Sekaten: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
RaFaDa20631 (bicara | kontrib) |
RaFaDa20631 (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
||
(20 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan) | |||
Baris 10:
}}|leader_name=|patron=|filing=|people=|sponsor=<!-- | or sponsors = -->|current=|footnotes=|native_name=ꦱꦼꦏꦠꦺꦤ꧀|native_name_lang=jv}}
'''Sekaten''' (
=== Istilah ===▼
Kebanyakan pustaka bersepakat bahwa nama "sekaten" adalah adaptasi dari istilah [[bahasa Arab]], ''syahadatain'', yang berarti "persaksian (syahadat) yang dua". Perluasan makna dari sekaten dapat dikaitkan dengan istilah ''Sahutain'' (menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng), ''Sakhatain'' (menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan), ''Sakhotain'' (menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan), ''Sekati'' (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk), dan ''Sekat'' (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan)<ref>Handipaningrat, KRT. H. ''Perayaan Sekaten''. Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta. Hal. 3.</ref>▼
Beberapa acara penting perayaan ini adalah dimainkannya gamelan pusaka di halaman Masjid Agung masing-masing keraton, pembacaan riwayat hidup Nabi Islam [[Muhammad]] dan rangkaian pengajian di serambi Masjid Agung dan, puncaknya adalah dengan diadakannya perayaan Grebeg Maulud sebagai bentuk syukur pihak istana dengan keluarnya sejumlah [[gunungan]] untuk diperebutkan oleh masyarakat.
=== Perayaan ===▼
Menurut Puger (2002), awal mula dan maksud perayaan Sekaten dapat ditarik sejak mulainya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, yaitu zaman [[Kesultanan Demak]].<ref>Puger, GPH. 2002. ''Sekaten''. Karaton Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta</ref> Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya menyiarkan agama [[Islam]]. Karena orang Jawa saat itu menyukai [[gamelan]], pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad di halaman [[Masjid Agung Demak]] dimainkanlah gamelan, sehingga warga masyarakat berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan gamelan dan sekaligus khutbah-khutbah mengenai keislaman.▼
== Sejarah ==
Tradisi arak-arakan semacam sekaten, menurut satu cerita rakyat yang digali oleh Saddhono, telah dilakukan pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak, sebagai pelanjut dari "wahyu" kerajaan, mencoba meneruskan tradisi tersebut atas saran dari [[Wali Sanga]].<ref>[http://kundharu.staff.uns.ac.id/dunia-diksastrasia/tradisi-sekaten-surakarta/ Saddhono, K. tanpatahun. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta: Kajian Alternatif Pengembangan Bahan Ajar Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. ''Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan'']</ref>▼
▲Kebanyakan pustaka bersepakat bahwa nama "sekaten" adalah adaptasi dari istilah [[bahasa Arab]], ''syahadatain'', yang berarti "persaksian (syahadat) yang dua". Perluasan makna dari sekaten dapat dikaitkan dengan istilah ''Sahutain'' (menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng), ''Sakhatain'' (menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan), ''Sakhotain'' (menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan), ''Sekati'' (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk), dan ''Sekat'' (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan)
Masuknya Belanda ke kedua keraton turut mempengaruhi jalannya prosesi sekaten. Pemerintah Belanda menambahkan pergelaran [[pasar malam]] dan pameran seni budaya bersamaan dengan prosesi sekaten pada awal abad ke-20. Digelarnya pasar rakyat dalam prosesi sekaten adalah strategi Belanda untuk memecah perhatian masyarakat terhadap Masjid Agung.<ref>[https://bacajogja.id/2022/08/29/pasar-malam-dan-tradisi-sekaten-keraton-yogyakarta/ Pasar Malam dan Tradisi Sekaten Keraton Yogyakarta]</ref>▼
▲
▲Tradisi arak-arakan semacam sekaten, menurut satu cerita rakyat yang digali oleh Saddhono, telah dilakukan pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak, sebagai pelanjut dari "wahyu" kerajaan, mencoba meneruskan tradisi tersebut atas saran dari [[Wali Sanga]].
