik. Memang bahasa Cirebon yang dipergunakan di Cirebon dengan di Indramayu itu meskipun termasuk bahasa Jawa, mempunyai perbedaan cukup besar dengan “bahasa Jawa baku”, namun memiliki kesamaan dengan bahasa jawa ngapak.untuk bahasa jawa pada umumnya yaitu bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang berpegang kepada bahasa Jawa Solo. Dengan demikian, sebelum 1970-an, buku-buku pelajaran dari Solo tak dapat digunakan karena terlalu sukar bagi para murid (dan mungkin juga gurunya). Oleh karena itu, pada 1970-an, buku pelajaran itu diganti dengan buku pelajaran bahasa Sunda yang dianggap akan lebih mudah dimengerti karena para pemakai bahasa Sunda “lebih dekat”. Akan tetapi, ternyata kebijaksanaan itu pun tidak tepat sehingga muncul gerakan untuk menggantinya dengan buku dalam bahasa yang digunakan di wilayahnya, yaitu Bahasa Jawa dialek Cirebon.<ref>Rosidi, Ajip. 2010. "Bahasa Cirebon dan Bahasa Indramayu".: Pikiran Rakyat</ref> namun penerbitan buku penujang pelajaran bahasa daerah yang terjadi tahun selanjutnya tidak mencantumkan kata "Bahasa Jawa dialek Cirebon" lagi, akan tetapi hanya menggunakan kata "Bahasa Cirebon" hal ini seperti yang telah dilakukan pada penerbitan buku penunjang pelajaran bahasa cirebon pada tahun 2001 dan 2002. "Kamus Bahasa Cirebon" yang ditulis oleh almarhum bapak Sudjana sudah tidak mencantumkan Kata "Bahasa Jawa dialek Cirebon" namun hanya "Kamus Bahasa Cirebon".
 
==== Perbandingan Bahasa Cirebon Bagongan (Bahasa Rakyat) ====
Baris 256 ⟶ 245:
| nyong/kulo
| aku
| Kulo,reyang,isun,kito,aku,dalem
| aku
| aku/saya
|-
Baris 266 ⟶ 255:
| kowe
| kowe
| koen,riko,peno,ndiko
| kamu
|-
Baris 276 ⟶ 265:
| temen
| tenan
| men,saestu,
| sangat
|-
Baris 286 ⟶ 275:
| Kepriye
| piye/kepiye
| yaopo,kadospundi
| bagaimana
|-
Baris 296 ⟶ 285:
| ora
| ora
| gak,mboten,
| tidak
|-
Baris 306 ⟶ 295:
| bojo
| bojo
| bojo,garwo,estri
| istri
|-
Baris 316 ⟶ 305:
| mlebu
| mlebu
| mlebu,mlebet
| masuk
|-
Baris 326 ⟶ 315:
| arep
| arep
| katene, kapene,arepe
| akan
|-
Baris 336 ⟶ 325:
| seko
| seko
| teko,tekan,soko,saking
| dari
|}
Baris 349 ⟶ 338:
 
==== Bahasa Cirebon dialek Arjawinagun ====
Dialek Arjawinangun merupakan dialek yang dituturkan oleh masyarakat Cirebon di daerah sekitar Desa Arjawinangun, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon. Dialek ini cenderung masih asli dan tidak terpengaruh bahasa lain meskipun tidak bisa dikategorikan sebagai bahasa Cirebon yang baku. Dialek ini juga merupakan dialek yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di Kota Cirebon.<ref name=":02">{{Cite journal|last=Diniyah|first=Dini Zahrotud|year=2016|title=VISUALISASI SPASIAL BAHASA DAN DIALEK DI KOTA CIREBON JAWA BARAT|url=http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/viewFile/854/827|journal=Jurnal Bumi Indonesia|volume=5|issue=4|pages=|doi=|access-date=2020-09-08|archive-date=2019-06-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20190627002757/http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/viewFile/854/827|dead-url=yes}}</ref>
 
==== Bahasa Cirebon dialek Dermayon ====
Baris 643 ⟶ 632:
[[Berkas:Padesan-Sitiwinangun.jpg|jmpl|300px|''Pandesan'' (gentong air wudhu) yang digunakan sebagai gerbang taman pada rumah orang tua dalang Ade Irfan (dalang [[tari Topeng Cirebon|tari Topeng Cirebon gaya Palimanan]]) di jalan Pesantren gang ''Singalengan'', ''blok'' lepet, [[Cikeduk, Depok, Cirebon|desa Cikeduk]], [[Depok, Cirebon|kecamatan Depok]], [[kabupaten Cirebon]] yang dibuat oleh pengerajin ''anjun'' (membuat gerabah) di [[Sitiwinangun, Jamblang, Cirebon|desa Siti Winangun]], terdapat relif ayat kursi dan 5 ayat al baqarah yang ditunjukan agar masyarakat yang mendatanginya diberi keselamatan dan lindungan dari Allah swt]]
 
