Konten dihapus Konten ditambahkan
SieBot (bicara | kontrib)
k robot Adding: fur:Sintoisim
Brackenheim (bicara | kontrib)
(225 revisi perantara oleh 81 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{disambiginfo}}
[[Image:Itsukushima torii angle.jpg|thumb|280px|Sebuah ''[[torii]]'' di [[Kuil Itsukushima]]]]
{{Shintoisme}}
'''Shinto''' (神道 ''Shintō''; secara harafiah bermakna "jalan/jalur dewa") adalah sebuah [[agama]] yang berasal dari [[Jepang]]. Dari masa [[Restorasi Meiji]] hingga akhir [[Perang Dunia II]], Shinto adalah agama resmi di Jepang.
[[Berkas:Itsukushima Gate.jpg|jmpl|280px|Gerbang [[torii]] menuju [[Kuil Itsukushima]] di [[Prefektur Hiroshima]], [[Jepang]], salah satu contoh [[torii]] paling terkenal di negara ini.{{sfn|Littleton|2002|pp=70, 72}} Torii menandai pintu masuk kuil Shinto dan merupakan simbol yang dapat dikenali dari agama tersebut.]]
{{nihongo|'''Shinto'''|神道|Shintō|secara harfiah bermakna "jalan Tuhan"}} adalah sebuah [[agama]] yang berasal dari [[Jepang]].<ref name="KBBID shinto">{{id}} Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia {{cite web|url=https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/{{urlencode: shinto|WIKI}}|title=Arti kata shinto pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan|accessdate=2020-03-9}}</ref> [[Studi agama|Para cendekiawan keagamaan]] menggolongkannya sebagai [[agama Asia Timur]]; mereka yang menjalankan praktik keagamaannya (praktisi) sering menganggapnya sebagai [[Kepercayaan asli|agama asli]] Jepang dan [[agama alam]]. Para cendekiawan terkadang menyebut para praktisi sebagai "penganut Shinto" walau para penganut sendiri jarang menggunakan istilah tersebut. Shinto tidak dikendalikan oleh suatu otoritas pusat, para praktisi memiliki keyakinan dan praktik keagamaan yang beraneka ragam.
 
Shinto termasuk agama [[politeisme|politeistik]] dengan ''{{lang|ja-Latn|[[Kami (mitologi)|kami]]}}'', entitas supernatural yang diyakini menghuni segala sesuatu, sebagai bagian esensial kepercayaan. ''Kami'' dapat berada dalam kekuatan alam dan lokasi lanskap yang terkemuka. Hubungan antara ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan alam menyebabkan Shinto dianggap [[animisme|animistik]]. Penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dilakukan di altar rumah tangga ''{{lang|ja-Latn|[[kamidana]]}}'', kuil keluarga, dan [[kuil Shinto|kuil umum ''jinja'']]. Kuil umum tersebut dikelola oleh para pendeta, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[kannushi]]}}''. Mereka mengelola persembahan makanan dan minuman untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu yang dipuja di lokasi tersebut. Hal itu dilakukan untuk menumbuhkan keharmonisan antara manusia dan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' serta untuk meminta berkah darinya. Ritual umum lainnya termasuk tari ''{{lang|ja-Latn|[[kagura]]}}'', [[ritus peralihan]], dan festival musiman. Kuil umum menyediakan perlengkapan keagamaan seperti [[jimat]] untuk para penganut Shinto dan memfasilitasi berbagai bentuk [[ramalan]]. Shinto menempatkan fokus konseptual utama pada pemastian kesucian, sebagian besar dengan praktik pembersihan seperti ritual mandi dan basuh, terutama sebelum ibadah. Sedikit penekanan ditempatkan pada kode moral tertentu atau keyakinan kehidupan setelah kematian tertentu meskipun orang yang meninggal dianggap mampu menjadi ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. Shinto tidak memiliki pencipta tunggal atau teks doktrinal tertentu, agama itu hadir dalam bentuk khas lokal dan regional yang beraneka ragam.
Agama Shinto melibatkan penyembahan ''[[kami]]'', yang bisa diterjemahkan sebagai [[dewa]], [[roh]] alam, atau sekedar kehadiran spiritual. Sebagian ''kami'' berasal dari daerah setempat dan bisa dianggap sebagai roh yang mewakili daerah tersebut, namun ''kami'' lainnya mewakili benda-benda dan proses alami utama, misalnya [[Amaterasu]], sang dewi [[matahari]].
 
Meskipun waktu Shinto menjadi agama tersendiri dalam sejarah masih diperdebatkan, penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dapat ditelusuri kembali pada [[Zaman Yayoi]] (300 SM-300 M) di Jepang. [[Buddhisme Tiongkok|Ajaran Buddha]] masuk ke Jepang pada akhir [[Zaman Kofun]] (300-538 M) dan menyebar dengan cepat. [[Sinkretisme|Sinkretisasi agama]] membuat penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan ajaran Buddha tidak dapat dipisahkan secara fungsional, proses itu disebut ''[[shinbutsu-shūgō]]''. ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' mulai dipandang sebagai bagian dari [[kosmologi Buddha]] dan selanjutnya semakin digambarkan dengan [[antropomorfisme]]. Tradisi tertulis paling awal mengenai penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tercatat dalam ''[[Kojiki]]'' dan ''[[Nihon Shoki]]'' dari abad ke-8. Pada abad-abad berikutnya, ''{{lang|ja-Latn|shinbutsu-shūgō}}'' diadopsi oleh keluarga Kekaisaran Jepang. Selama [[Zaman Meiji]] (1868-1912), kepemimpinan [[nasionalisme Jepang|nasionalis]] Jepang memisahkan pengaruh penganut Buddha dari penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan membentuk [[Shinto negara]]. Ideologi Shinto negara Jepang tersebut dianggap oleh sejumlah sejarawan sebagai asal usul Shinto sebagai agama tersendiri. Kuil berada di bawah pengaruh pemerintah yang berkembang dan masyarakat didorong untuk menyembah [[Kaisar Jepang|kaisar]] sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. Dengan terbentuknya [[Kekaisaran Jepang]] pada awal abad ke-20, Shinto disebarkan keluar ke wilayah lain di Asia Timur. Setelah kekalahan Jepang pada [[Perang Dunia II]], Shinto secara resmi [[negara sekuler|dipisahkan dari negara]].
Setelah Perang Dunia II, Shinto kehilangan statusnya sebagai agama resmi; sebagian ajaran dan kegiatan Shinto yang sebelumnya dianggap penting pada masa perang ditinggalkan dan tidak lagi diajarkan. Sebagian lagi tetap bertahan, namun telah kehilangan konotasi keagamaannya, misalnya ''[[omikuji]]'' (semacam undian untuk menebak keberuntungan).
 
Shinto terutama ditemukan di Jepang, wilayah yang menampung sekitar 100.000 kuil umum walau para praktisi juga ditemukan di luar negeri. Secara numerik, agama tersebut merupakan agama terbesar di Jepang, diikuti oleh ajaran Buddha. Sebagian besar penduduk negara tersebut turut berpartisipasi dalam baik kegiatan Shinto maupun Buddha, terutama festival. Fenomena itu mencerminkan pandangan umum dalam [[budaya Jepang]] bahwa kepercayaan dan praktik suatu agama tidak harus dilakukan hanya oleh golongan tertentu. Aspek-aspek dari Shinto juga dimasukkan ke berbagai [[Shinshūkyō|gerakan agama baru di Jepang]].
{{agama-stub}}
[[Kategori:Agama]]
 
== Definisi ==
{{Link FA|ar}}
[[File:YobitoTorii.jpg|thumb|right|Sebuah gerbang ''torii'' menuju Kuil Yobito ({{lang|ja-Latn|Yobito-jinja}}) di Kota Abashiri, Hokkaido]]
Shinto tidak memiliki definisi yang disepakati secara universal.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=viii|2a1=Rots|2y=2015|2p=211}} Namun, penulis Joseph Cali dan John Dougill menyatakan bahwa jika terdapat "satu definisi tunggal yang luas mengenai Shinto" yang dapat dikemukakan, "Shinto merupakan kepercayaan pada ''{{lang|ja-Latn|[[Kami (mitologi)|kami]]}}''", entitas supernatural yang menjadi inti agama tersebut.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} Ahli budaya Jepang [[Helen Hardacre]] menyatakan bahwa "Shinto meliputi doktrin, institusi, ritual, dan kehidupan kelompok berdasarkan penyembahan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}''".{{sfn|Hardacre|2017|p=1}} Selain itu, cendekiawan keagamaan Inoue Nobutaka mengamati istilah "Shinto" "sering digunakan" dalam "rujukan kepada penyembahan ''kami'' serta teologi, ritual, dan praktik yang terkait."{{sfn|Inoue|2003|p=1}} Berbagai cendekiawan menyebut praktisi Shinto sebagai ''penganut Shinto'' walau istilah ini tidak memiliki terjemahan langsung dalam [[bahasa Jepang]].{{sfn|Picken|1994|p=xviii}}
 
Para cendekiawan memperdebatkan waktu yang tepat dalam sejarah sebagai titik di mana Shinto dianggap sebagai fenomena tertentu. Cendekiawan keagamaan [[Ninian Smart]] berpendapat bahwa seseorang dapat "berdiskusi tentang agama ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' di Jepang, agama yang pernah hidup bersimbiosis dengan ajaran Buddha yang terorganisasi, dan baru kemudian telah ditetapkan sebagai Shinto."{{sfn|Smart|1998|p=135}} Meskipun berbagai institusi dan praktik yang sekarang dikaitkan dengan Shinto berada di Jepang pada abad ke-8,{{sfn|Hardacre|2017|p=18}} berbagai cendekiawan berpendapat bahwa Shinto sebagai agama yang tersendiri pada dasarnya "diciptakan" pada abad ke-19, selama [[Zaman Meiji]] di Jepang.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=7}} Cendekiawan keagamaan Brian Bocking menekankan bahwa, terutama ketika berhadapan dengan periode sebelum Zaman Meiji, istilah "Shinto" harus "diperlakukan dengan hati-hati".{{sfn|Bocking|1997|p=174}} Inoue Nobutaka menyatakan bahwa "Shinto tidak dapat dianggap sebagai suatu sistem agama tunggal yang ada dari zaman kuno hingga zaman modern"{{sfn|Inoue|2003|p=5}} sedangkan sejarawan [[Toshio Kuroda]] berkomentar bahwa "sebelum zaman modern, Shinto tidak dijumpai sebagai agama yang berdiri sendiri".{{sfn|Kuroda|1981|p=3}}
[[an:Xintoísmo]]
 
[[ar:شنتو]]
=== Kategorisasi ===
[[bg:Шинтоизъм]]
Banyak cendekiawan menggambarkan Shinto sebagai [[agama]].{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xvii|2a1=Nelson|2y=1996|2p=26}} Namun, beberapa praktisi lebih suka melihat Shinto sebagai "jalan",{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xxiv|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} sehingga mencirikannya lebih sebagai adat atau [[tradisi]] daripada agama,{{sfn|Breen|2010|p=69}} sebagian sebagai kepura-puraan untuk mencoba menghindari [[pemisahan agama dan negara]] dari Jepang modern dan memulihkan hubungan historis Shinto dengan negara Jepang.{{sfn|Picken|1994|pp=xxiv–xxv}} Terlebih lagi, agama sebagai sebuah konsep muncul di Eropa dan banyak konotasi bahwa istilah tersebut dalam [[dunia Barat|budaya Barat]] "tidak langsung diterapkan" pada Shinto.{{sfn|Picken|1994|p=xix}} Tidak seperti agama-agama yang dikenal di negara-negara Barat, seperti [[Kristen]] dan [[Islam]], Shinto tidak memiliki utusan tunggal,{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=191|2a1=Littleton|2y=2002|2p=6|3a1=Picken|3y=2011|3p=1|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=13}} maupun kitab suci tunggal.{{sfn|Offner|1979|p=191}} Agama-agama Barat cenderung menekankan eksklusivitas, tetapi di Jepang, dapat diterima untuk mempraktikkan tradisi agama yang berbeda secara bersamaan.{{sfn|Picken|1994|p=xxx}} Oleh karena itu, agama di Jepang dianggap sangat [[Pluralisme agama|pluralistik]].{{sfn|Picken|2011|p=48}} Shinto sering disebut bersama [[Buddhisme]] sebagai salah satu dari dua agama utama Jepang,{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} dan keduanya sering berbeda dalam fokus, dengan Buddhisme menekankan gagasan melampaui kosmos, yang dianggap penuh dengan penderitaan, sementara Shinto berfokus pada beradaptasi dengan persyaratan pragmatis dari kehidupan.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=30|2a1=Littleton|2y=2002|2p=10}} Shinto mengintegrasikan unsur-unsur dari tradisi agama yang diimpor ke Jepang dari daratan Asia, seperti Buddhisme, [[Konfusianisme]], [[Taoisme]], dan praktik [[ramalan nasib Tiongkok|ramalan Tiongkok]].{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=139|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} Ajaran tersebut memiliki banyak kesamaan dengan [[agama Asia Timur]] lainnya, khususnya melalui kepercayaannya pada banyak dewa.{{sfn|Inoue|2003|p=7}}
[[bs:Šintoizam]]
 
[[ca:Xintoisme]]
{{Quote box
[[cs:Šintoismus]]
| quote = Beberapa ahli menyarankan agar kita membicarakan jenis Shinto seperti Shinto populer, Shinto rakyat, Shinto domestik, Shinto sektarian, Shinto wangsa kekaisaran, Shinto kuil, Shinto negara, agama Shinto baru, dan sebagainya daripada menganggap Shinto sebagai satu kesatuan. Pendekatan ini dapat membantu tetapi menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan 'Shinto' dalam setiap kasus, terutama karena setiap kategori memasukkan atau dimasukkan unsur-unsur dari agama Buddha, Konfusianisme, Tao, agama rakyat, dan lain-lain.
[[cy:Shintō]]
| source=— Sarjana agama Brian Bocking{{sfn|Bocking|1997|pp=173–174}}
[[da:Shinto]]
| align = left
[[de:Shintō]]
| width = 25em
[[en:Shinto]]
}}
[[eo:Ŝintoismo]]
 
[[es:Shinto]]
Para sarjana agama memiliki pendapat yang berbeda dalam mengklasifikasikan Shinto. Inoue menganggapnya sebagai bagian dari "keluarga agama Asia Timur".{{sfn|Inoue|2003|p=10}} Filsuf [[Stuart DB Picken]] menyarankan agar Shinto digolongkan sebagai [[agama dunia]],{{sfn|Picken|1994|p=xxv}} sedangkan sejarawan [[H. Byron Earhart]] menyebutnya sebagai "agama besar".{{sfn|Earhart|2004|p=31}} Pada awal abad ke-21, para praktisi secara umum menyebut Shinto sebagai [[agama alam]].{{sfn|Rots|2015|p=210}} Shinto juga sering dideskripsikan sebagai [[Kepercayaan asli|agama asli]],{{sfnm|1a1=Kuroda|1y=1981|1p=1|2a1=Nelson|2y=1996|2p=7|3a1=Rots|3y=2015|3p=211}} meskipun hal itu menimbulkan perdebatan mengenai berbagai definisi yang berbeda mengenai "asli" dalam konteks bahasa Jepang.{{sfn|Nelson|1996|p=7}} Gagasan Shinto sebagai "agama asli" Jepang berasal dari pertumbuhan nasionalisme modern pada [[zaman Edo]] hingga zaman Meiji;{{sfn|Kuroda|1981|p=19}} pandangan ini mempromosikan gagasan bahwa Shinto berasal dari prasejarah dan mewakili sesuatu seperti "kehendak yang mendasari budaya Jepang".{{sfn|Kuroda|1981|pp=1–2}} Teolog Shinto terkemuka Sokyo Ono, misalnya, mengatakan bahwa penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' merupakan "sebuah ekspresi" dari "keyakinan rasial asli Jepang yang muncul pada hari-hari mistik dari zaman kuno terpencil" dan bahwa hal tersebut "seasli orang-orang yang membawa keberadaan bangsa Jepang".{{sfn|Kitagawa|1987|p=xviii}} Banyak ahli menganggap klasifikasi ini tidak akurat. Earhart mencatat bahwa Shinto, karena menyerap banyak pengaruh Tiongkok dan Buddhis, "terlalu rumit untuk ditandai secara sederhana" sebagai "agama asli".{{sfn|Earhart|2004|p=31}}
[[et:Sintoism]]
 
[[fi:Šintolaisuus]]
Shinto dalam prakteknya memiliki variasi lokal yang substansial;{{sfn|Offner|1979|p=215}} antropolog John K. Nelson mencatat itu "bukan entitas monolitik terpadu yang memiliki satu pusat dan sistem tersendiri".{{sfn|Nelson|1996|p=7}} [[Sekte dan sekolah Shinto|Berbagai jenis Shinto]] telah diidentifikasi. "Shinto kuil" mengacu pada praktik yang berpusat di sekitar kuil,{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=192|2a1=Nelson|2y=1996|2p=7}} dan "Shinto domestik" dipraktekkan dengan cara penghormatan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' di rumah.{{sfn|Offner|1979|p=192}} Beberapa cendekiawan menggunakan istilah "Shinto rakyat" untuk menandai praktik Shinto lokal,{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=14}} atau praktik di luar lingkungan yang dilembagakan.{{sfn|Nelson|1996|p=7}} Dalam berbagai periode di masa lalu, ada juga "[[Shinto negara]]", yang merupakan kepercayaan dan praktik Shinto terkait dengan negara Jepang.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=192|2a1=Nelson|2y=1996|2p=7}} Dalam merepresentasikan "istilah lakuran" untuk banyak tradisi yang bervariasi di seluruh Jepang, istilah "Shinto" mirip dengan istilah "[[Hinduisme]]", yang digunakan untuk menggambarkan beragam tradisi di seluruh Asia Selatan.{{sfn|Bocking|1997|p=viii}}
[[fr:Shintoïsme]]
 
[[fur:Sintoisim]]
=== Etimologi ===
[[gd:Shinto]]
[[File:Takachiho-gawara Kirishima City Kagoshima Pref02n4050.jpg|thumb|Sebuah gerbang torii di kuil [[Takachiho-gawara]] yang terletak di dekat [[Kirishima, Kagoshima|Kirishima]], [[Prefektur Kagoshima]], yang terkait dengan kisah mitologi [[tenson kōrin|Turunnya ke Bumi]] oleh [[Ninigi-no-Mikoto]].]]
[[he:שינטו]]
Istilah ''Shinto'' sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai "''the way of the {{lang|ja-Latn|kami}}''",{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=193|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=139|3a1=Bocking|3y=1997|3p=173|4a1=Nelson|4y=2000|4p=14|5a1=Earhart|5y=2004|5p=2|6a1=Picken|6y=2011|6p=9}} meskipun maknanya bervariasi sepanjang sejarah Jepang.{{sfnm|1a1=Kuroda|1y=1981|1p=4|2a1=Bocking|2y=1997|2pp=viii, 173}} Istilah lain yang bersinonim dengan "Shinto" terkadang digunakan; termasuk ''{{lang|ja-Latn|kami no michi}}'' ({{lang|ja|神の道}}, "jalan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''"), ''{{lang|ja-Latn|kannagara no michi}}'' ({{lang|ja|神ながらの道}}, juga ditulis sebagai {{lang|ja|随神の道}} atau {{lang|ja|惟神の道}}, "jalan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sejak dahulu kala"), ''{{lang|ja-Latn|Kodō}}'' ({{lang|ja|古道}}, "jalan kuno"), ''{{lang|ja-Latn|Daidō}}'' ({{lang|ja|大道}}, "jalan besar"), dan ''{{lang|ja-Latn|Teidō}}'' ({{lang|ja|帝道}}, "jalan kekaisaran").{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xxiv|2a1=Picken|2y=2011|2p=64}}
[[hi:शिन्तो धर्म]]
 
