Arsitektur Minangkabau: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rahmatdenas (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
Rahmatdenas (bicara | kontrib) |
||
(29 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Istano Rajo Basa Pagaruyung.jpg|jmpl|350px|Replika [[Istano Basa]] peninggalan [[Kerajaan Pagaruyung]] di [[Batusangkar (kota)|Batusangkar]], [[Kabupaten Tanah Datar]], [[
'''Arsitektur Minangkabau''' adalah [[arsitektur vernakular]] Nusantara yang bentuk, struktur, fungsi, [[ragam hias]], dan cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat [[Minangkabau]], khususnya yang mendiami wilayah [[
Secara tradisional, arsitektur Minangkabau
Arsitektur Minangkabau dirancang menyesuaikan iklim daerah tropis dan kondisi topografi.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=35}} Bangunan tradisional Minangkabau membuktikan kemampuannya dalam menghadapi bencana seperti gempa bumi yang sering melanda wilayah
== Karakteristik ==
=== Gonjong ===
{{Multiple image|direction=vertical|align=left|image1=Rumah Gadang Kampai Nan Panjang Tanah Datar 2.jpg|image2=Balairung Tabek Sari
Terdapat perbedaan pendapat mengenai asal usul bentuk gonjong. Hal ini dikarenakan sumber sejarah Minangkabau umumnya berasal dalam bentuk lisan, yaitu melalui petatah-petitih atau cerita yang disebut sebagai [[Tambo Minangkabau|''tambo'']]. Di antara pendapat terkait asal bentuk atap gonjong, ada yang mengaitkannya dengan bentuk tanduk kerbau, haluan kapal, dan daun sirih bersusun.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=43–44}}{{sfn|Rosiana Haryanti|31 Juli 2018}}{{sfn|Beritagar.id|8 Desember 2017}}{{sfn|Andri Nur Oesman|2014|pp=5}}{{sfn|Elfida Agus|2006|pp=4}}
Baris 19:
Adapun pendapat lainnya mengatakan bentuk gonjong melambangkan daun sirih bersusun karena sirih sejak lama menjadi perlambangan budaya yang sangat penting dan sakral di Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, sirih bermakna sebagai penyambung tali silaturahmi. Sampai saat ini, sirih masih digunakan dalam setiap kegiatan adat masyarakat Minangkabau.{{sfn|Beritagar.id|8 Desember 2017}}{{sfn|Minangkabaunews.com|6 Juni 2011}}
Di antara peninggalan tertua dari bangunan dengan atap bergonjong yakni [[Rumah Gadang Kampai Nan Panjang]] di [[Balimbing, Rambatan, Tanah Datar|Nagari Balimbiang]] dan [[Balairung Sari Tabek|Balairung Sari]] di [[Pariangan, Pariangan, Tanah Datar|Nagari Pariangan]] yang terdapat di [[Kabupaten Tanah Datar]]. Keduanya diperkirakan berasal dari peninggalan abad ke-17.{{sfn|Nurmatias|20 Februari 2019}}{{sfn|Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan & Yoka Febriola|2013pp=1}}{{sfn|Zulfikar|2017}} Rumah Gadang Kampai Nan Panjang merupakan rumah gadang milik [[Suku Kampai]] yang telah diwariskan secara turun-temurun kepada lima generasi
Saat ini, kantor-kantor pemerintahan di
=== Adaptasi iklim dan topografi ===
{{Multiple image|direction=vertical|align=right|image2=COLLECTIE TROPENMUSEUM Moskee TMnr 10016675.jpg|image1=COLLECTIE TROPENMUSEUM Een Minangkabau huis TMnr 60026299.jpg|width2=240|width1=240|footer=Atap pada rumah gadang (atas) dan masjid (bawah) secara tradisional terbuat dari ijuk. Bentuk atap dibuat curam agar atap dapat terbebas dari endapan air hujan dan bangunan terhindar dari tempias.}}
