Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Hanamanteo (bicara | kontrib)
+
Baginda 480 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: halaman dengan galat kutipan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(19 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Ketuanan Melayu''' (كتوانن ملايو) adalah konsep politik yang menekankan keunggulan [[Masyarakat Melayu di Malaysia|Melayu]] di [[Malaysia]] saat ini. Konsep ini tertuang dalam [[Pasal 153 Konstitusi Malaysia]] yang memberikan jaminan hak-hak khusus kepada etnis Melayu di Malaysia.<ref>Meredith L. Weiss, "The 1999 Malayan General Elections: Issues, Insults, and Irregularities." Asian Survey, Vol. 40, No. 3, (May 200)pp 430.</ref> Institusi politik tertua di Malaysia adalah sistem [[Majelis Raja-raja|penguasa Melayu]] di sembilan [[Monarki Malaysia|negara bagian Melayu]]. [[Imperium Britania|Pemerintahan kolonial Inggris]] mengubah sistem ini dan menggantikannya terlebih dahulu menjadi [[Negeri-negeri Melayu Bersekutu|sistem]] [[pemerintahan tidak langsung]], kemudian pada tahun 1948, dengan menggunakan lembaga berdasarkan budaya ini, mereka memasukkan monarki Melayu ke dalam cetak biru bagi [[Federasi Malaya]] yang sudah merdeka.<ref>{{Cite book|title=Political Participation and Ethnic Minorities: Chinese Overseas in Malaysia, Indonesia, and the United States|url=https://archive.org/details/politicalpartici00free|page=[https://archive.org/details/politicalpartici00free/page/74 74]|author=Amy L. Freedman|isbn=978-0-415-92446-7|year=2000|publisher=Routledge}}</ref>
{{akan dikerjakan|Hanamanteo}}
'''Ketuanan Melayu''' (كتوانن ملايو) adalah konsep politik yang menekankan keunggulan [[Masyarakat Melayu di Malaysia|Melayu]] di [[Malaysia]] saat ini. Konsep ini tertuang dalam [[Pasal 153 Konstitusi Malaysia]] yang memberikan jaminan hak-hak khusus kepada etnis Melayu di Malaysia.<ref>Meredith L. Weiss, "The 1999 Malayan General Elections: Issues, Insults, and Irregularities." Asian Survey, Vol. 40, No. 3, (May 200)pp 430.</ref> Institusi politik tertua di Malaysia adalah sistem [[Majelis Raja-raja|penguasa Melayu]] di sembilan [[Monarki Malaysia|negara bagian Melayu]]. [[Imperium Britania|Pemerintahan kolonial Inggris]] mengubah sistem ini dan menggantikannya terlebih dahulu menjadi [[Negeri-negeri Melayu Bersekutu|sistem]] [[pemerintahan tidak langsung]], kemudian pada tahun 1948, dengan menggunakan lembaga berdasarkan budaya ini, mereka memasukkan monarki Melayu ke dalam cetak biru bagi [[Federasi Malaya]] yang sudah merdeka.<ref>{{Cite book|title=Political Participation and Ethnic Minorities: Chinese Overseas in Malaysia, Indonesia, and the United States|page=74|author=Amy L. Freedman|isbn=978-0-415-92446-7|year=2000|publisher=Routledge}}</ref>
 
Istilah [[Semenanjung Malaysia|Tanah Melayu]] menganggap kepemilikan negara bagian Melayu. Dalam metode ini, pemerintah kolonial memperkuat etnonasionalisme Melayu, etnis dan budaya Melayu, serta kedaulatan Melayu dalam negara-bangsa baru. Meskipun budaya lain akan terus berkembang, identitas komunitas politik yang muncul akan dibentuk oleh budaya politik "bersejarah" dari kelompok etnis Melayu yang dominan.<ref>{{Cite book|title=Nation Building: Five Southeast Asian Histories |page=99|author=Wang Gungwu|isbn=978-981-230-320-2|year=2005|publisher=Institute of Southeast Asian Studies}}</ref> Imigran [[Tionghoa Malaysia|Tionghoa]] dan [[India Malaysia|India]] yang merupakan minoritas signifikan di Malaysia dianggap berutang budi kepada orang Melayu karena memberi mereka kewarganegaraan dengan imbalan hak istimewa sebagaimana diatur dalam [[Pasal 153 Konstitusi Malaysia]]. Pengaturan ''[[quid pro quo]]'' ini biasanya disebut sebagai [[kontrak sosial (Malaysia)|kontrak sosial]]. Ketuanan Melayu biasa disebut oleh para politikus, khususnya yang tergabung dalam [[Organisasi Nasional Melayu Bersatu]] (UMNO).
Baris 16 ⟶ 15:
[[Suku Melayu]] yang menjadi mayoritas [[demografi Malaysia|penduduk Malaysia]] sebesar 50,4% adalah kelompok etnis [[suku bangsa Austronesia]] yang sebagian besar mendiami [[Semenanjung Malaya]], meliputi wilayah [[Thailand Selatan|paling selatan Thailand]], pantai timur [[Sumatra]], pantai [[Kalimantan]], dan pulau-pulau kecil yang terletak di antara tempat-tempat ini. Asal usul etnis Melayu yang sebenarnya masih menjadi subjek kajian di kalangan sejarawan, antropolog, dan ahli bahasa. Sebuah teori populer menyatakan bahwa orang yang menggunakan [[rumpun bahasa Austronesia]] pertama kali tiba di [[Asia Tenggara Maritim]] antara 2500 SM dan 1500 SM sebagai bagian dari perluasan wilayah Austronesia dari [[Taiwan]] ke [[Asia Tenggara]].<ref>{{Cite book|title=A History of Malaysia and Singapore|pages=4 & 5|author=Neil Joseph Ryan|isbn=0-19-580302-7|year= 1976|publisher=Oxford University Press| location=London}}</ref> Namun, studi genetik yang dilakukan oleh HUGO ([[Organisasi Genom Manusia]]) yang melibatkan hampir 2 ribu orang di seluruh Asia menunjukkan teori lain tentang pola migrasi Asia. Temuan HUGO mendukung hipotesis bahwa Asia dihuni terutama melalui peristiwa migrasi tunggal dari selatan dan bahwa kawasan Asia Tenggara dihuni pertama kali yang mengandung paling banyak keanekaragaman, kemudian berlanjut perlahan ke Utara dengan keragamannya hilang.<ref>{{cite news| url=http://news.bbc.co.uk/2/hi/8406506.stm |work=BBC News | title=Genetic 'map' of Asia's diversity | date=11 December 2009}}</ref>
 