[[hr:Šintoizam]]
Istilah ''Shinto'' berasal dari kombinasi dua karakter Tionghoa: ''[[shen]]'' ({{script|Hani|神}}), yang berarti "roh," dan ''[[dao]]'' ({{script|Hani|道}}), yang berarti "jalan", "cara" atau "arah".{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=139|2a1=Littleton|2y=2002|2p=6|3a1=Picken|3y=2011|3p=9}} Istilah [[bahasa Tionghoa]] ''Shendao'' awalnya diadopsi ke dalam bahasa Jepang sebagai ''Jindō'';{{sfn|Teeuwen|2002|p=243}} kemungkinan pertama kali digunakan sebagai istilah Buddhis untuk merujuk pada dewa-dewa non-Buddha.{{sfn|Teeuwen|2002|p=256}} Salah satu kemunculan yang paling awal diketahui dari istilah ''Shinto'' di Jepang terdapat dalam teks abad ke-8, ''[[Nihon Shoki]]''.{{sfnm|1a1=Teeuwen|1y=2002|1p=236|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=41}} Istilah ini mungkin merupakan istilah umum untuk kepercayaan populer,{{sfnm|1a1=Kuroda|1y=1981|1pp=4–5|2a1=Teeuwen|2y=2002|2p=237}} atau secara alternatif merujuk Taoisme, karena banyak praktik penganut Tao diimpor dari daratan Asia.{{sfnm|1a1=Kuroda|1y=1981|1p=6|2a1=Teeuwen|2y=2002|2p=237|3a1=Hardacre|3y=2017|3p=42}} Dalam penggunaan bahasa Jepang awal ini, istilah ''Shinto'' tidak berlaku untuk tradisi agama yang berbeda atau untuk sesuatu yang unik di Jepang;{{sfn|Kuroda|1981|p=7}} ''[[Konjaku Monogatarishū|Konjaku monogatarishui]]'' dari abad ke-11 misalnya mengacu pada seorang wanita di Tiongkok yang mempraktikkan ''Shinto'', dan juga orang-orang di India yang menyembah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'', menunjukkan bahwa istilah ini digunakan untuk menggambarkan agama-agama di luar Jepang itu sendiri.{{sfn|Kuroda|1981|pp=9–10}}
[[hu:Sintó]]
 
[[it:Scintoismo]]
Pada abad pertengahan Jepang, penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' umumnya dilihat sebagai bagian dari [[Buddhisme di Jepang]], dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}} '' sendiri sering diinterpretasikan sebagai [[Buddhabhāva|Buddha]].{{sfn|Kuroda|1981|pp=11, 12}} Dalam hal ini, istilah ''Shinto'' semakin mengacu pada "otoritas, kekuasaan, atau aktivitas ''{{lang|ja-Latn|kami}}'', menjadi ''{{lang|ja-Latn|kami}}'', atau, singkatnya, kedudukan atau atribut dari ''{{lang|ja-Latn|kami}}''."{{sfn|Kuroda|1981|p=10}} Istilah ini muncul dalam pengertian tersebut pada cerita ''{{lang|ja-Latn|Nakatomi no harai kunge}}'' dan ''[[Shintōshū]]''.{{sfn|Kuroda|1981|p=10}} Dalam ''[[Nippo Jisho|Japanese Portuguese Dictionary]]'' yang diterbitkan pada tahun 1603, ''Shinto'' didefinisikan mengacu pada "''{{lang|ja-Latn|kami}}'' atau hal-hal yang berkaitan dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''."{{sfn|Kuroda|1981|pp=10–11}} Istilah ''Shinto'' menjadi umum pada abad ke-15.{{sfn|Hardacre|2017|p=42}} Selama akhir Zaman Edo, cendekiawan ''{{lang|ja-Latn|[[kokugaku]]}}'' mulai menggunakan istilah ''Shinto'' untuk menggambarkan apa yang mereka yakini sebagai tradisi Jepang kuno, asli, dan bertahan lama yang mendahului agama Buddha; mereka berpendapat bahwa ''Shinto'' harus digunakan untuk membedakan penyembahan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari tradisi seperti Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme.{{sfnm|1a1=Kuroda|1y=1981|1p=19|2a1=Bocking|2y=1997|2p=174}} Penggunaan istilah ''Shinto'' tersebut menjadi semakin populer sejak abad ke-18.{{sfn|Bocking|1997|p=174}} Istilah ''Shinto'' menjadi umum digunakan sejak awal abad ke-20, menggantikan istilah ''{{lang|ja-Latn|taikyō}}'' ('agama besar') sebagai nama untuk agama di Jepang.{{sfn|Bocking|1997|p=viii}}
[[ja:神道]]
 
[[ko:신토]]
== Sejarah ==
[[lb:Schintoismus]]
=== Perkembangan awal ===
[[lt:Šintoizmas]]
[[File:DotakuBronzeBellLateYayoi3rdCenturyCE.jpg|thumb|right|Lonceng ''dotaku'' dari zaman Yayoi yang mungkin memainkan peran penting dalam ritus ''kami'' pada saat itu.{{sfn|Hardacre|2017|p=19}}]]
[[lv:Sintoisms]]
Earhart berkomentar bahwa Shinto akhirnya "muncul dari kepercayaan dan praktik Jepang prasejarah",{{sfn|Earhart|2004|p=2}} meskipun Kitagawa mencatat bahwa patut dipertanyakan apakah agama prasejarah Jepang dapat secara akurat disebut "Shinto awal".{{sfn|Kitagawa|1987|p=39}} Prasejarah Jepang yang dimaksud adalah [[zaman Yayoi]] yang pertama kali menyisakan peninggalan awal dari materi dan ikonografi yang kemudian termasuk ke dalam Shinto.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=14|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=18}} ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' dipuja dalam berbagai bentuk gejala alam selama zaman tersebut; dalam hal itu, sebagian besar ibadah terdiri dari memohon dan meredakan kemarahan mereka, dengan sedikit bukti bahwa mereka dipandang sebagai entitas yang merasa kasihan.{{sfn|Hardacre|2017|p=19}} Bukti [[arkeologi]] menunjukkan bahwa lonceng perunggu ''{{lang|ja-Latn|[[dotaku]]}}'', senjata perunggu, dan cermin logam memainkan peran penting dalam ritual berbasis ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' selama zaman Yayoi.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=15|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=19}}
[[mk:Шинтоизам]]
 
[[ms:Shinto]]
Pada periode awal ini, Jepang bukan merupakan sebuah negara kesatuan; Jepang terdiri dari beberapa ''{{lang|ja-Latn|[[Uji (klan)|Uji]]}}'' (klan) pada [[zaman Kofun]], yang masing-masing memiliki ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' penjaganya sendiri, yang disebut ''{{lang|ja-Latn|ujigami}}''.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=15|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=24}} Migrasi Korea selama zaman Kofun membawa Konfusianisme dan Buddhisme ke Jepang.{{sfn|Hardacre|2017|p=23}} Buddhisme memiliki dampak tersendiri pada kultus ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Hardacre|2017|p=24}} Kelompok migran dan Jepang yang semakin sejalan dengan pengaruh asing ini membangun kuil Buddha di berbagai wilayah dari pulau Jepang.{{sfn|Hardacre|2017|p=24}} Beberapa klan saingan yang lebih memusuhi pengaruh asing ini mulai mengadaptasi kuil ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' mereka agar lebih mirip dengan struktur Buddhis yang baru.{{sfn|Hardacre|2017|p=24}} Pada akhir abad ke-5, pemimpin [[dinasti Yamato|klan Yamato]] [[Kaisar Yūryaku|Yūryaku]] menyatakan dirinya ''[[wikt:だいおう|daiō]]'' ("raja besar") dan mendirikan hegemoni atas sebagian besar Jepang.{{sfn|Hardacre|2017|p=25}} Sejak awal abad ke-6 M, gaya ritual yang disukai oleh [[dinasti Yamato|Yamato]] mulai menyebar ke kuil ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' lainnya di seluruh Jepang ketika Yamato memperluas pengaruh teritorial mereka.{{sfn|Hardacre|2017|p=27}} Buddhisme juga berkembang. Menurut ''Nihon Shoki'', pada tahun 587 [[Kaisar Yōmei]] memeluk agama Buddha dan agama Buddha menyebar, di bawah dukungannya.{{sfn|Hardacre|2017|p=28}}
[[nds:Schintoismus]]
 
[[nl:Shintoïsme]]
[[File:Shinpukuji-bon Kojiki (真福寺本古事記).png|thumb|170px|left|Sebuah halaman dari ''Shinpukuji-bon Kojiki'' dari abad ke-14, yang merupakan salinan dari ''Kojiki'' yang ditulis pada abad ke-8]]
[[no:Shintoisme]]
 
[[pl:Shintō]]
Pada pertengahan abad ke-7, sebuah kode hukum yang disebut ''{{lang|ja-Latn|[[Ritsuryō]]}}'' diadopsi untuk mendirikan pemerintahan terpusat bergaya Tiongkok.{{sfn|Hardacre|2017|p=17}} Sebagai bagian dari kode hukum tersebut, [[Jingikan]] ("Dewan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''") dibentuk untuk melakukan ritus-ritus kenegaraan dan mengoordinasikan ritual provinsi dengan ritus-ritus kenegaraan di ibu kota.{{sfn|Hardacre|2017|pp=17–18}} Hal itu dilakukan sesuai dengan kode hukum ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang disebut ''Jingiryō'',{{sfn|Hardacre|2017|pp=17–18}} yang meniru ''[[Kitab Ritus]]'' dari Tiongkok.{{sfn|Hardacre|2017|p=31}} Jingikan terletak di halaman istana dan memelihara daftar kuil dan pendeta.{{sfn|Hardacre|2017|p=33}} Kalender tahunan ritus-ritus kenegaraan diperkenalkan untuk membantu menyatukan Jepang melalui penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Hardacre|2017|p=18}} Ritus-ritus yang diamanatkan secara sah tersebut diuraikan dalam [[Kode Yōrō]] dari 718,{{sfn|Hardacre|2017|p=31}} dan diperluas dalam ''Jogan Gishiki'' pada sekitar tahun 872 dan ''[[Engi Shiki]]'' pada tahun 927.{{sfn|Hardacre|2017|p=31}} Di bawah Jingikan, beberapa kuil ditetapkan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kansha}}'' ("kuil resmi") dan diberi hak dan tanggung jawab khusus.{{sfn|Hardacre|2017|pp=33-34}} Hardacre melihat Jingikan sebagai "sumber kelembagaan dari Shinto".{{sfn|Hardacre|2017|p=18}}
[[pt:Xintoísmo]]
 
[[ro:Şintoism]]
Pada awal abad ke-8, [[Kaisar Tenmu]] menugaskan kompilasi legenda dan silsilah klan Jepang, yang menghasilkan penyelesaian ''Kojiki'' pada tahun 712. Teks ini dirancang untuk melegitimasi dinasti yang berkuasa, dan menciptakan sebuah versi tetap dari berbagai cerita yang sebelumnya beredar dalam tradisi lisan.{{sfn|Hardacre|2017|pp=47–48}} ''Kojiki'' menghilangkan referensi apapun terhadap Buddhisme,{{sfn|Hardacre|2017|p=64}} sebagian karena berusaha untuk mengabaikan pengaruh asing dan menitikberatkan narasi yang menekankan unsur-unsur asli dari budaya Jepang.{{sfn|Hardacre|2017|p=68}} Beberapa tahun kemudian, "Nihon shoki" ditulis. Berbeda dengan ''Kojiki'', teks tersebut membuat berbagai referensi terhadap agama Buddha,{{sfn|Hardacre|2017|p=64}} dan ditujukan untuk pembaca asing.{{sfn|Hardacre|2017|p=69}} Kedua teks ini berusaha untuk menetapkan keturunan klan kekaisaran dari ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' matahari Amaterasu,{{sfn|Hardacre|2017|p=64}} meskipun ada banyak perbedaan dalam narasi kosmogonik yang diberikan.{{sfn|Hardacre|2017|pp=57–59}} Dengan cepat, ''Nihon shoki'' mengalahkan ''Kojiki'' dari segi pengaruhnya.{{sfn|Hardacre|2017|p=69}} Teks-teks lain yang ditulis pada saat itu juga mengacu pada tradisi lisan mengenai ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. Misalnya ''[[Kujiki|Sendari kuji hongi]]'' mungkin disusun oleh klan [[Mononobe]] sedangkan ''[[Kogoshui]]'' mungkin disusun untuk klan [[Imibe]], dan dalam kasus tersebut kedua teks itu dirancang untuk menyoroti asal usul ilahi dari masing-masing garis keturunan tersebut.{{sfn|Hardacre|2017|pp=64-45}} Perintah pemerintah pada tahun 713 meminta setiap daerah untuk menghasilkan ''[[fudoki]]'', catatan geografi lokal, produk, dan cerita, dengan cerita yang mengungkapkan lebih banyak tradisi mengenai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang hadir saat itu.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=43|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=66}}
[[ru:Синтоизм]]
 
[[scn:Shintuismu]]
Sejak abad ke-8, penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan agama Buddha terjalin erat dalam masyarakat Jepang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=8}} Di samping kaisar dan istana melakukan ritual Buddhis, mereka juga melakukan ritual lainnya untuk menghormati ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Hardacre|2017|p=72}} Tenmu misalnya menunjuk seorang putri kekaisaran perawan untuk melayani sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[saiō]]}}'', bentuk dari pendeta wanita, di Kuil Ise atas namanya, tradisi tersebut dilanjutkan oleh kaisar berikutnya.{{sfn|Hardacre|2017|pp=82-83}} Dari abad ke-8 dan seterusnya hingga [[zaman Meiji]], ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dimasukkan ke dalam kosmologi Buddhis dengan berbagai cara.{{sfn|Kuroda|1981|p=9}} Salah satu pandangannya adalah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' menyadari bahwa seperti bentuk kehidupan lainnya, mereka juga terjebak dalam siklus [[samsara]] (kelahiran kembali) (terlahir kembali) dan untuk menghindarinya mereka harus mengikuti ajaran Buddha.{{sfn|Kuroda|1981|p=9}} Pendekatan alternatif memandang ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sebagai entitas yang baik hati yang melindungi agama Buddha, atau bahwa ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' itu sendiri adalah [[Buddha]], atau makhluk yang telah mencapai pencerahan. Dalam hal ini, mereka dapat berupa ''{{lang|ja-Latn|[[hongaku]]}}'', roh murni dari Buddha, atau ''{{lang|ja-Latn|[[honji suijaku]]}}'', transformasi dari Buddha dalam upaya mereka untuk membantu makhluk hidup.{{sfn|Kuroda|1981|p=9}}
[[sh:Šintoizam]]
 
[[simple:Shinto]]
=== Zaman Nara ===
[[sk:Šintoizmus]]
Zaman ini menjadi tuan rumah dari banyak perubahan pada negara, pemerintahan, dan agama. Ibukota dipindahkan kembali ke [[Heijō-kyō]] (sekarang [[Nara, Nara|Nara]]), pada tahun 710 M oleh [[Maharani Genmei]] karena kematian kaisar. Praktek ini diperlukan karena kepercayaan Shinto pada ketidaksucian dalam kematian dan kebutuhan untuk menghindari kotoran tersebut. Namun, praktik pemindahan ibu kota karena "ketidakmurnian dalam kematian" ini kemudian dihapuskan oleh [[Kode Taihō]] dan peningkatan pengaruh Buddhis.<ref name="JapaneseReligion1985">{{cite book |title=Japanese Religion |publisher=Prentice Hall Inc |location=Englewood Cliffs, NJ |first=Robert Ellwood |last=Richard Pilgrim |edition=1st |year=1985|isbn=978-0-13-509282-8 |pages=18–19}}</ref> Pembentukan kota kekaisaran dalam hubungannya dengan Kode Taihō penting bagi Shinto karena kantor ritus Shinto menjadi lebih kuat dalam mengasimilasi kuil klan lokal ke dalam lipatan kekaisaran. Kuil-kuil baru dibangun dan berasimilasi setiap kali kota dipindahkan. Seluruh kuil agung diatur di bawah [[Kode Taihō|Taihō]] dan diwajibkan untuk memperhitungkan pendapatan, pendeta, dan praktik karena kontribusi nasional mereka.<ref name="JapaneseReligion1985" />
[[sl:Šintoizem]]
 
[[sv:Shinto]]
=== Zaman Meiji dan Kekaisaran Jepang ===
[[th:ชินโต]]
{{main|Shinto negara}}
[[tr:Şinto]]
[[File:Chosen Jingu.JPG|thumb|right|[[Chōsen Jingū]] di [[Seoul]], Korea, didirikan selama pendudukan Jepang di semenanjung]]
[[uk:Синто]]
Breen dan Teeuwen mencirikan periode antara tahun 1868 dan 1915, selama zaman Meiji, sebagai "tahun-tahun pembentukan" Shinto modern.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=7}} Berbagai cendekiawan berpendapat bahwa Shinto pada dasarnya "diciptakan" pada zaman tersebut.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=7}}
[[ur:زمرہ:شنتو]]
Fridell berpendapat bahwa para cendekiawan menyebut periode dari tahun 1868 hingga 1945 sebagai "periode Shinto Negara" karena, "selama beberapa dekade ini, unsur-unsur Shinto berada di bawah banyak pengaruh dan kontrol negara yang terbuka karena pemerintah Jepang secara sistematis menggunakan pemujaan kuil sebagai kekuatan utama untuk memobilisasi loyalitas kekaisaran atas nama pembangunan bangsa modern."<ref>Wilbur M. Fridell, "A Fresh Look at State Shintō", ''Journal of the American Academy of Religion'' 44.3 (1976), 547–561 [https://www.jstor.org/stable/1462824 in JSTOR]; quote p. 548</ref> Namun, pemerintah telah memperlakukan kuil sebagai perpanjangan dari pemerintah sebelum Meiji; misalnya [[Reformasi Tenpō]]. Selain itu, menurut cendekiawan [[Jason Josephson Storm|Jason Ānanda Josephson]], tidak akurat untuk menggambarkan kuil sebagai "agama negara" atau "teokrasi" selama periode ini karena mereka tidak memiliki organisasi, atau doktrin, dan tidak tertarik pada konversi.<ref>Josephson, Jason Ānanda (2012). ''The Invention of Religion in Japan''. University of Chicago Press. p. 133. {{ISBN|0226412342}}.</ref>
[[zh:神道教]]
 
[[Restorasi Meiji]] pada tahun 1868 didorong oleh pembaruan etika Konfusianisme dan patriotisme kekaisaran di antara kelas penguasa Jepang.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=8}} Di antara para reformis ini, agama Buddha dipandang sebagai pengaruh yang merusak yang telah merusak apa yang mereka bayangkan sebagai kemurnian dan keagungan asli Jepang.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=8}} Mereka ingin menempatkan penekanan baru pada pemujaan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sebagai bentuk ritual adat, suatu sikap yang juga didorong oleh kecemasan mengenai ekspansionisme Barat dan ketakutan bahwa Kekristenan akan berkembang di Jepang.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=8}}
 
Pada tahun 1868, semua pendeta kuil ditempatkan di bawah otoritas [[Jingikan]] yang baru, atau Dewan Urusan Kami.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|pp=7-8}} Sebuah proyek pemisahan paksa pemujaan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari agama Buddha dilaksanakan, dengan biksu, dewa, bangunan, dan ritual Buddha dilarang dari kuil ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=8}} Citra Buddhis, kitab suci, dan peralatan ritual dibakar, ditutupi kotoran, atau dihancurkan.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=8}} Pada tahun 1871, hierarki kuil yang baru diperkenalkan, dengan kuil nasional dan kekaisaran berada di puncak.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=9}} Kependataan secara turun-temurun dihapuskan dan sistem baru yang disetujui negara untuk mengangkat pendeta diperkenalkan.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=9}}
Pada tahun 1872, Jingikan ditutup dan diganti dengan [[Kyobusho]], atau Kementerian Pendidikan.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=10}} Kyobusho mengoordinasikan [[Shinto negara#Kampanye Promulgasi Besar|kampanye]] dengan ''{{lang|ja-Latn|Kyodoshoku}}'' dikirim ke seluruh negeri untuk mempromosikan "ajaran agung" di Jepang, yang mencakup penghormatan terhadap ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan kepatuhan kepada kaisar.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=10}} Kampanye ini dihentikan pada tahun 1884.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=10}} Pada tahun 1906, ribuan kuil desa digabungkan sehingga sebagian besar komunitas kecil hanya memiliki satu kuil, yang dapat mengadakan ritus untuk menghormati kaisar.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=11}} Shinto secara efektif menjadi kultus negara, yang dipromosikan dengan semangat yang meningkat menjelang Perang Dunia II.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=11}}
 
