Suku Kokoda: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Blackman Jr. (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Envapid (bicara | kontrib)
 
(42 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox ethnic group
'''Suku Kokoda''' adalah [[kelompok etnis]] yang bermukim di wilayah [[Kota Sorong]], [[Papua Barat]]. Pemukiman suku Kokoda tersebar di dua lokasi besar, yaitu di [[Klasabi, Man, Sorong|Kelurahan Klasabi]], [[Man, Sorong|Distrik Man]], [[Kota Sorong]] dan daerah IMEKO (Inanwatan, Matemani, Kais, dan Kokoda).
|group = Kokoda<br><small>''Emeyode''</small>
|population = 6.528 ([[Sensus Penduduk Indonesia 2010|2010]])
|popplace = [[Papua Barat Daya]]
|langs = [[Bahasa Kokoda|Kokoda]]
|rels = [[Islam]] (mayoritas), [[Kristen]] (minoritas)
|related = [[Suku Imekko|Imekko]] ([[Suku Inanwatan|Inanwatan]], [[Suku Matemani|Matemani]], [[Suku Kais|Kais]])
}}
 
'''SukuOrang Kokoda''' atau '''Emeyode''' adalah [[kelompok etnis]] yang bermukim di wilayah [[Kota Sorong Raya]], [[Papua Barat Daya]]. Suku ini merupakan sub-suku dari suku besar Imekko (Inanwatan, Matemani, Kais, dan Kokoda). Pemukiman suku Kokoda tersebar di dua lokasi besarwilayah, yaitu di [[Klasabi, ManSorong Manoi, Sorong|Kelurahan Klasabi]], [[ManSorong Manoi, Sorong|Distrik Man]],Sorong [[Kota SorongManoi]] dan daerah IMEKO (Inanwatan[[Kokoda, Matemani,Sorong Kais, danSelatan|Distrik Kokoda)]].
Suku Kokoda yang tinggal di [[Kota Sorong]] umumnya sudah mulai mengenal penggunaan [[teknologi]], mengingat lokasi perkampungan mereka juga bersebalahan dengan lapangan terbang DEO, [[Kota Sorong]]. Sementara itu, Suku Kokoda yang tinggal di daerah IMEKO masih hidup dengan cara tradisional, seperti menokok sagu dan mencari ikan di dalam sungai atau kali dengan menggunakan alat berupa tangguh ayang yang dianyam dari pelepah sagu. Letak perkampungan itu sendiri sangat sulit dijangkau, baik dijangkau melalui jalur laut, darat, dan udara.
 
==Etimologi==
Secara geografis, mereka merasakan dua musim, yaitu [[musim panas]] dan [[musim hujan]]. Ketika musim panas tiba, Suku Kokoda akan mengalami kekurangan [[air]]. Namun demikian, mereka akan menggali sumur sedalam mungkin sampai kemudian menemukan sumber air. Hal itu telah berlangsung secara turun temurun.<ref name=":1">Normaningrum, Arumi (2011) ''Tradisi peminangan dengan 1500-2000 jenis barang di kalangan masyarakat muslim Kokoda: Kasus di kalangan masyarakat muslim Kokoda Distrik Manoi Sorong, Papua Barat.'' Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Lihat melalui http://etheses.uin-malang.ac.id/1309/</ref>
Nama ''Kokoda'' sebenarnya mengacu pada nama wilayah yang ditempati, dalam bahasa Kokoda (Yamueti) berarti "kawasan air yang berwarna hitam yang dikelilingi tanaman sagu".<ref name="Wekke">{{cite journal | last1=Wekke | first1=Ismail Suardi| last2=Sari| first2=Yuliana Ratna| title=Tifa Syawat dan Entitas Dakwah dalam Budaya Islam: Studi Suku Kokoda Sorong Papua Barat | journal=Thaqafiyyat | volume=13 | issue=1 | date=2012-06-01 | pages=163–186 | url=https://ejournal.uin-suka.ac.id/adab/thaqafiyyat/article/view/42 | language=id | access-date=2024-05-17}}</ref> Sedangkan nama kelompok etniknya adalah Emeyode. Nama "Emeyode" berasal dari kata ''eme'' 'mari' dan ''yode'' 'kita jalan'. Dalam konteks ini nama tersebut dimaknai "mari berjalan bersama-sama".<ref name="Ronsumbre et al. 2023">{{citation | last1=Ronsumbre|first1=Adolof|last2=Ayorbaba|first2=Musa|last3=Lekitoo|first3=Paskhalis|last4=Bachri|first4=Samsul|last5=Raharjo|first5=Agus|last6=Nugroho|first6=Nur| title=Laporan Akhir Pemetaan Hak Ulayat Masyarakat Adat di Blok Kulupanda Kabupaten Sorong Selatan Provinsi Papua Barat | date=2023|url=https://web.archive.org/web/20240326020717/http://repository.unipa.ac.id:8080/xmlui/bitstream/handle/123456789/2364/null%20%284%29.pdf?sequence=1 | publisher=UNIPA-PT Pertamina| access-date=2024-03-26}}</ref>
 