Pengaruh [[Hindu]] dan [[Buddha]] terjadi melalui kontak perdagangan dengan [[anak benua India]]. Negeri-negeri Melayu kono bangkit pada awal milenium pertama di wilayah pesisir Semenanjung Malaysia, terutama [[Chi Tu|Kerajaan Tanah Merah]] (abad ke-1), [[Gangga Negara]] (abad ke-2), [[Langkasuka]] (abad ke-2), [[Lembah Bujang|Kedah]] (abad ke-2), dan [[Kerajaan Pahang Tua|Pahang]] (abad ke-5). Antara abad ke-7 dan ke-13, banyak dari negara-negara perdagangan maritim semenanjung yang kecil dan seringkalisering kali makmur ini menjadi bagian dari [[Kerajaan Sriwijaya]],<ref>{{Cite web|url=http://www.sabrizain.org/malaya/early.htm |title=Early Malay kingdoms |publisher=Sabrizain.org |access-date=21 June 2010}}</ref> sebuah kerajaan Melayu yang berpusat di [[Palembang]] dan [[Kedah|Kadaram]].<ref>{{cite book |last=Munoz|first=Paul Michel|title=Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula|url=https://archive.org/details/earlykingdomsofi0000muno|publisher=Editions Didier Millet|year=2006|location=Singapore|page=[https://archive.org/details/earlykingdomsofi0000muno/page/171 171]|isbn= 981-4155-67-5}}</ref><ref>{{cite book |last=Muljana|first=Slamet|author-link=Slamet Muljana|title= Sriwijaya|url=https://archive.org/details/Sriwijaya|editor= F.W. Stapel|publisher=PT. LKiS Pelangi Aksara|year=2006 |isbn=978-979-8451-62-1 }}</ref>
 
Pada abad ke-15, [[Kesultanan Melaka]] yang memiliki pengaruh di sebagian besar kepulauan Melayu barat telah menjadi pusat [[pengislaman]] di timur. Tradisi Melaka diteruskan dan dipupuk wiracarita identitas Melayu dengan kuat.<ref name="T. N Harper page 15">{{Cite book|title=The End of Empire and the Making of Malaya|page=15|author=T. N. Harper |isbn=978-0-521-59040-2|year= 2001|publisher=Cambridge University Press|location=UK}}</ref><ref>{{Cite book|title=New terrains in Southeast Asian history|page=15|author=Abu Talib Ahmad, Liok Ee Tan |isbn=9971-69-269-4|year= 2003|publisher=Ohio University press|location=Singapore}}</ref> Sejak zaman ini, keyakinan Islam diidentikkan dengan masyarakat Melayu dan memainkan peran penting dalam menakrifkan [[kemelayuan|identitas Melayu]].<ref name="Barbara Watson Andaya, Leonard Y. Andaya page 55">{{Cite book|title=A History of Malaysia|page=55|author=Barbara Watson Andaya, Leonard Y. Andaya |isbn=0-333-27672-8|year= 1984|publisher=Palgrave Macmillan|location=Lonndon}}</ref><ref>{{Cite book|title=Contesting Malayness: Malay identity across boundaries|page=7|author=Timothy P. Barnar |isbn=9971-69-279-1|year= 2004|publisher=Singapore University press|location=Singapore}}</ref><ref>{{Cite book|title=Malaysia: Transformasi dan perubahan sosial|page=16|author=Mohd Fauzi Yaacob |isbn=978-967-3-23132-4|year= 2009|publisher=Arah Pendidikan Sdn Bhd|location=Malaysia}}</ref>
Baris 27 ⟶ 26:
Kebijakan kependidikan Britania kemudian mensegregasi kaum-kaum yang satu dengan yang lain. Britania memberikan pendidikan yang minim bagi kaum Melayu, sedangkan kaum non-Melayu dibiarkan sendiri. Kaum Melayu yang umumnya tinggal di pedesaan tidak dianjurkan bersosialisasi dengan kaum non-Melayu perkotaan.<ref>Hwang, pp. 30–31.</ref> Kondisi ekonomi Melayu yang miskin dibandingkan dengan kaum Tionghoa yang lebih baik juga membakar sentimen rasial ini.
 