Pada tahun 1882, pemerintah Meiji menetapkan 13 gerakan keagamaan yang bukan Buddha maupun Kristen sebagai bentuk "[[Sekte Shinto]]".{{sfn|Offner|1979|p=215}} Jumlah dan nama sekte yang diberi sebutan formal ini bervariasi;{{sfn|Bocking|1997|p=112}} sering kali mereka menggabungkan ide-ide dari tradisi Buddhisme, Kristen, Konfusianisme, Taois, dan [[Esoterisme Barat|esoterik Barat]] dengan Shinto.{{sfn|Littleton|2002|pp=100-101}} Pada zaman Meiji, banyak tradisi lokal telah melesap dan digantikan oleh praktik standar nasional yang didorong dari Tokyo.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=12}}
 
Meskipun dukungan pemerintah terhadap kuil menurun, [[nasionalisme Jepang]] tetap terkait erat dengan legenda dari yayasan dan kaisar, seperti yang dikembangkan oleh para cendekiawan ''{{lang|ja-Latn|kokugaku}}''. Pada tahun 1890, [[Reskrip Kekaisaran tentang Pendidikan]] dikeluarkan, dan para pelajar secara ritual diminta untuk mengucapkan sumpahnya untuk "menawarkan dirimu dengan berani kepada Negara" serta untuk melindungi keluarga Kekaisaran. Proses seperti itu terus berlanjut selama awal [[zaman Shōwa]], dan berakhir tiba-tiba pada Agustus 1945 ketika Jepang kalah [[Perang Dunia II|perang di Pasifik]]. Pada 1 Januari 1946, [[Kaisar Shōwa]] mengeluarkan [[Deklarasi Kemanusiaan|Ningen-sengen]], dengan mengutip [[Piagam Sumpah|Sumpah dalam Lima Pasal]] dari [[Kaisar Meiji]] dan menyatakan bahwa ia bukan seorang ''{{lang|ja-Latn|[[Deklarasi Kemanusiaan|akitsumikami]]}}'' (dewa dalam bentuk manusia).<ref name="National Diet Library">[http://www.ndl.go.jp/constitution/e/shiryo/03/056shoshi.html Emperor, Imperial Rescript Denying His Divinity (Professing His Humanity)], ''[[National Diet Library]]''</ref>
 
=== Pascaperang ===
[[File:Association of Shinto Shrines 2010.jpg|thumb|Markas besar Asosiasi Kuil Shinto di [[Shibuya]], [[Tokyo]].]]
Selama pendudukan AS, sebuah konstitusi baru disusun. Konstitusi tersebut menjunjung tinggi [[kebebasan beragama]] di Jepang dan memprakarsai [[pemisahan agama dan negara]], sebuah tindakan yang dirancang untuk menghapus "Shinto negara" (''kokka shinto'').{{sfnm|1a1=Ueda|1y=1979|1p=304|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=171|3a1=Bocking|3y=1997|3p=18|4a1=Earhart|4y=2004|4p=207}} Sebagai bagian dari itu, Kaisar secara resmi menyatakan bahwa ia bukan seorang ''kami'';{{sfn|Earhart|2004|p=207}} setiap ritual Shinto yang dilakukan oleh keluarga kekaisaran menjadi urusan pribadi mereka sendiri.{{sfn|Ueda|1979|p=304}} Pembubaran ini mengakhiri subsidi pemerintah untuk kuil dan memberikan tempat-tempat suci dengan kebebasan baru untuk mengatur urusan mereka sendiri.{{sfn|Earhart|2004|p=207}} Pada tahun 1946, banyak kuil kemudian membentuk organisasi sukarela, [[Asosiasi Kuil Shinto]] (''Jinja Honchō'').{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=75|2a1=Earhart|2y=2004|2pp=207–208}} Pada tahun 1956, asosiasi tersebut mengeluarkan pernyataan kepercayaan, ''keishin seikatsu no kōryō'' ("karakteristik umum dari kehidupan yang dimuliakan dalam penghormatan kepada ''kami''"), untuk merangkum apa yang mereka anggap sebagai prinsip Shinto.{{sfn|Bocking|1997|p=94}} Pada akhir tahun 1990-an, sekitar 80% dari kuil Shinto di Jepang merupakan bagian dari asosiasi ini.{{sfn|Bocking|1997|p=76}}
 
Pada dekade pascaperang, banyak orang Jepang menyalahkan Shinto karena mendorong kebijakan militeristik yang mengakibatkan kekalahan dan pendudukan.{{sfn|Earhart|2004|p=207}} Sedangkan yang lain tetap bernostalgia dengan sistem Shinto negara,{{sfn|Kitagawa|1987|p=172}} dan kekhawatiran berulang kali diungkapkan bahwa sektor-sektor masyarakat Jepang bersekongkol untuk memulihkannya.{{sfn|Picken|2011|p=18}} Pascaperang, berbagai perdebatan hukum telah terjadi atas keterlibatan pejabat publik dalam Shinto.{{sfn|Bocking|1997|p=18}} Pada tahun 1965, misalnya, kota [[Tsu, Mie|Tsu]], Prefektur Mie membayar empat pendeta Shinto untuk menyucikan tempat di mana balai atletik kota akan dibangun. Kritikus membawa kasus ini ke pengadilan, mengklaim hal tersebut bertentangan dengan pemisahan konstitusional agama dan negara; pada tahun 1971, pengadilan tinggi memutuskan bahwa tindakan pemerintah kota tersebut merupakan inkonstitusional, meskipun hal ini dibatalkan oleh [[Mahkamah Agung Jepang|Mahkamah Agung]] pada tahun 1977.{{sfn|Ueda|1979|p=307}}
 
Pada periode pascaperang, motif Shinto sering dicampur dengan [[gerakan agama baru]] di Jepang;{{sfn|Nelson|1996|p=180}} dari kelompok Sekte Shinto, [[Tenrikyo]] mungkin yang paling sukses dalam dekade pasca-perang,{{sfn|Kitagawa|1987|p=172}} meskipun pada tahun 1970 menolak identitas Shinto sendiri.{{sfn|Bocking|1997|p=113}} Perspektif Shinto juga memberikan pengaruh pada budaya populer. Sutradara film [[Hayao Miyazaki]] dari [[Studio Ghibli]] misalnya mengakui pengaruh Shinto dalam pembuatan filmnya seperti ''[[Spirited Away]]''.{{sfn|Boyd|Nishimura|2016|p=3}} Shinto juga menyebar ke luar negeri melalui migran Jepang dan konversi oleh orang non-Jepang.{{sfnm|1a1=Picken|1y=2011|1p=xiv|2a1=Suga|2y=2010|2p=48}} [[Kuil Agung Tsubaki]] di [[Suzuka, Mie|Suzuka]], [[Prefektur Mie]], adalah kuil pertama mendirikan cabang di luar negeri: [[Kuil Agung Tsubaki Amerika]], awalnya berlokasi di California dan kemudian pindah ke [[Granite Falls, Washington]].{{sfn|Picken|2011|p=32}}
 
Selama abad ke-20, sebagian besar penelitian akademis mengenai Shinto dilakukan oleh para teolog Shinto, seringkali pendeta,{{sfn|Bocking|1997|p=176}} membawa tuduhan bahwa tindakan tersebut sering mengaburkan teologi dengan analisis sejarah.{{sfn|Hardacre|2017|p=4}} Sejak tahun 1980-an, terdapat peningkatan minat akademik pada Shinto baik di Jepang maupun luar negeri.{{sfn|Bocking|1997|p=177}}
 
== Kepercayaan ==
=== ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' ===
{{Main|Kami (mitologi)}}
[[File:A man confronted with an apparition of the Fox goddess.jpg|thumb|200px|Penggambaran artistik dari ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' Inari yang muncul di hadapan seorang pria]]
Shinto adalah [[politeisme|politeistik]], yang melibatkan pemujaan banyak dewa yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'',{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=23|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} atau terkadang sebagai ''{{lang|ja-Latn|jingi}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=70|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=31}} Seperti yang sering terjadi dalam bahasa Jepang, tidak ada perbedaan yang dibuat antara tunggal dan jamak, dan karenanya istilah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' mengacu baik pada individu dari ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' maupun kelompok ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfnm|1a1=Boyd|1a2=Williams|1y=2005|1p=35|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} Meskipun tidak memiliki terjemahan langsung,{{sfn|Earhart|2004|p=8}} istilah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' terkadang diterjemahkan sebagai "dewa" atau "roh";{{sfnm|1a1=Earhart|1y=2004|1p=2|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} sejarawan agama [[Joseph Kitagawa]] menyatakan bahwa terjemahan bahasa Inggris dari ''kami'' dianggap "sangat tidak memuaskan dan menyesatkan",{{sfn|Kitagawa|1987|p=36}} dan berbagai cendekiawan mendesak untuk tidak menerjemahkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dalam bahasa Inggris.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=194|2a1=Bocking|2y=1997|2p=84}} Dalam bahasa Jepang, sering dikatakan terdapat [[Bilangan tak tentu dan fiktif|delapan juta]] ''{{lang|ja-Latn|kami}}'', istilah yang berkonotasi dengan jumlah yang tidak terbatas,{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=29|2a1=Littleton|2y=2002|2p=24}} dan praktisi Shinto percaya bahwa mereka ada di mana-mana.{{sfn|Hardacre|2017|p=1}} Mereka tidak dianggap sebagai [[kemahakuasaan|maha kuasa]], [[Kemahatahuan|maha tahu]], atau harus [[keabadian|abadi]].{{sfnm|1a1=Boyd|1a2=Williams|1y=2005|1p=35|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=52}}
 
Istilah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' "secara konseptual tidak pasti",{{sfn|Boyd|Williams|2005|p=35}} serta "tidak jelas dan tidak tepat".{{sfn|Offner|1979|p=194}} Dalam bahasa Jepang sering diterapkan pada kekuatan fenomena yang menimbulkan rasa heran dan kagum pada orang yang melihatnya.{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xxi|2a1=Boyd|2a2=Williams|2y=2005|2p=35}} Kitagawa menyebut hal tersebut sebagai "alam ''{{lang|ja-Latn|kami}}''", menyatakan bahwa ia menganggapnya "agak mirip" dengan gagasan Barat mengenai [[numinus]] dan [[keramat]].{{sfn|Kitagawa|1987|p=36}} ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' terlihat mendiami baik yang hidup maupun yang mati, bahan organik dan anorganik, dan bencana alam seperti gempa bumi, kekeringan, dan wabah penyakit;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} kehadiran mereka terlihat dalam kekuatan alam seperti angin, hujan, api, dan sinar matahari.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=14}} Oleh karena itu, Nelson berkomentar bahwa Shinto menganggap ""fenomena aktual" dari dunia itu sendiri" sebagai "ketuhanan".{{sfn|Nelson|1996|p=26}} Pemahaman Shinto mengenai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' juga dicirikan sebagai [[animisme|animistik]].{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=7|2a1=Picken|2y=2011|2p=40|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=13}}
 
Di Jepang, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dihormati sejak prasejarah,{{sfn|Hardacre|2017|p=1}} dan pada [[zaman Yayoi]] dianggap tidak berbentuk dan tidak terlihat.{{sfn|Hardacre|2017|p=19}} Hanya di bawah pengaruh agama Buddha mereka digambarkan secara antropomorfik;{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=180|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=1}} patung ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|shinzo}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=180}} ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' biasanya diasosiasikan dengan tempat tertentu, seringkali salah satu yang dikenal sebagai aspek penting di dalam pemandangan seperti air terjun, gunung, batu besar, atau pohon yang unik.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=75|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=14}} Objek fisik atau tempat yang diyakini memiliki kehadiran ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' disebut ''{{lang|ja-Latn|[[shintai]]}}'';{{sfn|Bocking|1997|p=172}} objek yang dihuni oleh ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang ditempatkan di kuil dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|go-shintai}}''.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Nelson|2y=1996|2p=144}} Objek yang biasa dipilih untuk tujuan tersebut termasuk cermin, pedang, batu, manik-manik, dan papan bertulis.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Earhart|2y=2004|2pp=36–37}} ''{{lang|ja-Latn|go-shintai}}'' ini disembunyikan dari pandangan pengunjung,{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Picken|2y=2011|2p=44}} dan mungkin disembunyikan di dalam kotak sehingga bahkan para pendeta tidak tahu seperti apa bentuknya.{{sfn|Bocking|1997|p=172}}
 
''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' diyakini mampu melakukan perbuatan baik dan merusak;{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=27|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} jika peringatan mengenai perilaku baik diabaikan, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dapat menjatuhkan hukuman yang disebut ''{{lang|ja-Latn|shinbatsu}}'', sering kali berupa penyakit atau kematian mendadak.{{sfn|Bocking|1997|p=164}} Beberapa ''{{lang|ja-Latn|kami}}'', disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|magatsuhi-no-kami}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|araburu kami}}'', dianggap sebagai jahat dan destruktif pada dasarnya.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=114|2a1=Picken|2y=2011|2p=42}} Persembahan dan doa diberikan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk mendapatkan berkah dan untuk mencegah mereka melakukan tindakan yang merusak.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} Shinto berusaha untuk menumbuhkan dan memastikan hubungan yang harmonis antara manusia dan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' serta dengan alam.{{sfn|Earhart|2004|pp=7–8}} ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' yang lebih terlokalisasi mungkin tunduk pada perasaan keintiman dan keakraban dari anggota komunitas lokal yang tidak diarahkan pada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang lebih luas seperti Amaterasu.{{sfn|Nelson|1996|p=33}} ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari komunitas tertentu disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|ujigami}}'',{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1pp=214-215|2a1=Littleton|2y=2002|2p=24}} sedangkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari rumah tertentu disebut ''{{lang|ja-Latn|yashikigami}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=222}}
 
''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' tidak dianggap berbeda [[metafisika|secara metafisik]] dari kemanusiaan,{{sfn|Boyd|Williams|2005|p=35}} sehingga menjadi mungkin bagi manusia untuk menjadi ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Earhart|2004|p=8}} Manusia yang sudah mati terkadang dipuja sebagai kami, dianggap sebagai pelindung atau sosok leluhur.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=27|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13|3a1=Hardacre|3y=2017|3p=1}} Salah satu contoh yang paling terkemuka adalah [[Kaisar Ōjin]], yang pada kematiannya diabadikan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' [[Hachiman]], yang diyakini sebagai pelindung Jepang dan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' perang.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1pp=31-32|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=14}} Dalam budaya Jepang, leluhur dapat dipandang sebagai bentuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Earhart|2004|p=10}} Di Jepang Barat, istilah ''{{lang|ja-Latn|[[jigami]]}}'' digunakan untuk menggambarkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang diabadikan dari seorang pendiri desa.{{sfn|Bocking|1997|p=69}} Dalam beberapa kasus, manusia hidup juga dipandang sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'';{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} mereka dipanggil ''{{lang|ja-Latn|akitsumi kami}}''{{sfn|Picken|2011|pp=35–36}} atau ''{{lang|ja-Latn|arahito-gami}}''.{{sfn|Picken|2011|p=42}} Dalam sistem Shinto negara dari zaman Meiji, kaisar Jepang dinyatakan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'',{{sfn|Earhart|2004|p=8}} sementara beberapa sekte Shinto juga memandang pemimpin mereka sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang hidup.{{sfn|Earhart|2004|p=8}}
 
[[File:Hokora in Takeo no Okusu.jpg|thumb|left|Pohon suci berusia 3000 tahun ([[shintai]]) dari Kuil Takeo]]
 
Meskipun beberapa ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dihormati hanya dalam satu lokasi, yang lain memiliki kuil yang didedikasikan untuk mereka di banyak wilayah Jepang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Hachiman misalnya memiliki sekitar 25.000 kuil yang didedikasikan untuknya.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=14}} Tindakan mendirikan kuil baru untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang sudah memilikinya disebut ''{{lang|ja-Latn|[[bunrei]]}}'' ("membagi roh").{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=13|2a1=Picken|2y=2011|2p=57|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=15}} Sebagai bagian dari itu, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' diundang untuk memasuki tempat baru, tempat ia dapat dipuja, dengan rangkaian upacara yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[kanjo]]}}''.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Kuil cabang, yang baru dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|bunsha}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=13|2a1=Picken|2y=2011|2p=58}} Individu ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' diyakini tidak berkurang kekuatannya dengan tempat tinggal mereka di beberapa lokasi, dan tidak ada batasan jumlah tempat yang dapat mengabadikan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Dalam beberapa periode, dikenakan biaya untuk hak mengabadikan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu di tempat baru.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Kuil tidak selalu dirancang sebagai struktur permanen.{{sfn|Hardacre|2017|p=1}}
 
Banyak kami diyakini memiliki utusan, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami no tsukai}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|tsuka washime}}'', dan umumnya digambarkan dengan mengambil bentuk binatang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Utusan Inari, misalnya, digambarkan sebagai rubah (''[[kitsune]]''),{{sfnm|1a1=Picken|1y=2011|1p=40|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=15}} sedangkan utusan Hachiman adalah seekor merpati.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}}
Kosmologi Shinto juga mencakup ''{{lang|ja-Latn|[[Obake|bakemono]]}}'', roh yang menyebabkan tindakan jahat.{{sfn|Bocking|1997|p=8}} ''{{lang|ja-Latn|Bakemono}}'' termasuk ''{{lang|ja-Latn|[[oni]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[tengu]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[Kappa (mitologi)|kappa]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[mononoke]]}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|[[Yama-uba|yamanba]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=8}} Cerita rakyat Jepang juga memasukkan kepercayaan pada ''{{lang|ja-Latn|goryō}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|onryō}}'', roh yang tidak tenang atau pendendam, terutama mereka yang meninggal dengan kejam dan tanpa upacara pemakaman yang sesuai.{{sfn|Bocking|1997|p=37}} Hal tersebut diyakini menimbulkan penderitaan pada yang hidup, yang berarti bahwa mereka harus ditenangkan, biasanya melalui upacara Buddhis tetapi kadang-kadang dengan mengabadikan mereka sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=37}} Sosok supranatural Jepang lainnya termasuk ''{{lang|ja-Latn|[[tanuki]]}}'', makhluk seperti binatang yang dapat mengambil bentuk manusia.{{sfn|Bocking|1997|p=200}}
 
=== Kosmogoni ===
[[File:Kobayashi Izanami and Izanagi.jpg|thumb|upright=0.7|[[Izanami]]-no-Mikoto dan [[Izanagi]]-no-Mikoto, oleh Kobayashi Eitaku, akhir abad ke-19]]
Asal usul ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan Jepang sendiri diceritakan dalam dua teks dari abad kedelapan, ''[[Kojiki]]'' dan ''Nihon Shoki'',{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=195|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=142|3a1=Littleton|3y=2002|3p=23|4a1=Earhart|4y=2004|4p=32|5a1=Cali|5a2=Dougill|5y=2013|5p=18}} meskipun cerita yang disajikan sebagian berbeda.{{sfn|Hardacre|2017|pp=48–49}} Dipengaruhi oleh pengaruh Tiongkok,{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=195|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=142|3a1=Littleton|3y=2002|3p=37|4a1=Earhart|4y=2004|4p=33}} teks-teks tersebut merupakan tugas yang diberikan oleh elit penguasa untuk melegitimasi dan mengkonsolidasikan kekuasaan mereka.{{sfnm|1a1=Earhart|1y=2004|1pp=33–34|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2pp=18–19}} Meskipun tidak begitu penting bagi kehidupan keagamaan di Jepang,{{sfn|Earhart|2004|p=33}} pada awal abad ke-20 pemerintah menyatakan bahwa cerita yang dibuat berkaitan dengan apa yang sebenarnya terjadi.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=19}}
 
