Tahlilan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(31 revisi perantara oleh 16 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{About|ritual pembacaan ayat dan zikir|kalimat Laa ilaaha illallah|Tahlil}}
{{Underconstruction}}
'''Tahlilan''' adalah kegiatan doa yang dilakukan sebagian umat [[Islam]], khususnya [[suku Jawa]] yang berada di Indonesia dan ada juga di Malaysia, Brunai darussalam. untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama [[kematian]] hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.
 
[[NU]] organisasi islam di Indonesia yang berdakwah melalui tahlilan. Nu menyebutkan bahwa tahlilan bukanlah hal yang wajib dilakukan umat Islam.<ref>https://purwokerto.suara.com/read/2022/12/22/082023/trending-netizen-desak-petinggi-nu-fatwakan-tahlil-tak-wajib-ini-respons-pbnu</ref><ref>https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-tahlilan-menurut-mazhab-empat-bpZVe</ref> akan tetapi sunnah ghoir mahdhoh<ref>https://www.dream.co.id/orbit/menggelar-tahlilan-sampai-berutang-bolehkah-180208t.html</ref> selain [[sunah]] tahlilan adalah metode dakwah yang telah dilakukan sejak wali songo. Tahlilan juga dilakukan oleh nabi [[Muhammad]] seperti pada ketika [[sahabat nabi|para sahabat nabi]] dan pamannya ([[Hamzah bin Abdul-Muththalib|Hamzah]]) meninggal dunia.<ref>https://abi.an-nur.ac.id/2022/11/01/tahlilan-menurut-nu-dan-muhammadiyah/</ref>
TAHLILAN (SELAMATAN KEMATIAN) ADALAH BID’AH MUNKAR DENGAN IJMA’ PARA SHAHABAT DAN SELURUH ULAMA ISLAM
 
== Definisi ==
عَنْ جَرِيْربْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ : كُنَّا نَرَى (وفِى رِوَايَةٍ : كُنَا نَعُدُّ) اْلاِجْتِمَاع اِلَى أَهلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ (بَعْدَ دَفْنِهِ) مِنَ الْنِّيَاحَةِ “Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata: ”Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap” TAKHRIJ HADITS Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (No. 1612 dan ini adalah lafadzhnya) dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204 dan riwayat yang kedua bersama tambahannya keduanya adalah dari riwayat beliau), dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir sebagaimana tersebut di atas. Saya berkata: Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat (dapat dipercaya) atas syarat Bukhari dan Muslim. Dan hadits atau atsar ini telah dishahihkan oleh jama’ah para Ulama yakni para Ulama Islam telah ijma/sepakat tentang hadits atau atsar di atas dalam beberapa hal. Pertama: Mereka ijma’ atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun Ulama–sepanjang yang diketahui penulis–wallahu a’lam yang mendloifkan hadits ini. Dan ini disebabkan seluruh rawi yang ada di sanad hadits ini–sebagaimana saya katakan di muka–tsiqoh dan termasuk rawi-rawi yang dipakai oleh Imam Bukhari dan Muslim. Kedua: Mereka ijma’ dalam menerima hadits atau atsar dari ijma’ para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada seorangpun Ulama yang menolak atsar ini. Yang saya maksud dengan penerimaan (qobul) para Ulama ini ialah mereka menetapkan adanya ijma’ para shahabat dalam masalah ini dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang menyalahinya. Ketiga: Mereka ijma’ dalam mengamalkan hadits atau atsar di atas. Mereka dari zaman shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telah diijma’kan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul di tempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama ”Selamatan Kematian atau Tahlilan”. LUGHOTUL HADITS 1. كُنَا نَعُدُّ / كُنَّا نَرَى = Kami memandang/menganggap. Maknanya: Menurut madzhab kami para shahabat semuanya bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan termasuk dari bagian meratap. Ini menunjukkan telah terjadi ijma’/kesepakatan para shahabat dalam masalah ini. Sedangkan ijma’ para shahabat menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah dengan kesepakatan para Ulama Islam seluruhnya. 2. اْلاِجْتِمَاع اِلَى أَهلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ = Berkumpul-kumpul di tempat atau di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan yang kemudian mereka makan bersama-sama 3. بَعْدَ دَفْنِهِi = Sesudah mayit itu ditanam/dikubur. Lafadz ini adalah tambahan dari riwayat Imam Ahmad. Keterangan di atas tidak menunjukkan bolehnya makan-makan di rumah ahli mayit “sebelum dikubur?” Akan tetapi yang dimaksud ialah ingin menjelaskan kebiasaan yang terjadi mereka makan-makan di rumah ahli mayit sesudah mayit itu dikubur. 4. مِنَ الْنِّيَاحَةِ = Termasuk dari meratapi mayit Ini menunjukkan bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit atau yang kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan” adalah hukumnya haram berdasarkan madzhab dan ijma’ para sahabat karena mereka telah memasukkan ke dalam bagian meratap sedangkan merapat adalah dosa besar. SYARAH HADITS Hadits ini atau atsar di atas memberikan hukum dan pelajaran yang tinggi kepada kita bahwa: Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ (ini yang biasa terjadi) termasuk bid’ah munkar (haram hukumnya). Dan akan bertambah lagi bid’ahnya apabila di situ diadakan upacara yang biasa kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan pada hari pertama dan seterusnya”. Hukum di atas berdasarkan ijma’ para shahabat yang telah memasukkan perbuatan tersebut ke dalam bagian meratap. Sedangkan meratapi mayit hukumnya haram (dosa) bahkan dosa besar dan termasuk salah satu adat jahiliyyah. FATWA PARA ULAMA ISLAM DAN IJMA’ MEREKA DALAM MASALAH INI Apabila para shahabat telah ijma’ tentang sesuatu masalah seperti masalah yang sedang kita bahas ini, maka para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in dan termasuk di dalamnya Imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad) dan seluruh Ulama Islam dari zaman ke zamanpun mengikuti ijma’nya para sahabat yaitu berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ adalah haram dan termasuk dari adat/kebiasaan jahiliyyah.
Tahlilan merupakan kegiatan membaca serangkaian ayat Alquran dan zikir-zikir dengan maksud menghadiahkan pahala bacaannya kepada orang yang telah meninggal.{{sfn|Haq|2019}} "Tahlilan" berasal dari kata bahasa Arab ''[[Tahlil|tahlīl]]'' ({{lang|ar|تهليل}}) yang berarti membaca kalimat ''Lā ilāh(a) illa Allāh'' ({{lang|ar|لا إله إلا الله}} “Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”), salah satu yang dibaca pada kegiatan tahlilan.<ref>{{cite web|last=Hakim |first=M Saifudin|date=2019-08-12|df=dmy|url=https://muslim.or.id/50667-hakikat-tauhid-adalah-kalimat-laa-ilaaha-illallah-bag-1.html|title=Hakikat Tauhid adalah Kalimat Laa ilaaha illallah (Bag. 1)|website=Muslim|access-date=8 Juni 2021}}</ref>{{sfn|Zainuddin|2015}} tahlilan biasa diselenggarakan setiap malam Jumat atau pada hari-hari kesekian setelah meninggalnya seseorang, meskipun tidak terbatas pada dua kesempatan tersebut.{{sfnm|1a1=Zainuddin|1y=2015|2a1=Haq|2y=2019}}
 