Faktor lain yang mencuatkan ketuanan Melayu adalah pendudukan [[Jepang]] di Malaya semasa Perang Dunia II. Perang Dunia ini "membangkitkan kesadaran politik di antara warga Malaya dengan mengintensifkan komunalisme dan kebencian rasial". Kebijakan Jepang atas "politisasi kaum petani Melayu" secara sengaja membakar nasionalisme Melayu. Dua sejarahwan Melayu menulis bahwa "Perlakuan tidak ramah yang diberikan Jepang kepada kaum Tionghoa dan perlakuan sebaliknya yang diberikan kepada kaum Melayu membantu kaum Tionghoa merasakan identitasnya yang terkucil secara lebih tajam..." Salah satu komentator asing juga menyatakan "Semasa periode pendudukan ... sentimen nasional Melayu telah menjadi kenyataan; sentimen ini sangatlah anti-Tionghoa dan dalam unjuk rasa diserukan 'Malaya untuk orang Melayu'..."<ref>Hwang, pp. 34–35.</ref>
 
== Prakemerdekaan ==
Baris 74 ⟶ 73:
 
=== Partai Perikatan ===
Walaupun UMNO mendukung ketuanan Melayu, ia membentuk aliansi (''perikatan'') dengan MCA dan [[Kongres India Malaysia|Kongres India Malaya]] (MIC) dalam pemilihan Dewan Legislatif Federal tahun 1955 yang disebut sebagai "[[Partai Perikatan|Parti Perikatan]]" (Partai Aliansi). Aliansi ini mengejutkan banyak pihak karena MCA sebelumnya dengan keras menuntuk hak politik yang setara bagi seluruh warga negara. Presiden MCA, [[Tan Cheng Lock]], sendirinya juga merupakan Tionghoa Peranakan. Walaupun pada awalnya aliansi ini dianggap sebagai aliansi yang didasarkan pada keuntungan sesaat, aliansi ini memenangkan 51 dari 52 kursi yang diperebutkan. Sisa satu kursinya dimenangkan oleh [[Partai Islam Se-Malaysia|Partai Islam Se-Malaya]] (PAS), yang merupakan partai Melayu yang mengadvokasikan ketuanan Melayu. Kekalahan partai-partai non-komunal lainnya memberikan persepsi bahwa atmosfer politik Malaya tidak cocok dengan partai-partai multi rasial. Koalisi pemerintahan yang terdiri dari partai-partai monorasial dianggap lebih stabil dan cocok dengan politik Malaya.<ref>Keith, pp. 31–33.</ref> Sebelum pemilihan umum, Dato' Onn Ja'afar telah mengubah pendekatannya dengan membentuk [[Partai Negara]] setelah IMP mengalami kekalahan pada pemilu daerah. Walaupun ia mengadvokasi kebijakan pro-Melatyu yang lebih kuat, Partai Negara gagal menjatuhkan aliansi ini. Beberapa sejarahwan percaya bahwa proposal Partai Negara mendorong politikus-politikus UMNO untuk mengambil kebijakan-kebijakan pro-Melayu yang lebih radikal.<ref name="iseas">Lee, Hock Guan (2001). [http://www.iseas.edu.sg/sc22001.pdf "Political Parties and the Politics of Citizenship and Ethnicity in Peninsular Malay(si)a, 1957-1968"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20060118155740/http://www.iseas.edu.sg/sc22001.pdf |date=2006-01-18 }}. Retrieved March 17, 2006.</ref><ref>Ongkili, pp. 94–97.</ref> Britania sendiri bersikeras memindahkan kekuasaannya hanya kepada pemerintahan yang multirasial dan aliansi antara UMNO, MCA, dan MIC dianggap memenuhi syarat multirasial ini.<ref>Keith, pp. 142–143.</ref>
 
== Kemerdekaan Malaya dan pembentukan Malaysia ==
=== Kemerdekaan dan Konstitusi ===
[[Federasi Malaya]] (''Persekutuan Tanah Melayu'') secara resmi merdeka dari [[Imperium Britania]] tahun 1957. [[Konstitusi]] negara baru ini memiliki beberapa ketentuan seperti [[Pasal 153 Konstitusi Malaysia|Pasal 153]] yang menjamin [[suku Melayu|kaum Melayu]] mendapatkan hak-hak istimewa. [[Komisi Reid]] yang menyusun konstitusi ini menyatakan bahwa pasal 153 hanyalah bersifat sementara dan harus ditinjau ulang oleh [[parlemen]] 15 tahun setelah kemerdekaan.<ref>Ooi, Jeff (2005). [http://www.jeffooi.com/archives/2005/08/the_nst_should.php "Social Contract: 'Utusan got the context wrong'"] {{DeadWebarchive|url=https://web.archive.org/web/20051030165436/http://www.jeffooi.com/archives/2005/08/the_nst_should.php link|date=October2005-10-30 2008}}. Retrieved 11 November 2005.</ref> Konstitusi ini tidak secara eksplisit menyatakannya maupun mengklarifikasi tujuan pasal 153. Konstitusi menyatakan bahwa semua warga Malaya setara di depan hukum tanpa menyebut-nyebut "Kedaulatan Melayu" maupun gagasan-gagasan lain yang berhubungan dengan ketuanan Melayu. Kewarganegaraan ''[[Jus soli]]'' yang memberikan kewarganegaraan kepada siapapun yang lahir dalam Federasi Malaya juga diberikan walaupun tidak secara [[retroaktif]]. Pemberian kewarganegaraan secara ''jus soli'' ini merupakan "pengorbanan" kaum Melayu yang sebelumnya dengan keras berkampanye menentang kewarganegaraan ''jus soli'' dalam Uni Malaya.<ref>Ongkili, p. 113.</ref>
 
