Tari Topeng Lengger: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Erwinabdillah (bicara | kontrib)
k perbesar ukuran foto
RaFaDa20631 (bicara | kontrib)
 
(4 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 12:
''Di suatu sore ketika para warga dan pemuda berkerumun, Sunan Kalijaga mengajak salah satu muridnya (perempuan) menari dengan mengenakan topeng. Para muda-mudi dan remaja di sekitar kemudian tertarik menonton tarian dari dua orang yang diiringi irama gamelan itu. Mereka turut menari bersama dengan riang mengikuti irama musik dan tembang yang mengalun. Syair dalam tembang itu agak berbeda dengan yang biasa mereka dendangkan, namun cukup menarik, syarat dengan pesan spiritual yang disamarkan. Namun penonton tidak tahu bahwa salah satu penarinya ialah sang Sunan, hingga akhirnya tarian dihentikan dan topeng yang dikenakannya dibuka menjelang waktu Magrib tiba. Seketika melihat wajah sang Wali, para penonton kemudian terkejut lalu menyimak pesan yang dituturkannya.''
 
'''Salah satu pesannya ialah “Elingo Ngger, yen sesuk kowe bakale mati” (Ingatlah nak (anak laki-laki) bahwa suatu saat kamu akan mati'''. Frasa '''‘'''''Elingo Ngger'''''’''' itu kemudian banyak dipercayai menjadi awal dari istilah Lengger. Namun, ada juga yang meyakini bahwa usai pentas tari itu, Sunan Kalijogo mengajak para pemuda ke '''[[Musala|Langgar]]''' untuk belajar menunaikan ibadah [[Salat]] (Maghrib). Meskipun di awal ajakan itu, sang Sunan tidak menjelaskan secara gamblang, yakni hanya mengajari mereka bersuci ([[wudu]]) dan bersujud sebagai wujud beristirahat usai lelah menari bersama. Kebiasaan itu lalu membentuk para pemuda dan remaja mengikuti ibadah sang Sunan hingga tarian topeng itu masyhur di seluruh tanah Jawa. Namun ada juga masyarakat yang meyakini kata Lengger berasal dari ujaran Leng dan Jengger, yang artinya kurang lebih adalah Penari yang nampaktampak seperti perempuan namun ternyata laki-laki (ber-[[jengger]] seperti ayam jago). Ada pula keyakinan kata Lengger berasal dari '''Le''' dan '''Geger''' (Nggeger-i) artinya seorang anak laki-laki yang membuat gempar karena mampu menari layaknya perempuan.
 
Kisah tentang ajakan beribadah itu sampai saat ini dituturkan turun-temurun di keluarga para seniman di Wonosobo yang kini masih menyimpan peninggalan topeng maupun catatan tembang pengiring tari Topeng Lengger. Bahkan di dusun Giyanti, seluruh warganya sangat dekat dengan kesenian Topeng Lengger, mulai dari terjaganya keberadaan [[Sanggar]], penari, [[wiyaga]], hingga pembuat topeng yang masih berkarya. Dusun yang hidup dari hasil pertanian itu juga menggelar pesta panen bertajuk ‘Nyadran Tenong’ setahun sekali hingga saat ini. Sebagai puncak acara pada hari Jumat Kliwon tiap awal bulan Sura atau Muharam, ditampilkan tari [[Lengger Punjen]], bagian dari tari Topeng Lengger yang diyakini sebagai seni yang diwariskan sejak era [[Sunan Kalijaga]].
Baris 36:
 
== Makna Mendalam Lirik Tembang dan Pesan Keagamaan ==
Dituturkan penulis buku Tari Topeng Lenggeran Wonosobo, Agus Wuryanto, secara signifikan, Topeng Lengger Wonosobo berbeda kesejarahannya dengan Lengger Lanang Banyumasan. Pesan keagamaan dalam lirik lagu pengiring tari Topeng Lengger juga cukup kental, salah satunya pada tembang Sontoloyo yang mengisahkan masuknya Islam dipada era Prabu Bra Wijaya 5 dan mengakhiri era kerajaan Hindu-Buda. Seperti dikisahkan Ki Hadi Suwarno kepada penerusnya tentang asal usul tembang [[Sontoloyo]].
 
“Prabu Brawijaya (mungkin [[Brawijaya|Brawijaya V]]) di masa itu sudah tua tapi masih memegang tampok kepemimpinan sebagai raja yang segera digantikan puteranya sehingga muncul sebuah ungkapan angon bebek ilang loro. Yakni kehilangan dua ajaran agama ketika datang ajaran islam disebarkan oleh para Wali. Di Topeng Lengger, banyak  tarian yang erat dengan dakwah Islam. Contohnya Gondangkeli itu salah satu syairnya mengatakan ‘Sandangane diganti putih mergane wis ora mulih’. Ada juga lirik tentang ‘Kereto jowo roda papat rupa manungso’ yakni tentang keranda. Kemudian, di Menyan Putih: eling-eling siro manungso temenono nggonmu ngaji mumpung durung katekanan moloekat juru pati. Kalau lengger-lengger lawas, ada banyak syair seperti: Lempung gunung lemah abang, ada juga petikan ‘Miring ngetan Salo Nabi Semelah’ (Shallu ala Nabi dan Bismillah),” cerita dari Dwi Pranyoto berdasarkan penuturan almarhum Kakeknya.
 
"Mulut orang Jawa dipada era itu yang diyakini belum fasih berbahasa Arab, kemudian menyederhanakan pengucapan seperti ''La elo elo ya elo La'' yang bisa jadi berhubungan dengan pengucapan kalimat [[syahadat]] ''La Illa ha Illa-llah.'' Ada pula kata ''Semelah'' atau ''Besamelah'' masih banyak diucapkan para sesepuh di Wonosobo kerap menggantikan ucapan Bismillah (hirrahmanirrahim).
 
== Referensi ==
Baris 51:
https://ojs.badanbahasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/undas/article/download/2390/1183
 
{{Tarian di wilayah pulau Jawa|state=autocollapse}}
[[Kategori:Budaya Indonesia]]
[[Kategori:Tarian tradisional]]
[[Kategori:Budaya jawa]]
[[Kategori:Warisan budaya tak bendatakbenda Indonesia]]