Suku Cirebon: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Nyilvoskt (bicara | kontrib)
k Mengembalikan suntingan oleh 103.148.130.103 (bicara) ke revisi terakhir oleh Ramdan Herawan
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
(258 revisi perantara oleh 93 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{refimprove}}
{{ethnic group|
|group=Wong Cirebon<br>꧋ꦮꦺꦴꦁꦕꦶꦫꦺꦧꦺꦴꦤ꧀<br>ᮅᮛᮀ ᮎᮤᮛᮨᮘᮧᮔ᮪
|group=Orang Cirebon
|image={{image array
|perrow = 4
|poptime=Sekitar 1,9 juta (sensus 2000)<ref>{{cite book
| lastwidth = 70
| firstheight = 70
|text = y
| publisher=Institute of Southeast Asian Studies
|image1 = Affandi.jpg|caption1 = <small>[[Affandi]]</small>
| title =Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape
|image2 = Ricky_Karanda_Suwardi.jpg|caption2 = <small>[[Ricky Karanda Suwardi]]</small>
| date =
|image3 = Helmy Faishal Zaini, Secretary-general of Nahdlatul Ulama.jpg|caption3 = <small>[[Helmy Faishal Zaini]]</small>
| year =2003
|image4 = Arifin_C_Noer_speaking,_Festival_Film_Indonesia_(1982),_1983,_p15.jpg|caption4 = <small>[[Arifin C. Noer]]</small>}}
| url =
 
| accessdate = }}</ref>
|poptime=1.877.514 jiwa (sensus 2010) <ref name=":0"/>
|popplace=[[Jawa Barat]]
|population= '''± 2 juta'''
|langs=[[Bahasa Cirebon|Bahasa Cirebon (termasuk dialek Jawareh, Plered, Gegesik, Ciwaringin, Pakaleran, Indramayu, Pamanukan)]], [[Bahasa Sunda Cirebon|Bahasa Sunda dialek Cirebon]], [[Bahasa Indonesia]]
|popplace=[[Jawa Barat]]<br><small>([[Kabupaten Cirebon]], [[Kota Cirebon]])
|rels=[[Muslim ahli sunnah wal jama'ah]]
|langs=[[Bahasa Jawa Cirebon| Jawa Cirebon]], [[Bahasa Sunda|Sunda]], [[Bahasa Indonesia|Indonesia]]
|related=
|rels=[[Islam]]
|related= [[Orang Banyumasan|Jawa Banyumasan]], [[Suku Sunda|Sunda Priangan]], [[Suku Banten|Sunda Banten]]
}}
'''Orang Cirebon''' atau Suku Cirebon adalah kelompok etnis yang tersebar di sekitar [[Kota Cirebon]] dan [[Kabupaten Cirebon]], [[Kabupaten Indramayu]], [[Kabupaten Majalengka]] sebelah utara atau biasa disebut sebagai Wilayah "Pakaleran", [[Kabupaten Kuningan]] sebelah utara, [[Kabupaten Subang]] sebelah utara mulai dari Blanakan, Pamanukan, hingga Pusakanagara dan sebagian Pesisir utara [[Kabupaten Karawang]] mulai dari [[Pedes, Karawang|Pesisir Pedes]] hingga [[Cilamaya Wetan, Karawang|Pesisir Cilamaya]] di [[Jawa Barat|Provinsi Jawa Barat]] dan di sekitar [[Losari, Brebes|Kec. Losari]] di [[Kabupaten Brebes]], [[Provinsi Jawa Tengah]]. Berjumlah sekitar 1,9 juta, kebanyakan Orang Cirebon memeluk agama [[Islam]]. Bahasa yang dituturkan oleh orang Cirebon adalah gabungan dari [[Bahasa Jawa]], [[Bahasa Sunda|Sunda]], [[Bahasa Arab|Arab]] dan [[Bahasa China|China]] yang mereka sebut sebagai [[Bahasa Cirebon]].
 
'''Suku Cirebon''' adalah kelompok etnis keurunan jawa cirebonan (rumpun jawa banyumasan) yang tersebar di sekitar wilayah [[Kabupaten Cirebon]] dan [[Kota Cirebon]]. Menggunakan istilah Wong sebagai penanda keturunan jawa, dan Selain itu suku Cirebon juga dapat ditemui di [[Kabupaten Indramayu]], sebagian [[Kabupaten Majalengka]] (sebelah utara atau biasa disebut sebagai Wilayah "Pakaleran"), sebagian [[Kabupaten Subang]] sebelah utara mulai dari Blanakan, Pamanukan, hingga Pusakanagara dan sebagian Pesisir utara [[Kabupaten Karawang]] mulai dari [[Pedes, Karawang|Pesisir Pedes]] hingga [[Cilamaya Wetan, Karawang|Pesisir Cilamaya]] di [[Jawa Barat|Provinsi Jawa Barat]] dan di sekitar [[Losari, Brebes|Kec. Losari]] di [[Kabupaten Brebes]], provinsi [[Jawa Tengah]].
== Pengakuan Suku Tersendiri ==
 
Selain itu, Suku Cirebon tersebar di banyak provinsi-provinsi di Indonesia. Pada sensus penduduk 2010 Suku Cirebon berjumlah 1.877.514 jiwa, dengan 961.406 laki-laki dan 916.108 perempuan.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html|title=Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia|last=Na’im|first=Akhsan|date=Oktober 2011|website=Badan Pusat Statistik|access-date=20 Januari 2020}}</ref> Rasionya yaitu sekitar 0,79% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia pada tahun 2010 dari semua suku di Indonesia. Provinsi terbanyak yang terdapat suku Cirebon adalah Provinsi Jawa Barat (1.812.842 jiwa), Banten (41.645 jiwa), dan Lampung (8.406 jiwa). Sebanyak 1.425.272 jiwa (75,91%) bermukim di perkotaan dan 452.242 jiwa (25,09%) bermukim di pedesaan.<ref name=":0" /> Masyarakat Suku Cirebon memeluk agama [[Islam]]. Bahasa yang dituturkan oleh orang Cirebon adalah [[Bahasa Jawa]] mayoritas digunakan dalam percakapan sehari hari yang juga ada gabungan sedikit atau beberapa bahasa yakni dari [[Bahasa Sunda|Sunda]], [[Bahasa Arab|Arab]] dan [[Bahasa China|China]] yang mereka sebut sebagai [[Bahasa Cirebon]]an atau [[Bahasa Cirebon|Bahasa Jawa Dialek Cirebon]]<ref>{{Cite book|last=T.D.|first=Sudjana|date=2015|url=|title=Kamus Bahasa Cirebon|location=Bandung|publisher=Humaniora|isbn=978-979-9231-38-8|pages=xiv|url-status=live}}</ref>.Mereka juga memiliki dialek Bahasa Sunda tersendiri yang jarang dituturkan yang disebut [[Bahasa Sunda Cirebon]].<ref>{{Cite book|last=|first=Abdurrachman dkk.|date=1985|url=https://labbineka.kemdikbud.go.id/files/upload/bbs_ZEKBCRTN_1568726183.pdf|title=Struktur Bahasa Sunda Dialek Cirebon|location=Jakarta|publisher=Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|isbn=|pages=ix|url-status=live}}</ref>
 
== Kontroversi ==
 
=== Sempat ada pengakuan sebagai suku bangsa/etnis tersendiri ===
 
Pada mulanya keberadaan Etnis atau Orang Cirebon selalu dikaitkan dengan keberadaan Suku Sunda dan Jawa, tetapi kemudian eksistensinya mengarah pada pembentukan budaya tersendiri, mulai dari ragam batik pesisir yang tidak terlalu mengikuti pakem keraton jawa atau biasa disebut batik pedalaman hingga timbulnya tradisi-tradisi bercorak islam sesuai dengan dibangunnya keraton cirebon pada abad ke 15 yang berlandaskan islam 100%. eksistensi dari keberadaan suku atau orang cirebon yang menyebut dirinya bukan suku sunda ataupun suku jawa akhirnya mendapat jawaban dari sensus penduduk tahun 2010 di mana pada sensus penduduk tersebut tersedia kolom khusus bagi Suku bangsa Cirebon, hal ini berarti keberadaan suku bangsa cirebon telah diakui secara nasional sebagai sebuah suku tersendiri, menurut Erna Tresna Prihatin
 