Di sisi lain, [[bahasa Melayu]] dan [[Islam]] dijadikan bahasa nasional dan agama resmi negara. Kedudukan Raja-raja Melayu juga tetap dipertahankan. Keputusan ini bertujuan untuk menghargai kaum Melayu sebagai orang Malaya yang sebenarnya, yakni menjadi seorang Malaya adalah sama halnya menjadi seorang Melayu. Di mata banyak orang pula, hal ini memberikan Malaya identitas Melayu.<ref>Milne, R.S. & Mauzy, Diane K. (1999). ''Malaysian Politics under Mahathir'', p. 34. Routledge. ISBN 0-415-17143-1.</ref> Seorang akademiawan mengajukan bahwa "Kaum Melayu memiliki perasaan yang telah mendarah daging bahwa hanya merekalah yang merupakan bumiputera, dan sehingganya mempunyai hak-hak istimewa tertentu atas tanah Malaya." Dan sebenarnya pun pada tahun 1964 Tunku mengatakan "Adalah dimengerti semua orang bahwa negara ini dari namanya, tradisi dan karakternya, adalah Melayu. ... Di negara lain di mana pendatang asing mencoba untuk mendominasi bidang ekonomi dan bidang-bidang lain, pada akhirnya akan mendapatkan oposisi keras dari penduduk asli. Namun ini tidak sama halnya dengan kaum Melayu. Oleh karena itu, sebagai gantinya, pendatang-pendatang asing itu harus menghargai posisi orang Melayu..."<ref name="josey_83-84"/> Diajukan bahwa nasionalitas Malaysia tidak muncul karena "semua simbol-simbol nasional Malaysia diturunkan dari tradisi Melayu".<ref>Hwang, p. 49.</ref>
Baris 96 ⟶ 95:
 
=== "Malaysian Malaysia!" (''Malaysia-nya orang Malaysia'') ===
Dalam Pemilihan Umum Singapura tahun 1963, aliansi UMNO menantang pemerintahan [[Partai Aksi Rakyat]] (PAP) melalui [[Partai Aliansi Singapura]]. Politikus-politikus UMNO secara aktif berkampanye di Singapura mendukung Aliansi Singapura, melontarkan pendapat bahwa kaum Melayu Singapura diperlakukan sebagai warga negara kelas dua oleh pemerintah PAP yang multirasial. Walaupun demikian, semua kandidat Melayu yang didukung oleh UMNO kalah dalam pemilu ini. Politikus-politikus PAP, yang melihat hal ini sebagai pelanggaran perjanjian oleh aliansi UMNO untuk tidak mengikuti pemilu di Singapura, memutuskan untuk sebaliknya mengikuti pemilihan umum di Malaya dalam Pemilihan Umum Malaysia tahun 1964. Walaupun PAP menarik banyak orang dalam pawai politiknya, partai ini hanya memenangi satu suara. Beberapa sejarahwan menganggap bahwa permintaan Presiden MCA yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan kepada kaum Tionghoa untuk tidak menantang hak khusus Melayu agar Malaysia tidak beresikoberisiko bergabung dengan Indonesia membantu MCA mengamankan statusnya sebagai "pemimpin kaum Tionghoa di semenanjung Malaya".<ref>Keith, p. 149.</ref> Akibat keikutsertaan PAP dalam pemilu Malaysia, pemimpin-pemimpin UMNO sangat marah kepada PAP.<ref>Goh, Cheng Teik (1994). ''Malaysia: Beyond Communal Politics'', pp. 36–37. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-475-4.</ref><ref name="spark">Goh, Jenny (July 23, 1997). [http://sam11.moe.gov.sg/racialharmony/teachers_03.html "Small spark can create big mess"] {{DeadWebarchive|url=https://web.archive.org/web/20060325194847/http://sam11.moe.gov.sg/racialharmony/teachers_03.html link|date=October2006-03-25 2008}}. ''Straits Times''.</ref>
 
[[Berkas:Lee Kuan Yew.jpg|jmpl|[[Lee Kuan Yew]], pemimpin pemerintahan Singapura, secara publik menolak ketuanan Melayu, dan melancarkan gagasan "[[Malaysian Malaysia]]".]]
Baris 104 ⟶ 103:
Lee kemudian berkeluh: "Malaysia — kepada siapa ia berpunya? Kepada bangsa Malaysia. Namun siapakah bangsa Malaysia? Saya berharap saya adalah bangsa Malaysia, Tuan Pembicara. Namun kadang-kadang, duduk di ruangan ini, saya ragu apakah saya diizinkan menjadi bangsa Malaysia. Keraguan inilah yang menyangkut di pikiran saya, dan ... [seketika] emosi dilepaskan, dan manusia dengan manusia saling berseberangan dibatasi oleh garis tak terucapkan ini, anda akan mempunyai sejenis peperangan yang akan memecah belah negara ini dari atas ke bawah dan menghancurkan Malaysia."<ref>Keith, pp. 115–116.</ref> Kadang-kadang, Lee memperparah situasi dengan membuat komentar-komentar rasial. Banyak pidato-pidatonya yang terus mendengung-dengungkan komposisi etnis Malaysia, mengingatkan kepada para pendengar bahwa kaum non-Melayu yang sekarang telah menjadi mayoritas, dengan 61% populasi berbanding 39% Melayu, "Mengapa kita harus kembali ke Singapura yang dulu dan sekali lagi menurunkan derajat non-Melayu di Malaya menjadi minoritas?"<ref>Sopiee, p. 204.</ref> Lee memperparah hubungan PAP-UMNO dengan secara konstan menuntut pemerintah federal memerangi kelompok [[Ultra (Malaysia|ultra]] yang banyak menduduki jabatan penting UMNO seperti [[Syed Jaafar Albar]] dan [[Syed Nasir Ismail]].<ref>Sopiee, p. 194.</ref><ref>Keith, p. 118.</ref>
 