''Kojiki'' menceritakan bahwa alam semesta dimulai dengan ''{{lang|ja-Latn|ame-tsuchi}}'', pemisahan elemen ringan dan murni (''{{lang|ja-Latn|ame}}'', "surga") dari elemen berat (''{{lang|ja-Latn|tsuchi}}'', "bumi").{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=5|2a1=Picken|2y=2011|2p=38|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=19}} Tiga kami kemudian muncul: [[Amenominakanushi]], [[Takamimusubi|Takamimusuhi no Mikoto]], dan [[Kamimusubi|Kamimusuhi no Mikoto]]. Kami lainnya mengikuti, termasuk saudara laki-laki dan perempuan, [[Izanagi]] dan [[Izanami]].{{sfnm|1a1=Cali|1a2=Dougill|1y=2013|1p=19|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=48}} ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' menginstruksikan Izanagi dan Izanami untuk membuat tanah di bumi. Untuk tujuan tersebut, saudara kandung mengaduk lautan asin dengan tombak permata, dari sana [[Pulau Onogoro]] terbentuk.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=143|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2pp=19–20|3a1=Hardacre|3y=2017|3p=49}} Izanagi dan Izanami kemudian turun ke Bumi, di mana Izanami melahirkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' selanjutnya. Salah satunya adalah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' api, yang kelahirannya menewaskan Izanami.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=143|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=20|3a1=Hardacre|3y=2017|3p=50}} Izanagi kemudian turun ke dunia bawah tanah (''{{lang|ja-Latn|yomi}}'') untuk mendapatkan kembali saudarinya, tapi ia melihat tubuhnya membusuk di sana. Malu terlihat dalam keadaan tersebut, ia mengusirnya keluar dari ''{{lang|ja-Latn|yomi}}'', dan lelaki itu menutup pintu masuknya dengan batu besar.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=143|2a1=Bocking|2y=1997|2p=67|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=20|4a1=Hardacre|4y=2017|4p=50}}
 
Izanagi mandi di laut untuk membersihkan diri dari kotoran yang ditimbulkan dengan menyaksikan pembusukan Izanami. Melalui tindakan ini, kami selanjutnya muncul dari tubuhnya: [[Amaterasu]] (''{{lang|ja-Latn|kami}}'' matahari) lahir dari mata kirinya, [[Tsukuyomi]] (''{{lang|ja-Latn|kami}}'' bulan) dari mata kanannya, dan [[Susanoo]] (''{{lang|ja-Latn|kami}}'' badai) dari hidungnya.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=196|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=143|3a1=Bocking|3y=1997|3p=67|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=20|5a1=Hardacre|5y=2017|5p=53}} Susanoo berperilaku dengan cara yang merusak, dan untuk menghindarinya, Amaterasu menyembunyikan dirinya di dalam sebuah gua, menenggelamkan bumi ke dalam kegelapan. ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang lain akhirnya berhasil membujuknya keluar.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1pp=196–197|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=144|3a1=Bocking|3y=1997|3p=3|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=21|5a1=Hardacre|5y=2017|5pp=53-54}} Susanoo kemudian dibuang ke bumi, di mana ia menikah dan memiliki anak.{{sfnm|1a1=Cali|1a2=Dougill|1y=2013|1p=22|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=54}} Menurut ''Kojiki'', Amaterasu kemudian mengirim cucunya, [[Ninigi]], untuk memerintah Jepang, memberinya manik-manik lengkung, cermin, dan pedang: simbol otoritas kekaisaran Jepang.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=144|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=57}} Amaterasu mungkin tetap menjadi ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang paling dihormati di Jepang.{{sfn|Littleton|2002|p=98}}
 
=== Kosmologi dan kehidupan setelah kematian ===
Dalam Shinto, prinsip daya cipta yang menembus seluruh kehidupan dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|musubi}}'', dan diasosiasikan dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tersendiri.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=129|2a1=Boyd|2a2=Williams|2y=2005|2p=34}} Dalam pemikiran tradisional Jepang, tidak ada konsep dualitas yang menyeluruh antara kebaikan dan keburukan.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=26|2a1=Picken|2y=2011|2p=36}} Konsep dari ''{{lang|ja-Latn|aki}}'' mencakup kemalangan, ketidakbahagiaan, dan bencana, meskipun tidak sesuai dengan konsep Barat mengenai keburukan.{{sfn|Picken|2011|p=36}} Tidak ada [[eskatologi]] dalam Shinto.{{sfn|Picken|2011|p=71}}
Teks-teks seperti ''Kojiki'' dan ''Nihon Shoki'' menggambarkan banyak alam dalam kosmologi Shinto.{{sfn|Doerner|1977|pp=153–154}} Teks tersebut menghadirkan alam semesta yang dibagi menjadi tiga bagian: Dataran Tinggi Surga (''{{lang|ja-Latn|Takama-no-hara}}''), tempat ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' hidup; Dunia yang Fenomenal atau Terwujud (''{{lang|ja-Latn|Utsushi-yo}}''), tempat manusia tinggal; dan Dunia Bawah (''{{lang|ja-Latn|Yomotsu-kuni}}''), tempat roh-roh jahat bersemayam.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=143|2a1=Bocking|2y=1997|2p=216}} Namun demikian, teks-teks mitologis tidak menarik demarkasi yang tegas antara alam-alam ini.{{sfn|Kitagawa|1987|p=143}}
 
Shinto mencakup kepercayaan pada roh atau jiwa manusia, yang disebut ''{{lang|ja-Latn|mitama}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|tamashii}}'', yang mengandung empat aspek.{{sfn|Hardacre|2017|p=75}} Meskipun gagasan asli mengenai kehidupan setelah kematian mungkin berkembang dengan baik sebelum kedatangan agama Buddha,{{sfn|Littleton|2002|p=90}} orang Jepang kontemporer sering mengadopsi konsep Buddhis mengenai kehidupan setelah kematian.{{sfn|Littleton|2002|p=89}} Shinto modern lebih menekankan pada kehidupan saat ini daripada kehidupan setelah kematian.{{sfnm|1a1=Doerner|1y=1977|1p=153|2a1=Littleton|2y=2002|2p=90}} Kisah-kisah mitologis seperti ''Kojiki'' menggambarkan ''{{lang|ja-Latn|yomi}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|yomi-no-kuni}}'' sebagai alam orang mati,{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=90|2a1=Picken|2y=2011|2p=71}} meskipun alam tersebut tidak memainkan peran dalam Shinto modern.{{sfn|Littleton|2002|p=90}} Gagasan Shinto modern mengenai kehidupan setelah kematian sebagian besar berkisar pada gagasan bahwa roh bertahan dari kematian tubuh dan terus membantu yang hidup. Setelah 33 tahun, mereka kemudian menjadi bagian dari keluarga ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Littleton|2002|pp=89-91}} Roh-roh leluhur ini kadang-kadang dianggap bersemayam di pegunungan,{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=91|2a1=Picken|2y=2011|2p=39}} dari sana mereka turun untuk mengambil bagian dalam acara pertanian.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Keyakinan kehidupan setelah kematian dari Shinto juga termasuk ''{{lang|ja-Latn|obake}}'', roh gelisah yang mati dalam keadaan buruk dan sering membalas dendam.{{sfn|Littleton|2002|p=92}}
 
=== Kesucian dan ketidaksucian ===
Pokok utama dalam Shinto adalah menghindari ''[[kegare]]'' ("polusi" atau "kotoran"),{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=93|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=20}} sambil memastikan ''[[harae]]'' ("kesucian").{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=101|2a1=Bocking|2y=1997|2p=45|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=21}} Dalam pemikiran Jepang, manusia pada dasarnya dipandang suci.{{sfn|Picken|2011|p=45}} Oleh karena itu, ''kegare'' dipandang sebagai kondisi sementara yang dapat diperbaiki melalui pencapaian ''harae''.{{sfn|Bocking|1997|p=93}} Ritus penyucian dilakukan untuk memulihkan kesehatan "spiritual" individu dan menjadikannya berguna bagi masyarakat.{{sfn|Nelson|1996|p=102}}
 
[[File:Karasuzumo purification ritual.jpg|thumb|left|Ritual penyucian Shinto setelah turnamen [[sumo]] anak-anak di [[Kuil Kamigamo|Kamigamo Jinja]] di [[Kyoto]]]]
 
Gagasan kesucian ini hadir dalam banyak aspek budaya Jepang, seperti menempatkan fokus pada mandi.{{sfn|Nelson|1996|p=38}} Penyucian misalnya dianggap penting dalam persiapan musim tanam,{{sfn|Nelson|1996|p=63}} sedangkan para pemain teater [[noh]] menjalani ritual penyucian diri sebelum mereka melakukan pertunjukannya.{{sfn|Picken|2011|p=7}} Di antara hal-hal yang dianggap sebagai kotoran tertentu dalam Shinto adalah kematian, penyakit, sihir, menguliti hewan hidup-hidup, hubungan sedarah, kebinatangan, tinja, dan darah yang berhubungan dengan menstruasi atau persalinan.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=206|2a1=Nelson|2y=1996|2p=104}} Untuk menghindari ''kegare'', pendeta dan praktisi lainnya dapat melakukan pantang dan menghindari berbagai kegiatan sebelum festival atau ritual.{{sfn|Bocking|1997|p=93}}
Berbagai kata, yang disebut ''imi-kotoba'', juga dianggap tabu, dan orang-orang menghindari mengucapkannya saat berada di kuil; termasuk ''shi'' (kematian), ''byō'' (penyakit), dan ''shishi'' (daging).{{sfn|Bocking|1997|p=58}}
 
Upacara penyucian yang dikenal sebagai ''misogi'' melibatkan penggunaan air tawar, air asin, atau garam untuk menghilangkan ''kegare''.{{sfn|Bocking|1997|p=124}} Perendaman penuh di laut sering dianggap sebagai bentuk penyucian paling kuno dan efektif.{{sfn|Nelson|1996|p=140}} Tindakan ini terkait dengan kisah mitologis ketika Izanagi membenamkan dirinya di laut untuk menyucikan diri setelah menemukan istrinya yang sudah meninggal; dari tindakan tersebut kami yang lain muncul dari tubuhnya.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=141|2a1=Bocking|2y=1997|2p=124}} Alternatif lainnya adalah berendam di bawah air terjun.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=124|2a1=Picken|2y=2011|2p=45}} Garam sering dianggap sebagai zat penyuci;{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=141|2a1=Earhart|2y=2004|2p=11}} beberapa praktisi Shinto misalnya akan menaburkan garam pada diri mereka sendiri setelah pemakaman,{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=141–142|2a1=Picken|2y=2011|2p=70}} sementara orang yang menjalankan restoran mungkin menaruh setumpuk kecil garam di luar setiap hari sebelum dibuka.{{sfn|Picken|2011|p=6}} Api, juga, dianggap sebagai sumber penyucian.{{sfn|Earhart|2004|p=11}} ''yaku-barai'' adalah bentuk harae yang dirancang untuk mencegah kemalangan,{{sfn|Bocking|1997|p=219}} sedangkan ''oharae'', atau "upacara penyucian besar", sering dimanfaatkan untuk ritual penyucian akhir tahun, dan dilakukan dua kali setahun di banyak kuil.{{sfn|Bocking|1997|p=136}} Sebelum zaman Meiji, ritual penyucian umumnya dilakukan oleh [[onmyōji]], sejenis peramal yang praktiknya berasal dari filosofi [[yin dan yang]] dari Tiongkok. {{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=12}}
 
=== ''Kannagara'', moralitas, dan etika ===
Dalam Shinto, ''kannagara'' ("jalan ''kami''") menjelaskan hukum [[kosmos|tatanan alam]],{{sfn|Picken|1994|p=xxiii}} dengan ''wa'' ("harmoni") yang melekat dalam segala hal.{{sfn|Littleton|2002|p=58}} Mengacaukan ''wa'' dianggap buruk, kontribusinya dianggap baik;{{sfn|Littleton|2002|pp=58, 61}} dengan demikian, subordinasi individu pada unit sosial yang lebih besar telah lama menjadi karakteristik agama tersebut.{{sfn|Littleton|2002|pp=11, 57}} Shinto menggabungkan cerita dan mitos moralitas tetapi tidak terdapat doktrin etika yang menyeluruh dan terkodifikasi;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} Offner mencatat bahwa Shinto tidak menetapkan "kode perilaku yang terpadu dan sistematis".{{sfn|Offner|1979|p=191}} Pandangannya mengenai ''kannagara'' mempengaruhi pandangan etis tertentu, terfokus pada ketulusan (''makoto'') dan kejujuran (''tadashii'').{{sfn|Picken|1994|p=xxiii}} ''Makoto'' dianggap sebagai kebajikan utama dalam agama Jepang secara lebih luas.{{sfn|Bocking|1997|p=115}} Shinto terkadang menyertakan rujukan pada empat kebajikan yang dikenal sebagai ''akaki kiyoki kokoro'' atau ''sei-mei-shin'', yang berarti "kemurnian dan keceriaan hati", yang terkait dengan keadaan ''harae''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=157|2a1=Picken|2y=2011|2p=34}} Offner percaya bahwa dalam Shinto, gagasan mengenai kebaikan terkait dengan "apa yang memiliki, atau berhubungan dengan, keindahan, kecerahan, keunggulan, nasib baik, kemuliaan, kemurnian, kesesuaian, harmoni, kesesuaian, [dan] produktivitas."{{sfn|Offner|1979|p=198}} ''Shojiki'' dianggap sebagai kebajikan, meliputi kejujuran, kebenaran, ketulusan, dan keterusterangan.{{sfn|Bocking|1997|p=182}} Fleksibilitas Shinto mengenai moralitas dan etika sering menjadi sumber kritik, terutama dari mereka yang berpendapat bahwa agama dapat dengan mudah menjadi pion bagi mereka yang ingin menggunakannya untuk melegitimasi otoritas dan kekuasaan mereka.{{sfn|Nelson|1996|p=198}}
 
Sepanjang sejarah Jepang, gagasan "saisei-itchi", atau penyatuan otoritas agama dan otoritas politik, telah lama dikenal.{{sfn|Kitagawa|1987|p=xvii}}
Cali dan Dougill mencatat bahwa Shinto telah lama diasosiasikan dengan "pandangan picik dan protektif" dari masyarakat Jepang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=10}} Mereka menambahkan bahwa di zaman modern, Shinto cenderung ke arah konservatisme dan nasionalisme.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=10}} Pada akhir tahun 1990-an, Bocking mencatat bahwa "nasionalisme yang tampak regresif sepertinya masih merupakan sekutu alami dari beberapa elemen sentral" dari Shinto.{{sfn|Bocking|1997|p=ix}} Akibat dari asosiasi ini, Shinto masih dipandang curiga oleh berbagai kelompok [[kebebasan sipil]] di Jepang dan banyak negara tetangga Jepang.{{sfn|Bocking|1997|p=ix}}
 
[[File:Yasukuni Shrine 2012.JPG|thumb|right|Tindakan para pendeta di Kuil Yasukuni di Tokyo telah menimbulkan kontroversi di seluruh Asia Timur]]
 
Pendeta Shinto mungkin menghadapi berbagai teka-teki etika. Pada tahun 1980-an, misalnya, para pendeta di [[Kuil Suwa (Nagasaki)|Kuil Suwa]] di [[Nagasaki]] berdebat mengenai pengundangan awak kapal Angkatan Laut AS yang berlabuh di kota pelabuhan pada perayaan festival mereka mengingat sensitivitas mengenai [[Pemboman atom Hiroshima dan Nagasaki#Nagasaki|penggunaan bom atom oleh AS pada tahun 1945 di kota itu]].{{sfn|Nelson|1996|pp=66–67}} Dalam kasus lain, para pendeta menentang proyek konstruksi di tanah milik kuil, terkadang membuat mereka bertentangan dengan kelompok kepentingan lain.{{sfnm|1a1=Ueda|1y=1979|1p=317|2a1=Rots|2y=2015|2p=221}} Pada awal 2000-an, seorang pendeta menentang penjualan tanah kuil untuk membangun [[pembangkit listrik tenaga nuklir]] di [[Kaminoseki, Yamaguchi|Kaminoseki]]; ia akhirnya ditekan untuk mengundurkan diri karena masalah ini.{{sfn|Rots|2015|p=221}} Persoalan lain yang cukup diperdebatkan adalah aktivitas [[Kuil Yasukuni]] di Tokyo. Kuil ini dikhususkan untuk para korban perang Jepang, dan pada tahun 1979 kuil tersebut mengabadikan 14 orang, termasuk [[Hideki Tojo]], yang dinyatakan sebagai terdakwa Kelas-A pada [[Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh|Pengadilan Kejahatan Perang Tokyo]] pada tahun 1946. Hal ini menimbulkan kecaman baik domestik maupun internasional, terutama dari Tiongkok dan Korea.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=2000|1p=12|2a1=Littleton|2y=2002|2p=99|3a1=Picken|3y=2011|3pp=18–19}}
 
Pada abad ke-21, Shinto semakin digambarkan sebagai spiritualitas yang berpusat pada alam dengan kredensial [[environmentalism|environmentalis]].{{sfn|Rots|2015|pp=205, 207}} Kuil Shinto semakin menekankan pelestarian hutan yang mengelilingi banyak kuil,{{sfn|Rots|2015|p=209}} dan beberapa kuil telah bekerja sama dengan kampanye lingkungan lokal.{{sfn|Rots|2015|p=223}} Pada tahun 2014, sebuah konferensi antaragama internasional tentang kelestarian lingkungan diadakan di kuil Ise, dihadiri oleh perwakilan [[PBB]] dan sekitar 700 pendeta Shinto.{{sfn|Rots|2015|pp=205–206}} Para komentator kritis mencirikan presentasi Shinto sebagai gerakan lingkungan sebagai taktik retoris daripada upaya bersama oleh lembaga-lembaga Shinto untuk menjadi ramah lingkungan.{{sfn|Rots|2015|p=208}} Cendekiawan Aike P. Rots menyarankan bahwa reposisi Shinto sebagai "agama alam" mungkin telah tumbuh dalam popularitas sebagai sarana untuk memisahkan agama dari isu-isu kontroversial "terkait dengan ingatan perang dan patronase kekaisaran."{{sfn|Rots|2015|p=210}}
 
== Praktik ==
Shinto cenderung berfokus pada perilaku ritual daripada doktrin.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=214|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=10}} Filsuf James W. Boyd dan Ron G. Williams menyatakan bahwa Shinto adalah "tradisi ritual yang pertama dan terkemuka",{{sfn|Boyd|Williams|2005|p=33}} sementara Picken mengamati bahwa "Shinto tidak tertarik pada ''kepercayaan'' tetapi pada ''agenda'', bukan pada sesuatu yang harus dipercayai tetapi pada sesuatu yang harus dilakukan."{{sfn|Picken|1994|p=xxxii}} Sarjana agama Clark B. Offner menyatakan bahwa fokus Shinto adalah pada "mempertahankan tradisi seremonial komunal untuk tujuan kesejahteraan manusia (komunal)".{{sfn|Offner|1979|p=198}} Seringkali sulit untuk membedakan praktik Shinto dari kebiasaan Jepang secara lebih luas,{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=8}} dengan Picken mengamati bahwa "pandangan dunia Shinto" memberikan "sumber utama pemahaman diri dalam cara hidup orang Jepang".{{sfn|Picken|1994|p=xxxii}} Nelson menyatakan bahwa "Orientasi dan nilai-nilai berbasis Shinto[...] terletak pada inti budaya, masyarakat, dan karakter Jepang".{{sfn|Nelson|1996|p=3}}
 
