Soedirman: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Serigala Sumatera (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Serigala Sumatera (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
(1 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 42:
Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di [[Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga|Bodaskarangdjati]], [[Rembang]], [[Purbalingga]].<!--(nama asli Tarsem adalah Turidawati)--> Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat bernama [[Raden]] Cokrosunaryo.{{efn|Karsid dan istrinya pindah ke Rembang pada tahun 1915, setelah Karsid berhenti dari pekerjaannya di perkebunan gula Belanda di Purbalingga {{harv|Sardiman|2008|p=8}}; sumber lainnya menyatakan bahwa ia dipecat {{harv|Adi|2011|pp=1–2}}. Jaraknya {{convert|145|km}} melalui darat, dan saat itu Siyem sedang mengandung {{harv|Sardiman|2008|p=8}}.}}{{efn|Cokrosunaryo tidak memiliki anak {{harv|Imran|1980|p=2}}.}}{{sfn|Adi|2011|pp=1–2}}{{sfn|Imran|1980|p=1}} Menurut catatan keluarga, Soedirman&nbsp;– dinamai oleh pamannya&nbsp;– lahir pada [[Kalender Jawa#Siklus Wetonan|Minggu ''pon'']] di bulan Maulud dalam [[Kalender Jawa|penanggalan Jawa]]; pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari 1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan Cokrosunaryo yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar Raden, gelar kebangsawanan pada [[suku Jawa]].{{sfn|Adi|2011|pp=1–2}} Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun.{{sfn|Imran|1980|p=3}} Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke Manggisan, [[Cilacap]]. Di tempat inilah ia tumbuh besar.{{sfn|Adi|2011|pp=1–2}} Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.{{sfn|Adi|2011|pp=1–2}}{{sfn|Imran|1980|p=4}}{{sfn|Sardiman|2008|p=7}}
 
Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata krama [[priyayi]],{{sfn|Adi|2011|p=3}} serta etos kerja dan kesederhanaan ''[[wong cilik]]'', atau rakyat jelata.{{sfn|Sardiman|2008|p=12}} Untuk pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan [[Kyaikiai]] [[Hajihaji]] Qahar; Soedirman adalah anak yang taat agama dan selalu [[shalatsalat]] tepat waktu. Ia dipercaya untuk mengumandangkan [[adzanazan]] dan [[iqamatikamah]].{{sfn|Sardiman|2008|pp=14–15}} Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah pribumi ({{lang|nl|''hollandsch inlandsche school''}}).{{sfn|Adi|2011|p=3}}{{sfn|Sardiman|2008|pp=16–17}} Meskipun hidup berkecukupan, keluarga Soedirman bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin jahit [[Singer Corporation|Singer]].{{sfn|Imran|1980|p=4}}
 
Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah;{{efn|{{harvtxt|Adi|2011|p=3}} Soedirman mungkin diejek karena latar belakangnya, sebagian besar teman-teman sekelasnya pasti berasal dari keluarga bangsawan tua atau orang-orang yang memiliki hubungan yang kuat dengan Belanda.}} permintaan ini awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik [[Taman Siswa]] pada tahun ketujuh sekolah.{{sfn|Adi|2011|p=3}}{{sfn|Sardiman|2008|pp=16–17}}{{sfn|Imran|1980|p=10}} Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo{{efn|Wirotomo secara harfiah berarti "gerbang utama" {{harv|Sardiman|2008|p=19}}.}} setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh [[Ordonansi Sekolah Liar]] karena diketahui tidak terdaftar.{{sfn|Imran|1980|p=10}}{{sfn|Adi|2011|p=4}}{{sfn|Sardiman|2008|p=18}} Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah [[Kebangkitan Nasional Indonesia|nasionalis Indonesia]], yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda.{{sfn|Adi|2011|p=4}} Soedirman belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua pada saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah dalam pelajaran [[aksara Jawa|kaligrafi Jawa]], Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia.{{sfn|Sardiman|2008|pp=20–21}} Soedirman juga menjadi semakin taat agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman juga memberikan ceramah agama kepada siswa lain.{{sfn|Adi|2011|p=6}} Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan tim [[sepak bola]] sebagai [[bek]].{{sfn|Adi|2011|p=5}} Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh miskin, namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus pada akhir tahun.{{sfn|Adi|2011|p=6}}{{sfn|Sardiman|2008|p=73}} Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mempelajari [[Sunnah]] dan doa.{{sfn|Sardiman|2008|p=28}} Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktik di Wirotomo.{{sfn|Adi|2011|p=4}}
Baris 154:
Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan [[Perjanjian Roem-Royen]]. Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya;{{efn|Perjanjian ini pada awalnya ditentang baik oleh militer Indonesia maupun Belanda, namun akhirnya tetap disahkan {{harv|Said|1991|pp=116–118}}.}}{{sfn|Said|1991|pp=116–118}} Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta, tetapi Soedirman menolak untuk membiarkan Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan.{{efn|{{harvtxt|Said|1991|p=119}} menyatakan bahwa surat itu ditulis oleh Hamengkubuwono&nbsp;IX dan diantarkan oleh Suharto, sedangkan {{harvtxt|Imran|1980|pp=75–80}} berpendapat bahwa surat itu dari bawahan sekaligus teman dekat Soedirman, Kolonel [[Gatot Soebroto]].}} Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana.{{sfn|Imran|1980|pp=75–80}}{{sfn|Sardiman|2008|p=199}} Wartawan [[Rosihan Anwar]], yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin tertinggi republik".{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=47}}
 
== Pasca-perangPascaperang ==
Pada awal Agustus, Soedirman mendekati [[Soekarno]] dan memintanya untuk melanjutkan perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi [[Perjanjian Roem-Roijen|Perjanjian Roem-Royen]], belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan bagi Soedirman. Soedirman menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal yang sama.{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Sudirman}}{{sfn|McGregor|2007|p=129}}{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Oerip Soemohardjo}} Setelah ia berpikir bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan ketidakstabilan, Soedirman tetap menjabat,{{sfn|Imran|1980|pp=82–83}} dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949.{{sfn|Said|1991|p=122}}