Pernyataan-pernyataan Lee mengundang kemarahan banyak pihak, utamanya politikus-politikus Perikatan. Tan Siew Sin menyebut Lee "Kekuatan perusak terbesar dalam seluruh sejarah Malaysia dan Malaya."<ref>[http://ourstory.asia1.com.sg/merger/headline/mimposib.html "'Impossible to co-operate with Singapore while Lee is Premier'"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20050310003615/http://ourstory.asia1.com.sg/merger/headline/mimposib.html |date=2005-03-10 }}. (2 June 1965). ''[[Straits Times]]''.</ref> Tunku Abdul Rahman menganggap Lee terlalu ekstremis dalam pandangannya, manakala politikus-politikus UMNO berpendapat bahwa Lee hanyalah berusaha menarik dukungan kaum Tionghoa Malaysia dengan retorikanya.<ref>Khaw, Ambrose (1998). [http://ourstory.asia1.com.sg/merger/lifeline/akimpos.html "This man is making too much noise"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20060522214050/http://ourstory.asia1.com.sg/merger/lifeline/akimpos.html |date=2006-05-22 }}. Retrieved 11 November 2005.</ref> Pernyataan Lee mengenai migrasi Melayu mendapatkan bantahan keras. Albar menyerukan: "Mengatakan bahwa orang Melayu berada dalam kategori yang sama dengan ras lain adalah sebuah hinaan..." [[Koran|Surat kabar]] UMNO ''Malaya Merdeka'' memperingatkan: "Jika kaum Melayu ditekan dengan keras dan kepentingannya tidak dilindungi," kaum Melayu akan menggabungkan Malaysia dengan [[Indonesia]].<ref>Keith, p. 124.</ref> Adalah hal ini yang Tunku Abdul Rahman takuti. Baginya, golongan ultra bukanlah ekstremis sebenarnya. Adalah orang-orang yang menginginkan terbentuknya "Indonesia Raya" untuk menekan populasi Tionghoalah yang dia anggap sebagai ancaman utama.<ref>Keith, pp. 66–67.</ref>
 
Hubungan antar kaum yang buruk berakhir pada [[kerusuhan rasial 1964 Singapura]],<ref name="spark"/> yang secara tidak langsung oleh politikus Melayu PAP [[Othman Wok]] tuduh telah direncanakan oleh kelompok Ultra.<ref>Veloo, Ravi (Jan. 25, 1997). [http://ourstory.asia1.com.sg/independence/ref/race.html "Othman Wok on race relations"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150502022606/http://ourstory.asia1.com.sg/independence/ref/race.html |date=2015-05-02 }}. ''Straits Times''.</ref> Ketegangan antar kaum terus bertambah tahun-tahun setelah kerusuhan itu. Deklarasi Syed Jaafar Albar "Di mana pun saya berada, saya adalah seorang Melayu" mendapatkan tanggapan keras dari Lee Kuan Yew yang menyatakan dalam Parlemen: "Jika saya telah berpindah dan mengatakan apa yang [dia] telah katakan (''Di mana pun saya berada, saya adalah seorang Tionghoa''), di manakah kita ini? Tetapi saya terus mengingatkan orang-orang bahwa saya adalah seorang Malaysia. Saya belajar "Bahasa Kebangsaan" (''Bahasa Melayu'') dan saya menerima Pasal 153 Konstitusi."<ref>Keith, p. 128.</ref>
 