==Wilayah persebaran==
Suku Kokoda yang tinggal di [[Kota Sorong]] umumnya sudah mulai mengenal penggunaan [[teknologi modern]], mengingat lokasi perkampungan mereka juga bersebalahan dengan lapangan[[Bandar terbangUdara DEODomine Eduard Osok]], [[Kota Sorong]]. Sementara itu, Sukusuku Kokoda yang tinggal di daerah IMEKOImekko masih hidup dengan cara tradisional, seperti menokok sagu dan mencari ikan di dalam sungai atau kali dengan menggunakan alat berupa tangguh ayang yang dianyam dari pelepah sagu. Letak perkampungan itu sendiri sangat sulit dijangkau, baik dijangkau melalui jalur laut, darat, dan udara.
 
Secara geografis, mereka merasakan dua musim, yaitu [[musim panas]] dan [[musim hujan]]. Ketika musim panas tiba, Sukumasyarakat suku Kokoda akan mengalami kekurangan [[air]]. Namun demikian, mereka akan menggali sumur sedalam mungkin sampai kemudian menemukan sumber air. Hal itu telah berlangsung secara turun temurun.<ref name=":1">Normaningrum, Arumi (2011) ''Tradisi peminangan dengan 1500-2000 jenis barang di kalangan masyarakat muslim Kokoda: Kasus di kalangan masyarakat muslim Kokoda Distrik Manoi Sorong, Papua Barat Daya.'' Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Lihat melalui http://etheses.uin-malang.ac.id/1309/</ref>
 
===Persebaran marga===
Berikut adalah persebaran marga pemilik hak ulayat di Distrik Kokoda:<ref name="Ronsumbre et al. 2023"/>
*Kampung Tarof: Biawa, Totaragu, Tayo, dan Ugaya
*Kampung Negeri Besar: Ugaje
*Kampung Dauba: Jare, Beyete, Agia, Tameye, Nawari, Gogoba, Irewa, Damoi, Ugaje, dan Damar
*Kampung Topdan: Mudaye, Tobi, Maratar, Turai, dan Gogoba
*Kampung Migirito: Budori
 
== Kehidupan sosial ==
Secara garis besar, jumlah penduduk Kokoda yang bertempat di Kelurahan Klasabi berjumlah 6.528 jiwa pada tahun 2010. Mayoritas, Sukusuku Kokoda bekerja di sektor formal dan informal seperti guru, buruh tani, nelayan, dan buruh bangunan. Selain itu, banyak diantara suku Kokoda yang memilih untuk menjual [[kayu]] dan [[batu karang]]. Meskipun sebagian besar lebih memilih untuk menjadi buruh nelayan, mereka juga mulai mempraktikkan kegiatan [[pertanian]] selama menetap. Hal itu mereka lakukan karena banyaknya pendatang dari luar [[Papua]] yang menetap di lingkungan tempat tinggal mereka. Mencukupi makanan melalui kegiatan [[pertanian]] secara mandiri perlu untuk mereka lakukan.<ref>Wekke, Ismail Suardi. 2012. Pesantren dan Pengembangan Kurikulum Entrepreneurship: Kajian Pesantren Roudahtul Khuffadz Sorong Papua Barat. INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol. 6, No. 2, Desember 2012: 205-226</ref>
 