Daerah Minangkabau merupakan daerah tropis. Untuk itu, bangunan-bangunan di Minangkabau dibuat menyikapi kondisi iklim. Hal ini terlihat dari bentuk bangunannya yang memperhatikan curah hujan dan penghawaan. Bentuk atap yang runcing bertujuan agar air hujan yang turun tidak tertahan di atap, tetapi langsung jatuh ke tanah. Dengan demikian, atap dapat terbebas dari endapan air hujan. Terdapat kolong yang berfungsi membuat sirkulasi udara di bagian bawah lantai ke ruangan di atasnya.{{sfn|Beritagar.id|8 Desember 2017}} Saat musim hujan, kolong membuat ruangan di atasnya selalu kering dan tidak lembap walaupun mendapatkan curah hujan yang tinggi
Secara tradisional, bangunan di Minangkabau berbahan kayu dan menggunakan ijuk sebagai penutup atap. Kayu menjadi material utama yang digunakan pada bangunan-bangunan di Minangkabau setidaknya sampai abad ke-18. [[William Marsden]] dalam ''History of Sumatra'' mencatat, rumah-rumah di Minangkabau tidak dibangun dengan batu bata atau tanah liat sebagaimana di Jawa, tapi kayu. Hal ini, menurut Marsden,
Dalam pengamatan Marsden, daerah-daerah dekat [[Pesisir Barat Sumatra|pantai barat Sumatra]] sampai pengujung abad ke-18 merupakan area rawa-rawa yang sulit ditinggali. Kedatangan angin puting beliung dari laut dan gempa bumi di tempat seperti ini juga menjadi tantangan untuk mendirikan pemukiman. Pada awalnya, dusun atau perkampungan orang Minang terletak di dekat sungai dan danau karena fungsinya sebagai jalur pengangkutan hasil bumi
=== Perbedaan corak ===
Baris 42:
Rumah gadang di setiap luhak mempunyai perbedaan bentuk, ukuran, dan tampilan dengan nama tersendiri. Di Luhak Tanah Datar, dikenal rumah gadang yang dinamakan ''Sitinjau Lauik''. Di Luhak Agam, rumah gadang khasnya disebut ''Surambi Papek''. Di, Luhak Limo Puluh Koto, rumah gadang yang dikenal yakni ''Rajo Babandiang''.{{sfn|Antara|29 Januari 2017}}
Sementara itu, rantau adalah daerah yang berada di luar daerah luhak. Setidaknya, terdapat dua rantau, yakni rantau luhak dan rantau Minangkabau. Rantau luhak adalah wilayah rantau yang masih berada di daerah dataran tinggi, sementara rantau Minangkabau secara keseluruhan sudah mulai menyebar ke daerah pesisir di sebelah barat dan daerah dataran rendah di sebelah timur. Rantau ke daerah pesisir di sebelah barat meliputi sepanjang pesisir barat Sumatra yang berbatasan dengan [[Samudra Indonesia]], terentang dari [[Air Bangis]], [[Tanjung Mutiara, Agam|Tiku]], [[Kota Pariaman|Pariaman]], [[Kota Padang|Padang]], [[Banda Sapuluh|Banda Sapuluah]], [[Air Haji, Linggo Sari Baganti, Pesisir Selatan|Air Haji]], [[Kerajaan Inderapura|Inderapura]], hingga ke daerah [[Kabupaten Mukomuko|Mukomuko]] di [[Bengkulu]]. Adapun rantau ke daerah dataran rendah
Rumah gadang di wilayah pesisir memiliki bentuk dan konstruksi yang lebih sederhana daripada rumah gadang di wilayah pedalaman Minangkabau. Hal ini dipengaruhi oleh karakter masyarakat yang lebih terbuka dan praktis. Selain itu, masyarakat di wilayah pesisir yang menguasai teknik pertukangan atau konstruksi rumah gadang tradisional sudah sangat jarang, sehingga mempengaruhi bentuk rumahnya yang lebih disederhanakan. Rumah adat di pesisir salah satunya dikenal sebagai [[Rumah Gadang Kajang Padati|Rumah Kajang Padati]].{{sfn|Purwanita Setijanti, dkk|2012|pp=58}}{{sfn|Rahmat Irfan Denas|2019}}
Baris 51:
[[Berkas:Seribu Rumah Gadang.jpg|jmpl|300x300px|Suasana permukiman Minangkabau di Nagari Koto Baru atau kini dikenal sebagai [[Kawasan Seribu Rumah Gadang]]. Sebuah permukiman baru dapat dikatakan sebagai nagari apabila di dalamnya sudah terdapat balai adat dan masjid.]]