Lee bersikeras bahwa dia tidak menolak hak-hak khusus Melayu ataupun Pasal 153, berkata: "jika komunitas imigran ... tidak melihat permasalahannya, jika mereka tidak bisa merasa seperti apa menjadi seorang Melayu yang miskin, dan tidak merasakannya untuk orang Melayu, maka saya dapat mengatakan dengan segera dia (''orang Melayu'') akan mewujudkan ketidakpuasannya dengan kepastian dan seluruh negeri akan jatuh ke dalam kekacauan."<ref>Lee, Kuan Yew (1998). ''The Singapore Story'', p. 598. Marshall Cavendish Editions. ISBN 981-204-983-5.</ref> Beberapa anggota Perikatan tidak menerima klaim ini dengan serius. Politikus-politikus UMNO bersikeras bahwa konsep "Malaysian Malaysia" menyiratkan kesetaraaan total, menghilangkan hak-hak istimewa Melayu.<ref>Keith, pp. 72–73, 121.</ref> [[Senu Abdul Rahman]], salah seorang Menteri Federal, merasa advokasi kesetaraan Lee akan membuat kaum Melayu tidak mendapatkan kesempatan berpartisipasi dalam bidang ekonomi: "Apa yang kami mau adalah kesempatan, kesempatan untuk mendapatkan kekayaan ekonomi bagi orang-orang kami." Seraya mengutuk pernyataan Lee bahwa dia adalah seorang Malaysia atas hak dia sendiri, Senu bertanya: "Hak yang Lee sekarang nikmati tidaklah jatuh dari langit begitu saja. Hak ini diberikan kepadanya. Tidakkah ia memiliki rasa terima kasih kepada penduduk asli negara ini?" Lee menjawab: "Tidak, saya tidak menikmati keramahan siapapun. Saya di sini karena ini hak saya sendiri. Dan 61 persen rakyat Malaysia haruslah mempertahankan hak ini atau ia akan menghilang. Tanpa hak ini, mereka tidak memiliki masa depan."<ref>Keith, pp. 179–181.</ref> Beberapa politikus, seperti Syed Jaafar Albar, berpendapat lebih jauh lagi merujuk orang Melayu sebagai Bumiputera, "tuan rumah", yang keramahannya telah disalahgunakan oleh ''bangsa asing'' atau ''orang tumpangan'' seperti Lee. Hal ini memprovokasi anggota kabinet [[Lim Swee Aun]] yang menuntut "kita adalah pemilik bersama, bukan orang tumpangan, bukan pula tamu."<ref>Lee, p. 620.</ref><ref>Keith, p. 115.</ref>
Baris 118 ⟶ 117:
Setelahnya, anggota parlemen dari UMNO [[Mahathir bin Mohamad]] menyerang Lee dalam parlemen: "[Orang Tionghoa Singapura] tidak pernah mengetahui kekuasaan Melayu dan tidak dapat menerima gagasan bahwa orang-orang yang telah mereka tundukkan (''orang Melayu'') sekarang berada dalam posisi memerintah mereka."<ref>Keith, pp. 128–129.</ref> Lee merespon pernyataan tersebut dalam bahasa Melayu: "Tentu terdapat jutawan-jutawan Tionghoa dengan mobil-mobil dan rumah-rumah yang besar. Apakah ini adalah jawaban untuk membuat beberapa Melayu menjadi jutawan dengan mobil-mobil dan rumah-rumah yang besar? ... Apabila kita memperdaya rakyat untuk percaya bahwa mereka miskin karena mereka tidak memiliki hak-hak Melayu atau karena anggota oposisi menentang hak-hak Melayu, di manakah kita akan berakhir? Anda membuat rakyat pedesaan percaya bahwa mereka miskin karena kami tidak berbicara bahasa Melayu, karena pemerintah tidak menulis dalam bahasa Melayu, sehingga ia mengharapkan keajaiban untuk terjadi [ketika bahasa Melayu menjadi satu-satunya bahasa nasional]. Pada saat kita semua berbicara bahasa Melayu, ia akan mendapatkan peningkatan standar hidup, dan apabila hal itu tidak terjadi, apakah yang akan terjadi? Manakala, kapanpun kegagalan dalam kebijakan ekonomi, sosial, dan kependidikan terjadi, anda akan datang dan mengatakan, oh, orang-orang Tionghoa, India, dan lainnya yang jahat ini menentang hak-hak Melayu. Mereka tidak menentang hak-hak Melayu. Mereka, kaum Melayu, memiliki hak sebagai warga negara Malaysia untuk naik ke tingkatan pelatihan dan pendidikan yang telah dihasilkan oleh komunitas-komunitas yang lebih kompetitif, yaitu komunitas non-melayu. Inilah yang harus dilakukan, tidakkah demikian? Bukan dengan menyodorkan mereka doktrin-doktrin terbelakang bahwa apa yang harus mereka lakukan adalah mendapatkan hak-hak Melayu untuk sebagian kecil orang Melayu istimewa dan permasalahan mereka akan terselesaikan."<ref>Lee, pp. 612–613.</ref>
 
Pada akhirnya, Tunku Abdul Rahman, merasa muak dengan semua permainan politik dan diyakinkan bahwa percekcokan retorika lebih jauh lagi akan berakhir pada kekerasan, meminta Singapura untuk memisahkan diri dari Malaysia. Singapura menjadi negara merdeka pada tahun 1965 dengan Lee Kuan Yew sebagai [[Perdana Menteri]] pertamanya.<ref>Ooi, Jeff (2005). [http://www.jeffooi.com/archives/2005/11/i_went_into_act.php "Perils of the sitting duck"] {{Dead linkWebarchive|url=https://web.archive.org/web/20051125194719/http://www.jeffooi.com/archives/2005/11/i_went_into_act.php |date=October2005-11-25 2008}}. Retrieved 11 November 2005.</ref>
 
== Peristiwa 13 Mei dan Kebijakan Ekonomi Baru ==
Baris 126 ⟶ 125:
=== Insiden 13 Mei ===
{{main|Insiden 13 Mei}}
Pada tahun 1969, Pemilihan Umum Malaysia diadakan. Pemilihan umum ini adalah pemilihan pertama yang diikuti oleh partai-partai oposisi non-Melayu secara besar-besaran, selain pada pemilihan tahun 1964 yang diikuti PAP dari Singapura. Dua partai oposisi utama adalah [[Partai Aksi Demokratik]] (''Democratic Action Party'', DAP) yang merupakan lanjutan dari partai PAP dan [[Partai Gerakan Rakyat Malaysia]] (Gerakan) yang merupakan partai multirasial pimpinan [[Lim Chong Eu]], dan intelektual kelas menengah lainnya seperti [[Tan Chee Khoon]] dan [[Syed Hussein Alatas]]. Kedua partai tersebut mengajukan proposal kebijakan mengenai bahasa, pendidikan, dan hak-hak Melayu yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah. DAP terus berkampanye "Malaysian Malaysia" setelah Singapura pimpinan Lee Kuan Yew memisahkan dari Malaysia. Beberapa politkuspolitikus dari DAP utamanya menyerukan pengangkatan [[bahasa Inggris]], [[bahasa Mandarin]], dan [[bahasa Tamil]] sebagai bahasa nasional bersama-sama dengan bahasa Melayu. Dukungan pemerintah yang lebih kuat terhadap pendidikan kaum Tionghoa juga dituntut.<ref>Hwang, p. 74, 89.</ref>
 