=== Suku Cirebon sebagai etnisitas tersendiri ===
 
{{cquote|Indikator itu (Suku Bangsa Cirebon) dilihat dari bahasa daerah yang digunakan warga Cirebon tidak sama seperti bahasa Jawa atau Sunda. Masyarakat Cirebon juga punya identitas khusus yang membuat mereka merasa sebagai suku bangsa sendiri. Penunjuk lainnya yang mencirikan seseorang sebagai suku bangsa Cirebon adalah dari nama-namanya yang tidak seperti orang Jawa ataupun Sunda. Namun, belum ada penelitian lebih lanjut yang bisa menjelaskan tentang karakteristik identik tentang suku bangsa Cirebon. Untuk menelusuri kesukuan seseorang, hal itu bisa dilakukan dengan garis keturunan ayah kandungnya. Selain itu, jika orang itu sudah merasa memiliki jiwa dan spirit daerah itu (daerah suku bangsa cirebon) maka dia berhak merasa sebagai suku yang dimaksud}}
.<ref>Harthana, Timbuktu dan Ignatius Sawabi 2010. "Suku Bangsa Ini Bernama Cirebon". Kompas</ref>
 
== Jumlah Penduduk Suku Cirebon Berdasarkan Provinsi ==
Berikut merupakan jumlah penduduk Suku Cirebon di tiap provinsi di Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2010.<ref name=":0" />
{| class="wikitable"
|+
!No.
!Provinsi
!Jumlah Suku Cirebon
|-
|1.
|Aceh
|45
|-
|2.
|Sumatera Utara
|183
|-
|3.
|Sumatera Barat
|16
|-
|4.
|Riau
|284
|-
|5.
|Jambi
|281
|-
|6.
|Sumatera Selatan
|4.552
|-
|7.
|Bengkulu
|43
|-
|8.
|Lampung
|8.406
|-
|9.
|Bangka Belitung
|90
|-
|10.
|Kepulauan Riau
|45
|-
|11.
|DKI Jakarta
|5.825
|-
|12.
|Jawa Barat
|1.812.842
|-
|13.
|Jawa Tengah
|582
|-
|14.
|D I Yogyakarta
|29
|-
|15.
|Jawa Timur
|1.637
|-
|16.
|Banten
|41.645
|-
|17.
|Bali
|15
|-
|18.
|NTB
|7
|-
|19.
|NTT
|29
|-
|20.
|Kalimantan Barat
|225
|-
|21.
|Kalimantan Tengah
|16
|-
|22.
|Kalimantan Selatan
|126
|-
|23.
|Kalimantan Timur
|221
|-
|24.
|Sulawesi Utara
|13
|-
|25.
|Sulawesi Tengah
|8
|-
|26.
|Sulawesi Selatan
|27
|-
|27.
|Sulawesi Tenggara
|22
|-
|28.<br />
|Gorontalo
|3
|-
|29.<br />
|Sulawesi Barat
|2
|-
|30.
|Maluku
|19
|-
|31.
|Maluku Utara
|16
|-
|32.
|Papua Barat
|75
|-
|33.
|Papua
|185
|}
 
== Pandangan Hidup Suku Cirebon ==
Pada mulanya keberadaan Suku atau Orang Cirebon selalu dikaitkan dengan keberadaan Suku Sunda dan Jawa, namun kemudian eksistensinya mengarah pada pembentukan budaya tersendiri, mulai dari ragam batik pesisir yang tidak terlalu mengikuti pakem keraton jawa atau biasa disebut batik pedalaman hingga timbulnya tradisi-tradisi bercorak islam sesuai dengan dibangunnya keraton cirebon pada abad ke 15 yang berlandaskan islam 100%. eksistensi dari keberadaan suku atau orang cirebon yang menyebut dirinya bukan suku sunda ataupun suku jawa akhirnya mendapat jawaban dari sensus penduduk tahun 2010 dimana pada sensus penduduk tersebut tersedia kolom khusus bagi Suku Cirebon, hal ini berarti keberadaan suku cirebon telah diakui secara nasional sebagai sebuah suku tersendiri, menurut Erna Tresna Prihatin
 
Pandangan hidup suku Cirebon didasari dari implementasi adat istiadat yang didasarkan pada penjabaran hadis dan al-qur'an, diantara pandangan-pandangan hidup yang dipegang erat oleh masyarakat adat suku Cirebon adalah "''petatah-petitih''" ([[bahasa Indonesia]]: Pesan) dari Syekh Syarief Hidayatullah ([[Sunan Gunung Jati]])<ref>[http://m.liputan6.com/regional/read/2848057/kemiripan-5-pesan-sunan-gunung-jati-dengan-pancasila Prayitno, Panji. 2017. Kemiripan Lima Pesan Sunan Gunung Jati dengan Pancasila. [[Jakarta]]: Liputan 6]</ref> selain ''petatah-petitih'' titip ''tajug'' (mushala) dan fakir miskin (harus memakmurkan mushala dan merawat fakir miskin) yang sudah dikenal luas, masih ada beberapa ''petatah-petitih'' lainnya, diantaranya adalah lima pandangan hidup suku Cirebon yang memiliki kemiripan nilai dengan [[Pancasila]], yaitu
 
# ''Wedia Ning Allah'' (Takutlah Kepada Allah)
{{cquote|Indikator itu (Suku Cirebon) dilihat dari bahasa daerah yang digunakan warga Cirebon tidak sama seperti bahasa Jawa atau Sunda. Masyarakat Cirebon juga punya identitas khusus yang membuat mereka merasa sebagai suku bangsa sendiri. Penunjuk lainnya yang mencirikan seseorang sebagai suku Cirebon adalah dari nama-namanya yang tidak seperti orang Jawa ataupun Sunda. Namun, belum ada penelitian lebih lanjut yang bisa menjelaskan tentang karakteristik identik tentang suku Cirebon. Untuk menelusuri kesukuan seseorang, hal itu bisa dilakukan dengan garis keturunan ayah kandungnya. Selain itu, jika orang itu sudah merasa memiliki jiwa dan spirit daerah itu (daerah suku cirebon) maka dia berhak merasa sebagai suku yang dimaksud}}.<ref> Harthana, Timbuktu dan Ignatius Sawabi 2010. "Suku Bangsa Ini Bernama Cirebon". Kompas </ref>
# ''Gegunem Sifat Kang Pinuji'' (Mengusung sifat-sifat terpuji kemanusiaan)
# ''Den Welas Asih Ing Sapapada'' (Utamakan cinta kasih terhadap sesama)
# ''Angadahna Ing Pepadu'' (Jauhi Pertengkaran)
# ''Amapesa Ing Bina Batan'' (jangan serakah dalam hidup bersama)
 
== Bahasa ==
 
Dahulu [[Bahasa Cirebon]] ini digunakan dalam perdagangan di pesisir Jawa Barat mulai Cirebon yang merupakan salah satu pelabuhan utama, khususnya pada abad ke-15 sampai ke-17. Bahasa Cirebon dipengaruhi mayoritas budaya jawa dan pula oleh budaya Sunda karena keberadaannya yang berbatasan langsung dengan kebudayaanwilayah kultural Sunda, khususnya Sunda Kuningan dan Sunda Majalengka dan juga dipengaruhi oleh Budaya China, Arab dan Eropa hal ini dibuktikan dengan adanya kata "Taocang (Kuncir)" yang merupakan serapan China, kata "Bakda (Setelah)" yang merupakan serapan Bahasa Arab dan kemudian kata "Sonder (Tanpa)"<ref> name="Sudjana, TD 2005">Sudjana, TD. 2005. "Kamus Bahasa Cirebon". Bandung : Humaniora Utama Press </ref> yang merupakan serapan bahasa eropa (Belanda). Bahasa Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno [[bahasa Jawa]] seperti kalimat-kalimat dan pengucapan, misalnya ingsun (saya) dan sira (kamu) yang sudah tak digunakan lagi oleh [[bahasa Jawa]] Baku.
 
=== Perdebatan Bahasa Cirebon (Dialek Bahasa Jawa atau Bahasa Mandiri) ===
[[Berkas:Reynan-Carakan-gamel.jpg|jmpl|300px|Aksara Carakan Cirebon gaya [[Gamel, Plered, Cirebon|Gamel]] pada proposal dewan adat [[Gamel, Plered, Cirebon|Gamel]], dibagian atas tertulis dengan Carakan Cirebon gaya Gamel yang bunyinya "waringin rungkad" artinya secara harafiah adalah<br><br>Wari Ngin Rug Kad<br><br>Wari (air) pada masa lalu air itu bening = Kalam = Elmu<br>Ngin = Angin = Nafas = Kehidupan<br><br>Rungkad (Ru' Kad)<br><br>Ru' = Jiwa<br>Kad = Pekerja (Badaniya) <br><br>"Ilmu Kehidupan yang mengisi Jiwa dan Raga" yang merupakan salah satu nilai pegangan masyarakat [[Gamel, Plered, Cirebon|desa Gamel]], [[Plered, Cirebon|kecamatan Plered]], [[kabupaten Cirebon]]]]
 
Perdebatan tentang Bahasa Cirebon sebagai Sebuah Bahasa yang Mandiri terlepas dari Bahasa Sunda dan Jawa telah menjadi perdebatan yang cukup Panjang, serta melibatkan faktor Politik Pemerintahan, Budaya serta Ilmu Kebahasaan.
Baris 35 ⟶ 197:
==== Bahasa Cirebon Sebagai Sebuah Dialek Bahasa Jawa ====
 