Dalam hal keagamaan, Sukusuku Kokoda menganut dua agama besar, yaitu [[Islam]] dan [[Kristen Protestan]]. Islam masuk ke wilayah mereka pada tahun abad ke-15. Masuknya [[Agamaagama Islam]] ke wilayah tersebut tidak terlepas dari peran [[Sultan Tidore]]. Meskipun terdapat dua perbedaan agama besar, Sukusuku Kokoda hidup sangat rukun dan berdampingan satu sama lain. Hampir tidak pernah dijumpai konflik agama terjadi dalam kehidupan mereka. Sesuatu yang terlihat justru hubungan yang harmonis dan tolong menolong satu sama lain. Seperti misalnya, ketika umat [[Islam]] menggelar perayaan hari besar keagamaan seperti Isra’[[Isra Miraj]] dan [[IdulfitriIdul Fitri]], yang ditunjuk menjadi ketua pelaksana justru Sukusuku Kokoda dari agama [[Kristen Protestan]]. Begitu pula ketika umat Kristen akan menggelar perayaan hari besar agama seperti [[Hari Raya Natal]], yang ditunjuk menjadi ketua pelaksana justru Sukusuku Kokoda yang beragama Islam. Di wilayah tempat mereka tinggal terhitung ada 5 masjid, 2 mushola, dan 4 gereja.
 
Dalam hal pendidikan, Sukusuku Kokoda terhitung masih sedikit yang bersentuhan dengan dunia pendidikan. Banyak di antara mereka yang tidak menyelesaikan pendidikan [[Sekolahsekolah menengah atas]]. Mereka yang menyelesaikan pendidikan hingga ke tingkat perguruan tinggi (S1) umumnya adalah para pemuka agama dari kalangan mereka sendiri. Namun demikian, beberapa kalangan dari kelompok mereka juga ada yang telah mengerti akan pentingnya pendidikan. Terutama bagi yang beragama Islam, mereka membangun yayasan pendidikan berbasis [[pesantren]] sebagai tempat belajar bagi generasi muda di sana.
 
Pemberdayaan masyarakat Sukusuku Kokoda dilaksanakan pula oleh organisasi [[Muhammadiyah]]. Pengajaran bertani, beternak, dan menjadi nelayan juga dilaksanakan untuk pemberdayaan masyarakat. [[Warmon Kokoda, Mayamuk, Sorong|Kampung Warmon Kokoda]] di [[Kota Sorong]] bahkan disebut sebagai "Kampung Muhammadiyah" karena kedatangan organisasi tersebut membawa kemajuan.<ref name=kompas>Firdaus, Haris (18 Januari 2019). "Jejak Muhammadiyah di Papua Barat". ''[[Kompas (surat kabar)|Kompas]]''. Hlm.19</ref>
 
Selain itu, Sukusuku Kokoda juga diberkahi dengan kekayaan alam berupa tanaman obat-obatan. Terhitung ada 70 spesies tanaman yang mereka gunakan sebagai obat-obatan tradisional. Jumlah tersebut meliputi 67 genus dan 41 familia tumbuhan obat. Familia tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional yaitu [[Fabaceae]] dan [[Euphorbiaceae]]. Selama ini, telah terbukti bahwa spesies tanaman obat tersebut terbukti mampu mengobati 73 jenis keluhan penyakit. Keluhan yang paling banyak dialami masyarakat suku Kokoda antara lain: badan pegal-pegal, luka luar, dan tambah darah. Bagian tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku obat oleh suku Kokoda adalah daun (50%). Cara meramu dengan merebus adalah yang paling sering dilakukan oleh masyarakat suku Kokoda.<ref>Maulina, Cici Suci. 2011. KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT TRADISIONAL OLEH MASYARAKAT SUKU KOKODA DI KAMPUNG UGAR, PULAU UGAR, FAKFAK, PAPUA BARAT. Skripsi Program Studi S1 Bilogi Universitas Gadjah Mada</ref>
 