[[Berkas:Gerakan celebrate after 1969 election.jpg|jmpl|[[Partai Gerakan Rakyat Malaysia|Gerakan]], yang dimpimpin oleh [[Lim Chong Eu]] dan [[Syed Hussein Alatas]], memenangi beberapa kursi dalam Parlemen Malaysia pada pemilu tahun 1969.]]
Baris 132 ⟶ 131:
PAS, dipihak lainnya, mencoba menarik suara dengan menuduh UMNO menjual hak-hak orang asli Melayu kepada ''pendatang asing''. Ketika hasil pemilihan umum diumumkan, PAS berhasil mendapatkan kemenangan kecil, namun DAP dan Gerakan lebih sukses dan menggantikan pemerintahan Perikatan di tiga negara bagian. Ini juga hampir menjatuhkan mayoritas dua per tiga kursi parlemen yang dipegang oleh Perikatan.<ref>Hwang, p. 75.</ref> Kemenangan ini didapatkan dari suara-suara yang sebelumnya mendukung MCA. Setelah pemilu ini, MCA kemudian mengumumkan bahwa ia tidak akan berpartisipasi dalam pemerintahan yang baru. Partai DAP dan Gerakan yang memenangkan beberapa kursi melakukan pawai kemenangan di ibu kota [[Kuala Lumpur]] pada 11 Mei dan 12 Mei, di mana banyak partisipan mencela orang Melayu dan meneriakkan slogan-slogan seperti "Semua Melayu kasi habis". Pernyataan permintaan maaf dilayangkan setelah pawai itu. Namun, kaum Melayu yang terkejut menyalahkan kaum Tionghoa karena telah mengkhianati "rumusan Perikatan dengan memberikan suara kepada oposisi yang membangkitkan kembali masalah mendasar seperti hak-hak Melayu dan bahasa nasional".<ref>Hwang, pp. 77–78.</ref>
 
Para ekstremis Melayu menyambut baik pengunduran MCA, merasa pemerintahan yang didominasi oleh UMNO dan Melayu akan lebih memajukan kepentingan Melayu.<ref>Khoo, Boo Teik (1995). ''Paradoxes of Mahathirism'', p. 22. Oxford University Press. ISBN 967-65-3094-8.</ref><ref>Maidin, Zainuddin (1994). ''The Other Side of Mahathir'', pp. 19–21. Utusan Publications & Distributors. ISBN 967-61-0486-8.</ref> UMNO juga mengadakan pawainya sendiri, yang pada akhirnya berakhir rusuh pada tanggal 13 Mei 1969. Kerusuhan ini kemudian disebut sebagai "[[Insiden 13 Mei]]". Pawai ini dilaporkan diorganisasikan oleh Menteri Besar Selangor [[Harun bin Idris]], yang dianggap sebagai seorang Chauvinis Melayu.<ref>Means, Gordon P. (1991). ''Malaysian Politics: The Second Generation'', p. 6. Oxford University Press. ISBN 0-19-588988-6.</ref> Para pendukung UMNO berkumpul di rumah Harun pada sore 13 Mei, di mana pawai ini akan bermulai, penuh dengan [[parang]] dan senjata-senjata lain. Beberapa pemimpin mengutuk "hinaan" para "kafir" pada pawai sebelumnya, menyerukan pawai tandingan untuk "mengajari orang Tionghoa pelajaran" atas penantangan mereka terhadap supremasi Melayu. Dengan cepat, gerombolan anggota pawai mulai menyerang pengendara-pengendara motor Tionghoa, dan melancarkan pembakaran ke rumah-rumah dan toko-toko Tionghoa. Kerusuhan ini menyebar dan berlanjut selama dua hari.<ref>Kamarudin, Raja Petra (2000). [http://www.freeanwar.net/news/facnews160900b.html "A Reporter’s Account of an Interview With Tunku Abdul Rahman On the 13 May Incident"] {{Dead linkWebarchive|url=https://web.archive.org/web/20060615215054/http://www.freeanwar.net/news/facnews160900b.html |date=October2006-06-15 2008}}. Retrieved April 10, 2006.</ref><ref>Means, pp. 6–7.</ref>
 