Tahlilan juga digunakan pada hari bersyukur dan juga meminta didoakan ketika akan melakukan kegiatan besar atau berperfian jauh seperti hari kelahiran anak, akan berangkat haji dll.{{sfnm|1a1=Abidin|1y=2013|2a1=Haq|2y=2019}}
Oleh karena itu, agar supaya para pembaca yang terhormat mengetahui atas dasar ilmu dan hujjah yang kuat, maka di bawah ini saya turunkan sejumlah fatwa para Ulama Islam dan Ijma’ mereka dalam masalah “selamatan kematian”. 1. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318). “Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan”[1] Perkataan imam kita di atas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul di rumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan di sini sebagai Tahlilan?” 2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki): “Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci (haram). Karena akan menambah kesusahan di atas musibah mereka dan menyibukkan mereka di atas kesibukan mereka [2] dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah. Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya,."Apakah mayit kamu diratapi?” Jawab Jarir, ”Tidak!” Umar bertanya lagi, ”Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan? Jawab Jarir, ”Ya!” Berkata Umar, ”Itulah ratapan!” 3. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, di kitabnya: Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal (8/95-96): “Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul di situ berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram. Dan di antara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dengan alasan ta’ziyah/melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini. Telah berkata An Nawawi rahimahullah: Adapun duduk-duduk (di rumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta’ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut)…….. Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, ”Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab: “Dibenci duduk-duduk (di tempat ahli mayit) dengan alasan untuk ta’ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah ”Bid’ah.” Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan: “Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kumpul (di tempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani, dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapaknya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam Agama (kita). Kita memohon kepada Allah keselamatan !” 4. Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang bid’ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan di rumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy-Syaamil dan lain-lain Ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Dan hal inipun beliau tegaskan di kitab beliau “Raudlotuth Tholibin (2/145). 5. Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab: “Tidak disukai/dibenci duduk-duduk (di tempat ahli mayit) dengan alasan untuk Ta’ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah ”Bid’ah.“
 