=== Kuil ===
{{Main|Kuil Shinto}}
[[File:Fushimi Inari - Main gate.jpg|thumb|right|Gerbang utama ke [[Fushimi Inari-taisha]] di Kyoto, salah satu kuil tertua di Jepang]]
Ruang publik di mana ''kami'' disembah sering dikenal dengan istilah ''[[Kuil Shinto|jinja]]'' ("tempat ''kami''");{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xviii|2a1=Bocking|2y=1997|2p=72|3a1=Earhart|3y=2004|3p=36|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} istilah ini berlaku untuk lokasi dan bukan untuk bangunan tertentu.{{sfn|Picken|2011|p=21}} ''Jinja'' biasanya diterjemahkan sebagai "kuil",{{sfn|Earhart|2004|p=36}} sebuah istilah yang sekarang lebih umum digunakan untuk struktur Buddhis Jepang.{{sfnm|1a1=Earhart|1y=2004|1p=36|2a1=Breen|2a2=Teeuwen|2y=2010|2p=1}} Terdapat sekitar 100.000 kuil umum di Jepang;{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=1}} sekitar 80.000 kuil berafiliasi dengan Asosiasi Kuil Shinto,{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xxxi|2a1=Picken|2y=2011|2p=29|3a1=Breen|3a2=Teeuwen|3y=2010|3p=5|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=8}} dengan 20.000 kuil lainnya tidak terafiliasi.{{sfn|Picken|2011|p=29}} Kuil-kuil tersebut ditemukan di seluruh negeri, dari daerah pedesaan yang terisolasi hingga daerah metropolitan yang padat.{{sfnm|1a1=Earhart|1y=2004|1p=36|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=7}} Istilah yang lebih spesifik terkadang digunakan untuk kuil tertentu tergantung pada fungsinya; beberapa kuil agung dengan asosiasi kekaisaran disebut ''jingū'',{{sfn|Bocking|1997|pp=71, 72}} kuil yang diabdikan untuk kematian perang disebut ''shokonsha'',{{sfn|Bocking|1997|p=182}} dan kuil yang terkait dengan pegunungan yang dianggap dihuni oleh ''kami'' disebut ''yama-miya''.{{sfn|Bocking|1997|p=220}}
 
Jinja biasanya terdiri dari kompleks beberapa bangunan,{{sfn|Littleton|2002|p=68}} dengan gaya arsitektur kuil yang sebagian besar dikembangkan pada [[zaman Heian]].{{sfn|Nelson|1996|p=93}} Tempat perlindungan bagian dalam yang ditinggal kami adalah ''[[honden]]''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=92|2a1=Littleton|2y=2002|2p=72|3a1=Picken|3y=2011|3p=43|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} Di dalam honden mungkin tersimpan benda-benda milik kami; yang dikenal sebagai ''shinpo'', dapat mencakup karya seni, pakaian, senjata, alat musik, lonceng, dan cermin.{{sfn|Bocking|1997|p=170}} Biasanya, para pemuja melakukan aktivitas mereka di luar honden.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Di dekat honden terkadang dapat ditemukan kuil tambahan, ''bekkū'', untuk kami lainnya; kami yang menghuni kuil ini tidak selalu dianggap lebih rendah dari yang ada di honden.{{sfn|Bocking|1997|p=9}} Di beberapa tempat, aula ibadah didirikan, yang disebut ''[[Haiden (Shinto)|haiden]]''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=92|2a1=Bocking|2y=1997|2p=42|3a1=Picken|3y=2011|3p=43|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} Pada tingkat yang lebih rendah dapat ditemukan aula persembahan, yang dikenal sebagai ''[[Heiden (Shinto)|heiden]]''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=92|2a1=Bocking|2y=1997|2p=49|3a1=Picken|3y=2011|3p=43}} Bersamaan dengan itu, gedung yang menampung honden, haiden, dan heiden disebut sebagai ''hongū''.{{sfn|Bocking|1997|p=54}} Pada beberapa kuil, terdapat bangunan terpisah untuk mengadakan upacara tambahan, seperti pernikahan, yang dikenal sebagai ''gishikiden'',{{sfn|Bocking|1997|p=34}} atau bangunan khusus tempat tarian ''kagura'' ditampilkan, yang dikenal sebagai ''kagura-den''.{{sfn|Bocking|1997|p=82}} Secara kolektif, bangunan pusat kuil dikenal sebagai ''shaden'',{{sfn|Bocking|1997|p=160}} sementara kawasannya dikenal sebagai ''keidaichi''{{sfn|Bocking|1997|p=94}} atau ''shin'en''.{{sfn|Bocking|1997|p=166}} Kawasan ini dikelilingi oleh pagar ''tamagaki'',{{sfn|Bocking|1997|p=197}} dengan masuk melalui gerbang ''shinmon'', yang dapat ditutup pada malam hari.{{sfn|Bocking|1997|p=169}}
 
[[File:Hushimi-inari-taisha otsuka3.jpg|thumb|left|Gambaran dari torii di kuil Fushimi Inari-taisha di Kyoto]]
 
Pintu masuk kuil ditandai oleh gerbang dua tiang dengan satu atau dua palang di atasnya, yang dikenal sebagai ''[[torii]]''.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=201|2a1=Bocking|2y=1997|2p=207|3a1=Earhart|3y=2004|3p=36|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} Detail yang tepat dari torii ini bervariasi dan setidaknya terdapat dua puluh gaya yang berbeda.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=207|2a1=Picken|2y=2011|2p=43}} Pintu masuk ini dianggap sebagai pembatas area tempat kami berada;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} melewatinya sering dipandang sebagai bentuk penyucian.{{sfn|Offner|1979|p=201}} Secara luas, torii adalah simbol Jepang yang diakui secara internasional.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Bentuk arsitekturnya khas Jepang, meskipun keputusan untuk mengecatnya dengan warna [[merah merona]] mencerminkan pengaruh Tiongkok yang berasal dari [[zaman Nara]].{{sfn|Picken|2011|p=20}} Terdapat pula ''[[komainu]]'' yang terletak di pintu masuk banyak kuil, yang merupakan patung hewan seperti singa atau anjing yang dianggap menakuti roh jahat;{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=201|2a1=Bocking|2y=1997|2p=104}} biasanya patung tersebut diletakkan berpasangan, salah satunya bermulut terbuka, dan yang lain bermulut tertutup.{{sfn|Bocking|1997|p=104}}
 
Kuil biasanya terletak di dalam taman{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=12}} atau hutan rimba yang disebut ''chinju no mori'' ("hutan penjaga kami"),{{sfn|Rots|2015|p=211}} yang ukurannya bervariasi dari hanya beberapa pohon hingga area hutan yang cukup besar.{{sfn|Rots|2015|p=219}} Lentera besar, yang dikenal sebagai ''[[tōrō]]'', sering ditemukan di dalam kawasan ini.{{sfn|Bocking|1997|p=208}} Kuil biasanya memiliki kantor, yang dikenal sebagai ''shamusho'',{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=71|2a1=Bocking|2y=1997|2p=72}} sebuah ''saikan'' tempat para pendeta menjalani bentuk pantang dan penyucian sebelum melakukan ritual,{{sfn|Bocking|1997|p=148}} dan bangunan lain seperti tempat tinggal pendeta dan gudang.{{sfn|Offner|1979|p=201}} Berbagai kios sering menjual jimat kepada pengunjung.{{sfn|Bocking|1997|pp=72–73}} Sejak akhir tahun 1940-an, kuil-kuil harus mandiri secara finansial, bergantung pada sumbangan para penyembah dan pengunjung. Dana ini digunakan untuk membayar upah para pendeta, membiayai pemeliharaan bangunan, menutupi biaya keanggotaan kuil dari berbagai kelompok Shinto regional dan nasional, dan berkontribusi pada dana bantuan bencana.{{sfn|Nelson|1996|p=77}}
 
Dalam Shinto, dianggap penting bahwa tempat-tempat kami dimuliakan dijaga kebersihannya dan tidak diabaikan.{{sfn|Picken|2011|p=23}} Selama zaman Edo, kuil Kami biasanya dihancurkan dan dibangun kembali di lokasi terdekat untuk menghilangkan kotoran dan memastikan kemurnian.{{sfn|Nelson|1996|p=92}} Hal ini terus berlanjut hingga saat ini di beberapa tempat tertentu, seperti Kuil Agung Ise, yang dipindahkan ke lokasi yang berdekatan setiap dua dekade.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=93|2a1=Bocking|2y=1997|2p=163|3a1=Nelson|3y=2000|3p=4|4a1=Hardacre|4y=2017|4pp=79-80}} Kuil terpisah juga dapat digabungkan dalam proses yang dikenal sebagai ''jinja gappei'',{{sfn|Bocking|1997|p=73}} sedangkan tindakan memindahkan kami dari satu bangunan ke bangunan lain disebut ''sengu''.{{sfn|Bocking|1997|p=158}} Kuil mungkin memiliki legenda mengenai fondasinya, yang dikenal sebagai ''en-gi''. Legenda tersebut terkadang juga mencatat keajaiban yang terkait dengan kuil.{{sfn|Bocking|1997|p=26}} Sejak periode Heian, ''en-gi'' sering diceritakan kembali pada gulungan gambar yang dikenal sebagai ''[[emakimono]]''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=26|2a1=Picken|2y=2011|2p=44}}
 
==== Kependetaan dan ''miko'' ====
[[File:Miwa-shrine Yutateshinji A.JPG|thumb|right|Upacara {{lang|ja-Latn|Yutateshinji}} yang diselenggarakan oleh pendeta Shinto di [[Ōmiwa jinja|Kuil Miwa]] di [[Sakurai, Nara]]]]
Kuil-kuil dapat dirawat oleh para pendeta, komunitas lokal, atau keluarga yang memiliki properti kuil tersebut.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Pendeta Shinto dikenal dalam bahasa Jepang sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[kannushi]]}}'', yang berarti "pemilik ''{{lang|ja-Latn|kami}}''",{{sfn|Bocking|1997|p=88}} atau secara alternatif sebagai ''{{lang|ja-Latn|shinshoku}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|shinkan}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=168, 171}} Banyak kannushi mengambil peran dalam garis suksesi turun-temurun yang dapat ditelusuri dari keluarga tertentu.{{sfnm|1a1=Ueda|1y=1979|1p=325|2a1=Nelson|2y=1996|2p=29}} Dalam Jepang kontemporer, terdapat dua universitas pelatihan utama bagi mereka yang ingin menjadi ''{{lang|ja-Latn|kannushi}}'', [[Universitas Kokugakuin]] di Tokyo dan [[Universitas Kogakkan]] di [[Prefektur Mie]].{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=29|2a1=Bocking|2y=1997|2pp=99, 102}} Para pendeta dapat naik pangkat selama karier mereka.{{sfn|Nelson|1996|p=42}} Jumlah pendeta di kuil tertentu dapat bervariasi; beberapa kuil dapat memiliki puluhan pendeta, dan yang lainnya tidak memilikinya, melainkan dikelola oleh sukarelawan awam setempat.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=73|2a1=Picken|2y=2011|2pp=31–32}} Beberapa pendeta mengelola beberapa kuil kecil, terkadang lebih dari sepuluh.{{sfn|Picken|2011|p=32}}
 
Pakaian pendeta sebagian besar didasarkan pada pakaian yang dikenakan di istana kekaisaran selama zaman Heian.{{sfn|Nelson|2000|p=15}} Pakaian tersebut termasuk topi bulat tinggi yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|eboshi}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=25}} dan bakiak kayu berpernis hitam yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|asagutsu}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=7|2a1=Picken|2y=2011|2p=44}} Pakaian luar yang dikenakan oleh seorang pendeta, biasanya berwarna hitam, merah, atau biru muda, adalah ''{{lang|ja-Latn|hō}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=53}} atau ''{{lang|ja-Latn|ikan}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=58}} Versi sutra putih dari ''{{lang|ja-Latn|ikan}}'', digunakan untuk acara-acara resmi, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|saifuku}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=58, 146}} Jubah pendeta lainnya adalah ''{{lang|ja-Latn|kariginu}}'', yang mencontoh pakaian berburu gaya Heian.{{sfn|Bocking|1997|pp=89–90}} Benda lain dari pakaian pendeta standar adalah kipas ''{{lang|ja-Latn|hiōgi}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=51}} sedangkan selama ritual, pendeta membawa sepotong kayu datar yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[Shaku (tongkat ritual)|shaku]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=162}} Pakaian ini umumnya lebih berornamen daripada pakaian suram yang dikenakan oleh biksu Buddha Jepang.{{sfn|Nelson|2000|p=15}}
 
[[File:Kamogawa ceremony 02.jpg|thumb|left|Miko melakukan upacara Shinto di dekat [[Sungai Kamo]]]]
 
Kepala pendeta di kuil adalah {{lang|ja-Latn|gūji}}.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=212|2a1=Nelson|2y=1996|2p=186|3a1=Bocking|3y=1997|3p=39|4a1=Boyd|4a2=Williams|4y=2005|4p=33}} Kuil yang lebih besar mungkin juga memiliki asisten kepala pendeta, ''{{lang|ja-Latn|gon-gūji}}''.{{sfn|Offner|1979|p=212}} Seperti halnya guru, instruktur, dan pendeta Buddha, pendeta Shinto sering disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[sensei]]}}'' oleh praktisi awam.{{sfn|Nelson|1996|p=179}} Secara historis, terdapat pendeta perempuan meskipun sebagian besar dipaksa keluar dari posisinya pada tahun 1868.{{sfn|Nelson|1996|p=123}} Selama Perang Dunia II, wanita kembali diizinkan menjadi pendeta untuk mengisi kekosongan yang disebabkan oleh sejumlah besar pria yang terdaftar di militer.{{sfn|Nelson|1996|p=124}} Pada akhir tahun 1990-an, sekitar 90% pendeta adalah laki-laki, 10% pendeta adalah perempuan.{{sfn|Littleton|2002|p=98}} Pendeta bebas untuk menikah dan memiliki anak.{{sfn|Nelson|1996|p=124}} Pada kuil-kuil yang lebih kecil, para pendeta sering memiliki pekerjaan penuh waktu lainnya, dan hanya melayani sebagai pendeta selama acara-acara khusus.{{sfn|Offner|1979|p=212}}
Sebelum perayaan-perayaan besar tertentu, para pendeta dapat menjalani masa pantang dari hubungan seksual.{{sfn|Nelson|1996|p=43}} Beberapa dari mereka yang terlibat dalam festival juga berpantang dari berbagai hal, seperti minum teh, kopi, atau alkohol, sesaat sebelum acara.{{sfn|Nelson|1996|p=141}}
 
Para pendeta dibantu oleh ''{{lang|ja-Latn|jinja miko}}'', terkadang disebut sebagai "gadis kuil".{{sfn|Bocking|1997|p=121}} ''{{lang|ja-Latn|[[miko]]}}'' tersebut biasanya belum menikah,{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=47|2a1=Bocking|2y=1997|2p=121}} meski belum tentu perawan.{{sfn|Nelson|1996|p=47}} Dalam banyak kasus, mereka adalah putri seorang pendeta atau praktisi.{{sfn|Bocking|1997|p=121}} Mereka berada di bawah para pendeta dalam hierarki kuil.{{sfn|Nelson|1996|pp=124–125}} Mereka berperan penting dalam tarian ''{{lang|ja-Latn|[[kagura]]}}'', yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|otome-mai}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=125}} ''{{lang|ja-Latn|Miko}}'' hanya menerima gaji kecil tetapi mendapatkan rasa hormat dari anggota masyarakat setempat dan belajar keterampilan seperti memasak, kaligrafi, melukis, dan tata krama yang dapat bermanfaat bagi mereka ketika nanti mencari pekerjaan atau pasangan hidup.{{sfn|Nelson|1996|p=125}} Mereka umumnya tidak tinggal di kuil.{{sfn|Nelson|1996|p=125}} Kadang-kadang mereka mengisi peran lain, seperti menjadi sekretaris di kantor kuil atau juru tulis di meja informasi, atau sebagai pelayan pada pesta ''{{lang|ja-Latn|naorai}}''. Mereka juga membantu ''{{lang|ja-Latn|kannushi}}'' pada ritus upacara.{{sfn|Nelson|1996|p=125}}
 
==== Kunjungan ke kuil ====
Kunjungan ke kuil disebut ''{{lang|ja-Latn|sankei}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=152}} atau ''{{lang|ja-Latn|jinja mairi}}''.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Beberapa orang mengunjungi kuil setiap hari, sering kali pada rute pagi ketika berangkat kerja;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} biasanya hanya memakan waktu beberapa menit.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Biasanya, seorang penyembah akan mendekati honden, menempatkan persembahan uang ke dalam sebuah kotak dan kemudian membunyikan lonceng untuk meminta perhatian ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1pp=201–202|2a1=Littleton|2y=2002|2p=72|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=11}} Kemudian, mereka membungkuk, bertepuk tangan, dan berdiri sambil diam-diam memanjatkan doa.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=204|2a1=Breen|2a2=Teeuwen|2y=2010|2p=3|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=11}} Tepuk tangan disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|kashiwade}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|hakushu}}'';{{sfn|Bocking|1997|pp=43, 90}} doa atau permohonan disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|kigan}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=96}} Penyembahan secara individu ini dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|hairei}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=42}} Secara luas, doa ritual kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' disebut ''{{lang|ja-Latn|[[norito]]}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=135}} sedangkan koin yang dipersembahkan adalah ''{{lang|ja-Latn|saisen}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=149}} Pada kuil, doa yang dipanjatkan secara individu tidak harus ditujukan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Seorang penyembah mungkin tidak tahu nama ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang tinggal di kuil atau banyaknya ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang diyakini tinggal di sana.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=11}} Tidak seperti pada agama-agama tertentu lainnya, kuil Shinto tidak memiliki kebaktian mingguan yang diharapkan untuk dihadiri oleh para praktisi.{{sfn|Earhart|2004|p=12}}
 
[[File:魂入れに伴う山車(聖武山)の修祓、姥神大神宮の鳥居前にて(2018年8月9日撮影).jpg|thumb|left|Pendeta menyucikan area di depan kediaman ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.]]
 
Beberapa praktisi Shinto tidak mempersembahkan doa mereka kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' secara langsung, melainkan meminta seorang pendeta untuk mempersembahkannya atas nama mereka; doa-doa ini dikenal sebagai '''kitō''.{{sfn|Bocking|1997|p=98}} Banyak orang mendekati ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk meminta permintaan pragmatis.{{sfn|Nelson|1996|p=116}} Permintaan untuk hujan, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|amagoi}}'' ("meminta hujan") ditemukan di seluruh Jepang, dengan Inari merupakan pilihan populer untuk permintaan tersebut.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=3|2a1=Picken|2y=2011|2p=36}}
Doa-doa lain mencerminkan keprihatinan yang lebih kontemporer. Misalnya, orang mungkin meminta pendeta mendekati ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk menyucikan mobil mereka dengan harapan agar tidak terlibat dalam kecelakaan.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=116|2a1=Bocking|2y=1997|2p=114}} Demikian pula, perusahaan transportasi sering meminta upacara penyucian untuk bus atau pesawat baru yang akan mulai beroperasi.{{sfn|Bocking|1997|p=108}} Sebelum sebuah bangunan dibangun, biasanya seseorang atau perusahaan konstruksi mempekerjakan seorang pendeta Shinto untuk mendatangi tanah yang sedang dikembangkan dan melakukan ''{{lang|ja-Latn|jichinsai}}'', atau ritual penyucian bumi. Ini memurnikan situs dan meminta ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk memberkatinya.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=190–196|2a1=Bocking|2y=1997|2p=68}}
 
Orang-orang sering meminta ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk membantu dalam mengimbangi peristiwa buruk yang mungkin memengaruhi mereka. Misalnya, dalam budaya Jepang, usia 33 tahun bagi wanita dan usia 42 tahun bagi pria dipandang sebagai sial, dan dengan demikian orang-orang dapat meminta ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk mengimbangi kemalangan yang terkait dengan usia tersebut.{{sfn|Nelson|1996|p=183}} Arah tertentu juga dapat dilihat sebagai tidak menguntungkan bagi orang-orang tertentu pada waktu tertentu dan dengan demikian orang-orang dapat mendekati ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' meminta mereka untuk mengimbangi masalah ini ketika mereka harus melakukan perjalanan di salah satu arah sial itu.{{sfn|Nelson|1996|p=183}}
 
[[Ziarah]] telah lama menjadi penting dalam agama Jepang,{{sfn|Kitagawa|1987|pp=xvii–xviii}} dengan ziarah ke kuil Shinto yang disebut ''{{lang|ja-Latn|[[junrei]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=80}} Ziarah keliling, ketika individu mengunjungi serangkaian kuil dan situs suci lainnya yang merupakan bagian dari rute tetap, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|junpai}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=80}} Seseorang yang memimpin para peziarah ini, terkadang disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|sendatsu}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=158}} Selama berabad-abad, orang-orang juga mengunjungi kuil karena alasan budaya dan rekreasi, bukan alasan spiritual.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Banyak kuil diakui sebagai situs sejarah penting dan beberapa diklasifikasikan sebagai [[Situs Warisan Dunia]] oleh [[UNESCO]].{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Kuil-kuil seperti [[Kuil Shimogamo|Shimogamo Jinja]] dan [[Fushimi Inari Taisha]] di Kyoto, [[Kuil Meiji|Meiji Jingū]] di Tokyo, dan [[Atsuta Jingū]] di Nagoya merupakan beberapa tempat wisata paling populer di Jepang.{{sfn|Rots|2015|p=221}} Banyak kuil memiliki cap stempel unik yang dapat ditambahkan ke dalam ''{{lang|ja-Latn|sutanpu bukku}}'' atau buku stempel, yang menunjukkan berbagai kuil yang dikunjungi.{{sfn|Bocking|1997|p=192}}
 
=== ''Harae'' dan ''hōbei'' ===
{{Main|Harae}}
[[File:ItsukushimaBasin7406.jpg|thumb|right|Ritual Shinto dimulai dengan proses penyucian, sering kali melibatkan mencuci tangan dan mulut pada kolam {{lang|ja-Latn|temizu}}; salah satunya berada di Itsukushima Jinja.]]
 