== Prosesi ==
=== ''Miyos'' dan ''kondur gangsa'' ===
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan [[Abdi dalem|abdi ''dalem'']] (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set [[gamelan sekaten]]. Iring-iringan ini bermula dari
Kedua set gamelan tersebut adalah:
* Di [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat|Keraton Ngayogyakarta]] terdapat gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Naga Wilaga. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di Bangsal Pagongan Kidul, sedangkan Kanjeng Kyai Naga Wilaga ditempatkan di Bangsal Pagongan Lor.<ref>{{Cite web|last=Setyaningrum|first=P.|date=2022-10-05|title=Mengenal Gamelan Sekaten Keraton Yogyakarta, Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogo Wilogo Halaman all|url=https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/10/05/182803078/mengenal-gamelan-sekaten-keraton-yogyakarta-kyai-guntur-madu-dan-kyai|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2024-05-11}}</ref>
* Di [[Keraton Surakarta Hadiningrat|Keraton Surakarta]] terdapat gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Guntur Sari. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di
Di Keraton Yogyakarta, acara ''kondur gangsa'' diawali dengan kedatangan Sri Sultan di Masjid Gedhe untuk menyebar ''udhik-udhik'' kepada rakyat di depan bangsal pagongan. Setelah ditebar, Sultan akan masuk ke dalam masjid untuk kembali menyebar ''udhik-udhik'', yang kali ini ditebar untuk para abdi dalem. Setelah itu, Sultan akan duduk bersama dengan para abdi dalem di serambi masjid untuk mendengarkan pembacaan [[Sirah Nabawiyah|riwayat hidup]] nabi Islam [[Muhammad]], yang dibacakan dalam bahasa Jawa oleh abdi dalem ''kanca kaji''.<ref>{{Cite
=== Numplak Wajik ===▼
Di Keraton Surakarta, setiap dua gamelan sekaten diperdengarkan, sebagian pengunjung Masjid Agung berebut [[Janur|janur kuning]] yang terpasang di dekat Bangsal Pradangga. Para pengunjung menganggap janur kuning tersebut membawa berkah. Di samping itu, terdapat ritual lain yang disebut ''ngunyah kinang'', yang dijual di pelataran masjid. Pengageng Parentah Keraton Surakarta, K.G.P.H. Dipokusumo, mengatakan bahwa ''nginang'' melambangkan ''suruh'' yang berarti diperintah untuk membaca [[syahadat]].<ref>{{Cite web|last=Wicaksono|first=R. Bony Eko|date=2023-09-21WIB17:22:26+00:00|title=Warga Berebut Janur di Pagongan Masjid Agung Solo saat Gamelan Sekaten Ditabuh|url=https://soloraya.solopos.com/warga-berebut-janur-di-pagongan-masjid-agung-solo-saat-gamelan-sekaten-ditabuh-1747476|website=Solopos.com|language=id|access-date=2024-05-11}}</ref>
Dua hari sebelum acara ''Grebeg Muludan'', suatu upacara ''Numplak Wajik'' diadakan di halaman [[istana]] Magangan pada jam 16.00. Upacara ini berupa ''kotekan'' atau permainan lagu dengan memakai kentongan, ''lumpang'' (alat untuk menumbuk padi), dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara ''Grebeg Muludan'' nantinya. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara ''Numplak Wajik'' ini adalah lagu [[Jawa]] populer seperti: ''Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal awil, ''atau lagu-lagu rakyat lainnya.▼
▲=== ''Numplak Wajik'' ===
▲Dua hari sebelum acara ''Grebeg Muludan'', suatu upacara ''Numplak Wajik'' diadakan di
=== Grebeg Maulid ===
[[Berkas:Gunungan being blessed Pj DSC 1897.jpg|thumb
Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan ''Grebeg Muludan'' yang diadakan pada tanggal 12 (persis pada hari ulang tahun Nabi [[Muhammad]]) mulai
* Di Yogyakarta terdapat ''bregada'' Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Surakarsa, dan Bugis.<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2023-01-18|title=10 Nama Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta Halaman all|url=https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/01/18/204238278/10-nama-bregada-prajurit-keraton-yogyakarta|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2024-05-11}}</ref>
Sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, dan buah-buahan serta sayur-sayuan tersebut dikawal dan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan [[Mataram]] ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.▼