Penelitian menggunakan kuesioner sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar (makan, minum, dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter menunjukkan perbedaan kosa katakosakata bahasa Cirebon dengan bahasa Jawa Mataraman di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 7524 persen,untuk bahasa cirebon dan Bahasa Jawa ngapak memiliki kemiripan 90 %, sementara perbedaannya dengan dialek Jawa arekan di Jawa Timur mencapai 7625 persen.<ref name="PR">[http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetailUntuk persamaan dengan Jawa Tengah &id=132798 Yogyakarta sebanyak 76%20 Menimbang-nimbangsedangkan Bahasapersamaan Cirebon](Edisidengan TahunJawa 2009)</ref>Timur sebanyak 75%. Untuk diakui sebagai sebuah dialek bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.<ref name="PR"/>
 
Meski kajian Linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa Cirebon ”hanyalah” dialek (Karena Penelitian Guiter mengatakan harus berbeda sebanyak 80% dari Bahasa terdekatnya), namuntetapi sampai saat ini '''Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003''' masih tetap mengakui Cirebon sebagai bahasa dan bukan sebagai sebuah dialek. Dengan kata lain, belum ada revisi terhadap perda tersebut. Menurut Kepala Balai Bahasa Bandung Muh. Abdul Khak, hal itu sah-sah saja karena perda adalah kajian politik. Dalam dunia kebahasaan menurut dia, satu bahasa bisa diakui atas dasar tiga hal. Pertama, bahasa atas dasar pengakuan oleh penuturnya, kedua atas dasar politik, dan ketiga atas dasar Linguistik.
Bahasa atas dasar politik, contoh lainnya bisa dilihat dari sejarah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang sebenarnya berakar dari bahasa Melayu, seharusnya dinamakan bahasa Melayu dialek Indonesia. Namun, atas dasar kepentingan politik, akhirnya bahasa Melayu yang berkembang di negara Indonesia –oleh pemerintah Indonesia– dinamakan dan diklaim sebagai bahasa Indonesia. Selain alasan politik, pengakuan Cirebon sebagai bahasa juga bisa ditinjau dari batasan wilayah geografis dalam perda itu. Abdul Khak mengatakan, Cirebon disebut sebagai dialek jika dilihat secara nasional dengan melibatkan bahasa Jawa.
Artinya, ketika perda dibuat hanya dalam lingkup wilayah Jabar, Cirebon tidak memiliki pembanding kuat yaitu bahasa Jawa. Apalagi, dibandingkan dengan bahasa Melayu Betawi dan Sunda, Cirebon memang berbeda dari suku Jawa pada umumnya juga dengan suku lain. Cirebon itu unik.<ref> name="Amaliya 2010">Amaliya. 2010. Alasan Politiklah Sebabnya. Bandung : Pikiran Rakyat </ref>
 
==== Bahasa Cirebon sebagai Bahasa Mandiri ====
 
Revisi Perda, sebenarnya memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan terbesar yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa Cirebon, yang tidak mau disebut orang Jawa maupun orang Sunda. Ketua '''''Lembaga Basa lan Sastra Cirebon''''' Nurdin M. Noer mengatakan, bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa Ngapak dan sebagian kosakata Sunda. Meskipun dalam percakapan orang Cirebon masih bisa memahami sebagianbanyak kosakata pada bahasa Jawa Ngapak umumnya, dia mengatakan kosakata bahasa Jawa dialek Cirebon terus berkembang tidak hanya ”mengandalkan” kosa katakosakata dari bahasa Jawa maupunpada umumnya apalagi Sunda.
::”Selain itu, bahasa Cirebon sudah punya banyak dialek. Contohnya saja dialek Plered, Jaware, dan Dermayon,” ujarnya. Jika akan dilakukan revisi atas perda tadi, kemungkinan besar masyarakat bahasa Cirebon akan memprotes.
Pakar Linguistik Chaedar Al Wasilah pun menilai, dengan melihat kondisi penutur yang demikian kuat, revisi tidak harus dilakukan. justru yang perlu dilakukan adalah melindungi bahasa Cirebon dari kepunahan..<ref> name="Amaliya. 2010. Alasan Politiklah Sebabnya. Bandung : Pikiran Rakyat <"/ref>
 
===== Pendekatan Lauder dalam dialektometri =====
=== Kosakata ===
 
Selama ini bahasa Cirebon dianggap sebagai dialek dari bahasa Jawa dikarenakan beberapa pihak yang menginginkan Cirebon tetap menjadi bagian dari budaya Jawa hanya berpegang pada penelitian model Guiter saja yang mengharuskan perbedaan antar kedua subjek bahasa sebesar 80%, tetapi jika menggunakan pendekatan Lauder, pendekatan ini mengkritisi jumlah persentase yang diajukan guiter yaitu sebesar 80% karena menurut Lauder, cukup 70% saja dalam kajian dialektometri bagi sesuatu untuk dikatakan sebagai "bahasa" yang Mandiri.
Sebagian besar kosa kata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik. Memang bahasa Cirebon yang dipergunakan di Cirebon dengan di Indramayu itu meskipun termasuk bahasa Jawa, mempunyai perbedaan cukup besar dengan “bahasa Jawa baku”, yaitu bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang berpegang kepada bahasa Jawa Solo. Dengan demikian, sebelum 1970-an, buku-buku pelajaran dari Solo tak dapat digunakan karena terlalu sukar bagi para murid (dan mungkin juga gurunya). Oleh karena itu, pada 1970-an, buku pelajaran itu diganti dengan buku pelajaran bahasa Sunda yang dianggap akan lebih mudah dimengerti karena para pemakai bahasa Sunda “lebih dekat”. Akan tetapi, ternyata kebijaksanaan itu pun tidak tepat sehingga muncul gerakan untuk menggantinya dengan buku dalam bahasa yang digunakan di wilayahnya, yaitu Bahasa Jawa dialek Cirebon. <ref> Rosidi, Ajip. 2010. "Bahasa Cirebon dan Bahasa Indramayu". : Pikiran Rakyat </ref> namun penerbitan buku penujang pelajaran bahasa daerah yang terjadi tahun selanjutnya tidak mencantumkan kata "Bahasa Jawa dialek Cirebon" lagi, akan tetapi hanya menggunakan kata "Bahasa Cirebon" hal ini seperti yang telah dilakukan pada penerbitan buku penunjang pelajaran bahasa cirebon pada tahun 2001 dan 2002. "Kamus Bahasa Cirebon" yang ditulis oleh almarhum bapak Sudjana sudah tidak mencantumkan Kata "Bahasa Jawa dialek Cirebon" namun hanya "Kamus Bahasa Cirebon" begitu juga penerbitan "Wyakarana - Tata Bahasa Cirebon" pada tahun 2002 yang tidak mununjukan lagi keberadaan Bahasa Cirebon sebagai bagian dari Bahasa Jawa, namun menunjukan eksistensi Bahasa Cirebon sebagai bahasa yang mandiri.
.
Lauder, sudah menggunakan metode yang lazim dan umum dilakukan dalam kajian dialektologi terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, yaitu metode dialektometri, hanya yang menarik dari pandangannya itu ialah usulannya tentang modifikasi kategori persentase perbedaan unsur kebahasaan untuk menyebutkan suatu isolek sebagai bahasa atau dialek yang diajukan oleh Guiter, Guiter menitik beratkan perbedaan kebahasaan harus sekitar 80%. Menurutnya, persentase untuk dianggap beberapa isolek sebagai bahasa yang berbeda, jika perbedaannya di atas 80% tterlalu tinggi untuk bahasa-bahasa di Indonesia. Karena kategori kajian guiter itu dibangun di atas data bahasa-bahasa Barat (eropa dan sejenisnya), karena itu perlu dimodifikasi. Kenyatan lain, menurutnya, ialah berdasarkan hasil penelitian berbagai bahasa daerah di Indonesia memperlihatkan perbedaan antara bahasa yang satu dengan yang lainnya hanya sekitar 65%–70% saja, di mana perbedaan kosakata antara Bahasa Jawa Cirebon dengan Bahasa Jawa lainnya adalah hanya sekitar 24-25% saja yang dalam pendekatan Lauder dianggap belum bisa menjadi sebuah bahasa mandiri dikarenakan menurut Lauder harus butuh kurang lebih setidaknya 70% perbedaan.<ref>Kawi, Djantera. 2002. Peneltian,kekerabatan dan pemetaan bahasa-bahasa daerah di Indonesia: provinsi Kalimantan Timur. [[Jakarta]]:Departemen Penddikan Nasional</ref>
 