Permukiman masyarakat Minangkabau dikenal sebagai ''[[nagari]]''. Nagari memiliki teritorial beserta batasnya serta mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri. Nagari terbentuk setelah melalui tahapan penggabungan satuan permukiman
Menurut adat Minangkabau, terdapat beberapa kriteria terbentuknya nagari, yakni adanya kelengkapan sarana seperti balai adat dan masjid.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=14}}{{sfn|Syafwandi|1993|pp=19}} Balai adat merupakan tempat bermusyawarah dalam memutuskan segala urusan, terutama yang berkaitan dengan adat, sementara masjid merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat beribadah. Dalam perkembangannya, kebutuhan akan kedua bangunan tersebut menjadi bagian dari perjalanan arsitektur tradisional Minangkabau.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=21–22}}
Baris 60:
[[Berkas:Pagaruyung.jpg|jmpl|260x260px|[[Istano Basa|Istana Pagaruyung]] sebelum terbakar pada 2007. Penggunaan material kayu yang dominan menjadikan bangunan tradisional Minangkabau rawan terbakar.|al=|kiri]]
[[Berkas:Tiang Masjid Lima Kaum.jpg|al=|kiri|jmpl|260x260px|Deretan tiang [[Masjid Raya Lima Kaum]]. Tiang-tiang yang terbuat dari [[Johar|kayu johar]] masih asli dari sejak didirikan]]
Kebanyakan material yang digunakan pada bagunan tradisional Minangkabau adalah kayu. Secara tradisional, pengambilan bahan-bahan bangunan dilakukan di hutan atau di ladang yang
Sementara itu, atap bangunan yang berbentuk gonjong menggunakan material yang mudah dilengkungkan seperti bambu untuk nok dan reng-reng atap. Penutup atap berupa ijuk, yakni serat kasar warna hitam yang berasal dari batang [[Aren|pohon aren]]. Ijuk disusun menggunakan teknik ikatan, yakni diikatkan dengan tali rotan pada reng-reng bambu.{{sfn|Esti Asih Nurdiah|2011|pp=50}} Atap ijuk terbukti dapat bertahan selama puluhan tahun selama mendapatkan pemeliharaan yang tepat. Selain ijuk, terkadang penutup atap menggunakan rumput sejenis [[alang-alang]]. Namun, saat ini penggunaan material tradisional sudah tergantikan dengan seng. Hal ini dikarenakan material tradisional membutuhkan waktu lama dalam proses pembuatannya dan semakin sedikit orang yang mampu merakitnya.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=89–90}} Di satu sisi, pemakaian seng memiliki kelebihan di antaranya lebih murah, mudah secara teknis pelaksanaan, efisiensi waktu pengerjaan, dan pengaliran air hujan yang lebih baik sehingga menghindari kebocoran, walaupun memiliki kelemahan yakni mudah berkarat, menyerap panas saat musim panas, menyimpan dingin saat musim hujan, dan menimbulkan suara bising saat terkena air hujan.{{sfn|Purwanita Setijanti, dkk|2012|pp=58}}
Fondasi bangunan tradisional Minangakabu hanya berupa batu pipih yang diletakkan di atas tanah.{{sfn|Esti Asih Nurdiah|2011|pp=40}} Fondasi menjadi tempat berpijak setiap tiang.{{sfn|Republika.co.id|1 September 2014}} Tiang atau disebut tonggak tidak ditanam ke dalam tanah. Oleh sebab itu, kayu yang dipilih untuk tiang merupakan kayu yang kuat. Kayu dipotong dengan besaran yang berbeda tergantung nantinya akan dijadikan tiang yang mana. Pada rumah gadang, ada beberapa macam peruntukan tiang (bahasa Minang: ''tonggak'') yaitu ''tuo'', ''tapi'', ''temban'', ''tangah'', ''dalam'', ''panjang'', ''salek'', dan ''dapua''.{{sfn|Esti Asih Nurdiah|2011|pp=22–23}} Tiang-tiang tersebut memiliki ukuran yang berbeda-beda. ''Tonggak'' ''tuo'' berada di tengah bangunan dan memiliki ukuran paling besar.