== Sejarah ==
Dan Imam Nawawi menyetujuinya bahwa perbatan tersebut bid’ah. [Baca ; Al-Majmu’ syarah muhadzdzab juz. 5 halaman 305-306] 6. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah ”Bid’ah Yang Jelek”. Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakan shahih. 7. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (di rumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ”Bid’ah” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 8. Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah. 9. Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul Islamiy” (2/549): “Adapaun ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal tersebut dibenci dan Bid’ah yang tidak ada asalnya. Karena akan menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka di atas kesibukan mereka dan menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orang-orang jahiliyyah.” 10. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab: ”Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit) dan tidaklah mereka (ahli mayit) membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.” [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139] 11. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ”Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta’ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain.” [Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93] 12. Berkata Al Imam Al Ghazali, di kitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi’i (I/79), ”Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit.” KESIMPULAN. Pertama: Bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit hukumnya adalah BID’AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama’ termasuk didalamnya imam empat. Kedua: Akan bertambah bid’ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta’ziyah. Ketiga: Akan lebih bertambah lagi bid’ahnya apabila di situ diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya. Keempat: Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum kerabat/sanak famili dan para jiran/tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat. “Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukkan mereka (yakni musibah kematian).” [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi’i (I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)] Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita seperti Syafi’iy dan lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami turunkan di atas). Berkata Imam Syafi’iy: “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi)…“ [Al-Um I/317] Kemudian beliau membawakan hadits Ja’far di atas. [Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M] _______ Footnote [1]. Ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi’i menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi’i di atas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah. [2]. Perkataan ini seperti di atas yaitu menuruti kebiasaannya selamatan kematian itu menyusahkan dan menyibukkan. Tidak berarti boleh apabila tidak menyusahkan dan tidak menyibukkan! Ambillah contoh firman Allah di dalam surat An-Nur ayat 33:”Janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi”. Apakah boleh kita menyuruh budak perempuan kita untuk melacur apabila mereka menginginkannya? Tentu tidak!
{{noref section}}
Upacara tahlilan ditengarai merupakan praktik pada abad-abad transisi yang dilakukan oleh masyarakat yang baru memeluk Islam, tetapi tidak dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang lama. Berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit bukan hanya terjadi pada masyarakat pra-Islam di Indonesia saja, tetapi di berbagai belahan dunia, termasuk di jazirah Arab. Oleh para dai (yang dikenal [[Wali Songo]]) pada waktu itu ritual yang lama diubah menjadi ritual yang bernafaskan Islam. Di Indonesia tahlilan masih membudaya sehingga istilah "tahlilan" dikonotasikan dengan memperingati dan mendoakan orang yang sudah meninggal.
 
Tahlilan dilakukan bukan sekadar kumpul-kumpul karena kebiasaan zaman dulu. Generasi sekarang tidak lagi merasa perlu dan sempat untuk melakukan kegiatan sekadar kumpul-kumpul seperti itu. Tahlilan yang masih diselenggarakan sampai sekarang itu karena setiap anak menginginkan orang tuanya yang meninggal masuk surga. Sebagaimana diketahui oleh semua kaum muslim, bahwa anak saleh yang berdoa untuk orang tuanya adalah impian semua orang. Oleh karena itu, setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang saleh dan mendoakan mereka. Dari sinilah, keluarga mendoakan mayit dan beberapa keluarga merasa lebih senang jika mendoakan orang tua mereka yang meninggal dilakukan oleh lebih banyak orang (berjamaah). Diundanglah orang-orang untuk itu.
 
Menyuguhkan sedekah sekadar suguhan kecil bukanlah hal yang aneh, apalagi tabu, apalagi haram. Suguhan (sedekah) itu hanya berhak untuk orang miskin, yatim piatu ,orang cacat, orang yang kesulitan. Berkaitan dengan menghargai tamu yang mereka undang sendiri dan orang yang berhak mendapat sedekah, yaitu fakir miskin, orang cacat, anak yatim, orang lanjut usia. Maka, jika ada anak yang tidak ingin atau tidak senang mendoakan orang tuanya, maka dia (atau keluarganya) tidak akan melakukannya, dan itu tidak berakibat hukum syareat. Namun di sisi mazhab syafie bahkan mazhab Maliki, Hanbali, dan juga Hanafi berpendapat ritual tahlilan sebagai satu bentuk perbuatan makruh yang dibenci disisi agama.
 
{{Bagian kosong}}
 
== Catatan kaki dan referensi ==
{{reflist}}
 
== Daftar pustaka ==
Baris 13 ⟶ 26:
* {{cite web |ref=harv |last=Abidin |first=Firanda Andirja |date=2013-03-22 |df=dmy |title=Tahlilan adalah Bid'ah Menurut Madzhab Syafi'i |url=https://firanda.com/726-tahlilan-adalah-bid-ah-menurut-madzhab-syafi-i.html |website=Firanda.com |access-date=23 Mei 2021}}
* {{cite web |ref=harv |last=Abdat |first=Abdul Hakim bin Amir |year=2001 |title=Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-qur'an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi'iy |publisher=Tasjilat Al-Ikhlas}}
* {{cite web |ref=harv |last=Haq |first=Husnul |date=2019-12-30 |df=dmy |title=Hukum Tahlilan Menurut Mazhab Empat |website=NU Online |url=https://islam.nu.or.id/post/read/115055/hukum-tahlilan-menurut-mazhab-empat |access-date=8 Juni 2021}}
* {{cite web |ref=harv |last=Zainuddin |date=2015-09-26 |df=dmy |title=Tahlilan dalam Perspektif (Historis, Sosiologis, Psikologis, Antropologis) |website=UIN Maulana Malik Ibrahim Malang |url=https://www.uin-malang.ac.id/r/150901/tahlilan-dalam-perspektif-historis-sosiologis-psikologis-antropologis.html |access-date=23 Mei 2021}}
{{refend}}
 
{{agama-stub}}
 
[[Kategori:Tradisi Islam]]
 
 
{{agama-stub}}