=== Kosakata ===
 
Sebagian besar kosakata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik. Memang bahasa Cirebon yang dipergunakan di Cirebon dengan di Indramayu itu meskipun termasuk bahasa Jawa, mempunyai perbedaan cukup besar dengan “bahasa Jawa baku” namun memiliki kesamaan dengan bahasa jawa ngapak.untuk bahasa jawa pada umumnya yaitu bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang berpegang kepada bahasa Jawa Solo. Dengan demikian, sebelum 1970-an, buku-buku pelajaran dari Solo tak dapat digunakan karena terlalu sukar bagi para murid (dan mungkin juga gurunya). Oleh karena itu, pada 1970-an, buku pelajaran itu diganti dengan buku pelajaran bahasa Sunda yang dianggap akan lebih mudah dimengerti karena para pemakai bahasa Sunda “lebih dekat”. Akan tetapi, ternyata kebijaksanaan itu pun tidak tepat sehingga muncul gerakan untuk menggantinya dengan buku dalam bahasa yang digunakan di wilayahnya, yaitu Bahasa Jawa dialek Cirebon.<ref>Rosidi, Ajip. 2010. "Bahasa Cirebon dan Bahasa Indramayu".: Pikiran Rakyat</ref> namun penerbitan buku penujang pelajaran bahasa daerah yang terjadi tahun selanjutnya tidak mencantumkan kata "Bahasa Jawa dialek Cirebon" lagi, akan tetapi hanya menggunakan kata "Bahasa Cirebon" hal ini seperti yang telah dilakukan pada penerbitan buku penunjang pelajaran bahasa cirebon pada tahun 2001 dan 2002. "Kamus Bahasa Cirebon" yang ditulis oleh almarhum bapak Sudjana sudah tidak mencantumkan Kata "Bahasa Jawa dialek Cirebon" namun hanya "Kamus Bahasa Cirebon".
 
==== Perbandingan Bahasa Cirebon Bagongan (Bahasa Rakyat) ====
 
Berikut merupakan perbandingan antara bahasa Cirebon dengan bahasa lainnya yang dianggap serumpun, yaitu bahasa Jawa Serang (Jawa Banten), Bahasa Jawa dialek Tegal dan Pemalangan serta Bahasa Jawa Baku (dialek Surakarta - Yogyakarta) dalam level ''Bagongan atau Bahasa Rakyat''.
<br />
{| class="wikitable sortable" width="100%"
! Banten Utara
! Cirebonan & Dermayon<ref> name=salana>Salana. 2002. "Wyakarana : Tata Bahasa Cirebon". Bandung : Humaniora Utama Press </ref>
! Banyumasan
! Tegal, Brebes
! Pemalang
! Kedu (wilayah [[Karanganyar, Kebumen|Purworejo]])
! Solo/Jogja
! Surabaya
! Indonesia
|-
| kitakite
| kita/reang/isun
| inyong/nyong
| inyong/nyong
| nyong
| nyong/kulo
| aku
| Kulo,reyang,isun,kito,aku,dalem
| aku/saya
|-
| sire
| siraSira
| rika
| koenkowen
| koe
| kowe
| kowe
| koen,riko,peno,ndiko
| kamu
|-
Baris 90 ⟶ 263:
| nemen/temen
| nemen/temen/teo
| temen
| tenan
| men,saestu,
| sangat
|-
| keprimen
| kepriben/kepriwekepriwen
| kepriwe
| kepriben/priben/pribe
| keprimen/kepriben/primen/prime/priben/pribe
| Kepriye
| piye/kepriye
| piye/kepiye
| yaopo,kadospundi
| bagaimana
|-
Baris 105 ⟶ 282:
| ora
| ora/belih
| ora
| ora
| ora
| gak,mboten,
| tidak
|-
| rabi
| rabi
| bojo
| bojo
| bojo
| bojo
| bojo
| bojo,garwo,estri
| istri
|-
| manjing
Baris 115 ⟶ 304:
| manjing/mlebu
| mlebu
| mlebu
| mlebu,mlebet
| masuk
|-
Baris 123 ⟶ 314:
| pan/pen/ape/pak
| arep
| arep
| katene, kapene,arepe
| akan
|-
Baris 131 ⟶ 324:
| kadi/kading
| seko
| seko
| teko,tekan,soko,saking
| dari
|}
Baris 136 ⟶ 331:
=== Dialek Bahasa Cirebon ===
 
Menurut Bapak Nurdin M. Noer Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon, Bahasa Cirebon memiliki setidaknya ada beberapa dialek, yakni Bahasa Cirebon dialek Dermayon atau yang dikenal sebagai Bahasa Indramayuan, Bahasa Cirebon dialek Jawareh (Jawa Sawareh) atau Bahasa Jawa Separuh, Bahasa Cirebon dialek Plered dan dialek Gegesik (Cirebon Barat wilayah Utara).
 
==== Bahasa Cirebon dialek Jawareh (Jawa Sawareh) ====
 
Dialek Jawareh atau disebut juga sebagai Jawa Sawareh (separuh) merupakan dialek dari Bahasa Cirebon yang berada disekitar perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Brebes, atau sekitar Perbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kuningan. Dialek Jawareh ini merupakan gabungan dari separuh Bahasa Jawa dan separuh bahasa Sunda. <ref> Nieza. name="Jalan-Jalan Ke Cirebon Sega Jamblang Sampai Batik Trusmiannieza" : PT Gramedia Pustaka Utama </ref>
 
==== Bahasa Cirebon dialek Arjawinagun ====
Dialek Arjawinangun merupakan dialek yang dituturkan oleh masyarakat Cirebon di daerah sekitar Desa Arjawinangun, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon. Dialek ini cenderung masih asli dan tidak terpengaruh bahasa lain meskipun tidak bisa dikategorikan sebagai bahasa Cirebon yang baku. Dialek ini juga merupakan dialek yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di Kota Cirebon.<ref name=":02">{{Cite journal|last=Diniyah|first=Dini Zahrotud|year=2016|title=VISUALISASI SPASIAL BAHASA DAN DIALEK DI KOTA CIREBON JAWA BARAT|url=http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/viewFile/854/827|journal=Jurnal Bumi Indonesia|volume=5|issue=4|pages=|doi=|access-date=2020-09-08|archive-date=2019-06-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20190627002757/http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/viewFile/854/827|dead-url=yes}}</ref>
 
==== Bahasa Cirebon dialek Dermayon ====
Baris 146 ⟶ 344:
Dialek Dermayon merupakan dialek Bahasa Cirebon yang digunakan secara luas di wilayah Kabupaten Indramayu, menurut Metode Guiter, dialek Dermayon ini memiliki perbedaan sekitar 30% dengan Bahasa Cirebon sendiri. Ciri utama dari penutur dialek Dermayon adalah dengan menggunakan kata "Reang" sebagai sebutan untuk kata "Saya" dan bukannya menggunakan kata "Isun" seperti halnya yang digunakan oleh penutur Bahasa Cirebon.
 
==== Bahasa Cirebon dialek Plered dan Lor (Cirebon Barat dan Utara) ====
 
Dialek Plered dan Lor merupakan dialek Bahasa Cirebon yang digunakan di wilayah sebelah barat dan utara [[Kabupaten Cirebon]], serta [[Krangkeng, Indramayu]]. Dialek ini dikenal dengan cirinya yaitu penggunaan huruf "o" yang kental, misalkan pada Bahasa Cirebon standar menggunakan kata "Sira", dialek Kabupaten Cirebon bagian Barat dan Utara ([[Kapetakan, Cirebon|Kapetakan]],[[Suranenggala, Cirebon|Suranenggala]]) dan [[Krangkeng, Indramayu]] ini menggunakan kata "Siro" untuk mengartikan "Kamu", kata "Apa" menjadi "Apo", Ora menjadi "Oro", Gawa (membawa) menjadi "Gawo", Sapa menjadi "Sapo", dan Jendela menjadi "Jendelo". Penutur dialek yang menempati kawasan barat dan Utara [[Kabupaten Cirebon]] ini lebih mengekspresikan dirinya dengan sebutan '''''"Wong Cirebon"''''', berbeda dengan Penduduk Kota Cirebon yang menggunakan Bahasa Cirebon standar (Sira) yang menyebut diri mereka sebagai '''''"Tiang Grage"''''', walaupun antara "Wong Cirebon" dan "Tiang Grage" memiliki arti yang sama, yaitu "Orang Cirebon" <ref name="nieza">Nieza. "Jalan-Jalan Ke Cirebon Sega Jamblang Sampai Batik Trusmian": PT Gramedia Pustaka Utama</ref>
 