* Di Surakarta terdapat ''bregada'' Korps Musik, Tamtama, Jayeng Astra, Prawira Anom, Sarageni, Baki, Jayasura, Dwarapati, Jayataka, dan Panyutra.<ref>{{Cite web|last=newsreal.id|date=2019-07-21|title=Prajurit Keraton Surakarta Selalu Datang dengan Full Team, Lembaga Dewan Adat, prajurti keraton,|url=https://newsreal.id/2019/07/21/prajurit-keraton-surakarta-selalu-datang-dengan-full-team/|website=NEWSREAL|language=id|access-date=2024-05-11}}</ref>
Gunungan terdiri atas lima jenis, yaitu gunungan ''kakung'', ''putri'', ''dharat'', ''gepak'', dan ''pawuhan''. Di Yogyakarta, gunungan ''kakung'' dibuat menjadi tiga yang akan dibagikan di [[Masjid Gedhe Kauman|Masjid Gedhe]], Kepatihan, dan [[Pura Pakualaman]], sehingga total berjumlah tujuh gunungan. Gunungan yang digotong ke Pakualaman dikawal oleh dua ''bregada'' Pakualaman: Lombok Abang (Dragunder) dan Plangkir.<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2023-06-29|title=7 Gunungan Diarak Saat Tradisi Grebeg Besar Keraton Yogyakarta Halaman all|url=https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/06/29/162432478/7-gunungan-diarak-saat-tradisi-grebeg-besar-keraton-yogyakarta|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2024-05-11}}</ref>
▲Sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, dan buah-buahan serta sayur-sayuan tersebut dikawal dan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan [[Mataram]] ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2023-09-28|title=Berebut Berkah Raja Keraton Yogyakarta pada Grebeg Maulud Halaman all|url=https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/09/28/203438678/berebut-berkah-raja-keraton-yogyakarta-pada-grebeg-maulud|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2024-05-11}}</ref>
=== Prosesi pada Tahun Dal ===
Tahun Dal dalam penanggalan Jawa terjadi tiap delapan tahun sekali. Pada tahun Dal prosesi sekaten biasanya diadakan lebih besar, khususnya di Keraton Yogyakarta. Perayaan sekaten pada tahun Dal dibuat lebih besar karena
Keraton memiliki beberapa tradisi sekaten dan grebeg yang hanya dilakukan pada tahun Dal. Salah satu tradisi khusus tersebut adalah ''njejak banon'' atau ''njejak beteng'' yang dilakukan oleh Sri Sultan sekembalinya dari Masjid Gedhe. Dalam tradisi ini, Sultan tidak melewati regol Masjid, melainkan melewati jalan lain untuk ''njejak'' atau menjebol sebuah tembok. Tradisi ''njejak beteng'' diilhami oleh kisah Sultan [[Hamengkubuwana II]] yang tidak bisa keluar melalui pintu gerbang utama pada peristiwa [[Geger Sepoy]], sehingga untuk meloloskan diri kemudian menuju arah selatan dengan cara menjebol beteng.<ref>{{Cite web|last=Raharjo|first=Edzan|title=Sultan HB X Lakukan Jejak Beteng, Batu Bata Pun Jadi Rebutan Warga|url=https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3750801/sultan-hb-x-lakukan-jejak-beteng-batu-bata-pun-jadi-rebutan-warga|website=detiknews|language=id-ID|access-date=2024-05-13}}</ref>
Selain tradisi tersebut, terdapat pula upacara ''Bethak'' dan ''[[Pisowanan]] Garebeg Dal''. ''Bethak'' merupakan prosesi pembuatan nasi oleh para kerabat perempuan Sultan di bangsal Keputren. Biasanya upacara ''Bethak'' dilakukan sehari sebelum acara ''Pisowanan'', dimana nasi tersebut akan diserahkan kepada Sultan ketika ''Pisowanan'' berlangsung.<ref>{{Cite web|last=Media|first=Harian Jogja Digital|title=Grebeg Mulud Kraton Ngayogyakarta Kali Ini Istimewa, Ini Rangkaian Upacara yang akan Digelar|url=https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2017/12/01/510/873287/grebeg-mulud-kraton-ngayogyakarta-kali-ini-istimewa-ini-rangkaian-upacara-yang-akan-digelar|website=Harianjogja.com|language=en|access-date=2024-05-13}}</ref>
Jatuhnya tahun Dal juga mempengaruhi jumlah gunungan yang akan dibawa. Pada tahun Dal, keraton biasanya mengeluarkan lebih banyak gunungan. Di Keraton Yogyakarta, salah satu gunungan tersebut adalah Gunungan ''Bromo'' atau ''Kutug'', gunungan yang dihadirkan oleh keraton pada tahun Dal saja. Gunungan Bromo kelak akan dibawa kembali ke dalam keraton setelah didoakan, kemudian diperebutkan oleh para keluarga keraton dan para ''sentana dalem''.{{Sfn|Asiarto|2005|p=46}}
== Pasar malam ==
[[Berkas:Sekaten Yogyakarta 2011 1.JPG|jmpl|Pasar malam perayaan Sekaten Yogyakarta, 2011]]
Sekaten juga dimeriahkan pula oleh [[pasar malam]] (biasa disebut "Sekatenan") yang dilangsungkan di alun-alun Utara masing-masing Keraton yang dimana berlangsung selama sekitar 40 hari, dimulai pada awal bulan [[Sapar]] ([[Safar]]).
