Ibrahim Tunggul Wulung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
EmausBot (bicara | kontrib)
k Bot: Migrasi 1 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q5984760
Fazily (bicara | kontrib)
k Mengembalikan suntingan oleh 182.4.135.125 (bicara) ke revisi terakhir oleh Altair Netraphim
Tag: Pengembalian
 
(32 revisi perantara oleh 17 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Kegunaan lain|Tunggul Wulung|Tunggul Wulung (disambiguasi)}}
'''Kiai Ibrahim Tunggul Wulung''' (1800-1885) adalah seorang penginjil pribumi pada awal abad ke-19 di kawasan [[Jawa Timur]], [[Jawa Tengah]], [[Jawa Barat]] dan [[Banten]].<ref name="Soekotjo">{{id}}Sigit Heru Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid I: Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. hlm. 124-135.</ref> [[Kekristenan]] di [[Pulau Jawa]] sendiri tidak lepas dari peran para penginjil awam seperti [[F.L. Anthing]], C.V. Stevens-Philips dan para penginjil pribumi seperti [[Kiai Sadrach]], [[Paulus Tosari]] serta Kiai Ibrahim Tunggul Wulung pada masa itu.<ref name="Partonadi"/>
{{Infobox Person
==| Asal-usulname Kiai = Ibrahim Tunggul Wulung ==
| image =
| birth_date = Sekitar 1800
| birth_place = {{negara|Hindia Belanda}} [[Jawa Timur]], [[Hindia Belanda]]
| death_date = 1885
| death_place = {{negara|Hindia Belanda}} [[Gunung Muria]], [[Jawa Tengah]], [[Hindia Belanda]]
| occupation = [[Penginjil]]|
}}
'''Kiai Ibrahim Tunggul Wulung''' (1800-1885) adalah seorang penginjil pribumi pada awal abad ke-19 di kawasan [[Jawa Timur]], [[Jawa Tengah]], [[Jawa Barat]] dan [[Banten]].<ref name="Soekotjo">{{id}}Sigit Heru Soekotjo. 2009. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid I: Di Bawah Bayang-bayang Zending 1858-1948. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. hlm. 124-135. {{ISBN|9798361733}}.</ref> [[Kekristenan]] di [[Pulau Jawa]] sendiri tidak lepas dari peran para penginjil awam seperti [[F.L. Anthing]], C.V. Stevens-Philips dan para penginjil pribumi seperti [[Kiai Sadrach]], [[Paulus Tosari]] serta Kiai Ibrahim Tunggul Wulung pada masa itu.<ref name="Partonadi"/>
 
== Asal-usul ==
Asal- usul Kiai Ibrahim Tunggul Wulung sangatlah ruwet dan sulit untuk dipastikan.<ref name="Soekotjo"/> Hal tersebut dikarenakan jumlah sumber tertulis yang sangat sedikit dan dari sumber yang sedikit tersebut sangatlah sulit untuk membedakan mana fakta dan mana legenda.<ref name="Soekotjo"/> J.D. Wolterbeek dalam bukunya yang berjudul ''Babad Zending ing Tanah Jawi'' menggambarkan sosok Tunggul Wulung sebagai seorang petapa di [[Gunung Kelud]] yang kemudian melakukan pekabaran [[Injil]] di desa-desa dekat [[Malang]].<ref name="Wolterbeek">{{Jv}} J.D. Wolterbeek. 1939. Babad Zending ing Tanah Jawi. Purwokerto: De Boer. hlm. 44-45</ref>
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De krater van de Gunung Kelud na de vulkaanuitbarsting van 1901 TMnr 60025875.jpg|thumbjmpl|Kawah Gunung Kelud setelah letusan gunung berapi tahun 1901]]
== Asal-usul Kiai Ibrahim Tunggul Wulung ==
Wolterbeek tidak banyak menyinggung mengenai asal- usul Tunggul Wulung tetapi lebih banyak menekankan pada gambaran masyarakat mengenai sosok Tunggul Wulung sebagai seorang yang bertubuh tinggi, sorotan mata yang tajam, dapat melihat batin seseorang, berwatak ksatria dan memiliki janggut yang panjangnya sampai ke perut.<ref name="Wolterbeek"/> Wolterbeek sendiri tidak dapat memastikan kebenaran dari cerita masyarakat tersebut tetapi ia meyakini bahwa kesaksian yang dilakukan oleh Tunggul Wulung telah membuat banyak orang Jawa mengenal Kekristenan.<ref name="Wolterbeek"/> Gambaran fisik yang dicatat oleh Wolterbeek tersebut diperkuat oleh S.E. Harthoorn yang menyebutkan bahwa Kiai Tunggul Wulung adalah orang yang sungguh tampak luar biasa, memiliki tubuh yang tinggi dan ramping, wajahnya tampan, pandangan tajam, berhidung mancung, orangnya kuat, dan pemberani.<ref name="van Akkeren">{{id}} Philip van Akkeren. 1994. Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian tentang Gereja Pribumi di [[Jawa Timur]]. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 209-210. {{ISBN|9794150819}}.</ref>
Asal-usul Kiai Ibrahim Tunggul Wulung sangatlah ruwet dan sulit untuk dipastikan.<ref name="Soekotjo"/> Hal tersebut dikarenakan jumlah sumber tertulis yang sangat sedikit dan dari sumber yang sedikit tersebut sangatlah sulit untuk membedakan mana fakta dan mana legenda.<ref name="Soekotjo"/> J.D. Wolterbeek dalam bukunya yang berjudul ''Babad Zending ing Tanah Jawi'' menggambarkan sosok Tunggul Wulung sebagai seorang petapa di [[Gunung Kelud]] yang kemudian melakukan pekabaran [[Injil]] di desa-desa dekat [[Malang]].<ref name="Wolterbeek">{{Jv}} J.D. Wolterbeek. 1939. Babad Zending ing Tanah Jawi. Purwokerto: De Boer. hlm. 44-45</ref>
 
