Degung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Thesillent (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
RaFaDa20631 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
(4 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:Diajar_gamelan_degung.jpg|jmpl|240px|gamelanPementasan degung, tipe gamelan témprak.]]
{{Musik Indonesia}}
'''Degung''' ([[Aksara Sunda Baku]]: {{sund|ᮓᮨᮌᮥᮀ}}) adalah sekumpulan [[alat musik]] yang dimainkan oleh masyarakat [[Suku Sunda|Sunda]]. Degung sebagai unit gamelan dan degung sebagai laras memang sangat lain. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk: 2/''mi'' dan 5/''la'') dan degung triswara: 1/''da'', 3/''na'', dan 4/''ti''. Beberapa gamelan degung seringkali memiliki bilah cadangan nada -3/''ni'' untuk memainkan komposisi dalam laras Madenda.
[[Berkas:Diajar_gamelan_degung.jpg|jmpl|240px|gamelan degung, tipe gamelan témprak]]
'''Degung''' ([[Aksara Sunda Baku]]: {{sund|ᮓᮨᮌᮥᮀ}}) adalah sekumpulan [[alat musik]] yang dimainkan oleh masyarakat [[Suku Sunda|Sunda]].
 
Ada dua pengertian tentang istilah '''degung''':
* degung sebagai nama perangkat [[gamelan]]
* degung sebagai nama laras bagian dari laras ''[[Slendro|saléndro]]'' (berdasarkan teori [[Raden Machjar Angga Koesoemadinata]]).
Degung sebagai unit gamelan dan degung sebagai laras memang sangat lain. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk: 2/''mi'' dan 5/''la'') dan degung triswara: 1/''da'', 3/''na'', dan 4/''ti''. Beberapa gamelan degung seringkali memiliki bilah cadangan nada -3/''ni'' untuk memainkan komposisi dalam laras Madenda.
{| class="wikitable"
|+Laras Saléndro, Degung tumbuk dwiswara, Degung tumbuk trisuara, dan Madenda dalam model 17 nada/1 oktaf, 1 langkah = 70.58 cent
Baris 97 ⟶ 90:
 
== Gamelan degung ==
AdaSecara umum, ada dua pengertian tentang istilah '''degung''':
* degung sebagai nama perangkat [[gamelan]]
* degung sebagai nama laras bagian dari laras ''[[Slendro|saléndro]]'' (berdasarkan teori [[Raden Machjar Angga Koesoemadinata]]).
Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di [[Jawa Barat]], antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan '''Degung'''. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan [[wayang]], [[tari]], [[kliningan]], [[jaipong]]an dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih terdapat di kabupaten [[Bogor]], dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabuki [[Bandung]]. Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang, berorientasi pada gamelan Renteng.
 
Ada gamelan yang sudah lama terlupakan yaitu KOROMONGkoromong yang ada di Kp. Lamajang Desa Lamajang Kec. Pangalengan Kab. Bandung. Gamelan ini sudah tidak dimainkan sejak kira-kira 35 - 40 tahun dan sudah tidak ada yang sanggup untuk menabuhnya karena gamelan KOROMONGkoromong ini dianggap mempunyai nilai mistis. Gamelan KOROMONGkoromong ini sekarang masih ada dan terpelihara dengan baik. Untuk supaya gamelan KOROMONGkoromong ini dapat ditabuh, maka kata yang memegang dan merawat gamelan tersebut harus dibuat Duplikatnya.
 
== Sejarah ==
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli {{fact}} hasil pengembangan [[suku Sunda|masyarakat Sunda]] dari pengaruh [[Gamelan]] Jawa (Mataram). Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir [[abad ke-18]]/awal [[abad ke-19]]. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java ([[1934]]) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), [[Sumedang]] (3 perangkat), [[Cianjur]] (1 perangkat), [[Ciamis]] (1 perangkat), [[Keraton Kasepuhan Cirebon|Kasepuhan]] (1 perangkat), [[Keraton Kanoman Cirebon|Kanoman]] (1 perangkat), [[Darmaraja]] (1 perangkat), [[Banjar]] (1 perangkat), dan [[Singaparna]] (1 perangkat).
 
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, [[Galuh|kerajaan Galuh]] misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu ''Manintin'', ''Galatik Manggut'', ''Kintel Buluk'', dan ''Sang Bango''. Kebiasaan ''marak lauk'' masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
 
Dugaan-dugaanBerdasarkan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basakeratabasa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "''ngadeg''" (berdiri) dan “''agung''” (megah) atau “''pangagung''” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun [[1879]], yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "''De gong''" (gamelan, [[bahasa Belanda]]) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
 
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di [[Museum Prabu Geusan Ulun]], Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata ([[Pangeran Kornel]]), bupati Sumedang ([[1791]]—[[1828]]).
Baris 132 ⟶ 128:
Semua gamelan tersimpan di Museum Geusan Ulun peninggalan sejarah para leluhur Sumedang.
 
Dari ke-10 gamelan, ada 4 gamelan yang hingga kini masih dimainkan dalam berbagai pentas kesenian maupun digunakan untuk latihan tari, antara lain gamelan sari oneng mataram, sari arum, panglipur dan sari oneng parakansalak. Yang lainnya, tidak digunakan karena rusak.<ref>Gamelan Istimewa Koleksi Museum di Sumedang, Melanglangbuana Hingga Eropa dan Amerika sebelum Diserahkan ke Bupati[https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01337829/gamelan-istimewa-koleksi-museum-di-sumedang-melanglangbuana-hingga-eropa-dan-amerika-sebelum-diserahkan-ke-bupati?page=4] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20230328140902/https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01337829/gamelan-istimewa-koleksi-museum-di-sumedang-melanglangbuana-hingga-eropa-dan-amerika-sebelum-diserahkan-ke-bupati?page=4|date=2023-03-28}}</ref>
 
== Perkembangan ==
Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V ([[1912]]—[[1920]]) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.
 
Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan [[Palembang]], Kiagus H.Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.
 
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun [[1918]] Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan. Tahun [[1926]] degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul ''[[Lutung Kasarung|Loetoeng Kasaroeng]]'' oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun [[1931]].
Baris 166 ⟶ 162:
 
==Referensi==
{{Reflist}}{{Gamelan}}