▲Masuknya Belanda ke kedua keraton turut mempengaruhi jalannya prosesi sekaten. Pemerintah Belanda menambahkan pergelaran [[pasar malam]] dan pameran seni budaya bersamaan dengan prosesi sekaten pada awal abad ke-20. Digelarnya pasar rakyat dalam prosesi sekaten adalah strategi Belanda untuk memecah perhatian masyarakat terhadap Masjid Agung.<ref>[https://bacajogja.id/2022/08/29/pasar-malam-dan-tradisi-sekaten-keraton-yogyakarta/ Pasar Malam dan Tradisi Sekaten Keraton Yogyakarta]</ref>
Karena tidak relevan dengan kesakralan Sekaten, pasar malam Sekaten di Yogyakarta akhirnya ditiadakan pada musim Sekaten tahun 2019.<ref>{{Cite web|last=Hadi|first=Usman|title=Fakta-fakta di Balik Tak Adanya Pasar Malam Sekaten Yogya Tahun Ini|url=https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4734603/fakta-fakta-di-balik-tak-adanya-pasar-malam-sekaten-yogya-tahun-ini|website=detiknews|language=id-ID|access-date=2024-05-11}}</ref> Pada tahun 2022, Sekber Keistimewaan DIY, Altar Ria Production, dan Perkumpulan Pengusaha Pasar Malam menyelenggarakan pasar malam lain yang diberi nama "Pasar Rakyat Jogja Gumregah". Pasar ini tak lagi digelar di Alun-alun Utara, tetapi berpindah ke halaman kosong bekas STIE Kerja Sama Yogyakarta.<ref>{{Cite web|last=Rinepta|first=Adji G.|title=Nostalgia Pasar Malam Sekaten Jogja Usai Vakum 5 Tahun|url=https://www.detik.com/jateng/jogja/d-6307049/nostalgia-pasar-malam-sekaten-jogja-usai-vakum-5-tahun|website=detikjateng|language=id-ID|access-date=2024-05-11}}</ref><ref>{{Cite web|last=Media|first=Harian Jogja Digital|title=Pasar Rakyat Jogja Gumregah Jadi Pengobat Rindu akan Sekaten|url=https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2022/09/19/511/1112296/pasar-rakyat-jogja-gumregah-jadi-pengobat-rindu-akan-sekaten|website=Harianjogja.com|language=en|access-date=2024-05-11}}</ref>
== Lihat pula ==
Baris 63 ⟶ 75:
{{reflist}}
=== Daftar pustaka ===
=== Daftar pustaka<ref>{{Cite journal|last=Daryanto|first=Joko|date=2016-12-14|title=GAMELAN SEKATEN DAN PENYEBARAN ISLAM DI JAWA|url=https://journal.uny.ac.id/index.php/ikadbudi/article/view/12030|journal=Jurnal IKADBUDI|volume=4|issue=10|doi=10.21831/ikadbudi.v4i10.12030|issn=2685-8282|ref=harv}}</ref> ===▼
* {{cite book|last=Asiarto|first=L.|year=2005|title=Makna Ritus dalam Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta|location=Jakarta|publisher=Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film, [[Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia|Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia]]|ref=harv|url-status=live}}
* {{cite journal|last=Handipaningrat|year=1970|title=Perayaan Sekaten|journal=Relung Pustaka|volume=Juli 1970|ref=harv}}
{{Topik Yogyakarta}}{{Kota Surakarta}}▼
▲
* {{cite book|last=Puger|year=2002|title=Sekaten|location=Surakarta|publisher=Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta|ref=harv|url-status=live}}
* {{cite journal|first=Kundharu|last=Saddhono|year=2009|title=Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta: Kajian Alternatif Pengembangan Bahan Ajar Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah|journal=Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan|volume=14|issue=74|ref=harv}}
{{Kota Surakarta}}
[[Kategori:Upacara adat di Indonesia]]
[[Kategori:Tradisi Islam di Indonesia]]
[[Kategori:Upacara keagamaan]]
[[Kategori:Maulid Muhammad]]
|