Informasi lain dicatat oleh Dr. Th. van den End yang menyatakan bahwa Tunggul Wulung berasal dari daerah [[Kediri|Juwono]] (dekat [[Gunung Muria]]) dan bernama asli Kiai Ngabdullah.<ref name="van den End">{{id}}Th. van den End. 1996. Ragi Carita I: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 206-207. {{ISBN|9789794151884}}.</ref> Ketika itu, akibat keadaan ekonomi yang sulit di daerah tersebut maka Kiai Ngabdullah berpindah dan menjadi seorang petapa di lereng Gunung Kelud.<ref name="van den End"/> Th. van den End juga mencatat bahwa Kiai Ngabdullah dipandang orang sebagai penjelmaan seorang tokoh pada masa pemerintahan [[Jayabaya|Raja Jayabaya]], yaitu seorang [[jenderal]] yang bernama Tunggul Wulung.<ref name="van den End"/> Di dalam laporan-laporan [[Residen]] [[Jepara]], dikatakan bahwa Ngabdullah adalah seorang petani yang dilahirkan di [[Kawedanan]] Juwono, Kediri pada permulaan abad XIX.<ref name="Guillot">{{id}}C. Guillot. 1985. Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di [[Jawa]]. Jakarta: Grafiti Pers. hlm. 42-44</ref>
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De krater van de Gunung Kelud na de vulkaanuitbarsting van 1901 TMnr 60025875.jpg|thumb|Kawah Gunung Kelud setelah letusan gunung berapi tahun 1901]]
Wolterbeek tidak banyak menyinggung mengenai asal-usul Tunggul Wulung tetapi lebih banyak menekankan pada gambaran masyarakat mengenai sosok Tunggul Wulung sebagai seorang yang bertubuh tinggi, sorotan mata yang tajam, dapat melihat batin seseorang, berwatak ksatria dan memiliki janggut yang panjangnya sampai ke perut.<ref name="Wolterbeek"/> Wolterbeek sendiri tidak dapat memastikan kebenaran dari cerita masyarakat tersebut tetapi ia meyakini bahwa kesaksian yang dilakukan oleh Tunggul Wulung telah membuat banyak orang Jawa mengenal Kekristenan.<ref name="Wolterbeek"/> Gambaran fisik yang dicatat oleh Wolterbeek tersebut diperkuat oleh S.E. Harthoorn yang menyebutkan bahwa Kiai Tunggul Wulung adalah orang yang sungguh tampak luar biasa, memiliki tubuh yang tinggi dan ramping, wajahnya tampan, pandangan tajam, berhidung mancung, orangnya kuat, dan pemberani.<ref name="van Akkeren">{{id}} Philip van Akkeren. 1994. Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian tentang Gereja Pribumi di [[Jawa Timur]]. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 209-210</ref>
 