==== Bahasa Cirebon dialek Gegesik (Cirebon Barat wilayah Utara) ====
Dialek Plered merupakan dialek Bahasa Cirebon yang digunakan di wilayah sebelah barat [[Kabupaten Cirebon]], dialek ini dikenal dengan cirinya yaitu penggunaan huruf "o" yang kental, misalkan pada Bahasa Cirebon standar menggunakan kata "Sira", dialek Kabupaten Cirebon bagian Barat ini menggunakan kata "Siro" untuk mengartikan "Kamu", kata "Apa" menjadi "Apo" dan Jendela menjadi "Jendelo". "jadi misalkan ingin mengatakan bahwa anak saya masuk teka menjadi anak kita manjing ning teko". selain itu cirebon dialek plered mempunyai aksen tersendiri seperti menggunakan kata tambahan jeh atau tah pada setiap percakapan. Penutur dialek yang menempati kawasan barat [[Kabupaten Cirebon]] ini lebih mengekspresikan dirinya dengan sebutan '''''"Wong Cirebon"''''', berbeda dengan Penduduk Kota Cirebon yang menggunakan Bahasa Cirebon standar (Sira) yang menyebut diri mereka sebagai '''''"Tiang Grage"''''', walaupun antara "Wong Cirebon" dan "Tiang Grage" memiliki arti yang sama, yaitu "Orang Cirebon" <ref> Nieza. "Jalan-Jalan Ke Cirebon Sega Jamblang Sampai Batik Trusmian" : PT Gramedia Pustaka Utama </ref>
 
Dialek Gegesik merupakan dialek yang digunakan di wilayah Cirebon Barat wilayah Utara disekitar Kecamatan Gegesik, Bahasa Cirebon dialek Gegesik sering digunakan dalam bahasa pengantar Pewayangan oleh Dalang dari Cirebon dan kemungkinan dialek ini lebih halus ketimbang dialeknya "wong cirebon" sendiri.<ref>Noer, Nurdin M. "Wayang Kulit Di Mata Matthew Isaac Cohen": Pikiran Rakyat</ref>
==== Bahasa Cirebon dialek Gegesik (Cirebon Barat wilayah Utara)====
 
Namun di Kecamatan Gegesik sendiri tiap Desa memiliki dialeknya masing-masing. Ada dialek Jagapura, Slendra, Bayalangu, Kaliwedi (sebelum pemekaran wilayah). Kata yang sama, diucapkan dengan intonasi yang berbeda. Contoh dialek Jagapura bisa disimak dalam lakon Baridin Ratminah karya Putra Sangkala Pimpinan H. Abdul Adjib. Pengaruh dialek ini luas hingga ke pesisir utara Cirebon & Indramayu serta sebagian Subang, Karawang hingga Bekasi. Dialek Jagapura bisa dicerna dengan mudah oleh masyarakat Indramayu, Subang, Karawang daripada oleh masyarakat Cirebonnya sendiri.
Dialek Gegesik merupakan dialek yang digunakan di wilayah Cirebon Barat wilayah Utara disekitar Kecamatan Gegesik, Bahasa Cirebon dialek Gegesik sering digunakan dalam bahasa pengantar Pewayangan oleh Dalang dari Cirebon dan kemungkinan dialek ini lebih halus ketimbang dialeknya "wong cirebon" sendiri. <ref>Noer, Nurdin M. "Wayang Kulit Di Mata Matthew Isaac Cohen" : Pikiran Rakyat </ref>
 
==== Perbandingan Dialek Bahasa Cirebon ====
Baris 158 ⟶ 358:
{| class="wikitable sortable"
|-
! Bahasa Cirebon Baku
!Dialek Arjawinangun!! Dialek Indramayu !! Dialek Plered
!Dialek Gegesik!!Dialek Ciwaringin!!Indonesia
|-
|Ana (Bagongan)
|Ana||Ana||Ano
|Ana||Ana||Ada
|-
|Apa (Bagongan)
|Apa||Apa||Apo
|Apa||Apa||Apa
|-
|Bapak (Bagongan)||Bapak||?||Bapa / Mama|| Bapak
|Bapa / Mama||Bapak||Mama'/Bapa
|Bapa / Mama||Bapa / Mama|| Bapak
|-
|Beli (Bagongan)
|Beli / Ora||Ora||BleBeli
|Bli/ora||Bli / Ora||Tidak
|-
|Dulung (Bagongan)
|Dulang||Dulang||DulungDulang
|Muluk||Muluk||Suap (Makan)
|-
|Elok (Bagongan)
|Lok|| Sokat|| Lok
|Sok||Sok|| Pernah
|-
|Isun (Bagongan)
|Isun / Kita||Reang||Isun
|Isun / Kita||Isun / Kita||Saya
|-
|Kula (Bebasan)
|Kula||Kula||Kulo
|Kula||Kula||Saya
|-
|Lagi apa? (Bagongan)
|Lagi apa?||Lagi apa?||lagi apo?
|Lagi Apa||Lagi Apa||Sedang apa?
|-
|Laka (Bagongan)
|Laka / Langka||Laka||Lako/Langko
|Laka||Laka|| Tidak ada
|-
|Paman (Bagongan)
|Mamang||Paman||Paman
|Mang|| Mang || Paman
|-
|Salah (Bagongan)
|Salah||Salah||Salo
|Salah|| Salah||Salah
|-
|Sewang (Bagongan)
|Sewong||Sewong||Sawong
| -||-||Seorang (Masing-masing)
|-
|Sokiki (Bagongan)
|Kiki / Sokiki
|Kiki / Sokiki
|Kiki / Sokiki
|Mengke
|Kiki / Sokiki
|Besok
|}
 
== Sistem Penanggalan ==
 
Sistem penanggalan yang ada di Cirebon mengadopsi sistem penanggalan [[Jawa]]<ref name=salana/> yang merupakan hasil pembicaraan antara [[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung Mataram]] dengan para ulama Islam, ''Tanggalan Jawa'' (bahasa Indonesia: Kalender Jawa) yang digunakan di Cirebon tidak sama percis dengan yang ada di Jawa, tetapi memiliki beberapa perbedaan dari segi penamaannya yang disesuaikan dengan adat dan tradisi Cirebon.
<br>
{| class="wikitable sortable"
! -
! [[Kalender Hijriyah]]<br>(Arab)
! [[Kalender Jawa]]
! Kalender Cirebon
! Kalender Cirebon<br> (Indramayu)
! Kalender Cirebon<br> (Cilamaya)
|-
| 1
| [[Muharram]]
| Suro
| Sura
| Sura
| Sura
|-
| 2
| [[Safar]]
| Sapar
| Sapar
| Bala
| Sapar
|-
| 3
| [[Rabiul awal]]
| Mulud
| Mulud
| Mulud
| Mulud
|-
| 4
| [[Rabiul akhir]]
| Bakda Mulud
| Sawal Mulud
| Sawal Mulud
| Sili Mulud
|-
| 5
| [[Jumadil awal]]
| [[Jumadilawal|Jumadil Awal]]
| Jumadil Awal
| Jumadil Awal
| Jumadil Awal
|-
| 6
| [[Jumadil akhir]]
| [[Jumadilakir|Jumadil Akir]]
| Jumadil Akhir
| Jumadil Akir
| Jumadil Akhir
|-
| 7
| [[Rajab]]
| [[Rejeb]]
| Rejep
| Rajab
| Rejep
|-
| 8
| [[Sya'ban]]
| Ruwah
| Rowa
| Rowah
| Rowa
|-
| 9
| [[Ramadhan]]
| Pasa
| Puwasa
| Puwasa
| Puwasa
|-
| 10
| [[Syawal]]
| [[Sawal]]
| Sawal
| Sawal
| Sawal
|-
| 11
| [[Dzulkaidah]]
| [[Sela]] / Apit
| Kapit
| Kapit
| Hapit
|-
| 12
| [[Dzulhijjah]]
| Besar
| Raya Agung
| Rayagung
| Raya Agung
|-
|}
 