[[Berkas:Indische kinderen poserend voor een woonhuis in Minangkabou op Sumatra, RP-F-F01149-DD.jpg|jmpl|260x260px|Sebuah rumah gadang yang menggunakan teknik sasak bugih untuk dinding sisi sampingnya.]]
Untuk dinding, material yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu papan dan anyaman bambu yang disebut ''sasak bugih''.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=50}} Material papan terdapat pada bagian dinding yang diukir, sedangkan ''sasak bugih'' terdapat pada bagian dinding bangunan yang tidak diukir.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=27–28}} ''Sasak bugih'' dapat berfungsi sebagai penahan angin karena sifatnya elastis.{{sfn|Pasbana.com|9 Desember 2016}}{{sfn|Republika.co.id|1 September 2014}} Untuk lantai, material yang digunakan adalah ''palupuah,'' yakni bambu yang telah dipecah''.'' Namun, saat ini penggunaan ''palupuah'' mulai digantikan oleh papan dari kayu surian atau kayu dari pohon kelapa.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=48}}
== Pertukangan ==
Di Minangkabau, pekerjaan pendirian bangunan dipimpin oleh seorang tukang yang disebut "''nankodoh rajo''", khususnya pada rumah gadang. Ada pameo atau ungkapan dalam [[bahasa Minangkabau]] yang menyebut seorang "tukang tidak membuang kayu". Artinya, tidak ada material yang tidak bisa dimanfaatkan oleh seorang tukang. Dalam penggunaan kayu, terdapat ungakapan: ''nan
Menurut Syafwandi, seorang nankodoh rajo dalam memimpin pekerjaan pembangunan tidak mempunyai gambar kerja, persiapan bahan yang lengkap ataupun bentuk-bentuk struktur yang akan dibuat. Nankodoh rajo lebih banyak bergantung pada pengalaman dan naluri. Tidak ada ukuran yang pasti. Oleh sebab itu, pandangan seorang nankodoh rajo sangat berpengaruh terhadap hasil pekerjaan.{{sfn|Okezone.com|31 Desember 2011}}
Pada waktu ''batagak rumah'' (mendirikan rumah gadang), masyarakat ikut membantu pekerjaan bersama pihak yang mendirikan rumah. Pekerjaan ini dinamakan "[[Serayo|''manyarayo'']]", yakni pertolongan tanpa mengharapkan upah atau identik dengan bergotong-royong pada zaman sekarang. Pihak yang mendirikan rumah menyediakan makan dan minum selama pekerjaan berlangsung. Biaya pembangunan rumah gadang adalah beban suku yang diatur oleh ''mamak tungganai''. Biaya ini meliputi biaya makan minum bagi yang bekerja, sedangkan untuk ''nankodoh rajo'' dibuat perhitungan
== Rumah gadang ==
Baris 108:
Struktur rumah gadang yang dibangun secara tradisional terbukti tahan terhadap getaran akibat gempa bumi. Getaran dari gempa yang diterima struktur tiang akan disalurkan ke fondasi batu tanpa merusak. Tiang tidak ditanam di dalam fondasi, tetapi hanya ditumpangkan begitu saja. Saat terjadi gempa, sambungan tiang dan fondasi tidak akan patah, melainkan bergerak mengikuti arah gempa.{{sfn|Beritagar.id|8 Desember 2017}} Begitu pula sambungan lainnya pada konstruksi rumah gadang. Balok-balok kayu disambung tidak menggunakan paku, melainkan hanya disambung dengan menggunakan berbagai teknik pengikatan maupun pasak. Bahan pengikat berupa talinya terbuat dari serat rotan, serat bambu, maupun ijuk. Teknik penyambungan ini bersifat fleksibel terhadap getaran. Saat terkena getaran, sambungan tidak akan menyebabkan material seperti kayu menjadi rusak.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=47–48}}
Menurut penelitian [[Mestika Zed]], indikator kuatnya rumah gadang terhadap getaran terlihat pada [[Gempa bumi
{{-}}
=== Tata ruang ===
Ukuran panjang rumah gadang ditentukan oleh banyaknya ruang