Informasi lain dicatat oleh Dr. Th. van den End yang menyatakan bahwa Tunggul Wulung berasal dari daerah [[Kediri|Juwono]] (dekat [[Gunung Muria]]) dan bernama asli Kiai Ngabdullah.<ref name="van den End">{{id}}Th. van den End. 1996. Ragi Carita I: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 206-207</ref> Ketika itu, akibat keadaan ekonomi yang sulit di daerah tersebut maka Kiai Ngabdullah berpindah dan menjadi seorang petapa di lereng Gunung Kelud.<ref name="van den End"/> Th. van den End juga mencatat bahwa Kiai Ngabdullah dipandang orang sebagai penjelmaan seorang tokoh pada masa pemerintahan [[Jayabaya|Raja Jayabaya]], yaitu seorang [[jenderal]] yang bernama Tunggul Wulung.<ref name="van den End"/> Di dalam laporan-laporan [[Residen]] [[Jepara]], dikatakan bahwa Ngabdullah adalah seorang petani yang dilahirkan di [[Kawedanan]] Juwono, Kediri pada permulaan abad XIX.<ref name="Guillot">{{id}}C. Guillot. 1985. Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di [[Jawa]]. Jakarta: Grafiti Pers. hlm. 42-44</ref>
 
Menurut tradisi lisan yang beredar di sekitar Muria, Kiai Tunggul Wulung adalah anak seorang selir Raden Ngabehi Atmasudirdja (Bupati Pulisi [[Pura Mangkunegaran]]) yang dilahirkan kira-kira pada tahun 1800 dengan nama asli Raden Tandakusuma.<ref name="Soekotjo"/> Ia kemudian menjadi seorang [[wedana|''demang'']] di kawasan Kediri dengan nama Raden Demang Padmadirdja tetapi karena keterlibatannya dengan [[Perang Diponegoro]] 1825-1830, maka ia menyembunyikan diri dan menjadi rakyat jelata di kawasan Juwono, [[Kediri]].<ref name="Soekotjo"/>
 
Semua gambaran mengenai ciri fisik Kiai Tunggul Wulung sama sekali tidak mengarah pada kesimpulan bahwa ia hanyalah seorang petani biasa dengan tubuh tinggi dan ramping, wajah tampan, mata yang tajam, dsb.<ref name="Soekotjo"/> Mengenai hal tersebut A.G. Hoekema menyatakan bahwa sikap Kiai Ibrahim Tunggul Wulung yang sering membangkang terhadap orang [[Belanda]] menunjukkan bahwa kemungkinan ia berasal dari golongan bangsawan atau [[priyayi]].<ref name="Hoekema"> A.G. Hoekema. 1980. Kiai Ibrahim Tunggul Wulung (1800-1885): Apollos Jawa; dalam Peninjau Tahun VII Nomor 1. hlm. 5-7</ref> Oleh sebab itu, pernyataan Kiai Ngabdullah mengenai pekerjaannya sebagai petani, seperti yang tercatat di dalam laporan-laporan Residen Jepara, mungkin saja sengaja dibuat dengan maksud untuk menyembunyikan identitas aslinya sebagai pengikut [[Diponegoro]].<ref name="Soekotjo"/>
 
== Jemaat-jemaat Kristen di Jawa pada Abad XIX ==
Soetarman Soediman Partonadi mencatat bahwa pada abad XIX di Jawa terdapat tiga golongan jemaat Kristen.<ref name="Soekotjo"/> Jemaat-jemaat tersebut menyebar dan mendirikan daerah-daerah Kristen di tengah-tengah lingkungan Muslim.<ref name="Partonadi">{{id}} Soetarman Soediman Partonadi. 2001. Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualisasinya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 51-52. {{ISBN|9796870282}}.</ref> Ketiga golongan jemaat tersebut adalah:
 
=== Indische Kerk ===
Baris 27 ⟶ 36:
 