''Pandesan'' atau gentong yang diperuntukan bagi air wudu merupakan bagian dari penerapan adat Cirebon yang bernafaskan Islam, sejarah masyarakat Cirebon sebelumnya pernah mencatat aktivitas berwudu pada babad [[Kaliwulu, Plered, Cirebon|desa Kali Wulu]] yang menceritakan kedatangan dua orang kerumah ''Ki Gede Silintang'' untuk meminta air untuk berwudu serta pada cerita turun temurun tentang ''Sindang Pancuran'' di [[sindanglaut, lemahabang, cirebon|desa Sindang Laut]] dimanadi mana pancuran digunakan untuk berwudu. Pembuatan ''pandesan'' pada masa lalu hampir dibuat di beberapa desa yang memiliki masjid-masjid besar misalnya di sekitar [[masjid Panjunan]], [[Panjunan, Lemahwungkuk, Cirebon|kelurahan Panjunan]], [[kota Cirebon]] yang dibangun pada 1480 oleh Pangeran Panjunan (Syarif Abdurrahman), tetapi sekarang masyarakat sekitar [[masjid Panjunan]] sudah tidak lagi memproduksi ''pandesan'' sehingga ''pandesan'' yang dijual disekitar masjid pada masa sekarang adalah buatan dari masyarakat [[Sitiwinangun, Jamblang, Cirebon|desa Siti Winangun]], [[Jamblang, Cirebon|kecamatan Jamblang]], [[kabupaten Cirebon]]<ref>[http://www.cirebontrust.com/cirebon-kuno-dan-kini-73-masjid-merah-yang-tetap-merah.html|Noer, Nurdin. 2015. Cirebon Kuno dan Kini (73); Masjid Merah yang Tetap Merah. [[kota Cirebon|Cirebon]]: Cirebon Trust]{{Pranala mati|date=Juni 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
 
=== Adat Pernikahan Agung ''(Pelakrama Ageng)'' ===
Baris 692 ⟶ 681:
Hal ini menandakan bahwa pria itu telah menjadi menantunya. Setelah selesai kain itu diambil kembali, yang menandakan bahwa pengantin sudah tidak lagi dalam perlindungan orang tua dan sekarang memiliki tanggung jawab sendiri.
 
Ijab Qabul dalam Pernikahan Agung atau Pelakrama Ageng Keraton Cirebon biasanya menggunakan ragam [[Bahasa Cirebon|Bahasa Cirebon Bebasan]]<ref>[http://www.jpnn.com/read/2014/03/14/221885/Putri-Sultan-Cirebon-Nikahi-Pemuda-Biasa-] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20141021204951/http://www.jpnn.com/read/2014/03/14/221885/Putri-Sultan-Cirebon-Nikahi-Pemuda-Biasa- |date=2014-10-21 }}| 2014 - JPPN - Putri Sultan Cirebon Nikahi Pemuda Biasa</ref>
 
==== Pertemuan Pengantin ''(Temon)'' ====
Baris 736 ⟶ 725:
{{cquote|Isun arep lunga sing umah}}
 
Kalimat dalam bahasa cirebon di atas berarti "saya mau pergi dari rumah" di mana jika dialihkan dalam bahasa jawa kata ini menjadi ''"aku arep lungo singsaka umahomah"'' sehingga didapatkan kata yang hampir serupa akan tetapi ragam kalimat dalam bahasa cirebon tidak hanya terbatas dari serapan Bahasa Jawa, perhatikan ragam dialek dari bahasa cirebon berikut:
 
{{cquote|ari khaul mulae bakda magrib mah punten, isun beli bisa teka, ana janji sih karo adhine}}<ref name="Sudjana, TD 2005"/>,<ref name="salana"/>
Baris 751 ⟶ 740:
[[Kategori:Suku bangsa di Jawa Barat]]
[[Kategori:Suku bangsa di Kapuas Raya]]
[[Kategori:Suku bangsa di Papua Tengah]]
[[Kategori:Suku Sunda]]