=== Tradisi yang bertepatan dengan ''Tanggalan'' ===
 
* '''''Bubur Sura''''', tradisi ''bubur sura'' dilakukan dilakukan diawal tahun baru Islam yaitu pada bulan [[Muharram]] yang dalam sistem penanggalan di Cirebon disebut bulan ''Sura'', dalam persfektif Cirebon, awal tahun haruslah digunakan untuk introspeksi diri (bahasa Arab: muhasabah), memperbanyak sedekah, berbagi dan mempererat tali silaturahmi, pada hari kesepuluh bulan [[Muharram]] atau yang dikenal sebagai hari ''As-Sura'' setelah selesai melaksanakan puasa sunah di bulan [[Muharram]], masyarakat Cirebon membuat ''bubur Sura'' sebagai bentuk untuk memperbanyak sedekat, berbagi dan mempererat tali silaturahmi. ''Bubur Sura'' merupakan bubur yang dibuat dari tepung beras dengan santan yang berisi sayuran, daging dan telor, warna putih dari ''bubur Sura'' dalam persfektif Cirebon melambangkan kesucian sementara taburan lauk pauknya melambangkan kegembiraan masyarakat Cirebon dalam menyambut tahun yang baru dengan saling bersedekah, berbagi dan mempererat tali silaturahmi.<ref>Sardiman. 2008. Sejarah 2 - Ilmu Pengetahuan Sosial. [[Jakarta]]: Yudhistira Ghalia Indonesia</ref>
* '''''Panjang Jimat''''', tradisi ''Panjang Jimat'' dalam persfektif Cirebon berasal kata ''panjang'' (bahasa Indonesia: terus menerus), ''siji'' (bahasa Indonesia: satu) dan ''rumat'' (bahasa Indonesia: pelihara) yang berarti "satu hal yang terus menerus harus dipelihara" dan bagi masyarakat Cirebon satu hal tersebut adalah ''Keislaman'' yang diwujudkan dari terus memegang teguh esensi dari dua kalimat ''syahadat''. Disebabkan pusaka-pusaka yang ada di keraton-keraton Cirebon berkaitan dengan dakwah [[Islam]] maka pusaka-pusaka tersebut dibersihkan ([[bahasa Cirebon]]: angumbah gaman) pada bulan mulud karena pada bulan inilah rasul dilahirkan dan menjadi pembawa kesempurnaan bagi [[Islam]], tradisi ini berbeda dengan tradisi di keraton-keraton [[Jawa]] di mana keraton [[Jawa]] biasa membersihkan pusakanya pada bulan [[Suro]] dan bukan pada bulan ''Mulud'' seperti yang dilakukan di Cirebon. Bagi [[kesultanan Kasepuhan]] misalnya, benda pusaka yang paling berharga bukanlah ''kereta kencana'' atau ''keris'' melainkan piring-piring yang bertahtakan kaligrafi arab yang dibawa oleh [[Sunan Gunung Jati]] langsung dari Mekah<ref>[http://travel.detik.com/read/2015/01/05/085123/2793811/1519/inilah-benda-paling-pusaka-di-keraton-kasepuhan-cirebon 2015. Inilah Benda Paling Pusaka di Keraton Kasepuhan Cirebon. Detik Travel]</ref> Oleh sebab itu dalam [[bahasa Cirebon]] dikenal kata ''Panjang'' untuk menyebutkan piring dan ''Jimat'' untuk menyebutkan ''nasi berserta lauk pauknya.
 
== Keluarga ==
 
Berikut penyebutan nama anggota keluaga dalam [[bahasa Cirebon]]
 
{| class="wikitable sortable"
! -
! Ayah
! Bunda
! Anak Laki-laki
! Kakak Laki-laki
! Adik Laki-laki
! Anak Perempuan
! Kakak Perempuan
! Adik Perempuan
! Kakek
! Nenek
! Kakak ayah dan ibu
! Orang tua nenek dan kakek
|-
| Cirebon (Bagongan)
| Mama
| Mimi
| Kacung
| Aang
| Ari
| Nok
| Yayu
| Nok
| Aki
| Nini
| Wa / Uwa
| Yut / Uyut
|-
| Cirebon (Bebasan)
| Rama
| Mimi
| Kacung
| Kakang / Raka (Raka diserap dari [[Jawa]])
| Rayi
| Nok
| Yayu
| Yayi
| Ki
| Nini
| Wa / Uwa
| Yut / Uyut
|-
| dialek Dermayu
| Bapa
| Mak
| Senang / Enang
| Akang
| Adi
| Nok
| Yayu
| Nok
| Bapa tuwa
| Mak tuwa
| Wa / Uwa
| Yut / Uyut
|-
| dialek Plered sub-dialek Lor (Depok)
| Mama / Mamo
| Mimi
| Lanang
| Aang / Kakang lanang
| Kacung / Adi lanang
| Wadon
| Yayu / Kakang Wadon
| Nok / Adi Wadon
| Mama tuwa / Bapa tuwa / Bapo tuwo
| Mimi tuwa / Mbok tuwa / Mbok tuwo
| Uwa
| Buyut
|-
| dialek Plered sub-dialek Kidul (Plumbon)
| Mama / Mamo
| Mimi
| Lanang
| Aang / Kakang lanang
| Kacung / Adi lanang
| Wadon
| Yayu / Kakang Wadon
| Nok / Adi Wadon
| Mama gede / Mamo gede (Made)
| Mimi gede (Mide)
| Uwo / Uwa
| Buyut
|}
 
== Adat ==
 
=== Adat memasang ''Manggar'' ===
[[Berkas:Hardian-Manggar-Lemahabang.jpg|jmpl|300px|''Kembang Manggar'' sebagai hiasan pernikahan adat masyarakat Cirebon]]
 
Adat memasang ''Manggar'' (bahasa Indonesia: bunga Kelapa) merupakan sebuah adat Cirebonan yang juga dilakukan oleh budaya-budaya lain di pesisir, seperti budaya di pesisir Demak dan Semarang serta budaya [[Betawi]] di mana ''Manggar'' menjadi bagian yang terpisahkan.
 
Pada adat Semarang misalnya, dalam sebuah prosesi arak-arakan pengantin, mempelai prianya diarak dengan dengan diapit oleh hiasan ''kembang Manggar'', dua orang pembawa hiasan ''kembang Manggar'' pada bagian paling depan arak-arakan dan dua orang lainnya tepat di belakang barisan pembawa payung pengantin, makna dari penggunaan ''kembang Manggar'' adalah pada masa dahulu, Pengantin Semarangan memakai ''kembang Manggar'' asli (bahasa Indonesia: bunga kelapa), maksudnya adalah agar kedua mempelai disenangi oleh masyarakat dikarenakan semua orang pasti senang dengan bunga. ''Manggar'' adalah bunga kelapa, seperti diketahui bahwa pohon kelapa disebut ''Glugu'', maksudnya agar kedua mempelai berlaku ''lugu'' (bahasa Indonesia: jujur), batang pohon kelapa mesti lurus, tidak ada pohon kelapa yang bercabang. Kalau ada pohon kelapa bercabang dikatakan “ajaib”, maksudnya agar kedua mempelai hatinya tidak cabang kesana kemari. Tetap dan satu pendirian. Tidak menyembunyikan sesuatu masalah. Kalau ada masalah harus dipecahkan bersama antara suami dan isteri.<ref>{{Cite web |url=http://www.semarangkota.go.id/main/menu/38/tempo-doeloe/sejarah-pakaian-adat |title=Pemerintah Daerah Kota Semarang - Sejarah Pakaian Adat |access-date=2015-10-07 |archive-date=2017-05-01 |archive-url=https://web.archive.org/web/20170501021824/http://semarangkota.go.id/main/menu/38/tempo-doeloe/sejarah-pakaian-adat |dead-url=yes }}</ref>
 
Pendekatan filosofi yang sama juga diberlakukan di Cirebon, bagi Cirebon "kembang Manggar" adalah sebuah permulaan yang manis dari bentuknya yang sederhana, sebelum menjadi buah kelapa terlebih dahulu ada ''kembang Manggar'', bahkan sebelum buah kelapa yang manis ada, kembang ini rasanya sudah manis jika disadap airnya, maka "nira" hasil sadapan ''Manggar'' bisa menghasilkan gula yang rasanya manis, sehingga dari awal hingga akhir, ''Manggar'' memberikan kenikmatan dari rasa manis kepada siapapun.
 
Pada budaya Cirebon, seperti halnya pada budaya Betawi dan Semarang, ''kembang Manggar'' diwujudkan dalam bentuk hiasan dari kertas warna-warni yang dililit pada lidi atau bilah bambu, warna-warni ''manggar'' melambangkan keceriaan, manggar yang penuh dengan warna dipasang di sebagai pembuka jalan arak-arakan atau sebagai hiasan pernikahan, filosofi "manggar sederhana, manis dan ceria" inilah yang dijadikan sebagai landasan budaya bagi masyarakat pesisir khususnya Cirebon. Sederhana dalam persfektif ini adalah tidak memaksakan untuk mengada-adakan sesuatu atau bahkan sampai berhutang dalam membuat acara seperti arak-arakan, pernikahan dan lainnya.
 