== Perjumpaan dengan Kekristenan ==
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, di dalam beberapa sumber, diceritakan memperoleh petunjuk untuk mempelajari kekristenan dengan cara yang aneh.<ref name="Wolterbeek"/> J.D. Wolterbeek mencatat bahwa pada suatu hari di dalam petapaannya di kawasan Gunung Kelud, Kiai Tunggul Wulung menemukan sepotong kertas yang bertuliskan Sepuluh Hukum Allah.<ref name="Wolterbeek"/> Tunggul Wulung juga mendapat wahyu dari Tuhan yang mengatakan bahwa ia harus menaati hukum ini dan disarankan meminta penjelasan tentang agama yang sejati kepada orang-orang yang tinggal di [[Sidoarjo]] dan Mojowarno.<ref name="Wolterbeek"/><ref name="Yolder">{{id}}Lawrence M. Yolder (ed). 1977. Bahan Sejarah Gereja Injili di Tanah Jawa. Pati: Komisi Sejarah Gereja GITJ. Hlm. 56-57. {{OCLC|804466469}}.</ref> Th. van den End mencatat bahwa pada masa itu Tunggul Wulung berkenalan dengan agama Kristen dengan cara yang tidak diketahui dengan pasti tetapi baik di [[Ngoro]] maupun Mojowarno letaknya tidak jauh dari Gunung Kelud dan pada tahun-tahun [[1840]]-an agama Kristen sudah cukup terkenal di kalangan penganut [[kejawen|kebatinan]].<ref name="van den End"/> Th. van den End melanjutkan bahwa bagaimanapun juga pada tahun 1853 Tunggul Wulung muncul di Mojowarno dan dua tahun kemudian dia pun dibaptis oleh Jellesma dan diberi nama Ibrahim.<ref name="van den End"/>
 
Tim Penulis Sejarah GITJ mencatat bahwa perkenalan Tunggul Wulung dengan kekristenan terjadi dalam beberapa tahapan.<ref name="Soekotjo"/> Tahap pertama terjadi ketika Tunggul Wulung yang pada saat itu masih menjadi seorang pencari ''ngelmu'' bernama Kiai Ngabdullah sedang meninggalkan kota Juwono menuju desa Lo Ireng, [[Semarang]].<ref name="Soekotjo"/> Di tengah perjalanannya tersebut ia berkenalan dengan kekristenan melalui sahabatnya yang menjadi bagian dari kelompok orang Kristen hasil penginjilan Pendeta Bruckner yang tinggal di Semarang.<ref name="Soekotjo"/> Perjumpaan tersebut tidak banyak memberikan pengaruh bagi Kiai Ngabdullah sebab tidak lama setelah itu Kiai Ngabdullah ditangkap dengan tuduhan melarikan kuda milik Controlir Juwono yang dipakai olehnya untuk meninggalkan Juwono menuju Semarang.<ref name="Soekotjo"/>
Baris 36 ⟶ 45:
Kiai Tunggul Wulung dan Nyai Endang Sampurnawati tinggal di Mojowarno dan belajar kekristenan serta baca-tulis dari Jellesma selama dua bulan.<ref name="Soekotjo"/> Selanjutnya Kiai Tunggul Wulung mulai melakukan pekabaran Injil yang dimulai di desa Pelar, sebelah tenggara Dimoro dan melanjutkan pekabaran Injilnya ke Dimoro ([[Kepanjen]]), Jenggrik ([[Malang]]) dan di Jungo ([[Pandaan]]).<ref name="Yolder"/> Di wilayah-wilayah itulah Kiai Tunggul Wulung mendirikan komunitas-komunitas Kristen.<ref name="Yolder"/> Pada awal tahun 1854, Kiai Tunggul Wulung menerima tawaran Sem Sampir (murid Jellesma yang diperbantukan kepada Pieter Jansz di Jepara sebagai pembantu penginjil pribumi) untuk membantunya melakukan pekabaran Injil di wilayah Jepara.<ref name="Soekotjo"/> Bersama Sem Sampir, Tunggul Wulung justru melakukan penginjilan di daerah Kabupaten Juwono, serta di Margotuhu Klitheh dan Ngluwang (sebelah utara Tayu).<ref name="Soekotjo"/> Tindakan tersebut membuat geger para penguasa kolonial karena ternyata ada seorang Jawa yang menjadi Kristen, menerima pelajaran agama Kristen dan memberitakan Injil di antara orang pribumi.<ref name="Soekotjo"/> Keadaan tersebut membuka mata para pemerintah kolonial mengenai adanya kekristenan Jawa yang berada di luar utusan-utusan Injil Eropa dan dilakukan secara bebas tanpa terbatasi oleh wilayah tertentu seperti yang berlaku bagi para utusan Injil Eropa.<ref name="Soekotjo"/>
 
[[Berkas:Ansicht Japare Java.jpg|kiri|thumbjmpl|Lukisan ''City of Jepare'' (sekarang: Jepara) pada 1650 dengan latar Gunung Muria]]
 
