Moko (drum): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bot5958 (bicara | kontrib)
k Perbarui referensi situs berita Indonesia
moko abadi
 
(3 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Zandlopervormige trom van brons TMnr 77-15.jpg|jmpl|Moko (drum)]]
'''Moko abadi''' adalah [[drum]] dengan bagian atas dan bawah yang tertutup, dibuat dengan variasi ukuran yang berbeda-beda dan dapat terbuat dari moko [[Moko abadi|abadi]] [[logam]] [[perunggu]], [[tembaga]] atau kuningan. Moko telah dipakai sejak ratusan tahun silam sebagai alat tukar ([[barter]]) dalam perdagangan dan dibuat dalam beberapa jenis ukuran.<ref name=":0">{{Cite news|url=https://travel.kompas.com/read/2016/11/21/134200227/museum.1.000.moko.bagi.generasi.muda.alor|title=Museum 1.000 Moko bagi Generasi Muda Alor|last=Media|first=Kompas Cyber|work=[[Kompas.com]]|language=id|access-date=2019-11-16|editor-last=Asdhiana|editor-first=I Made}}</ref> Dari penelusuran yang telah dilakukan, pembuatan drum telah berlangsung sejak peradaban awal kuno dan dapat ditemukan tersebar di Cina Selatan dan [[Asia Tenggara]]. Di daerah [[Nusa Tenggara Timur]] secara khusus, Moko telah dipakai sebagai alat musik di abad ke-17 karena bentuknya yang mirip [[kendhang]]. Namun sejak abad ke-19 lebih sering dipakai sebagai maskawin oleh kalangan masyarakat [[Kabupaten Alor|Alor]].<ref name=":1">{{Cite web|url=https://www.artoftheancestors.com/blog/social-value-elephant-tusks-bronze-drums-leonard-andaya|title=Cultural History In Focus {{!}} "The Social Value of Elephant Tusks and Bronze Drums among Certain Societies in Eastern Indonesia" by Leonard Yuzon Andaya|website=Art of The Ancestors {{!}} Island Southeast Asia, Oceania, and Global Tribal Art News|language=en-US|access-date=2019-11-16}}</ref>
 
Bentuk fisik moko yang seperti drum memiliki tinggi 80-120 centimeter dengan bagian tengah agak mengecil dengan [[diameter]] lubang sisi atas dan bawah sekitar 40-70 centimeter. Selain jenis ini, terdapat moko yang berdiameter 50-100 centimeter dan tinggi 50-250 centimeter. Masyarakat Alor menyebutnya sebagai nekara dimana objek ini jarang dibawa-bawa dan jarang dipakai sebagai maskawin.<ref name=":0" /> Secara umum, kepemilikan Moko akan meningkatkan [[status sosial]] yang dianggap menghargai warisan [[leluhur]] meskipun tidak pernah dibuat langsung oleh masyarakat [[Kabupaten Alor|Alor]]. Oleh karena itu, penggunaan moko telah lama menjadi lambang status sebagai [[Kekuasaan|otoritas]] elit setempat serta simbol kesuburan sehingga lumrah dipakai sebagai alat maskawin.<ref name=":1" />
 
== Sejarah ==
Asal-usul moko telah didokumentasikan dengan baik dimana pertukaran ide budaya melalui kontak komersial perdagangan yang berkelanjutan telah mengakibatkan penyaluran beberapa [[simbolisme]] seperti [[kendhang]] [[perunggu]] ke [[Indonesia]] timur. Adapun jalur perdagangan yang menyalurkan simbolisme hingga jarak jauh di waktu periode tertentu adalah rute  perdagangan tradisional kuno yang terbentang sepanjang [[Timur Tengah]] dan [[India]], jalur tersebut telah melalui [[Asia Tenggara]] dan berlanjut sampai ke [[Republik Rakyat Tiongkok|Cina]].<ref name=":1" />
 
Terdapat dua sumber penting dalam sejarah yang tercatat mempengaruhi penyaluran di Indonesia timur yaitu kerajaan kembar [[Kota Makassar|Makasar]] [[:en:Kingdom of Tallo|Gowa]]-[[:en:Kingdom of Tallo|Tallo]] pada abad ke-13 hingga 16 Masehi. Khusus kerajaan [[:en:Kingdom of Tallo|Tallo]] yang dominan dengan sektor [[Laut|maritim]] diketahui memiliki situs [[arkeologi]] yang ternyata mencatat semua kontak lama yang telah terjadi sepanjang sejarah. Dengan letaknya di semenanjung barat daya pulau [[Sulawesi]], Gowa-Tallo diketahui memiliki hubungan dagang yang ekstensif dengan kepulauan barat, dimana penyaluran gagasan dari barat daya [[Sulawesi]] difasilitasi hingga lebih jauh ke bagian timur [[Nusantara]]. Selain itu, adanya perjodohan yang tercatat terjadi antara penguasa Tallo dengan [[Kota Surabaya|Surabaya]] pun turut mendukung kemajuan pesat dalam penyaluran simbolisme ini. Hal ini dikarenakan posisi kota [[Kota Surabaya|Surabaya]] merupakan pelabuhan utama [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]] (di ujung timur pulau Jawa) yang melayani perdagangan rempah internasional.<ref name=":1" /> Penguasa Tallo dikenal sering mengunjungi partner-partner dagang di kepulauan [[Kabupaten Ende|Ende]] ([[Kabupaten Flores Timur|Flores)]], Banda dan [[Kepulauan Nusa Tenggara|Nusa Tenggara]]. Permulaan inilah yang kemudian bergulir hingga situasi politik sosial wilayah timur terkait penggunaan [[simbolisme]] [[kendhang]] perunggu berkembang. Fakta sejarah ini didukung dengan pengamatan bentuk fisik moko dimana pola hiasnya beragam tergantung zaman pembuatannya, bila diperhatikan seksama bentuknya mirip dengan benda-benda perunggu di [[Jawa|Pulau Jawa]] pada masa [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]].<ref name=":2">{{Cite web|url=https://www.seputar-ntt.com/sejarah-moko-di-alor-ntt/|title=Sejarah Moko di Alor, NTT|last=|first=|date=10/11/2013|website=|access-date=}}</ref> Tradisi rakyat mencatat bahwa pedagang asing pada mulanya memperkenalkan moko yang rupanya dibawa dari perantara perdagangan Melayu-Cina yang bertautan langsung dengan situs produksi moko di masa fase [[:en:Dong Son culture|Dong Son]], [[Vietnam]] utara atau barat daya [[Republik Rakyat Tiongkok|Cina]]. Sementara di abad ke-19, moko mulai dibuatkan menggunakan bahan kuningan, yang sebagian besar dibuat di [[Kabupaten Gresik|Gresik]], [[Jawa Timur]] dan dibawa dalam peredaran oleh pedagang [[Jawa]] dan [[Sulawesi]].<ref name=":1" />