Dalam pepatah-petitih Minangkabau, terdapat ungkapan yang menjelaskan ukuran rumah gadang, yakni ''salanja kudo balari, sapakiak budak maimbau, sajariah kubin malayang.'' Artinya, jarak antara tiang satu ke tiang dalam satu ruang bisa ditempuh oleh "seekor kuda yang berlari kencang dalam satuan waktu yang pendek". Di antara dua ruang yang terjauh, masih dapat didengar "teriakan seorang anak". Di dalam ruangan, masih dapat terbang "seekor burung kubin (sejenis burung yang dapat terbang cepat) dengan sekencang-kencangnya".{{sfn|Syafwandi|1993|pp=22–23}}{{sfn|Andri Nur Oesman|2014|pp=8}} Tidak adanya ukuran yang pasti dalam pembangunan rumah gadang membuat tidak ada rumah gadang yang sama persis antara satu dengan lainnya.{{sfn|Katherine Steffi Halim & Eveline C.S.|2009|pp=230}} Walaupun demikian, terdapat satuan yang dipakai dalam menentukan ukuran ruang, yakni "''eto''" atau hasta.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=64}} Kadang-kadang untuk mencari bentuk yang baik, ukuran eto ditambah atau dikurangi satu jengkal. Menurut ukuran eto, panjang untuk satu ruang rumah gadang kira-kira 5 sampai 7 eto. Jika satu eto dikonversikan menjadi 0,5 meter, maka panjang untuk satu ruang yakni 2,5 meter sampai 3,5 meter. Rumah gadang terpendek yang memiliki lima ruang memiliki panjang sekitar 15 meter, sedangkan rumah gadang terpanjang yang memiliki 20 ruang panjangnya sekitar 60 meter. Adapun lebar rumah gadang bergantung jumlah lanjar, yang lebarnya dapat berkisar 10 meter sampai 14 meter.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=23}}
Baris 126:
Pada masyarakat Minang yang matrilineal, suami hidup di rumah gadang istri. Suami hanya diperbolehkan berada di kamar istri pada waktu dan kondisi tertentu. Sebagai kamar tidur, kamar rumah gadang hanya memiliki satu pintu menghadap ke depan, yakni lanjar bandua. Bilik tidak memiliki jendela pada sisi belakang. Hal ini dimaksud untuk mejaga keamanan perempuan atau suami istri yang tidur di bilik dari gangguan yang datang dari luar.{{sfn|Fuji Rasyid|2008|pp=68}}
== Masjid ==
Baris 176:
|year = 1993
|url = http://repositori.kemdikbud.go.id/8238/1/ARSITEKTUR%20TRADISIONAL%20%20SUMBARBIRU.pdf
|title = Arsitektur Tradisional
|location = Jakarta
|work = Proyek Penelitian, Pengkajian, dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya
Baris 204:
|year = 1991
|url = https://books.google.co.id/books?id=iQwkAAAAMAAJ&q=rangkiang&dq=rangkiang&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjx5LS7t_fhAhUEIKwKHWj7AwQQ6AEIVjAJ
|title = Arsitektur Tradisional Daerah
|location = Jakarta
|work = Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
Baris 225:
|ref = {{sfnRef|Ernaning Setiyowati|2010}}
}}
* {{Cite news|last=[[A.A. Navis]]|first=|date=|title=Rumah Adat di Minangkabau|url=https://sastra.perpusnas.go.id/resources/uploads/rubrik/4116rumah_adat_di_minangkabau.pdf|work=|access-date=|ref={{sfnRef|A.A. Navis}}|archive-date=2021-09-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20210927030933/https://sastra.perpusnas.go.id/resources/uploads/rubrik/4116rumah_adat_di_minangkabau.pdf|dead-url=yes}}
* {{cite encyclopedia
|first1 = Gusti
Baris 294:
|accessdate =
|ref = {{sfnRef|Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan & Yoka Febriola|2013}}
}} {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20180804192701/http://www.lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-04/S47753-Yoka%20Febriola |date=2018-08-04 }}
* {{cite thesis
|first1 = Fuji
Baris 301:
|year = 2008
|url = https://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1890/A08fra.pdf;jsessionid=C134855529DBF38729AB79C8B98883ED?sequence=4
|title = Karakteristik dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lanskap Budaya Nagari Kamang Mudik di Kabupaten Agam Propinsi
|location =
|work =
Baris 382:
}}
* {{cite journal
|title = Peranan Ruang pada Rumah Gadang di
|author1 = Katherine Steffi Halim
|author2 = Eveline C.S.