Pada bulan [[Mei]] [[1855]] Kiai Tunggul Wulung dan Nyai Endang Sampurnawati menerima [[baptis]]an dari Jellesma dan melanjutkan penginjilan di sekitar Muria secara bebas dan tanpa izin dari pemerintah kolonial.<ref name="Soekotjo"/> Di kawasan Muria, Ibrahim Tunggul Wulung berhasil membujuk dan memengaruhi pengikut-pengikutnya dari berbagai tempat seperti Kayuapu, Bangsal, Ngalapan, Margotuhu dan tempat-tempat lain termasuk pengikut [[zending|zendeling]] Peter Jansz di sekitar Jepara.<ref name="Soekotjo"/> Kiai Ibrahim Tunggul Wulung beserta pengikut-pengikutnya mulai membangun desa-desa Kristen, mula-mula di kawasan angker yang diberi nama Ujungjati kemudian bergeser ke arah selatan termasuk kawasan angker tempat tinggal Mbah Suto Bodo yang adalah tokoh mistik penguasa dunia roh di kawasan pesisir antara Jepara dan Tayu.<ref name="Soekotjo"/>
Baris 45 ⟶ 54:
Latar belakang Kiai Tunggul Wulung sebagai seorang petapa dan pencari ''ngelmu'' telah membuat ajaran-ajarannya mengenai kekristenan menjadi sangat khas "Kristen Jawa" versi Tunggul Wulung.<ref name="Soekotjo"/> Menurut Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, [[Ratu Adil]] yang selama ini diharap-harapkan kedatangannya oleh orang Jawa tidak lain adalah ''Kanjeng Nabi Isa Rohullah''.<ref name="Soekotjo"/> Yesus Kristus menurutnya akan datang untuk kedua kalinya untuk memerintah kerajaannya sebagai Ratu Adil dalam Kerajaan Seribu Tahun-Nya.<ref name="Soekotjo"/> Kiai Ibrahim Tunggul Wulung memandang bahwa orang Kristen Jawa haruslah tetap Jawa dan tidak perlu menjadi seorang Belanda ataupun menjadi pengikut utusan Injil Eropa.<ref name="Guillot"/> Oleh sebab itu, Kiai Ibrahim Tunggul Wulung menyatakan bahwa ''lelagon'' (nyanyian), ''tata panembah'' (upacara), ''cara panganggo'' (cara berpakaian), ''nanggap lan nonton wayang'' (ikut serta dalam pertunjukkan wayang), bahkan rapal dan primbon tidaklah perlu ditinggalkan.<ref name="Soekotjo"/> Kiai Ibrahim Tunggul Wulung juga menyebut tempat ibadahnya sebagai [[masjid]] dan menciptakan rapal baru yang bercorak Kristen.<ref name="Soekotjo"/> Rapal tersebut berbunyi demikian:
 
<blockquote>
 
:''Bapa Allah, Putra Allah, Roh Suci Allah''
:''Telu-telune tunggal dadi sawiji''
 
:''Lemah sangar kayu angker''
''Telu-telune tunggal dadi sawiji''
:''Upas racun pada tawa''
 
:''Idi Gusti manggih slamet salaminya''<ref name="Soekotjo"/>
''Lemah sangar kayu angker''
</blockquote>
 
''Upas racun pada tawa''
 
''Idi Gusti manggih slamet salaminya''<ref name="Soekotjo"/>
 
 
Artinya:
 
<blockquote>
:Allah Bapa, Allah Putera, Allah Roh Suci
 
:Ketiganya menjadi satu
:Kawasan yang berbahaya, pohon yang jahat
 
:Segala racun bisa akan menjadi tawar
Kawasan yang berbahaya, pohon yang jahat
:Berkat rahmat Tuhan menemukan keselamatan selamanya
 
</blockquote>
Segala racun bisa akan menjadi tawar
 
Berkat rahmat Tuhan menemukan keselamatan selamanya
 
 
Di awal pembangunan desa Ujungjati, rapal lain yang tidak bercorak Kristen pun digunakan untuk mengusir kuasa-kuasa jahat.<ref name="Soekotjo"/> Rapal tersebut berbunyi demikian:
 
<blockquote>
 
:''Ancak-ancak ali-ali, si ali kebo janggitan''
:''Anak-anak kebo dungkul''
 
:''Anak-anak keboSi dungkul kapan gawene''
:''(ke) Tiga rendeng''
 
