Masjid Syuhada: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
RaFaDa20631 (bicara | kontrib) Infobox dan koordinat |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(29 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 3:
|caption = Masjid Syuhada
|building_name = Masjid Syuhada
|map_type =
|map_size = 250
|latitude = -7.7862586
|longitude = 110.3691867
|location =
|province = {{flag|Daerah Istimewa Yogyakarta}}
|religious_affiliation = [[Islam]]▼
| country = {{flag|Indonesia}}
|architecture_type = Masjid
|groundbreaking = 1851
|year_completed = 1952
|ownership = Yayasan Masjid Syuhada
}}
'''Masjid Syuhada''' atau '''Masjid Agung Kota Yogyakarta'''<ref>{{citation|author=Pemkot Yogyakarta|title=Masjid Syuhada Ditetapkan sebagai Masjid Agung Kota Yogya|publication-date=2 April 2023|publisher=warta.jogjakota.go.id|url=https://warta.jogjakota.go.id/detail/index/26754/kebudayaan/kode/KB001639|access-date=22 April 2024|language=id}}</ref> adalah sebuah bangunan [[masjid]] bersejarah di daerah [[Kotabaru, Gondokusuman, Yogyakarta|Kotabaru]], [[Gondokusuman, Yogyakarta|Gondokusuman]], [[Kota Yogyakarta]]. Bangunan masjid tersebut bernama "[[martir|syuhada]]" yang bermakna penghargaan kepada para pejuang yang gugur semasa [[Revolusi Nasional Indonesia]]. Masjid tersebut merupakan salah satu masjid yang menyimpan nilai sejarah, terutama berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
'''Masjid Syuhada Kotabaru, Yogyakarta''' adalah sebuah bangunan [[masjid]] bersejarah di daerah Kotabaru, [[Yogyakarta]]. Bangunan masjid tersebut bernama "Syuhada" yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "pejuang". [[Masjid]] tersebut memang menjadi salah satu masjid yang menyimpan nilai sejarah, terutama berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Masjid itu selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 20 September 1952. [[Masjid]] Syuhada tepatnya berlokasi di Jalan I Dewa Nyoman Oka 13, Kotabaru, [[Yogyakarta]] yang merupakan markas serta tempat tinggal orang-orang Belanda semasa menjajah Indonesia, berikut orang [[Tionghoa]] serta orang Indonesia kelas atas atau mereka yang menerima pendidikan ala Barat.<ref>http://bpad.jogjaprov.go.id/public/article/513/Masjid_Syuhada.pdf</ref> Pembangunan [[Masjid]] Syuhada sendiri juga didasari atas persoalan tidak adanya tempat ibadah bagi umat Islam di Kotabaru mengingat di sampingnya berdiri megah bangunan gereja bernama [[Gereja Kristen Batak Protestan]] di Kotabaru. Selain itu, pemerintah Indonesia juga bermaksud memberikan hadiah kepada rakyat [[Yogyakarta]] atas perjuangan mereka dalam melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan [[Indonesia]]. Perlu diketahui, [[Yogyakarta]] pada waktu itu dijadikan sebagai Ibu kota Revolusi Indonesia atau pemerintahan sementara akibat tentara [[Belanda]] berhasil menguasai [[Jakarta]]. Untuk menunjukkan eksistensi Indonesia di dunia internasional, [[Sri Sultan Hamengkubuwono IX]] menawarkan untuk memindahkan pemerintahan [[Indonesia]] dari [[Jakarta]] ke [[Yogyakarta]] untuk sementara waktu.▼
Masjid Syuhada selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 20 September 1952. Panitia pembangunannya dipimpin oleh [[Assaat|Mr. Assaat gelar Datuk Mudo]]. Masjid ini tepatnya berlokasi di Jalan I Dewa Nyoman Oka 13, Kotabaru. Lokasi itu dulunya merupakan markas serta tempat tinggal orang-orang Belanda semasa menjajah Indonesia, berikut orang [[Tionghoa]] serta orang Indonesia kelas atas atau mereka yang menerima pendidikan ala Barat.<ref>http://bpad.jogjaprov.go.id/public/article/513/Masjid_Syuhada.pdf</ref>
▲
== Sejarah ==
[[Berkas:Syuhada_Mosque_Yogyakarta,_Kota_Jogjakarta_200_Tahun,_plate_before_page_81.jpg|jmpl|250x250px|Masjid Syuhada sekitar tahun 1956]]
Pembangunan [[Masjid]] Syuhada di Yogyakarta berawal dari kegiatan pegajian yang diadakan di rumah keluarga Moch. Joeber Prawiroyuwono yang berada di Jalan Ngasem, [[Yogyakarta]]. Pengajian itu digelar setelah mundurnya [[Belanda]] dari [[Yogyakarta]] dan menjelang pemindahan ibu kota negara dari [[Yogyakarta]] ke [[Jakarta]]. Pada saat itu, beberapa tokoh yang hadir dengan dipantik oleh [[Assaat|Mr.