==Kebudayaan==
=== Tifa Syawatsyawat ===
Tifa Syawatsyawat merupakan [[alat musik]] tradisional [[tifa]] yang mirip seperti [[gendang]] yang cara memainkannya adalah dengan dipukul. Alat musik ini yang terbuat dari sebatang [[kayu]] atau [[rotan]] yang dikosongi bagian isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi dengan menggunakan kulit hewan yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Formatnya pun biasanya dibuat dengan ukiran yang memiliki ciri khas masing-masing. Tifa Syawatsyawat sendiri telah berkembang di kalangan Sukusuku Kokoda yang oleh mereka disebut sebagai orkes musik dengan tetabuhan (sejenis tradisi [[Kulintang]] dan Tatabuang) yang terdiri dari ''adrat'', ''tifa'', suling, dan gong kecil. Kesenian ini menjadi media da’wahdakwah penyebaran [[agama Islam]] yang dilakukan oleh para da’ida'i di luar wilayah tempat tinggal Sukusuku Kokoda. Tifa gong sendiri merupakan alat musik asli [[Papua]]Kokoda, sedangkan suling dan gong''adrat'' dibawa langsung oleh para da’ida'i tersebut dari tempat[[Kokas, asal merekaFakfak|Kokas]]. Kesenian ini biasanya ditampilkan ketika hari besar keagamaan tertentu seperti maulid nabi dan upacara-upacara seperti pengiring pengantin ke rumah keluarga laki-laki dan khitanan. Kesenian Tifa Syawatsyawat tersebut diyakini sebagai bentuk kebudayaan lokal yang muncul akibat ekspansi [[agama Islam]] ke wilayah [[Papua]], tepatnya di perkampungan Sukusuku Kokoda.<ref name=":0Wekke">Wekke, Ismail Suardi. 2012. TIFA SYAWAT DAN ENTITAS DAKWAH DALAM BUDAYA ISLAM: STUDI SUKU KOKODA SORONG PAPUA BARAT. Thaqafiyyat, Vol. 13, No. 1, Juni 2012</ref>
 
Namun demikian, kesenian Tifa Syawatsyawat tersebut sebenarnya tidak murni berasal dari Sukusuku Kokoda. Sebelumnya, kesenian tersebut pertama kali berkembang di wilayah [[Kokas, Fakfak]], Papua. Meskipun begitu, Sukusuku Kokoda telah menguasai kesenian tersebut dengan sangat terampil. Hampir di beberapa acara besar keagamaan seperti Maulid Nabi dan kegiatan perayaan masyarakat seperti pernikahan dan khitanan tidak pernah lepas dari adanya kesenian Tifatifa Syawatsyawat.<ref name=":0Wekke" /> Tidak heran jika kemudian mereka juga pernah menjadi juarai peringkat kedua pada Festival Seni Budaya Islam Se-Papua Barat.<ref>{{Cite web|url=http://www.lensapapua.com/religi-budaya/festival-seni-budaya-se-papua-barat-akan-digelar-di-kabupaten-sorong/|title=Festival Seni Budaya Se-Papua Barat Akan Digelar di Kabupaten Sorong – Lensapapua.com|website=www.lensapapua.com|language=id-ID|access-date=2017-11-08}}</ref>
 