Baris 415:
}}
* {{cite journal
|title = Ekspresi Ruang Balairung Sari
|author = Popi Trisna Putri
|url = http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=780687&val=12826&title=EKSPRESI%20RUANG%20BALAIRUNG%20SARI
|journal = Garak Jo Garik
|volume = 13
|issue = 1
|work =
|publisher = [[Institut Seni Indonesia Padang Panjang]]
|date = 2017
|accessdate =
|ref = {{sfnRef|Popi Trisna Putri|2017}}
|archive-date = 2021-06-20
|archive-url = https://web.archive.org/web/20210620223948/http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=780687&val=12826&title=EKSPRESI%20RUANG%20BALAIRUNG%20SARI
|dead-url = yes
}}
* {{cite web
Baris 491 ⟶ 494:
|accessdate =
|ref = {{sfnRef|Aulia Azmi|Imam Faisal Pane|18 Juni 2013}}
|archive-date = 2021-08-30
|archive-url = https://web.archive.org/web/20210830221817/http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_748712702543.pdf
|dead-url = yes
}}
* {{cite web
Baris 502 ⟶ 508:
|accessdate =
|ref = {{sfnRef|Beritagar.id|8 Desember 2017}}
|archive-date = 2021-11-28
|archive-url = https://web.archive.org/web/20211128110053/https://beritagar.id/artikel/figur/eko-alvares-penyelamat-rumah-gadang
|dead-url = yes
}}
* {{cite web
Baris 521 ⟶ 530:
|url = https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/balairung-sari-tabek/
|work =
|publisher = Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB)
|date = 20 Februari 2019
|accessdate =
Baris 575 ⟶ 584:
|ref = {{sfnRef|Antara|29 Januari 2017}}
}}
* {{cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbatusangkar/wp-content/uploads/sites/28/2015/12/Tulisan-Kearifan-Lokal.pdf|title=Mengungkap Rahasia Kearifan Lokal Rumah Gadang|author=Titin Nofita Handa Puteri|publisher=BPCB
* {{cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/balairung-sari-tabek/|title=Balairung Sari Tabek|author=Nurmatias|publisher=BPCB
* {{cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/rumah-gadang-20-ruang-sulit-air/|title=Rumah Gadang 20 Ruang Sulit Air|author=|publisher=BPCB
* {{cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/rumah-gadang-13-ruang-suku-dalimo/|title=Rumah Gadang 13 Ruang Suku Dalimo|author=|publisher=BPCB
* {{cite web|url=http://arsip.gatra.com/2017-05-07/majalah/artikel.php?pil=23&id=164334|title=Kampung Ceria Asal Mula Adat Minang|author=Zulfikar|work=[[Gatra]]|date=2017|accessdate=|ref={{sfnRef|Zulfikar|2017}}|archive-date=2020-08-09|archive-url=https://web.archive.org/web/20200809163110/http://arsip.gatra.com/2017-05-07/majalah/artikel.php?pil=23&id=164334|dead-url=yes}}
* {{cite news|title=Kajang Padati Padang yang Tergerus|author=Rahmat Irfan Denas|year=2019|publisher=Harian Khazanah|ref={{sfnRef|Rahmat Irfan Denas|2019}}}}
{{refend}}
Baris 586 ⟶ 595:
{{Commonscat|Minangkabau architecture|Arsitektur Minangkabau}}
* Soenarto PR. dan S.Sudyarto (1982). ''[https://pustaka.kebudayaan.kemdikbud.go.id/index.php?p=show_detail&id=2663&keywords= Arsitektur Tradisional Minangkabau Selayang Pandang]''. Jakarta: [[Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
{{Arsitektur Indonesia}}
|