Ritual Shinto dimulai dengan proses penyucian, atau ''{{lang|ja-Latn|harae}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=39|2a1=Bocking|2y=1997|2p=45}} Ritual ini menggunakan air tawar atau air asin, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|misogi}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=124}} Di kuil, ritual ini memerlukan percikan air pada wajah dan tangan, prosedur yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|temizu}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=45}} menggunakan sebuah wadah yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[temizuya]]}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=91}} Bentuk penyucian lain pada awal dari ritus Shinto yaitu dengan menggoyangkan panji atau tongkat yang dipasang kertas putih dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=39, 46|2a1=Bocking|2y=1997|2p=45}} Saat tidak digunakan, ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'' biasanya disimpan dalam posisi berdiri.{{sfn|Bocking|1997|p=45}} Pendeta menggoyangkan ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'' secara horizontal di atas orang atau benda yang disucikan dalam gerakan yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|sa-yu-sa}}'' ("kiri-kanan-kiri").{{sfn|Bocking|1997|p=45}} Terkadang, alih-alih menggunakan ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'', penyucian dilakukan dengan ''{{lang|ja-Latn|o-nusa}}'', cabang cemara yang dipasang potongan kertas.{{sfn|Bocking|1997|p=45}} Goyangan dari ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'' sering diikuti dengan tindakan penyucian tambahan, ''{{lang|ja-Latn|shubatsu}}'', di mana pendeta memercikkan air, garam, atau air garam di atasnya yang dikumpulkan dari kotak kayu yang disebut ''{{lang|ja-Latn|'en-to-oke}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|magemono}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=184}}
 
Tindakan penyucian terselesaikan, petisi yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|norito}}'' diucapkan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Hal itu diikuti oleh penampilan ''{{lang|ja-Latn|miko}}'', yang dimulai dengan gerakan melingkar perlahan di depan altar utama.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Persembahan kemudian disajikan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dengan ditaruh di atas meja.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Tindakan ini dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|hōbei}}'';{{sfn|Bocking|1997|p=53}} persembahan itu sendiri dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|saimotsu}}''{{sfn|Bocking|1997|p=148}} atau ''{{lang|ja-Latn|sonae-mono}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=187}} Secara historis, persembahan yang diberikan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' meliputi makanan, kain, pedang, dan kuda.{{sfn|Cali|Dougill|2013|pp=13–14}} Pada periode kontemporer, umat awam biasanya memberikan hadiah uang kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sedangkan para pendeta umumnya menawarkan makanan, minuman, dan tangkai dari pohon {{lang|ja-Latn|[[sakaki]]}} yang sakral.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=14}} [[Pengurbanan hewan]] tidak dianggap sebagai persembahan yang pantas, karena penumpahan darah dipandang sebagai tindakan pengotoran yang memerlukan penyucian.{{sfn|Nelson|1996|p=64}} Persembahan yang disajikan terkadang sederhana dan terkadang lebih rumit; di Kuil Agung Ise, misalnya, 100 jenis makanan disajikan sebagai persembahan.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Pilihan persembahan sering kali disesuaikan dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan kesempatan tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=170}}
 
Persembahan makanan dan minuman secara khusus disebut ''{{lang|ja-Latn|shinsen}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=170}}
[[Sake]], atau arak beras, adalah persembahan yang sangat umum untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=150}} Setelah persembahan diberikan, orang-orang sering menyesap arak beras yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|o-miki}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Meminum arak ''{{lang|ja-Latn|o-miki}}'' dipandang sebagai bentuk persekutuan dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=53}} Pada acara-acara penting, sebuah pesta kemudian diadakan, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|naorai}}'', di dalam aula perjamuan yang terhubung dengan kompleks kuil.{{sfn|Nelson|1996|pp=40, 53}}
 
''{{lang|ja-Latn|kami}}'' diyakini menikmati musik.{{sfn|Nelson|1996|p=49}} Salah satu gaya musik yang ditampilkan di kuil adalah ''{{lang|ja-Latn|[[gagaku]]}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=49|2a1=Bocking|2y=1997|2p=33}} Alat musik yang digunakan antara lain tiga ''reed'' (''{{lang|ja-Latn|fue}}'', ''{{lang|ja-Latn|sho}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|hichiriki}}''), ''{{lang|ja-Latn|yamato-koto}}'', dan "tiga drum" (''{{lang|ja-Latn|taiko}}'', ''{{lang|ja-Latn|kakko}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|shōko}}'').{{sfn|Bocking|1997|p=33}} Gaya musik lain yang ditampilkan di kuil dapat memiliki fokus yang lebih terbatas. Di kuil seperti [[Kuil Ōharano]] di Kyoto, musik ''{{lang|ja-Latn|azuma-asobi}}'' ("hiburan timur") dipertunjukkan pada 8 April.{{sfn|Bocking|1997|p=8}} Selain itu, berbagai festival di Kyoto menggunakan gaya musik dan tarian ''{{lang|ja-Latn|[[dengaku]]}}'', yang berasal dari lagu penanaman padi.{{sfn|Bocking|1997|p=22}} Selama ritual, orang yang mengunjungi kuil diharapkan untuk duduk dengan gaya ''{{lang|ja-Latn|[[seiza]]}}'', dengan kaki diselipkan di bawah bokong.{{sfn|Nelson|1996|p=214}} Untuk menghindari kram, seseorang yang menahan posisi ini untuk waktu yang lama dapat secara berkala menggerakkan kaki dan melenturkan tumit.{{sfn|Nelson|1996|pp=214–215}}
 
=== Kuil keluarga ===
[[File:Kamidana.jpg|300px|right|thumb|''{{lang|ja-Latn|Kamidana}}'' yang menampilkan ''{{lang|ja-Latn|[[shimenawa]]}}'' dan ''{{lang|ja-Latn|[[Shide (Shinto)|shide]]}}'']]
Setelah melihat popularitas yang meningkat di era Meiji,{{sfn|Bocking|1997|p=85}} banyak praktisi Shinto juga memiliki kuil keluarga, atau ''{{lang|ja-Latn|[[kamidana]]}}'' ("rak ''kami''"), di rumah mereka.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1pp=200|2a1=Nelson|2y=1996|2p=184|3a1=Littleton|3y=2002|3p=73|4a1=Earhart|4y=2004|4p=11}} Kuil tersebut biasanya terdiri dari rak-rak yang ditempatkan pada posisi tinggi di ruang tamu.{{sfn|Offner|1979|pp=200–201}} ''{{lang|ja-Latn|Kamidana}}'' juga dapat ditemukan di tempat kerja, restoran, toko, dan kapal laut.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=85|2a1=Earhart|2y=2004|2p=11}} Beberapa kuil umum menawarkan ''{{lang|ja-Latn|kamidana}}''.{{sfn|Picken|2011|p=31}}
 
Selain ''{{lang|ja-Latn|kamidana}}'', banyak rumah tangga Jepang juga memiliki ''{{lang|ja-Latn|[[butsudan]]}}'', altar Buddha yang mengabadikan leluhur keluarga;{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=13|2a1=Earhart|2y=2004|2p=11}} penghormatan leluhur tetap menjadi aspek penting dari tradisi keagamaan Jepang.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Dalam kasus yang jarang terjadi ketika orang Jepang diberi pemakaman Shinto daripada pemakaman Buddhis, kuil ''{{lang|ja-Latn|tama-ya}}'', ''{{lang|ja-Latn|mitama-ya}}'', atau ''{{lang|ja-Latn|sorei-sha}}'' dapat didirikan di rumah sebagai pengganti ''{{lang|ja-Latn|butsudan}}''. Kuil ini biasanya ditempatkan di bawah ''{{lang|ja-Latn|kamidana}}'' dan menyertakan simbol roh leluhur yang tinggal, misalnya cermin atau gulungan.{{sfn|Bocking|1997|p=198}}
 
''{{lang|ja-Latn|Kamidana}}'' sering kali mengabadikan kami dari kuil umum terdekat serta kami pelindung yang terkait dengan penghuni rumah atau profesi mereka.{{sfn|Bocking|1997|p=85}} Kuil tersebut dapat didekorasi dengan miniatur torii dan ''{{lang|ja-Latn|shimenawa}}'' serta jimat yang diperoleh dari kuil umum.{{sfn|Bocking|1997|p=85}} Kuil tersebut sering mencakup wadah untuk menempatkan persembahan;{{sfn|Offner|1979|p=201}} persembahan harian beras, garam, dan air ditempatkan di sana, dengan sake dan barang-barang lainnya juga ditawarkan pada hari-hari khusus.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=85|2a1=Littleton|2y=2002|2p=74}} Ritual domestik ini sering dilakukan di pagi hari,{{sfn|Littleton|2002|p=81}} dan sebelum melakukannya, praktisi biasanya mandi, berkumur, atau mencuci tangan sebagai bentuk penyucian.{{sfn|Offner|1979|p=203}}
 
Shinto rumah tangga dapat memusatkan perhatian pada ''{{lang|ja-Latn|dōzoku-shin}}'', ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang dianggap sebagai leluhur ''{{lang|ja-Latn|dōzoku}}'' atau kelompok kekerabatan yang luas.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=24|2a1=Picken|2y=2011|2pp=75-76}} Kuil kecil untuk leluhur sebuah rumah tangga dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|soreisha}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=187}} Kuil desa kecil yang berisi kami pelindung dari keluarga besar dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|iwai-den}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=66}} Selain kuil pemujaan dan kuil rumah tangga, Shinto juga memiliki kuil kecil di pinggir jalan yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[hokora]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=54}} Ruang terbuka lain yang digunakan untuk pemujaan kami adalah ''{{lang|ja-Latn|[[iwasaka]]}}'', sebuah area yang dikelilingi oleh batu-batu keramat.{{sfn|Bocking|1997|p=65}}
 
=== Engimono, Ema, ramalan, dan jimat ===
[[File:Ema of Izumo taissha.jpg|thumb|''{{lang|ja-Latn|Ema}}'' kayu yang terkumpul tergantung di Kuil Shinto]]
Sebuah ciri khas umum dari kuil Shinto adalah penyediaan ''{{lang|ja-Latn|[[Ema (Shinto)|ema]]}}'', plakat kayu kecil di mana praktisi akan menulis keinginan atau harapan yang ingin dikabulkan. Pesan praktisi tertulis pada salah satu sisi plakat, sedangkan sisi yang lain biasanya berupa gambar atau pola tercetak yang berhubungan dengan kuil itu sendiri.{{sfn|Bocking|1997|pp=25–26}} ''{{lang|ja-Latn|Ema}}'' disediakan di kuil Shinto dan kuil Buddha di Jepang;{{sfn|Bocking|1997|p=25}} tidak seperti kebanyakan jimat, yang diambil dari kuil, ''{{lang|ja-Latn|ema}}'' biasanya ditinggalkan di sana sebagai pesan untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=26}} Mereka yang mengelola kuil kemudian akan membakar semua ''{{lang|ja-Latn|ema}}'' yang terkumpul pada tahun baru.{{sfn|Bocking|1997|p=26}}
 
Ramalan merupakan fokus dari banyak ritual Shinto,{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=18}} dengan berbagai bentuk ramalan yang digunakan oleh para praktisinya, beberapa di antaranya diperkenalkan dari Tiongkok.{{sfn|Picken|2011|p=73}} Di antara bentuk ramalan kuno yang ditemukan di Jepang adalah ''{{lang|ja-Latn|rokuboku}}'' dan ''{{lang|ja-Latn|kiboku}}''.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=17}} Beberapa bentuk ramalan yang melibatkan [[panahan]] juga dipraktekkan dalam Shinto, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[yabusame]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|omato-shinji}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|mato-i}}''.{{sfnm|Picken|2011|pp=43, 73}} Kitagawa menyatakan bahwa "tidak diragukan lagi" berbagai jenis "peramal perantara" berperan dalam agama Jepang awal.{{sfn|Kitagawa|1987|p=39}} Bentuk ramalan yang sebelumnya umum di Jepang adalah ''{{lang|ja-Latn|[[bokusen]]}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|uranai}}'', yang sering menggunakan cangkang kura-kura; masih digunakan di beberapa tempat.{{sfn|Picken|2011|p=50}}
 
Salah satu bentuk ramalan yang populer di kuil Shinto adalah ''{{lang|ja-Latn|[[omikuji]]}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=138|2a1=Picken|2y=2011|2p=74}} Ramalan tersebut berupa secarik kertas kecil yang diperoleh dari kuil (untuk sumbangan) dan kemudian dibaca untuk memperlihatkan prediksi masa depan.{{sfn|Bocking|1997|pp=137–138}} Mereka yang sering menerima prediksi buruk kemudian mengikat ''{{lang|ja-Latn|omikuji}}'' pada pohon atau bingkai terdekat yang disiapkan untuk tujuan tersebut. Tindakan ini dipandang sebagai penolakan prediksi, sebuah proses yang disebut ''{{lang|ja-Latn|sute-mikuji}}'', dan dengan demikian menghindari kemalangan yang diprediksinya.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=139|2a1=Picken|2y=2011|2p=74}}
 
[[File:Hiromine-jinja Omikuji.jpg|thumb|left|Bingkai untuk mengikat omikuji di kuil]]
 
Penggunaan [[jimat]] secara luas disetujui dan populer di Jepang.{{sfn|Earhart|2004|p=12}} Jimat tersebut mungkin terbuat dari kertas, kayu, kain, logam, atau plastik.{{sfn|Earhart|2004|p=12}}
''{{lang|ja-Latn|[[Ofuda]]}}'' bertindak sebagai jimat untuk menghindari kemalangan serta membawa manfaat dan keberuntungan.{{sfn|Bocking|1997|p=135}} Mereka biasanya terdiri dari sepotong kayu yang runcing di mana nama kuil dan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang diabadikannya ditulis atau dicetak. ''{{lang|ja-Latn|Ofuda}}'' kemudian dibungkus dengan kertas putih dan diikat dengan benang berwarna.{{sfn|Bocking|1997|pp=135–136}} ''{{lang|ja-Latn|Ofuda}}'' disediakan baik di kuil Shinto dan kuil Buddha.{{sfn|Bocking|1997|p=135}} Jenis jimat lain yang disediakan di kuil dan kuil adalah ''{{lang|ja-Latn|[[omamori]]}}'', yang secara tradisional merupakan tas serut kecil berwarna cerah dengan nama kuil tertulis pada tas serut tersebut.{{sfn|Bocking|1997|p=138}} ''{{lang|ja-Latn|Omamori}}'' dan ''{{lang|ja-Latn|ofuda}}'' terkadang ditempatkan di dalam tas jimat yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[kinchaku]]}}'', biasanya dikenakan oleh anak-anak kecil.{{sfn|Bocking|1997|p=96}}
 
Pada tahun baru, banyak kuil menjual ''{{lang|ja-Latn|[[Hama Yumi|hamaya]]}}'' ("panah penghancur keburukan"), yang dapat dibeli dan disimpan di rumah mereka selama tahun mendatang untuk membawa keberuntungan.{{sfn|Bocking|1997|pp=43–44}}
''{{lang|ja-Latn|[[Daruma]]}}'' merupakan boneka kertas yang bundar dari biksu India, [[Bodhidharma]]. Penerima membuat keinginan dan melukis satu mata; ketika tujuan tercapai, penerima melukis mata yang lain. Meskipun ini adalah praktik Buddhis, daruma juga dapat ditemukan di kuil. Boneka ini sangat umum.<ref name="ReferenceA">{{cite book |title= Handy Bilingual Reference For Kami and Jinja |work= Study Group of Shinto Culture |year=2006 |publisher=International Cultural Workshop Inc. |location=Tokyo |pages=39–41}}</ref>
Benda pelindung lainnya termasuk: ''{{lang|ja-Latn|dorei}}'', yaitu lonceng gerabah yang digunakan untuk meminta keberuntungan. Lonceng ini biasanya berbentuk binatang zodiak.<ref name="ReferenceA" /> ''{{lang|ja-Latn|Inuhariko}}'' adalah anjing kertas yang digunakan untuk membujuk dan memberkati kelahiran yang baik.<ref name="ReferenceA" /> Secara kolektif, jimat ini yang digunakan untuk memanipulasi peristiwa dan mempengaruhi roh, serta mantra dan ritus terkait untuk tujuan yang sama, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|majinai}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=114–15}}
 
=== ''Kagura'' ===
[[File:Ymananashi-oka shrine Daidai Kagura A.JPG|thumb|right|Tarian tradisional ''{{lang|ja-Latn|kagura}}'' dilakukan di kuil Yamanashi-oka]]
''{{lang|ja-Latn|[[Kagura]]}}'' menggambarkan musik dan tarian yang ditunjukkan untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'';{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=205|2a1=Bocking|2y=1997|2p=81}} istilah ini mungkin berasal dari ''{{lang|ja-Latn|kami no kura}}'' ("kursi dari {{lang|ja-Latn|kami}}").{{sfn|Kobayashi|1981|p=3}} Sepanjang sejarah Jepang, tarian ini memainkan peran budaya yang penting dan dalam Shinto dianggap memiliki kapasitas untuk menenangkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Kitagawa|1987|p=23}} Terdapat cerita [[mitologi]] mengenai bagaimana tari {{lang|ja-Latn|kagura}} muncul. Menurut ''Kojiki'' dan ''Nihon Shoki'', [[Ama-no-Uzume|Ame-no-Uzume]] menampilkan tarian untuk membujuk Amaterasu keluar dari gua tempat ia menyembunyikan dirinya.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=23|2a1=Bocking|2y=1997|2p=81|3a1=Picken|3y=2011|3p=68}}
 