Berkenaan dengan itu, jauh ketika penjajahan [[Belanda]] masih berlangsung, Lapangan Kridosono di Kotabaru dimonopoli oleh [[Belanda]]. Lapangan sepak bola tersebut sejatinya adalah lapangan sepak bola terbesar di Yogyakarta. [[Belanda]] mempergunakan lapangan tersebut untuk kepentingan klub sepak bola mereka yang bernama ''Voetbalbond Djokja'' (VDB). Pribumi yang tinggal di sekitar lapangan bahkan dilarang untuk memasuki area tersebut. Hanya golongan berkebangsaan Belanda yang diperbolehkan untuk memasuki dan memanfaatkan fasilitas tersebut. Keadaan berubah sekejab ketika Jepang menjajah Indonesia dan mengusir Belanda dari Yogyakarta. [[Jepang]] dengan politik dan tipu muslihatnya berupaya untuk mengambil hati rakyat [[Indonesia]]. Mereka memberikan kesempatan kepada rakyat Yogyakarta untuk dapat memanfaatkan fasilitas lapangan sepak bola tersebut. Hal itu menjadi dalih Jepang yang mengaku sebagai saudara tua Indonesia. Rakyat Yogyakarta diperkenankan untuk menggunakan lapangan yang ada sebagai sarana hiburan menonton pertandingan sepak bola. Di tengah-tengah pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung, terjadi percakapan antara dua tokoh masyarakat bernama Muhammad Muammal dan H.M Syuja’. Ketika waktu Shalat Ashar tiba di antara berlangsungnya pertandingan sepak bola, mereka kesulitan untuk mencari tempat ibadah. Mereka lupa bahwa di daerah Kotabaru belum ada [[masjid]]. Bahkan, [[Gereja Kristen Batak Protestan]] yang ada di sana dahulu juga sempat dijadikan masjid jami’ untuk Shalat Jumat.
Berkenaan dengan dua peristiwa di atas, maka beberapa tokoh [[agama]] dan masyarakat sepakat untuk membangun [[masjid]] di Kotabaru sekaligus sebagai hadiah dari pemerintah Indonesia kepada rakyat Yogyakarta.<ref name=":1">http://eprints.uny.ac.id/21705/10/10.%20RINGKASAN.pdf</ref>
▲Berkenaan dengan itu, jauh ketika penjajahan [[Belanda]] masih berlangsung, Lapangan Kridosono di Kotabaru dimonopoli oleh [[Belanda]]. Lapangan sepak bola tersebut sejatinya adalah lapangan sepak bola terbesar di Yogyakarta. [[Belanda]] mempergunakan lapangan tersebut untuk kepentingan klub sepak bola mereka yang bernama ''Voetbalbond Djokja'' (VDB). Pribumi yang tinggal di sekitar lapangan bahkan dilarang untuk memasuki area tersebut. Hanya golongan berkebangsaan Belanda yang diperbolehkan untuk memasuki dan memanfaatkan fasilitas tersebut. Keadaan berubah sekejab ketika Jepang menjajah Indonesia dan mengusir Belanda dari Yogyakarta. [[Jepang]] dengan politik dan tipu muslihatnya berupaya untuk mengambil hati rakyat [[Indonesia]]. Mereka memberikan kesempatan kepada rakyat Yogyakarta untuk dapat memanfaatkan fasilitas lapangan sepak bola tersebut. Hal itu menjadi dalih Jepang yang mengaku sebagai saudara tua Indonesia. Rakyat Yogyakarta diperkenankan untuk menggunakan lapangan yang ada sebagai sarana hiburan menonton pertandingan sepak bola. Di tengah-tengah pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung, terjadi percakapan antara dua tokoh masyarakat bernama Muhammad Muammal dan H.M Syuja’. Ketika waktu Shalat Ashar tiba di antara berlangsungnya pertandingan sepak bola, mereka kesulitan untuk mencari tempat ibadah. Mereka lupa bahwa di daerah Kotabaru belum ada [[masjid]]. Bahkan, [[Gereja Kristen Batak Protestan]] yang ada di sana dahulu juga sempat dijadikan masjid jami’ untuk Shalat Jumat. Berkenaan dengan dua peristiwa tersebut, maka beberapa tokoh [[agama]] dan masyarakat sepakat untuk membangun [[masjid]] di Kotabaru sekaligus sebagai hadiah dari pemerintah Indonesia kepada rakyat Yogyakarta.<ref name=":1">http://eprints.uny.ac.id/21705/10/10.%20RINGKASAN.pdf</ref>
== Proses Pembangunan Masjid ==
[[Berkas:Assaat_as_Acting_President_in_Sumedang,_1950.jpg|jmpl|[[Assaat|Mr. Assaat]] disalami oleh warga di Masjid Sumedang. Mr. Asaat merupakan ketua panitia pembangunan Masjid Syuhada,]]
Proses pembangunan [[Masjid]] Syuhada mengalami dinamika dan pasang surut di awal prosesnya. Semula, kepanitiaan di periode pertama yang diketahui oleh Mohammad Muammal dan periode kedua diketua oleh H. M. Syuja’ mengalami kegagalan. Sampai saat ini, masih belum dipastikan apa penyebab kegagalan tersebut. Baru pada pembentukan panitia periode ketiga yang diketua oleh [[Assaat|Mr. Asaat]], pembangunan [[Masjid]] Syuhada berlangsung dengan lancar. Pada kepanitiaan tersebut, Mr. Asaat membentuk tujuh belas orang anggota panitia yang kemudian dikenal dengan sebutan Panitia 17. Kepanitiaan tersebut dibentuk pada hari Jumat, 14 Oktober 1949 di rumah keluarga M. Prawirojuwono dan kemudian diresmikan oleh Menteri Agama RI Kabinet Hatta, K.H. Masjkur.<ref name=":1" />
Berkantor di Jalan Ngabean Nomor 29, [[Yogyakarta]], proses pembangunan [[Masjid]] Syuhada dimulai dari pemilihan nama terlebih dahulu. Atas dasar masjid tersebut dibangun dalam momentum perjuangan prajurit dan rakyat [[Yogyakarta]] yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Haji Benjamin yang merupakan salah satu pemuda muslim dari [[Yogyakarta]] mengusulkan nama “Masjid Peringatan Syuhada”. Nama tersebut kemudian disingkat menjadi “[[Masjid]] Syuhada”. Nama tersebut kemudian disetujui oleh seluruh panitia yang hadir. Namun demikian, sang pengusul nama tersebut wafat pada tanggal 4 Juli 1950 dan tidak dapat menyaksikan proses pembangunan serta menikmati Masjid Syuhada.
Baris 29 ⟶ 40:
Setelah terbentuk susunan panitia yang rapi, anggota panitia kemudian berunding untuk memutuskan lokasi yang cocok didirikan [[Masjid]] Syuhada. Pada waktu itu, ada tiga pilihan yang ditawarkan, yaitu lapangan Widoro yang saat ini berdiri kantor [[Telkom Indonesia]] di [[Yogyakarta]]; lapangan sebelah barat [[SMA Negeri 3 Yogyakarta]]; dan tanah yang di atasnya telah berdiri bangunan gedung dinas purbakala. Setelah berdiskusi panjang lebar, mereka akhirnya memutuskan untuk membangunnya di pilihan ke-3.
