Pinamorongan, Tareran, Minahasa Selatan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ando Rantung (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
merapikan isi artikel
 
(2 revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 12:
|kepadatan =-
}}
'''Pinamorongan''' adalah sebuah [[desa]] di kecamatan [[Tareran, Minahasa Selatan|Kecamatan Tareran]], [[Kabupaten Minahasa Selatan|Minahasa Selatan]], [[Sulawesi Utara|Provinsi Sulawesi Utara]], [[Indonesia]]. Di Pinamorongan ada satu tempat bersejarah yg belum terjamah yaitu Puncak "Watuleley". Pinamorongan berasal dari kata porong = ikat kepala.{{cn}}
 
== Penamaan ==
{{Tareran, Minahasa Selatan}}
Nama Desa Pinamorongan berasal dari [[bahasa daerah]] setempat yang berarti ikat kepala.
 
== Pariwisata ==
{{Authority control}}
Desa Pinamorongan memiliki sebuah [[lokawisata]] sejarah bernama Puncak Watuleley.{{cn}}
 
== Referensi ==
{{Reflist}}{{Tareran, Minahasa Selatan}}
 
{{Authority control}}
{{Kelurahan-stub}}
 
 
Sejarah desa pinamorongan. Sejak pembagian yang dilakukan
Lumimuut di Pinawetengan pada tahun
1428,orang Minahasa mulai terpisah-
pisah sesuai dengan wilayah yang telah
ditentukan. Secara budaya desa
Pinamorongan termasuk wilayah etnis
Tountemboan setelah pembagian di
Pinawetengan,orang-orang
Tountemboan mulai menuju ke arah
Tenggara,dalam perjalanan tersebut
mereka melewati banyak wilayah,ada
sebagian dari rombongan yang dalam
perjalanan mulai menetap di daerah yang
mereka lalui yang mereka anggap layak
untuk dihuni,ketika rombongan sampai di
Kawangkoan maka banyak diantara
mereka yang memilih untuk menetap di
Kawangkoan namun ada juga yang
memilih untuk mencari daerah yang
lain,sebagian dari mereka kemudian
meneruskan perjalanan dan sampai di
Pinamorongan di bawah pimpinan Tonaas
Mawokto,dan para pengikutnya Dotu
Mondoringin, Dotu Tutu, Dotu Rumokoy,
Dotu Sumewur, Dotu Salombaktas, Dotu
Kaleeb, Dotu Makarawung, Dotu Sangian,
Dotu Ladow.
Mereka sampai ke Pinamorongan pada
tahun 1464,untuk menandai kedatangan
mereka maka mereka menanam pohon
beringin di bukit Watuleley yang saat ini
tinggal anaknya yang tersisah sedang
pohon yang asli sudah mati. Sebelum
mereka sampai di Pinamorongan,sudah
terdapat orang-orang yang telah
menghuni wilayah tersebut terlebih
dahulu,tempat tinggal mereka di sebuah
tempat yang di kenal dengan nama
Tawaang yang saat ini adalah areal
perkebunan,namun letak pemukiman tua
tersebut tidak diketahui.
Ketika para leluhur Pinamorongan
sampai di suatu wilayah yang
bergunung-gunung/ tidak rata,mereka
mencoba untuk bercocok tanam namun
gagal karena tanah tersebut
tandus,kemudian mereka menamai
tempat tersebut dengan nama Rumbia
yang berasal dari kata Marumbi-rumbi.
Keadaan alam yang tidak mendukung
akhirnya membuat mereka harus mencari
daerah baru,setelah beberapa waktu
mencari-cari daerah yang cocok akhirnya
mereka menemukan sebuah daerah di
kaki gunung yang mereka namai Gunung
Manembo yang merupakan gunung
tertinggi di desa Pinamorongan saat ini.
Setelah sekian lama menempati wilayah
tersebut,mereka kemudian ditimpah
bencana berupa penyakit sampar/kolera
yang membunuh sebagian besar
penduduk terutama anak-anak,hal ini
kemudian membuat masyarakat yang
tersisah kembali teringat tempat tinggal
mereka yang sebelumnya,sebagian
penduduk ingin kembali ke tempat
tersebut namun sebagian lagi menolak
mengingat tempat tersebut
gersang,akhirnya setelah melalui
perundingan maka mereka membagi diri
atas 2 kelompok yaitu yang akan kembali
ke Rumbia dan yang akan mencari daerah
baru,namun sebelumnya mereka
membuat perjanjian bahwa walaupun
mereka terpisah,tetap penduduk yang
kembali ke Rumbia tidak boleh melupakan
penduduk yang tidak kembali ke Rumbia
beserta tanah pertanian mereka.
Setelah mereka membuat perjanjian
kemudian mereka berpisah.
Pada sekitaran abad 18 terjadi perang
antara Minahasa dan kerajaan Bolaang
Mongondow yang memperebutkan
wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow
mengklaim wilayah Minahasa adalah
wilayah miliknya karena pernah ditaklukan
oleh salah satu raja Mongondow,hal
inilah yang dituntut oleh kerajaan
Bolaang Mongondow supaya tanah
tersebut ditolak oleh Puak-puak
Minahasa karena dalam kenyataannya
wilayah tersebut ditempati oleh orang-
orang Minahasa,pertentangan yang tidak
menemui jalan keluar akhirnya
menyebabkan pecahnya perang
Minahasa – Bolaang Mongondow yang
berlarut-larut (sebenarnya konflik
antara Minahasa dan kerajaan Bolaang
Mongondow sudah berlangsung jauh
sebelumnya). Pada suatu ketika
kedudukan Minahasa mulai terdesak dan
sebagian wilayah Minahasa telah
diduduki oleh tentara Bolaang
Mongondow,pada saat itu Pinamorongan
menjadi pertahanan terakhir
Minahasa,ketika peperangan mulai
menghebat maka Tonaas-Tonaas
Minahasa memerintahkan semua orang
Minahasa menggunakan serban kepala
berwarna merah ini dilakukan untuk
membedakan mana lawan mana
kawan,setelah melalui perjuangan yang
berat akhirnya Minahasa meraih
kemenangan yang di tandai dengan
tewasnya raja Bolaang Mongondow di
ujung desa Pinamorongan. Raja Bolaang
Mongondow tewas karena terkena
bambu runcing yang di lemparkan oleh
salah seorang Tonaas Minahasa,mayat
raja Bolaang Mongondow tidak lagi
dibawah pulang oleh anak buahnya dan
hanya dibiarkan begitu saja,bahkan
bambu yang menancap pada tubuh raja
Bolaang Mongondow bertumbuh dan
saat ini menjadi rumpun bambu,pada
masa itulah nama Rumbia diganti dengan
nama Pinorongan untuk menggambarkan
keadaan orang Minahasa pada saat itu.
Pada masa pendudukan Belanda nama
Pinorongan diganti dengan nama
Pinamorongan.