Ada dua jenis yang luas dari Kagura.{{sfn|Bocking|1997|p=81}} Salah satunya adalah Kagura Kekaisaran, juga dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|mikagura}}''. Gaya ini dikembangkan di istana kekaisaran dan masih dilakukan di [[Tiga Tempat Suci Istana|tanah kekaisaran]] setiap bulan Desember.{{sfn|Bocking|1997|pp=81–82}} Gaya ini juga dilakukan pada festival panen Kekaisaran dan di kuil-kuil besar seperti Ise, [[Kuil Kamo|Kamo]], dan [[Kuil Iwashimizu|Iwashimizu Hachiman-gū]]. Gaya ini dilakukan oleh penyanyi dan musisi menggunakan genta kayu ''{{lang|ja-Latn|[[shakubyoshi]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[hichiriki]]}}'', seruling ''{{lang|ja-Latn|kagura-bue}}'', dan sitar berdawai enam.{{sfn|Bocking|1997|p=82}} Jenis utama lainnya adalah ''{{lang|ja-Latn|sato-kagura}}'', diturunkan dari ''{{lang|ja-Latn|mikagura}}'' dan ditampilkan di kuil-kuil di seluruh Jepang. Tergantung pada gayanya, tarian ini dilakukan oleh {{lang|ja-Latn|miko}} atau aktor yang mengenakan topeng untuk menggambarkan berbagai tokoh mitologis.{{sfn|Bocking|1997|pp=82, 155}} Para aktor ini diiringi oleh band ''{{lang|ja-Latn|hayashi}}'' menggunakan seruling dan drum.{{sfn|Bocking|1997|p=82}} Ada juga jenis kagura regional lainnya.{{sfn|Bocking|1997|p=82}}
 
Musik memainkan peran yang sangat penting dalam pertunjukan {{lang|ja-Latn|kagura}}. Mulai dari pengaturan instrumen hingga suara yang paling halus dan aransemen musik sangat penting untuk mendorong ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk turun dan menari. Lagu-lagu tersebut digunakan sebagai perangkat ajaib untuk memanggil ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan sebagai doa memohon berkah. Umumnya menggunakan pola ritme lima dan tujuh, yang mungkin berkaitan dengan kepercayaan Shinto dari dua belas generasi dewa surgawi dan duniawi. Terdapat pula iringan vokal yang disebut ''{{lang|ja-Latn|kami uta}}'' ketika penabuh drum menyanyikan lagu-lagu sakral kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. Seringkali iringan vokal mengalahkan tabuhan drum dan instrumen, memperkuat bahwa aspek vokal dari musik lebih untuk [[mantera]] daripada [[estetika]].<ref>[[Averbuch]], [[Irit]], ''The Gods Come Dancing: A Study of the Japanese Ritual Dance of Yamabushi Kagura'', Ithaca, NY: East Asia Program, Cornell University, 1995, pp. 83–87.</ref>
 
=== Festival ===
[[File:Aoi Matsuri.jpg|thumb|right|Partisipan dalam prosesi untuk ''Aoi Matsuri'' di Kyoto]]
Festival umum biasanya disebut ''{{lang|ja-Latn|[[matsuri]]}}'',{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=81|2a1=Boyd|2a2=Williams|2y=2005|2p=36|3a1=Picken|3y=2011|3p=9}} meskipun istilah ini memiliki arti yang beragam—"festival", "pemujaan", "perayaan", "upacara adat", atau "pemanjatan doa"—dan tidak ada terjemahan langsung ke dalam bahasa Inggris.{{sfn|Bocking|1997|p=117}} Picken memberi kesan bahwa festival itu adalah "tindakan utama pemujaan Shinto" karena Shinto adalah agama "berbasis komunitas dan keluarga".{{sfn|Picken|1994|p=xxvi}} Sebagian besar menandai tahun panen dan melibatkan persembahan yang ditujukan kepada {{lang|ja-Latn|kami}} sebagai rasa syukur.{{sfn|Bocking|1997|pp=117–118}} Menurut [[kalender lunar]] tradisional, kuil Shinto harus mengadakan perayaan festival pada {{lang|ja-Latn|hare-no-hi}} atau hari yang "cerah", hari dari bulan baru, setengah, dan purnama.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Hari-hari lain, yang dikenal sebagai {{lang|ja-Latn|ke-no-hi}}, umumnya dihindari untuk perayaan.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Namun, sejak akhir abad ke-20, banyak kuil mengadakan perayaan festival pada hari Sabtu atau Minggu terdekat dengan tanggal tersebut sehingga lebih sedikit orang yang akan bekerja dan dapat hadir.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=224|2a1=Earhart|2y=2004|2p=222}} Setiap kota atau desa sering memiliki festivalnya sendiri, yang berpusat di kuil lokal.{{sfn|Littleton|2002|p=81}} Misalnya, festival ''[[Aoi Matsuri]]'', diadakan pada tanggal 15 Mei untuk berdoa agar panen gandum berlimpah, berlangsung pada kuil-kuil di [[Kyoto]],{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=6|2a1=Picken|2y=2011|2p=42}} sementara ''[[Chichibu Yo-Matsuri]]'' berlangsung pada tanggal 2-3 Desember di [[Chichibu, Saitama|Chichibu]].{{sfn|Picken|2011|p=59}}
 
Festival musim semi disebut ''{{lang|ja-Latn|haru-matsuri}}'' dan sering kali menyertakan doa untuk panen yang baik.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Festival tersebut terkadang melibatkan upacara ''{{lang|ja-Latn|ta-asobi}}'', dengan menanam padi secara ritual.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Festival musim panas disebut ''{{lang|ja-Latn|natsu-matsuri}}'' dan biasanya difokuskan untuk melindungi tanaman dari hama dan ancaman lainnya.{{sfn|Bocking|1997|p=132}} Festival musim gugur dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|aki-matsuri}}'' dan terutama berfokus pada ucapan terima kasih kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' atas beras atau panen lainnya.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=2|2a1=Picken|2y=2011|2p=35}} ''{{lang|ja-Latn|[[Niiname-sai]]}}'', atau festival beras baru, diadakan di banyak kuil Shinto pada 23 November.{{sfn|Nelson|1996|p=170}} Kaisar juga mengadakan upacara untuk menandai festival ini, dengan mempersembahkan buah pertama dari panen kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' pada tengah malam.{{sfn|Offner|1979|p=205}} Festival musim dingin, yang disebut ''{{lang|ja-Latn|fuyu no matsuri}}'' sering kali menampilkan penyambutan di musim semi, mengusir kejahatan, dan mengundang pengaruh baik untuk masa depan.{{sfn|Bocking|1997|p=32}} Ada sedikit perbedaan antara festival musim dingin dan festival tahun baru tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=32}}
 
[[File:Tomioka hachimangu10.jpg|thumb|left|Prosesi ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sebagai bagian dari festival [[Fukagawa Matsuri]] di Tokyo]]
 
[[Tahun Baru Jepang|Tahun baru]] disebut ''{{lang|ja-Latn|shogatsu}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=182|2a1=Littleton|2y=2002|2p=80}} Pada hari terakhir dalam setahun (31 Desember), ''{{lang|ja-Latn|omisoka}}'', praktisi biasanya membersihkan kuil rumah tangga mereka untuk persiapan Tahun Baru (1 Januari), ''{{lang|ja-Latn|ganjitsu}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=139}} Banyak orang mengunjungi kuil umum untuk merayakan tahun baru;{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=205|2a1=Nelson|2y=1996|2p=199|3a1=Littleton|3y=2002|3p=80|4a1=Breen|4a2=Teeuwen|4y=2010|4p=3}} "kunjungan pertama" pada tahun itu dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|hatsumōde}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|hatsumairi}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=47|2a1=Breen|2a2=Teeuwen|2y=2010|2p=3}} Di sana, mereka membeli jimat dan talisman untuk memberikan keberuntungan di tahun mendatang.{{sfn|Nelson|1996|p=208}} Untuk merayakan festival ini, banyak orang Jepang memasang tali yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[shimenawa]]}}'' di rumah dan tempat usaha mereka.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=206|2a1=Bocking|2y=1997|2p=163}} Beberapa juga memasang ''{{lang|ja-Latn|[[kadomatsu]]}}'' ("pinus gerbang"), yang tersusun dari ranting pinus, pohon plum, dan batang bambu.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=206|2a1=Bocking|2y=1997|2p=81}} Terdapat pula ''{{lang|ja-Latn|kazari}}'', yang lebih kecil dan lebih berwarna; tujuannya adalah untuk menjauhkan kemalangan dan menarik keberuntungan.{{sfn|Bocking|1997|p=93}} Di banyak tempat, perayaan tahun baru menggabungkan ''{{lang|ja-Latn|[[hadaka matsuri]]}}'' ("festival telanjang") dengan pria yang hanya mengenakan kain pinggang {{lang|ja-Latn|[[fundoshi]]}} terlibat dalam aktivitas tertentu, seperti memperebutkan benda tertentu atau membenamkan diri di sungai.{{sfn|Bocking|1997|p=41}}
 
Aspek umum dari festival adalah prosesi atau parade yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|gyōretsu}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=39–40}} Parade tersebut bisa saja riuh, dengan banyak peserta mabuk;{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=205|2a1=Nelson|2y=1996|2p=133}} Breen dan Teeuwen mencirikan mereka sebagai memiliki "suasana karnaval".{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=4}} Mereka sering dipahami memiliki efek regeneratif baik bagi peserta maupun komunitas.{{sfn|Nelson|1996|p=134}} Selama prosesi ini, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' melakukan perjalanan pada kuil yang diangkut yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[mikoshi]]}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=140|2a1=Bocking|2y=1997|2p=122|3a1=Littleton|3y=2002|3p=82|4a1=Breen|4a2=Teeuwen|4y=2010|4p=4}} Dalam berbagai kasus ''{{lang|ja-Latn|mikoshi}}'' mengalami ''{{lang|ja-Latn|hamaori}}'' ("turun ke pantai"), suatu proses dengan membawanya ke pantai dan terkadang ke laut, baik dengan kapal pengangkut atau perahu.{{sfn|Bocking|1997|p=43}} Misalnya, dalam festival Okunchi yang diadakan di kota barat daya [[Nagasaki]], ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari [[Kuil Suwa (Nagasaki)|Kuil Suwa]] diarak ke Ohato, dengan mereka ditempatkan di sebuah kuil di sana selama beberapa hari sebelum diarak kembali ke Suwa.{{sfn|Nelson|1996|pp=152–154}} Sering kali perayaan-perayaan semacam ini sebagian besar diorganisir oleh anggota komunitas lokal daripada oleh para pendeta itu sendiri.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=4}}
 
=== Ritus peralihan ===
Pengakuan formal dari suatu peristiwa sangat penting dalam budaya Jepang.{{sfn|Nelson|1996|p=34}} Sebuah ritual umum, ''{{lang|ja-Latn|hatsumiyamairi}}'', mengharuskan kunjungan pertama seorang anak ke kuil Shinto.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=161|2a1=Bocking|2y=1997|2p=47|3a1=Breen|3a2=Teeuwen|3y=2010|3p=3}} Sebuah tradisi menyatakan bahwa, jika anak laki-laki maka harus dibawa ke kuil pada hari ketiga puluh dua setelah kelahiran, dan jika anak perempuan maka harus dibawa pada hari ketiga puluh tiga.{{sfn|Bocking|1997|p=47}} Secara historis, seorang anak biasanya dibawa ke kuil bukan oleh ibu, yang dianggap tidak suci setelah lahir, tetapi oleh kerabat perempuan lain; sejak akhir abad ke-20 sudah lebih umum bagi ibu untuk melakukannya.{{sfn|Bocking|1997|p=47}} Ritus penerimaan lainnya, ''{{lang|ja-Latn|saiten-sai}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|seijin shiki}}'', merupakan ritual datangnya usia yang menandai transisi menuju dewasa dan terjadi ketika seorang individu berusia sekitar dua puluh tahun.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=212–213|2a1=Bocking|2y=1997|2p=156}} Upacara pernikahan sering dilakukan di kuil Shinto.{{sfn|Earhart|2004|p=15}} Pernikahan tersebut disebut ''{{lang|ja-Latn|shinzen kekkon}}'' ("pernikahan sebelum ''{{lang|ja-Latn|kami}}''") dan dipopulerkan pada Zaman Meiji; sebelum ini, pernikahan biasanya dilakukan di rumah.{{sfn|Bocking|1997|pp=178-179}}
 
Di Jepang, pemakaman cenderung berlangsung di kuil Buddha dan melibatkan kremasi,{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=92|2a1=Earhart|2y=2004|2p=15}} dengan pemakaman Shinto menjadi langka.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Bocking mencatat bahwa kebanyakan orang Jepang "masih 'terlahir Shinto' namun 'meninggal secara Buddhis'."{{sfn|Bocking|1997|p=ix}} Dalam pemikiran Shinto, kontak dengan kematian dipandang sebagai menanamkan ketidaksucian (''{{lang|ja-Latn|kegare}}''); periode setelah persinggungan ini dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|kibuku}}'' dan dikaitkan dengan berbagai tabu.{{sfn|Bocking|1997|p=95}} Dalam kasus ketika manusia mati diabadikan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'', sisa-sisa fisik jenazah tersebut tidak disimpan di kuil.{{sfn|Picken|2011|p=19}} Meskipun tidak umum, terdapat contoh pemakaman yang dilakukan melalui ritus Shinto. Contoh paling awal diketahui dari pertengahan abad ke-17; pemakaman tersebut terjadi di daerah-daerah tertentu di Jepang dan mendapat dukungan dari pemerintah setempat.{{sfn|Kenney|2000|p=241}}
Setelah Restorasi Meiji, pada tahun 1868 pemerintah secara khusus mengakui pemakaman Shinto bagi para pendeta Shinto.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=187|2a1=Kenney|2y=2000|2p=240}} Lima tahun kemudian, hal tersebut diperluas untuk mencakup seluruh penduduk Jepang.{{sfn|Kenney|2000|pp=240–241}} Meskipun Meiji mempromosikan pemakaman Shinto, mayoritas penduduk tetap menjalankan upacara pemakaman Buddhis.{{sfn|Kenney|2000|p=241}} Dalam beberapa dekade terakhir, pemakaman Shinto biasanya disediakan untuk pendeta Shinto dan untuk anggota sekte Shinto tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=188}} Setelah [[kremasi]], proses pemakaman normal di Jepang, abu seorang pendeta boleh dikebumikan di dekat kuil, tetapi tidak di dalam kawasannya.{{sfn|Picken|2011|p=71}}
 
Penghormatan leluhur tetap menjadi bagian penting dari kebiasaan agama Jepang.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Permohonan bagi jenazah, dan terutama korban perang, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|shо̄kon}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=182}} Berbagai ritus merujuk hal tersebut. Misalnya, pada festival [[Bon Festival|Bon]] yang sebagian besar beragama Buddha, arwah para leluhur diyakini mengunjungi yang hidup, dan kemudian diusir dalam sebuah ritual yang disebut ''{{lang|ja-Latn|shо̄rо̄ nagashi}}'', dengan memasukkan lentera ke dalam perahu kecil, sering dibuat dari kertas, dan ditempatkan di sungai untuk mengapung hingga ke hilir.{{sfn|Bocking|1997|p=183}}
 
=== Perantara roh dan penyembuhan ===
[[File:Inako 2006-10-09.jpg|thumb|right|''{{lang|ja-Latn|Itako}}'' pada festival musim gugur Inako Taisai di [[Gunung Osore]], Prefektur Aomori, Jepang]]
Praktisi Shinto percaya bahwa ''kami'' dapat merasuki manusia dan kemudian berbicara melalui mereka, sebuah proses yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami-gakari}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=85–86}} Beberapa gerakan agama baru yang menggunakan Shinto, seperti [[Tenrikyo]] dan [[Oomoto]], didirikan oleh individu-individu yang mengaku dibimbing oleh ''kami'' yang merasukinya.{{sfn|Bocking|1997|p=86}} ''{{lang|ja-Latn|Takusen}}'' merupakan [[orakel]] yang diturunkan dari ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' melalui perantara.{{sfn|Bocking|1997|p=197}}
 
''{{lang|ja-Latn|[[Itako]]}}'' dan ''{{lang|ja-Latn|ichiko}}'' merupakan wanita tunanetra yang dilatih untuk menjadi [[perantara|perantara spiritual]], secara tradisional di wilayah [[Tohoku]] utara Jepang.{{sfn|Bocking|1997|p=63}} Pelatihan ''{{lang|ja-Latn|Itako}}'' di bawah ''{{lang|ja-Latn|itako}}'' lain sejak dini, menghafal teks-teks suci dan doa-doa, puasa, dan melakukan tindakan asketisme yang berat, yang melaluinya diyakini dapat menumbuhkan kekuatan gaib.{{sfn|Bocking|1997|p=63}} Dalam upacara inisiasi, ''kami'' diyakini merasuki wanita muda tersebut, dan keduanya kemudian secara ritual "menikah". Setelah itu, ''kami'' menjadi roh penjaganya dan dia akan dapat memanggilnya, dan berbagai roh lainnya, di masa depan. Dengan menghubungi roh-roh ini, dia dapat menyampaikan pesan mereka kepada orang yang hidup.{{sfn|Bocking|1997|p=63}} ''{{lang|ja-Latn|Itako}}'' biasanya melaksanakan ritual mereka terlepas dari sistem kuil.{{sfn|Bocking|1997|pp=63–64}} Budaya Jepang juga mencakup penyembuh spiritual yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|ogamiya-san}}'' yang pekerjaannya melibatkan pemanggilan ''kami'' dan ''Buddha''.{{sfn|Bocking|1997|p=136}}
 
== Demografi ==
[[File:Japan 310316 Tsurugaoka Hachiman-gu 03.jpg|thumb|right|Patung rubah yang menjaga kuil Inari di Tsurugaoka Hachiman-gū di Kamakura]]
Kebanyakan orang Jepang berpartisipasi dalam beberapa tradisi keagamaan,{{sfn|Earhart|2004|pp=4, 214}} dengan Breen dan Teeuwen mencatat, "dengan sedikit pengecualian", tidak mungkin membedakan antara penganut Shinto dan Buddha di Jepang.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=2}} Pengecualian utama adalah anggota kelompok agama minoritas, termasuk Kristen, yang mempromosikan pandangan dunia eksklusif.{{sfn|Earhart|2004|p=215}} Menentukan proporsi penduduk negara yang melakukan aktivitas Shinto terhalang oleh fakta bahwa, jika ditanya, orang Jepang akan sering mengatakan "Saya tidak beragama".{{sfn|Earhart|2004|p=215}} Banyak orang Jepang menghindari istilah "agama", sebagian karena mereka tidak menyukai konotasi kata yang paling cocok dengannya dalam bahasa Jepang,{{lang|ja-Latn|shūkyō}}. Istilah agama berasal dari {{lang|ja-Latn|shū}} ("sekte") dan {{lang|ja-Latn|kyō}} ("doktrin").{{sfn|Nelson|1996|p=8}}
 
Statistik resmi menunjukkan Shinto sebagai agama terbesar di Jepang, dengan lebih dari 80 persen penduduk negara itu diidentifikasi terlibat dalam kegiatan Shinto.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=1}}<ref name=":0">{{cite web|url = http://www.stat.go.jp/data/nenkan/back64/zuhyou/y2322a00.xls|title = 宗教団体数,教師数及び信者数|date = 2015|access-date = August 25, 2015|website = Statistical Yearbook of Japan|publisher = Statistics Japan, [[Ministry of Internal Affairs and Communications]]}}</ref> Sebaliknya, dalam kuesioner hanya sebagian kecil orang Jepang yang menggambarkan diri mereka sebagai "penganut Shinto".{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=1}} Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan Shinto jauh lebih banyak daripada yang menyebut Shinto sebagai identitas agama mereka.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=1}} Tidak ada ritual formal untuk menjadi praktisi "shinto rakyat". Jadi, "keanggotaan Shinto" sering diperkirakan hanya menghitung mereka yang bergabung dengan sekte Shinto yang terorganisir.{{sfn|Williams|Bhar|Marty|2004|pp=4–5}} Shinto memiliki sekitar 81.000 kuil dan sekitar 85.000 pendeta di negara itu.<ref name=":0" /> Menurut survei yang dilakukan pada tahun 2006<ref name="Dentsu2006">Dentsu Communication Institute, Japan Research Center: ''[http://www2.ttcn.ne.jp/honkawa/9460.html Sixty Countries' Values Databook]'' (世界60カ国価値観データブック).</ref> dan 2008,<ref name="NHK2008">{{cite web|url= http://www.nhk.or.jp/bunken/summary/research/report/2009_05/090505.pdf |title=2008 NHK survey of religion in Japan — 宗教的なもの にひかれる日本人〜ISSP国際比較調査(宗教)から〜|publisher=NHK Culture Research Institute}}</ref> kurang dari 40% penduduk Jepang mengidentifikasi diri dengan agama yang terorganisir: sekitar 35% adalah [[Buddhisme|Buddhis]], 30% hingga 40% adalah anggota [[Sekte dan sekolah Shinto|sekte Shinto dan agama turunannya]]. Pada tahun 2008, 26% dari partisipan melaporkan sering mengunjungi kuil Shinto, sementara hanya 16,2% yang menyatakan percaya akan adanya ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' secara umum.<ref name="NHK2008" />
 