Dalam perkembangan pembangunan [[masjid]], Mr. Asaat sebagai ketua panitia juga menghadap [[Presiden Soekarno]] yang pada waktu itu masih berada di [[Yogyakarta]]. Mr. Asaat menyampaikan rencana pembangunan [[Masjid]] Syuhada di Kotabaru dan disambut dengan sangat positif oleh [[Presiden Soekarno]]. Seperti yang diketahui, Presiden Soekarno selalu menginginkan kemewahan dan kemegahan. Maka, Beliau juga menginginkan agar Masjid Syuhada dibangun dengan megah. Namun demikian, Beliau menyindir Mr. Asaat terkait konsep pembangunan masjid yang menurutnya masih serupa dengan langgar kecil, bukan masjid jami’ sebagaimana yang dikatakan. Hal itu membuat Mr. Asaat beserta anggota panitia 17 lainnya bekerja lebih keras untuk mencari sumber dana serta memperbaiki konsep pembangunan [[masjid]] agar menjadi megah sebagaimana yang dikatakan oleh [[Presiden Soekarno]]. Hal itu juga diamini oleh tokoh-tokoh bangsa lainnya yang kemudian juga memberikan berbagai macam dukungan untuk kelancaran pembanguan Masjid Syuhada.<ref name=":2" />
Membangun sebuah [[masjid]] yang megah sebagaimana yang dikatakan oleh [[Presiden Soekarno]] bukanlah hal yang mudah, terutama di tengah kondisi bangsa yang masih belum stabil paska-kemerdekaan. Terlebih lagi menyoal keuangan negara, [[Indonesia]] tentu belum cukup mampu untuk mendirikan bangunan masjid semacam itu. Namun demikian, para panitia bekerja keras untuk mengimpun dana dari para dermawan dan hartawan di Yogyakarta. Para tokoh-tokoh bangsa pun tidak sedikit yang memberikan harta bendanya demi lancarnya pembangunan [[Masjid]] Syuhada, termasuk Presiden Soekarno sendiri. Pada saat itu, panitia memperkirakan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan Masjid Syuhada adalah sekitar 1 juta rupiah. Namun demikian, total pengeluaran yang ada ternyata lebih dari 1,2 juta rupiah. Pengeluaran itu hanya mampu mencakup bangunan masjid (material), belum termasuk perlengkapan di dalam masjid seperti sajadah, mimbar, kipas angin, dan lain sebagainya. Terlebih lagi, panitia pembangunan [[masjid]] juga tidak dibayar sedikit pun. Mereka yang kebanyakan adalah pra tokoh bangsa dan masyarakat bahkan mengeluarkan pengeluaran pribadinya untuk pembangunan Masjid Syuhada. Dalam prosesnya, pembangunan [[Masjid]] Syuhada juga tidak membayar kontraktor khusus. Seluruh proses pembangunan murni dikerjakan oleh rakyat [[Yogyakarta]] sendiri. Mereka menyadari betul, keuangan dan ekonomi negara sedang tidak kondusif. Pada saat itu, Kepala Pembangunan Nasional, Supomo, didampingi oleh penasihat teknik dari ''[[Adhi Karya|N.V. Associatie]]'' Jakarta bernama Ir. R. Feenstra bertanggung jawab untuk mengawasi pembangunan [[masjid]]. Sementara itu, H.M. Zaini W.S. dan kawan-kawan diberikan tanggung jawab untuk mencari alat, bahan, dan pekerja (tukang) yang akan mengerjakan pembangunan [[masjid]].<ref name=":1" />
Kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1950, dilakukan peletakan kiblat pertama yang dipimpin oleh K.H. Badawi. Peletakan kiblat menjadi sangat penting sebelum pembangunan [[masjid]] dilakukan, karena berkaitan dengan arah shalat. Pada tanggal 23 September 1950, peletakan batu pertama oleh [[Sri Sultan Hamengkubuwono IX]] yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia, dilaksanakan. Peletakan batu pertama juga dihadiri oleh [[Sjafruddin Prawiranegara]] dan [[Paku Alam VIII]] yang membacakan amanat dari Presiden Soekarno yang berhalangan hadir dalam kesempatan itu. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya pada tanggal 20 September 1952, Masjid Syuhada selesai dibangun dan diresmikan. Kegiatan peresmian [[Masjid]] Syuhada dihadiri oleh [[Presiden Soekarno]], para menteri, dan para duta besar negara Islam. Setelah kegiatan peresmian berupa pengguntingan pita berlangsung, mereka melakukan Shalat Dhuhur berjamaah di dalam [[masjid]] yang dilanjutkan dengan kegiatan berjalan-jalan di sekitar [[Masjid]] Syuhada untuk menikmati kemegahan yang ada.<ref>http://eprints.uny.ac.id/21705/5/5.%20BAB%20III.pdf</ref>
Baris 57 ⟶ 68:
=== Sekolah Tinggi Agama Islam Masjid Syuhada ===
Pendirian lembaga pendidikan tersebut tidak terlepas dari munculnya [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) di Indonesia. PKI membangun sebuah perguruan tinggi bernama Universitas Rakyat Mataram sekitar tahun 1961. Tujuannya tentu untuk menyebarkan ideologi komunis lebih cepat lewat bangku pendidikan. Untuk membendung ideologi komunis berkembang di [[Yogyakarta]], YASMA yang merupakan salah satu lembaga di bawah naungan [[Masjid]] Syuhada membangun universitas bernama Perguruan Tinggi Ilmu Dakwah Masjid Syuhada pada 10
=== Sekolah Dasar Masjid Syuhada ===
Masih dibawah naungan YASMA, Sekolah Dasar Masjid Syuhada<ref>{{Cite web |url=https://sdmasjidsyuhada.sch.id/html/index.php |title=Salinan arsip |access-date=2017-12-06 |archive-date=2017-12-06 |archive-url=https://web.archive.org/web/20171206202027/https://sdmasjidsyuhada.sch.id/html/index.php |dead-url=yes }}</ref> didirikan pada 25 Juli 1995 dengan adanya surat izin operasional yang ditandatangani oleh Gubernur [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]. Pendirian SD Masjid Syuhada juga tidak luput dari peran para orang tua yang menyekolahkan anaknya di TK Masjid Syuhada. Mereka ingin anak-anaknya terus mempelajari ilmu agama Islam lewat sekolah formal. Di dalam SD Masjid Syuhada, para siswa juga diajarkan [[Bahasa Arab]] dan [[Bahasa Inggris]] sejak duduk di bangku kelas satu.
=== SMP IT Masjid Syuhada ===
Berdirinya SMP IT [[Masjid]] Syuhada<ref>{{Cite web |url=http://dapo.dikdasmen.kemdikbud.go.id/sekolah/D03C6AB2147EB745B670 |title=Salinan arsip |access-date=2017-12-06 |archive-date=2018-03-03 |archive-url=https://web.archive.org/web/20180303070337/http://dapo.dikdasmen.kemdikbud.go.id/sekolah/d03c6ab2147eb745b670 |dead-url=yes }}</ref> ditandai dengan disahkannya SK Kepala [[Dinas Pendidikan dan Pengajaran]] [[Kota Yogyakarta]] No. 1888/853 tahun 2004. SMP IT Masjid Syuhada pertama kali beroperasi pada tanggal 25 Maret 2004 dibawah kepemimpinan Dra. Hj. Kadarini (periode tahun 2004-2010) yang juga merupakan anggota dari YASMA. Meskipun terhitung sebagai [[sekolah]] baru, beberapa penelitian menyebutkan bahwa SMP IT [[Masjid]] Syuhada memiliki kompetensi yang tidak kalah dibandingkan sekolah di tingkat kota, kabupaten, bahkan nasional lainnya. Saat ini, SMP IT [[Masjid]] Syuhada berada dibawah pimpinan
== Referensi ==
Baris 69 ⟶ 80:
{{reflist}}
[[Kategori:
[[Kategori:Gondokusuman, Yogyakarta]]
[[Kategori:
|