:''Anjang-anjang gubug bala''
''Si dungkul kapan gawene''
:''Unine gerenteng cepluk''<ref name="Soekotjo"/>
 
</blockquote>
''(ke) Tiga rendeng''
 
''Anjang-anjang gubug bala''
 
''Unine gerenteng cepluk''<ref name="Soekotjo"/>
 
 
Tunggul Wulung juga melakukan pemribumian terhadap tata cara yang berkaitan dengan ritual pengakuan dosa dan dikembangkannya di jemaat Banyutowo.<ref name="Soekotjo"/> Menurutnya, seseorang yang mengaku dosa harus melakukannya secara langsung di depan jemaat dan untuk menyambut kembalinya ''domba yang tersesat'' tersebut diselenggarakanlah pesta ucapan syukur berupa pesta ''kupat-lepet'' (ketupat dan lepet) yang selaras jika dikaitkan dengan ''ngaku lepat'' (pengakuan bersalah) dalam upacara pengakuan dosa tersebut.<ref name="Soekotjo"/>
Baris 90 ⟶ 87:
Injil keselamatan bagi Tunggul Wulung merupakan suatu konsep tentang pelepasan dan bukan penebusan seperti yang didengung-dengungkan oleh para pekabar Injil Eropa.<ref name="Soekotjo"/> Bagi masyarakat Jawa pada saat itu, yang menakutkan hidupnya bukanlah penghukuman yang berasal dari Tuhan akibat dosa-dosa manusia melainkan pelepasan dari ketakutan terhadap kuasa jahat yang kemudian diperluas sebagai pelepasan dari kerja paksa dan perbudakan oleh bangsa asing.<ref name="Soekotjo"/> Pelepasan tersebut telah terjadi melalui Yesus Kristus, oleh sebab itu berserah kepada Allah berarti terlepas dari kuasa jahat dan segala jenis perbudakan.<ref name="Soekotjo"/> Kiai Ibrahim Tunggul Wulung pernah menulis surat kepada Jellesma yang menginginkan agar desa-desa Kristen yang didirikannya terbebas dari pekerjaan untuk pemerintah kolonial selama tiga puluh tahun.<ref name="Soekotjo"/> Hoekema melihat benang merah antara konsep pemikiran Kiai Ibrahim Tunggul Wulung tersebut dengan konsep perlawanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro yang juga menjanjikan penghapusan pajak-pajak dan upeti-upeti.<ref name="Hoekema"/> Jika kedua hal tersebut memang saling berkaitan maka hal tersebut membuktikan bahwa Kiai Ibrahim Tunggul Wulung memang pengikut Diponegoro dan pernah terlibat di dalam Perang Diponegoro.<ref name="Soekotjo"/>
 
Metode pekabaran Injil yang dilakukan oleh Tunggul Wulung adalah melalui ''jejagongan'' (cerita-cerita sambil melepas lelah seusai bekerja) sehingga orang-orang Jawa lebih mudah mengerti daripada harus mendengarkan pidato-pidato ataupun ceramah seperti yang dilakukan oleh para penginjil Eropa.<ref name="Soekotjo"/> Selain itu, cara lain yang dilakukan oleh Tunggul Wulung adalah melalui debat ''ngelmu''.<ref name="Partonadi"/> Metode-metode tersebut kemudian diadopsi oleh [[Kiai Sadrach]] yang adalah murid dari Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan bahkan mampu membangun jemaat yang lebih besar daripada yang dilakukan oleh Tunggul Wulung dan menamainya sebagai Golongan ''Wong Kristen Kang Mardika'' yang dapat diartikan sebagai ''kelompok orang-orang Kristen yang bebas''.<ref name="Partonadi"/>.
 
== Referensi ==
 
{{reflist}}
 
== Pranala Luarluar ==
 
* [http://www.gameo.org/encyclopedia/contents/T860.html Tunggul Wulung (Tunggulwulung), Ibrahim (d. 1885)]
 
{{lifetime|1800|1885|Tunggul Wulung, Ibrahim Kiai}}
 
[[Kategori:Penginjil Pribumi|I]]
[[Kategori:Teologi|I]]
[[Kategori:Sejarah Gereja|I]]
[[Kategori:Tokoh Jawa|I]]
[[Kategori:Tokoh yangKristen berpindah agama dari IslamIndonesia|I]]
[[Kategori:Tokoh yang berpindah agama dari Islam ke Protestan|I]]