Namun demikian, kesenian Tifa Syawat tersebut sebenarnya tidak murni berasal dari Suku Kokoda. Sebelumnya, kesenian tersebut pertama kali berkembang di wilayah [[Kokas, Fakfak]], Papua. Meskipun begitu, Suku Kokoda telah menguasai kesenian tersebut dengan sangat terampil. Hampir di beberapa acara besar keagamaan seperti Maulid Nabi dan kegiatan perayaan masyarakat seperti pernikahan dan khitanan tidak pernah lepas dari adanya kesenian Tifa Syawat.<ref name=":0" /> Tidak heran jika kemudian mereka juga pernah menjadi juarai peringkat kedua pada Festival Seni Budaya Islam Se-Papua Barat.<ref>{{Cite web|url=http://www.lensapapua.com/religi-budaya/festival-seni-budaya-se-papua-barat-akan-digelar-di-kabupaten-sorong/|title=Festival Seni Budaya Se-Papua Barat Akan Digelar di Kabupaten Sorong – Lensapapua.com|website=www.lensapapua.com|language=id-ID|access-date=2017-11-08}}</ref>
=== Tradisi peminangan ===
Beberapa tradisi yang sangat terkenal di kalangan suku Kokoda adalah tradisi peminangan. Tradisi ini dilakukan ketika seorang laki-laki Sukusuku Kokoda akan meminang (mengajak menikah) perempuan dari suku yang sama. Mula-mula, tua-tua adat sebagai orang yang dipercaya dan "ditokohkan" oleh suku Kokoda akan meminta ibu-ibu untuk berkumpul di ''titara'', yaitu suatu balai pertemuan yang biasa mereka gunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan merundingkan berbagai macam hal. Di tempat ini, pihak laki-laki akan bermusyawarah terkait rencana pernikahannya dengan penduduk yang hadir di sana. Ketika sudah mendapat persetujuan, keluarga laki-laki akan mendatangi pihak perempuan yang akan dilamar dengan maksud untuk menyampaikan keseriusannya. Setelahnya, keluarga pihak perempuan akan melakukan musyawarah terkait permintaan pinangan pihak laki-laki berikut maskawin atau [[mahar]] yang diharapkan. Ibu-ibu dari pihak keluarga perempuan akan mendatangi rumah laki-laki tersebut untuk menyampaikan hasil musyawarah mereka, apakah lamarannya diterima atau tidak.<ref name=":1" /> Sementara itu, pihak laki-laki harus bisa menerima dengan lapang dada apa pun yang menjadi keputusan dari keluarga perempuan.
 
Maskawin atau mahar yang diharapkan biasanya dalam bentuk 1500-2000 jenis barang. Barang-barang tersebut di antaranya adalah 10 buah guci, 20 buah piring besar, 20 buah tombak, 20 buah mancadu, 5 manik-manik tali besar, 5 manik-manik tali kecil, dan sisanya adalah barang-barang campuran seperti kain dan lain sebagainya.<ref name=":1" />
Baris 28 ⟶ 50:
Tradisi peminangan dengan menggunakan 15000-2000 jenis barang tersebut telah berlangsung lama. Meskipun tidak ada sanksi adat, apalagi sanksi berupa hokum formal yang mengikat, tradisi ini sangat mendarah daging dalam diri mereka. Apabila tidak mampu memenuhinya, si pelamar biasanya akan sangat malu dan kembali pulang ke kampung halamannya sendiri.<ref name=":1" />
 
Dalam tradisi ini, ditemukan dua macam istilah, yaitu ''Banibani'' dan ''Warotara.warotara''. Bani disebut sebagai prosesi musyawarah sebelum lamaran dilakukan dengan mengumpulkan keluarga laki-laki dan pemuka-pemuka adat setempat di suatu tempat yang disebut sebagai ''Titara'' atau balai pertemuan. Sementara ''Waworatawarotara'' disebut sebagai anak perempuan yang telah dilamar, dinaikan seekor [[kuda]] bersama saudara laki-lakinya menuju ke tempat sang calon suami. Anak perempuan tersebut akan disuapi oleh keluarga sang laki-laki. Hal itu dimaksudkan sebagai sebuah ungkapan kepercayaan dari keluarga perempuan untuk menitipkan anak perempuannya kepada keluarga laki-laki tersebut untuk hidup bersama dalam satu atap.<ref name=":1" />
 
== Referensi ==