=== Adat menyiapkan ''Pandesan'' (gentong air wudhu) ===
[[Berkas:Padesan-Sitiwinangun.jpg|jmpl|300px|''Pandesan'' (gentong air wudhu) yang digunakan sebagai gerbang taman pada rumah orang tua dalang Ade Irfan (dalang [[tari Topeng Cirebon|tari Topeng Cirebon gaya Palimanan]]) di jalan Pesantren gang ''Singalengan'', ''blok'' lepet, [[Cikeduk, Depok, Cirebon|desa Cikeduk]], [[Depok, Cirebon|kecamatan Depok]], [[kabupaten Cirebon]] yang dibuat oleh pengerajin ''anjun'' (membuat gerabah) di [[Sitiwinangun, Jamblang, Cirebon|desa Siti Winangun]], terdapat relif ayat kursi dan 5 ayat al baqarah yang ditunjukan agar masyarakat yang mendatanginya diberi keselamatan dan lindungan dari Allah swt]]
 
''Pandesan'' atau gentong yang diperuntukan bagi air wudu merupakan bagian dari penerapan adat Cirebon yang bernafaskan Islam, sejarah masyarakat Cirebon sebelumnya pernah mencatat aktivitas berwudu pada babad [[Kaliwulu, Plered, Cirebon|desa Kali Wulu]] yang menceritakan kedatangan dua orang kerumah ''Ki Gede Silintang'' untuk meminta air untuk berwudu serta pada cerita turun temurun tentang ''Sindang Pancuran'' di [[sindanglaut, lemahabang, cirebon|desa Sindang Laut]] di mana pancuran digunakan untuk berwudu. Pembuatan ''pandesan'' pada masa lalu hampir dibuat di beberapa desa yang memiliki masjid-masjid besar misalnya di sekitar [[masjid Panjunan]], [[Panjunan, Lemahwungkuk, Cirebon|kelurahan Panjunan]], [[kota Cirebon]] yang dibangun pada 1480 oleh Pangeran Panjunan (Syarif Abdurrahman), tetapi sekarang masyarakat sekitar [[masjid Panjunan]] sudah tidak lagi memproduksi ''pandesan'' sehingga ''pandesan'' yang dijual disekitar masjid pada masa sekarang adalah buatan dari masyarakat [[Sitiwinangun, Jamblang, Cirebon|desa Siti Winangun]], [[Jamblang, Cirebon|kecamatan Jamblang]], [[kabupaten Cirebon]]<ref>[http://www.cirebontrust.com/cirebon-kuno-dan-kini-73-masjid-merah-yang-tetap-merah.html|Noer, Nurdin. 2015. Cirebon Kuno dan Kini (73); Masjid Merah yang Tetap Merah. [[kota Cirebon|Cirebon]]: Cirebon Trust]{{Pranala mati|date=Juni 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
 
=== Adat Pernikahan Agung ''(Pelakrama Ageng)'' ===
 
Masyarakat Cirebon memiliki Adat Pernikahan Agung atau yang dalam [[Bahasa Cirebon]] disebut ''Pelakrama Ageng'', Adat Pernikahan ini berusaha mengangkat tradisi lokal dengan mengutamakan Islam sebagai nafas utama dari pelaksanaan adat tersebut. Pernikahan Adat Cirebon ini memiliki nilai kearifan lokal akan kesederhanaan masyarakat cirebon dalam melaksanakan sebuah hajatan besar, sebagai contohnya adalah dalam seserahan pernikahan adat cirebon yang hanya mensyaratkan umbi-umbian, sayuran dan mas picis saja (maskawin berupa uang dan perhiasan semampu pihak calon mempelai pria) di mana dalam melaksanakan hajatan tersebut masyarakat cirebon lebih mengutamakan unsur agama islam diantaranya menghindari "ria (sikap ingin dipuji)" dibanding unsur lainnya. Berikut tahapan-tahapan:
 
==== Meminang ''(tetali)'' ====
 
Meminang atau dalam [[Bahasa Cirebon]] disebut ''tetali'' atau ''njegog'' merupakan sebuah prosesi awal dari tahapan Pernikahan Agung masyarakat Cirebon di mana utusan pihak pria datang ke rumah orang tua gadis dan menyampaikan maksud kedatangannya meminang anak gadis. Lalu ibu si gadis akan memanggil anaknya untuk dimintai persetujuan. Si gadis pun memberikan jawaban disaksikan utusan tersebut. Setelah mendapat jawaban, utusan dan orang tua si gadis langsung berembug menentukan hari pernikahan. Setelah ada kesepakatan, utusan mohon diri untuk menyampaikan kepada orang tua pihak pria.
 
===== Seserahan =====
 
Pada hari seserahan, orang tua gadis didampingi keluarga dekatnya menerima kedatangan utusan pihak pria yang disertai rombongan pembawa barang seserahan, antara lain:
 
* Pembawa buah-buahan
* Pembawa umbi-umbian
* Pembawa sayur-mayur
* Pembawa mas picis yaitu maskawin berupa perhiasan dan uang untuk diserahkan kepada orang tua gadis.
 
==== Siraman ''(Siram Tawandari)'' ====
 
Menurut Sultan Sepuh ke XIV Pangeran Raja Adipati [[Arief Natadiningrat]], Siraman melambangkan kesucian, prosesi siraman merupakan tradisi memandikan calon pengantin dengan tata tradisi tertentu sebelum pelaksanaan akad nikah. Hal itu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin sebelum melaksanakan akad nikah, yang menjadi pintu menuju hidup baru dengan pasangannya.
 
{{cquote|''Sesuai ajaran Islam, bahwa amal perbuatan harus didahului dengan membersihkan diri dari hadas, baik kecil maupun besar,''}}<ref>[http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/13/11/10/mw0rng-pagi-ini-putra-mahkota-keraton-kasepuhan-jalani-siraman]|2013 - Republika - Pagi ini Putra Mahkota Keraton Kasepuhan jalani siraman</ref>
 
{{cquote|''Dalam Islam, setiap kita hendak beribadah pasti diawali dengan membersihkan diri. Siraman juga merupakan cara membersihkan diri, dan menikah adalah bagian dari ibadah. Jadi, sebelum menikah digelar siraman terlebih dulu agar bersih jiwa dan raga,''}}<ref>[http://jabar.tribunnews.com/2014/03/12/seusai-siraman-putri-sultan-ziarah-ke-astana-gunung-jati]|2014 - Tribun News Jawa Barat - Seusai Siraman Putri Sultan Ziarah ke Astana Gunung Jati</ref>
 
Kedua calon pengantin oleh juru rias dibawa ke tempat siraman (cungkup) dengan didampingi orang tua dan sesepuh. Saat berjalan menuju tempat siraman dengan iringan gending nablong, calon pengantin memakai sarung batik khas Cirebonan yakni kain wadasan.
 
Biasanya berwarna hijau yang melambangkan kesuburan. Sebelum siraman, dada dan punggung calon pengantin diberi luluran lalu juru rias mempersilahkan orang tua dan sesepuh untuk bergantian menyirami. Setelah selesai, air bekas siraman diberikan kepada anak gadis dan jejaka yang hadir dengan maksud agar mereka dapat segera mengikuti jejak calon pengantin. Upacara ini dinamakan bendrong sirat yaitu air bekas siraman disirat-siratkan atau dipercik-percikan pada anak gadis dan jejaka yang datang ke acara ini.
 
===== Berhias ''(Parasan)'' =====
 
Berhias atau dalam Bahasa Cirebon disebut ''Parasan'' dilakukan oleh calon mempelai wanita setelah acara siraman, salah satu prosesi parasan adalah ''ngerik'' yaitu membuang rambut halus yang dilakukan juru rias seraya disaksikan oleh orang tua dan para kerabat. Acara ini diringi dengan musik karawitan ''moblong'' yang artinya murub mancur bagaikan bulan purnama.
 
==== Ziarah Kubur ''(Ziarah)'' ====
 
Ziarah makam adalah berdoa untuk leluhur yang telah tiada, apabila calon pengantin masih merupakan keturunan dari Keraton Cirebon biasanya sebelum acara pernikahan dilaksanakan, calon pengantin akan melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati dan makam leluhur raja-raja Cirebon di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Cirebon [[Astana Gunung Jati]] di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon untuk mendapatkan restu.
 
Ziarah di Kompeks Pemakaman Raja-Raja Cirebon [[Astana Gunung Jati]] dimulai dengan berdoa di depan pintu pasujudan. Pintu tersebut merupakan pintu ketiga dari sembilan pintu menuju makam Sunan Gunung Jati yang berada di puncak bukit.
 
Selain berdoa di depan pintu pasujudan, untuk Keraton Kasepuhan biasanya Sultan Sepuh dan calon mempelai juga nyekar di makam-makam sesepuh Keraton Kasepuhan diantaranya di cungkup Sultan Sepuh Raja Sulaiman, Sultan Sepuh PRA Maulana Pakuningrat. Ziarah pun berakhir sampai tiba waktu salat zuhur.<ref>[http://jabar.tribunnews.com/2013/11/10/usai-siraman-sultan-sepuh-dan-putra-mahkota-berziarah-ke-gunung-jati]|2013 - Tribun News Jawa Barat - Usai Siraman, Sultan Sepuh dan Putra Mahkota Berziarah ke Gunung Jati</ref>
 
==== Membawa Pengantin ''(Tenteng Pengantin)'' ====
 
Tiba hari pernikahan yang telah disepakati, pihak gadis mengirimkan utusannya untuk menjemput calon pengantin pria. Setiba di rumah keluarga pria dan utusan menyampaikan maksud kedatangannya untuk ''menenteng'' (membawa) calon pengantin pria ke tempat upacara pernikahan di rumah pihak gadis. Orangtua pengantin pria tidak ikut dalam upacara akad nikah dan dilarang untuk menyaksikan. Pada waktu ijab qabul, calon pengantin pria ditutup dengan kain milik ibu pengantin wanita.
 