=== Luar Jepang ===
[[File:Guji Francesco Brigante.jpg|thumb|right|Ritual Shinto yang dilakukan di jinja di [[San Marino]], Eropa Barat]]
Shinto ditemukan terutama di Jepang, meskipun pada [[Imperium kolonial Jepang|periode kekaisaran]] ajaran tersebut diperkenalkan ke berbagai koloni Jepang dan saat ini juga dipraktikkan oleh anggota diaspora Jepang.{{sfn|Earhart|2004|p=31}} Jinja di luar Jepang disebut ''{{lang|ja-Latn|kaigai jinja}}'' ("kuil luar negeri"), istilah yang diciptakan oleh Ogasawara Shōzō.{{sfn|Suga|2010|p=48}} Kuil tersebut didirikan baik di wilayah yang ditaklukkan oleh Jepang maupun daerah di mana migran Jepang menetap.{{sfn|Suga|2010|p=48}} Ketika Kekaisaran Jepang runtuh pada tahun 1940-an, terdapat lebih dari 600 kuil umum, dan lebih dari 1.000 kuil kecil, di dalam wilayah taklukan Jepang. Banyak dari kuil-kuil tersebut kemudian dibubarkan.{{sfn|Suga|2010|p=48}} Shinto telah menarik minat di luar Jepang, sebagian karena kurangnya fokus doktrinal dari agama-agama besar yang ditemukan di belahan dunia yang lain.{{sfn|Picken|2011|p=xiv}} Shinto diperkenalkan di Amerika Serikat sebagian besar oleh [[Eropa Amerika]] yang tertarik daripada migran Jepang.{{sfn|Picken|2011|p=xiv}} Migran Jepang mendirikan beberapa kuil di Brasil.{{sfn|Suga|2010|pp=59–60}}
 
== Lihat pula ==
{{Portal|Jepang|Agama|Filosofi}}
* [[Dōsojin]]
* [[Yorishiro]]
* [[Kodama]]
* [[Agama Ryukyu]]
* [[Shide (Shinto)]]
* [[Arsitektur kuil Shinto]]
 
== Referensi ==
=== Catatan kaki ===
{{Reflist|20em}}
 
=== Sumber ===
{{Refbegin|30em|indent=yes}}
* {{cite book |last=Bocking |first=Brian |title=A Popular Dictionary of Shinto |location=Richmond |publisher=Curzon |year=1997 |isbn=978-0-7007-1051-5 |ref={{sfnref|Bocking|1997}}}}
* {{cite journal |last1=Boyd |first1=James W. |last2=Williams |first2=Ron G. |title=Japanese Shinto: An Interpretation of a Priestly Perspective |journal=Philosophy East and West |year=2005 |volume=55 |issue=1 |pages=33–63 |doi=10.1353/pew.2004.0039 |s2cid=144550475 |ref={{sfnref|Boyd|Williams|2005}}}}
* {{cite journal |last1=Boyd |first1=James W. |last2=Nishimura |first2=Tetsuya |year=2016 |title=Shinto Perspectives in Miyazaki's Anime Film ''Spirited Away'' |journal=Journal of Religion and Film |volume=8 |issue=33 |url=https://digitalcommons.unomaha.edu/jrf/vol8/iss3/4 |pages=1–14 |ref={{sfnref|Boyd|Nishimura|2016}}}}
* {{cite journal |last=Breen |first=John |year=2010 |title='Conventional Wisdom' and the Politics of Shinto in Postwar Japan |journal= Politics and Religion Journal |volume=4 |issue=1 |pages=68–82|doi=10.54561/prj0401068b|doi-access=free |ref={{sfnref|Breen|2010}}}}
* {{cite book |last1=Breen |first1=John |last2=Teeuwen |first2=Mark |title=A New History of Shinto |url=https://archive.org/details/newhistoryofshin0000bree |location=Chichester |publisher=Wiley-Blackwell |year=2010 |isbn=978-1-4051-5515-1 |ref={{sfnref|Breen|Teeuwen|2010}}}}
* {{cite book |last1=Cali |first1=Joseph |last2=Dougill |first2=John |title=Shinto Shrines: A Guide to the Sacred Sites of Japan's Ancient Religion |location=Honolulu |publisher=University of Hawai'i Press |year=2013 |isbn=978-0-8248-3713-6 |ref={{sfnref|Cali|Dougill|2013}}}}
* {{cite journal |last=Doerner |first=David L. |title=Comparative Analysis of Life after Death in Folk Shinto and Christianity |year=1977 |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=4 |issue=2 |pages=151–182 |doi=10.18874/jjrs.4.2-3.1977.151-182 |doi-access=free |ref={{sfnref|Doerner|1977}}}}
* {{cite book |last=Earhart |first=H. Byron |year=2004 |title=Japanese Religion: Unity and Diversity |edition=keempat |location=Belmont, CA |publisher=Wadsworth |isbn=978-0-534-17694-5 |ref={{sfnref|Earhart|2004}}}}
* {{cite book |last=Hardacre |first=Helen |title=Shinto: A History |url=https://archive.org/details/shintohistory0000hard |location=Oxford |publisher=Oxford University Press |year=2017 |isbn=978-0-19-062171-1 |ref={{sfnref|Hardacre|2017}}}}
* {{cite journal |jstor=30233666 |title=Shinto Funerals in the Edo Period |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=27 |issue=3/4 |pages=239–271 |last=Kenney |first=Elizabeth |year=2000 |ref={{sfnref|Kenney|2000}}}}
* {{cite book |last=Kitagawa |first=Joseph M. |author-link=Joseph Kitagawa |title=On Understanding Japanese Religion |year=1987 |publisher=Princeton University Press |location=Princeton, New Jersey |isbn=978-0-691-10229-0 |url-access=registration |url=https://archive.org/details/onunderstandingj0000kita |ref={{sfnref|Kitagawa|1987}}}}
* {{cite journal |last=Kobayashi |first=Kazushige |title=On the Meaning of Masked Dances in Kagura |translator=Peter Knecht |journal=Asian Folklore Studies |volume=40 |issue=1 |year=1981 |pages=1–22 |doi=10.2307/1178138 |jstor=1178138 |ref={{sfnref|Kobayashi|1981}}}}
* {{cite journal |title=Shinto in the History of Japanese Religion |last=Kuroda |first=Toshio |translator=James C. Dobbins and Suzanne Gay |journal=Journal of Japanese Studies |volume=7 |number=1 |year=1981 |pages=1–21 |doi=10.2307/132163 |jstor=132163 |ref={{sfnref|Kuroda|1981}}}}
* {{cite book |last=Inoue |first=Nobutaka |title=Shinto: A Short History |year=2003 |editor=Nobutaka Inoue |translator=Mark Teeuwan and John Breen |publisher=Routledge |location=London and New York |pages=1–10 |isbn=978-0-415-31913-3 |ref={{sfnref|Inoue|2003}}}}
* {{cite book |title=Shinto: Origins, Rituals, Festivals, Spirits, Sacred Places |publisher=Oxford University Press |location=Oxford, NY |first=C. Scott |last=Littleton| author-link=C. Scott Littleton |year=2002 |isbn=978-0-19-521886-2 |oclc=49664424 |ref={{sfnref|Littleton|2002}}}}
* {{cite book |last=Nelson |first=John K. |title=A Year in the Life of a Shinto Shrine |url=https://archive.org/details/yearinlifeofs00nels |url-access=registration |location=Seattle and London |publisher=University of Washington Press |year=1996 |isbn=978-0-295-97500-9 |ref={{sfnref|Nelson|1996}}}}
* {{cite book |last=Nelson |first=John K. |title=Enduring Identities: The Guise of Shinto in Contemporary Japan |url=https://archive.org/details/enduringidentiti0000nels |year=2000 |location=Honolulu |publisher=University of Hawai'i Press |isbn=978-0-8248-2259-0 |ref={{sfnref|Nelson|2000}}}}
* {{cite book |last=Offner |first=Clark B. |title=The World's Religions |edition=keempat |year=1979 |pages=191–218 |editor=Norman Anderson |location=Leicester |publisher=Inter-Varsity Press |ref={{sfnref|Offner|1979}}}}
* {{cite book |last=Picken |first=Stuart D. B. |author-link=Stuart D. B. Picken |title=Essentials of Shinto: An Analytical Guide to Principal Teachings |year=1994 |publisher=Greenwood |location=Westport and London |isbn=978-0-313-26431-3 |ref={{sfnref|Picken|1994}}}}
* {{cite book |last=Picken |first=Stuart D. B. |author-link=Stuart D. B. Picken |title=Historical Dictionary of Shinto |url=https://archive.org/details/historicaldictio0000pick_e6n3 |edition=kedua |location=Lanham |publisher=Scarecrow Press |year=2011 |isbn=978-0-8108-7172-4 |ref={{sfnref|Picken|2011}}}}
* {{cite journal |last=Rots |first=Aike P. |year=2015 |title=Sacred Forests, Sacred Nation: The Shinto Environmentalist Paradigm and the Rediscovery of Chinju no Mori |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=42 |issue=2 |pages=205–233 |doi=10.18874/jjrs.42.2.2015.205-233 |doi-access=free |ref={{sfnref|Rots|2015}}}}
* {{cite book |last=Smart |first=Ninian |title=The World's Religions |url=https://archive.org/details/worldsreligions00smar_0 |url-access=registration |edition=kedua |year=1998 |location=Cambridge |publisher=Cambridge University Press |isbn=978-0-521-63748-0 |ref={{sfnref|Smart|1998}}}}
* {{cite journal |last=Suga |first=Kōji |title=A Concept of "Overseas Shinto Shrines": A Pantheistic Attempt by Ogasawara Shōzō and Its Limitations |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=37 |issue=1 |year=2010 |pages=47–74 |ref={{sfnref|Suga|2010}}}}
* {{cite journal |first=Mark |last=Teeuwen |title=From Jindō to Shintō. A Concept Takes Shape |journal=Japanese Journal of Religious Studies |year=2002 |volume=29 |issue=3–4 |pages=233–263 |ref={{sfnref|Teeuwen|2002}}}}
* {{cite journal |last=Ueda |first=Kenji |title=Contemporary Social Change and Shinto Tradition |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=6 |issue=1–2 |year=1979
|pages=303–327 |doi=10.18874/jjrs.6.1-2.1979.303-327 |doi-access=free |ref={{sfnref|Ueda|1979}}}}
* {{cite book|last1=Williams|first1=George|last2=Bhar|first2=Ann Marie B.|last3=Marty|first3=Martin E.|authorlink3=Martin E. Marty|title=Shinto (Religions of the World)|date=2004|publisher=Chelsea House|isbn=978-0791080979 |ref={{sfnref|Williams|Bhar|Marty|2004}}}}
{{refend}}
 
== Bacaan lanjutan ==
{{refbegin|30em}}
* {{cite book |title=The Gods Come Dancing: A Study of the Japanese Ritual Dance of Yamabushi Kagura |url=https://archive.org/details/godscomedancings0000aver |publisher=East Asia Program, Cornell University |location=Ithaca, NY |first=Irit |last=Averbuch |year=1995 |isbn=978-1-885445-67-4 |oclc=34612865}}
* {{cite journal |title=Shamanic Dance in Japan: The Choreography of Possession in Kagura Performance |journal=Asian Folklore Studies |first=Irit |last=Averbuch |year=1998 |volume=57 |issue=2 | pages = 293–329 |doi=10.2307/1178756 |jstor=1178756 }}
* {{cite web |url=http://www.shinto.org/isri/eng/dr.carmen-e.html |title=Shinto and the Sacred Dimension of Nature |work=Shinto.org |first=Dr. Carmen |last=Blacker |year=2003 |accessdate=2008-01-21 |archiveurl = https://web.archive.org/web/20071222193053/http://www.shinto.org/isri/eng/dr.carmen-e.html <!-- Bot retrieved archive --> |archivedate = 2007-12-22}}
* {{cite book |title=The Cambridge Illustrated History of Religions |url=https://archive.org/details/cambridgeillustr00john |publisher=Cambridge University Press |location=New York City |first=John W |last=Bowker | authorlink = John Bowker (theologian) |year=2002 |isbn=978-0-521-81037-1 |oclc=47297614}}
* {{cite book|last1=Breen|first1=John|authorlink1=John Breen (scholar)|authorlink2=Mark Teeuwen|last2=Teeuwen|first2=Mark|title=A New History of Shinto|date=2010|publisher=Blackwell|isbn=978-1405155168}}
* {{cite book |title=Shintō in History: Ways of the Kami |publisher=Hawaii University Press |location=Honolulu |editors=Breen, John and Mark Teeuwen |year=2000 |isbn= 978-0-8248-2362-7 }}
* {{cite journal |title=On the Dramatic Tradition in Kagura: A Study of the Medieval Kehi Songs as Recorded in the Jotokubon |journal=Asian Folklore Studies |first=Gerhild |last=Endress |year=1979 |volume=38 |issue=1 | pages = 1–23 |doi=10.2307/1177463 |jstor=1177463 }}
* {{cite book|last1=Engler|first1=Steven|authorlink1=Steven Engler |last2=Grieve|first2=Gregory P.|title=Historicizing "Tradition" in the Study of Religion|url=https://archive.org/details/historicizingtra0000unse|date=2005|publisher=Walter de Gruyter, Inc.|isbn=978-3110188752|pages=[https://archive.org/details/historicizingtra0000unse/page/92 92]–108}}
* {{Cite book|title=Shinto: A History |last=Hardacare |first=Helen |isbn=978-0190621711 |year=2016 |publisher=[[Oxford University Press]]}}, 729pp; a major scholarly history; [https://nichibun.repo.nii.ac.jp/?action=repository_action_common_download&item_id=7244&item_no=1&attribute_id=18&file_no=1 online review 2019]
* {{cite book |title=Nanzan Guide to Japanese Religions |url=https://archive.org/details/nanzanguidetojap0000unse |chapter=Shinto |first=Norman |last=Havens |editor=Paul L. Swanson & Clark Chilson, (eds.) |year=2006 |pages=[https://archive.org/details/nanzanguidetojap0000unse/page/14 14]–37 |publisher=University of Hawaii Press |location=Honolulu|isbn=978-0-8248-3002-1 |oclc=60743247}}
* {{cite book |title=Shinto The Fountainhead of Japan |url=https://archive.org/details/shintoatfountain0000jean |publisher=Stein and Day |location=New York |year=1967 |last=Herbert |first=Jean | authorlink=Jean Herbert}}
* Inoue, Nobutaka et al. ''Shinto, a Short History'' (London: Routledge Curzon, 2003) [https://www.questia.com/library/104550913/shinto-a-short-history online]
* {{cite book |title= The Invention of Religion in Japan |publisher= University of Chicago Press |location=Chicago|first= Jason Ānanda |last= Josephson |year=2012 |isbn= 978-0226412344 |oclc= 774867768}}
* {{cite book |title=Myth and Deity in Japan: The Interplay of Kami and Buddhas |publisher=Japan Publishing Industry Foundation for Culture |location=Tokyo|first=Tōji |last=Kamata |year=2017 |isbn=978-4-916055-84-2}}
* {{cite book|last=Kitagawa|first=Joseph Mitsuo|authorlink=Joseph Kitagawa|title=On Understanding Japanese Religion|url=https://archive.org/details/onunderstandingj0000kita|date=1987|publisher=Princeton University Press|isbn=978-0691102290}}
* {{cite journal |title=On the Meaning of Masked Dances in Kagura |journal=Asian Folklore Studies |first=Kazushige |last=Kobayashi |author2=Knecht, Peter |year=1981 |volume=40 |issue=1 | pages = 1–22 |doi=10.2307/1178138 |jstor=1178138 }}
* {{cite journal|title=Shinto in the History of Japanese Religion |journal=Journal of Japanese Studies|volume=7|issue=1|last=[[Toshio Kuroda|Kuroda, Toshio]]|year=1981|jstor=132163|pages=1–21|author2=James C. Dobbins|author3=Gay, Suzanne|doi=10.2307/132163|authorlink2=James C. Dobbins|first1=K.}}
* {{cite book |title=Shinto: Origins, Rituals, Festivals, Spirits, Sacred Places |url=https://archive.org/details/shintooriginsrit0000litt |publisher=Oxford University Press |location=Oxford, NY |first=C. Scott |last=Littleton| authorlink=C. Scott Littleton |year=2002 |isbn=978-0-19-521886-2 |oclc=49664424}}
* {{cite book|last=Picken|first=Stuart D.B.|authorlink=Stuart D. B. Picken|title=Essentials of Shinto: An Analytical Guide to Principal Teachings|date=1994|publisher=Greenwood|isbn=978-0313264313}}
* {{cite book |title=Historical Dictionary of Shinto |publisher=The Scarecrow Press |location=Lanham, MD; and London |year=2002 |last=Picken |first=Stuart D. B. |isbn= 978-0-8108-4016-4 }}
* {{cite book |title=The Religious Heritage of Japan: Foundations for Cross-Cultural Understanding in a Religiously Plural World |url=https://archive.org/details/religiousheritag0000unse |chapter=The Concept of Kami |first=Kenji |last=Ueda |editor=John Ross Carter (ed.) |year=1999 |pages=[https://archive.org/details/religiousheritag0000unse/page/n65 65]–72 |publisher=Book East |location=Portland, OR|isbn=978-0-9647040-4-6 |oclc=44454607}}
* {{cite book |title=The Essence of Shinto, Japan's Spiritual Heart |publisher=Kodansha International |location=Tokyo; New York; London |first=Motohisa |last=Yamakage |year=2007 |isbn=978-4-7700-3044-3}}
* Victoria Bestor, [[Theodore C. Bestor]], Akiko Yamagata. ''Routledge Handbook of Japanese Culture and Society''. Routledge, 2011. {{ASIN|B004XYN3E4}}, {{ISBN|0415436494}}
{{refend}}
 
== Pranala luar ==
{{sisterlinks|commons=category:Shintō|d=Q812767|n=no|mw=no|m=no|species=no|voy=no|q=no|b=no|v=no|s=Portal:Religion#Shinto}}
* {{Curlie|Society/Religion_and_Spirituality/Shintoism/}}
* [http://www.jinjahoncho.or.jp/en/ Jinja Honcho – English] {{in lang|en}}
* [http://eos.kokugakuin.ac.jp/modules/xwords/ Kokugakuin University Encyclopedia of Shinto] {{in lang|en}}
* [http://www.tsubakishrine.org/ Tsubaki Grand Shrine of America] {{in lang|en}}
* [https://web.archive.org/web/20090212140632/http://heianjingu.or.jp/index_e.html Heian Jingu Shrine] {{in lang|en}}
* [https://www.meijijingu.or.jp/en/ Meiji Jingu] {{in lang|en}}
* [http://www.yasukuni.or.jp/english/index.html Yasukuni Jinja] {{in lang|en}}
* [https://web.archive.org/web/20051103203043/http://www.shoinjinja.org/english/ Shoin-Jinja] {{in lang|en}}
* [http://www.yushimatenjin.or.jp/pc/eng-page/english.htm Yushima Tenjin] {{in lang|en}}
 
{{Authority control}}
 
[[Kategori:Shinto| ]]
[[Kategori:Kepercayaan]]
[[Kategori:Agama]]