Hal ini menandakan bahwa pria itu telah menjadi menantunya. Setelah selesai kain itu diambil kembali, yang menandakan bahwa pengantin sudah tidak lagi dalam perlindungan orang tua dan sekarang memiliki tanggung jawab sendiri.
 
Ijab Qabul dalam Pernikahan Agung atau Pelakrama Ageng Keraton Cirebon biasanya menggunakan ragam [[Bahasa Cirebon|Bahasa Cirebon Bebasan]]<ref>[http://www.jpnn.com/read/2014/03/14/221885/Putri-Sultan-Cirebon-Nikahi-Pemuda-Biasa-] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20141021204951/http://www.jpnn.com/read/2014/03/14/221885/Putri-Sultan-Cirebon-Nikahi-Pemuda-Biasa-|date=2014-10-21}}| 2014 - JPPN - Putri Sultan Cirebon Nikahi Pemuda Biasa</ref>
 
==== Pertemuan Pengantin ''(Temon)'' ====
 
Selesai akad nikah dilakukan upacara pertemuan pengantin pria dengan pengantin wanita atau yang disebut dengan ''temon'' atau ''salam temon'' . Kedua pengantin dibawa ke teras rumah atau ambang pintu untuk melaksanakan acara injak telur. Telur yang terdiri dari kulit, cairan warna putih dan kuning di dalamnya mengandung makna:
 
{{cquote|kulit sebagai wadah/tempat, putih adalah suci/pengabdian seorang istri, kuning lambang keagungan. Dengan begitu segala kesucian dan keagungan sang istri sejak saat itu sudah menjadi milik suaminya. Alat yang digunakan antara lain pipisan atau sejenis batu persegi panjang/segi empat yang dibungkus dengan kain putih. Pengantin pria menginjak telur melambangkan perubahan statusnya dari jejaka menjadi suami dan ingin membina rumah tangga serta memiliki keturunan.}}
 
{{cquote|Pengantin wanita membasuh kaki suaminya yang melambangkan kesetiaan dan ingin bersama-sama membina rumah tangga yang bahagia. Sebelum membasuh kaki, pengantin wanita melakukan sungkem pada suaminya. Bila pengantin berasal dari keluarga yang cukup berada, biasanya saat acara salam temon ini diadakan acara gelondongan pangareng yaitu membawa upeti berupa barang (harta) yang lengkap.}}
 
==== Menebar Uang ''(Sawer / Surak)'' ====
 
Acara ini diadakan sebagai bentuk ungkapan rasa bahagia orang tua atas terlaksananya pernikahan anak-anak mereka. Uang receh yang dicampur dengan beras kuning dan kunyit ditaburkan atau dalam bahasa cirebon disebut ''sawer'' sebagai tanda agar kedua pengantin diberikan limpahan rezeki, dapat saling menghormati, hidup harmonis dan serasi, biasanya saat menaburkan atau menebar uang receh akan terdengar suara riuh kegembiraan mereka yang memperebutkan uang, beras kuning dan kunyit tersebut, suara riuh kegembiraan inilah yang disebut sebagai ''surak''.
 
==== Menaburkan Pugpug ''(Pugpugan Tawur)'' ====
 
Dengan posisi jongkok, kepala pengantin ditaburi pugpugan oleh juru rias. Pugpugan ini terbuat dari ''welit'' yaitu ilalang atau daun kelapa yang sudah lapuk. Acara ini bertujuan agar pernikahan dapat awet bagaikan welit yang terikat erat sampai lapuk serta keduanya dapat memanfaatkan sebaik mungkin rezeki yang mereka dapatkan dengan baik. Selesai acara, oleh juru rias, pengantin dibawa ke pelaminan. Orangtua pengantin pria lalu dijemput oleh kerabat dari pengantin wanita untuk bersama-sama mendampingi pengantin di pelaminan.
 
==== Makan Nasi Ketan Kuning ''(Adep-adep Sekul)'' ====
 
Acara pengantin makan nasi ketan kuning ini dipimpin oleh juru rias. Nasi ketan kuning ini dibentuk seperti bulatan kecil berjumlah 13 butir. Pertama, orang tua pengantin wanita menyuapi pengantin sebanyak empat butir. Dilanjutkan dengan orang tua pihak pria memberi suapan sebanyak empat butir. Lalu empat butir lagi, kedua pengantin bergantian saling menyuapi. Sisanya satu butir untuk diperebutkan, siapa yang mendapaGtkaGJGJGESS STQRN6n butiran nasi ketan kuning terakhir melambangkan bahwa dialah yang akan mendapatkan rezeki paling banyak .
 
Namun rezeki ini tidak boleh dimakan sendiri dan harus dibagi pada pasangannya. Saat acara berlangsung, kedua pengantin duduk berhadapan yang melambangkan menyatunya hati suami-istri untuk membina rumah tangga bahagia. Selain itu, acara adep-adep sekul ini juga mengandung arti kerukunan dalam rumah tangga, yaitu terhadap pasangannya, orang tua, serta mertua.
 
==== Mohon Doa Restu Orang Tua ''(Sungkem)'' ====
 
Kedua pengantin melakukan sembah sungkem pada orang tua dengan cara mandap (berjongkok) yang merupakan cerminan rasa hormat dan terima kasih kepada orang tua atas segala kasih sayang dan bimbingan yang selama ini dicurahkan kepada anaknya. Kedua pengantin juga memohon doa restu untuk membina rumah tangga sendiri bersama pasangan. Setelah acara sungkem, dilagukan kidung Kinanti dengan harapan agar pengantin dapat menjalankan bahtera rumah tangganya seia, sekata, sehidup, semati.
 
==== Pemberian doa restu masyarakat, ucapan selamat, dan hiburan ====
 
Setelah memperoleh restu dari orang tua, pengantin mendapatkan ucapan selamat berbahagia dari sanak kerabat yang hadir. Biasanya juga diadakan acara hiburan seperti tari-tarian yaitu tari topeng cirebon, tari bedaya cirebon dan tari tayub.
 
== Kebudayaan ==
Baris 191 ⟶ 717:
=== Hubungan dengan Kebudayaan Sunda ===
 
Hubungan dengan Suku atau Kebudayaan Sunda ditandai dengan adanya Keraton Cirebon sebagai sebuah bentuk eksistensi adanya Suku Cirebon, dimanadi mana pendiri Keraton Cirebon yaitu Raden Walangsungsang dan Nyai rara santang serta Pangeran Surya yang merupakan Kuwu di Kaliwedi masih keturunan Kerajaan Pajajaran yang merupakan Kerajaan Sunda namun dalam perkembangan selanjutnya Keraton Cirebon yang merupakan lambang eksistensi keberadaan Suku Cirebon memilih jalannya sendiri yang kebanyakan bercorak islam.
 
=== Hubungan dengan Kebudayaan Jawa ===
Baris 199 ⟶ 725:
{{cquote|Isun arep lunga sing umah}}
 
Kalimat dalam bahasa cirebon di atas berarti "saya mau pergi dari rumah" dimanadi mana jika dialihkan dalam bahasa jawa kata ini menjadi ''"aku arep lungo singsaka umahomah"'' sehingga didapatkan kata yang hampir serupa akan tetapi ragam kalimat dalam bahasa cirebon tidak hanya terbatas dari serapan Bahasa Jawa, perhatikan ragam dialek dari bahasa cirebon berikut :
 
{{cquote|ari khaul mulae bakda magrib mah punten, isun beli bisa teka, ana janji sih karo adhine}}<ref> name="Sudjana, TD. 2005. "Kamus Bahasa Cirebon". Bandung : Humaniora Utama Press </ref>,<ref> Salana. 2002. name="Wyakarana : Tata Bahasa Cirebonsalana". Bandung : Humaniora Utama Press </ref>
 
dalam kalimat di atas ditemukan kata "ari" yang merupakan serapan dari bahasa sunda dan kata "bakda" yang merupakan serapan dari bahasa arab. dimanadi mana jika dialihkan ke dalam bahasa sunda baku ataupun jawa baku akan ditemukan ragam kosakata yang berbeda dengan kalimat di atas.
 
== Referensi ==
{{reflist}}
{{Cirebon}}
 
{{portal|Indonesia}}
 
[[Kategori:Cirebon]]
[[Kategori:Kota Cirebon]]
[[Kategori:Suku bangsa di Jawa Barat]]
[[Kategori:Suku bangsa di Kapuas Raya]]
 
[[enKategori:CireboneseSuku Sunda]]
[[ms:Orang Cirebon]]