Akibat kerusuhan ini, [[Parlemen]] diberhentikan dan kedaruratan negara dideklarasikan. [[Dewan Operasi Nasional]] dibentuk untuk menjalankan administrasi negara dalam keadaan genting. Walaupun kerusuhan telah berakhir, ketegangan masih berlanjut. Boikot kaum non-Melayu terhadap barang-barang buatan dan jasa Melayu didukung secara penuh, manakala banyak kaum Melayu seperti [[Mahathir Mohamad]] dan [[Raja Muktaruddin Daim]] menyerukan pemerintahan [[otokrasi]] satu partai di bawah [[UMNO]]. Menurut beberapa sumber, salah satu golongan "ultra" yang terdiri dari [[Syed Nasir Ismail]], [[Musa Hitam]], dan [[Tengku Razaleigh]], merasa bahwa Konstitusi yang membagi kekuasaan kepada tiap kaum telah gagal dan setuju agar negara ini "dikembalikan" kepada orang Melayu. Dicurigai bahwa mereka setuju untuk mengutus Mahathir ke Kuala Lumpur untuk melancarkan kampanye anti-Tunku.<ref>Von Vorys, Karl (1975). ''Democracy without Consensus: Communalism and Political Stability in Malaysia'', p. 317. Princeton University Press. ISBN 0-691-07571-9.</ref>
Baris 167 ⟶ 166:
Untuk menjaga semua hal ini, amendemen pasal-pasal yang menyentuh "isu-isu sensitif" seperti di atas beserta klausa-klausa yang mengatur undang-undang amendemen dilarang dibahas oleh parlemen tanpa persetujuan [[Majlis Raja-Raja]]. Langkah ini membuat pasal-pasal "sensitif" tersebut dikukuhkan (tak dapat diubah) dan mendapat kritik dari anggota-anggota parlemen dari pihak oposisi. Tidaklah jelas pula apakah larangan pembahasan "isu-isu sensitif" ini juga berlaku bagi larangan itu sendiri. Walau demikian, undang-undang ini tetap disahkan.<ref name="khoo_104"/> [[Undang-Undang Keselamatan Dalam Negeri]] (''Akta Keselamatan Dalam Negeri'') yang memberikan pemerintah kuasa untuk menangkap siapapun yang dianggap membahayakan keselamatan nasional untuk periode waktu tak terbatas tanpa kaji ulang hukum juga diamendemen pada tahun 1971 dengan menekankan pada "pemeliharaan keharmoninisan antarkaum".<ref>Khoo, p. 107.</ref>
 
Perubahan-perubahan ini mendapatkan penentangan yang keras dan pihak oposisi dan luar negeri. Ketika rancangan perubahan pertama diumumkan, Britania menuduh bahwa perubahan ini akan "mempertahankan [[sistem feodal]] yang mendominasi masyarakat Melayu" dengan "memberikan lembaga [[Kerajaan konstitusional|monarki konstitusional]] ini kuasa pemblokiran yang besar". Penyensoran isu-isu sensitif ini dicap bertolak belakang dengan seruan Tun Abdul Razak yang menyerukan "realisasi penuh masalah-masalah yang sensitif tidak boleh lagi disembunyikan dalam karpet..."<ref>Emery, Fred (Nov. 8, 1969). "Malaysia unity call against a background of fear", p. 7. ''[[The Times]]''.</ref> Beberapa kritikus berargumen bahwa Pasal 153 tidaklah lebih dari sebuah "mangkuk nasi kertas" dan bahkan tidak memberikan [[Orang Asli]] dan suku-suku aborigin lainnya hak-hak khusus Melayu.<ref>Hickling, pp. 74–75.</ref>
 
Perbuahan kebijakan penting lainnya berkaitan dengan bidang pendidikan. Pada tahun 1970, pemerintah Malaysia menentukan bahwa bahasa Melayu menggantikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi. Walaupun pembiayaan pemerintah atas pendidikan kaum Tionghoa dan Tamil terus berlanjut, banyak kaum non-Melayu yang menganggap kebijakan baru ini sebagai yang "paling diskriminatif". Alasan pemerintah adalah perubahan ini akan memberikan kaum Melayu peluang mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan akan menyatukan para siswa-siswa sekolah dan memelihara keharmonisan antar kaum serta secara tidak langsung menekankan "kemelayuan negara Malaysia".<ref name="hwang_113"/>
Baris 176 ⟶ 175:
Model Partai Perikatan yang lama, di mana tiap-tiap kaum diwakili oleh satu partai ditinggalkan dengan pembentukan [[Barisan Nasional]] (BN) pada tahun 1974. Beberapa partai oposisi sebelumnya, meliputi Gerakan, PPP, dan PAS, bergabung ke dalam BN yang dipimpin UMNO. Walaupun MCA dan MIC disertakan dalam BN, pengaruh kedua partai ini menurun dikarenakan partisipasi partai-partai non-Melayu lainnya dalam koalisi. Pada tahun 1977, PAS dikeluarkan dari koalisi dan UMNO menjadi satu-satunya perwakilan partai Melayu di BN, walaupun terdapat partai-partai non-Melayu yang juga mewakili kepentingan Melayu.<ref>Hwang, pp. 115, 117.</ref> Setelah pengeluaran PAS, PAS melakukan pendekatan yang berbeda atas hak khusus Melayu, mengutuk Kebijakan Ekonomi Baru mendiskriminasi kaum lain serta tidak Islami.<ref>Musa, p. 81.</ref>
 
Pada tahun 1974, Mahathir diangkat sebagai Menterti dalam Kabinet Tun Razak. Ia menjadi Wakil Perdana Menteri dua tahun setelahnya di bawah [[Tun Hussein Onn]] yang meneruskan jabatan Perdana Menteri setelah kematian mendadak Tun Razak.<ref name="khoo_35">Khoo, p. 35.</ref>
 
Semasa 1970-an, ketika Kebijakan Ekonomi Baru sedang jaya-jayanya, "Dominasi Melayu" merupakan fakta kehidupan bernegara yang diterima oleh kebanyakan rakyat Malaysia.<ref name="khoo_35"/> Manakala pada periode 1957 sampai dengan 1969 "Dominasi Melayu" dibendung oleh "tawar-menawar antaretnis" dalam pemerintahan Partai Perikatan, sejak Insiden 13 Mei, banyak ahli politik yang memandang bahwa lingkungan politik telah berubah menjadi didominasi oleh "kontrol hegemoni" Melayu dan UMNO;<ref name="hwang_10">Hwang, pp. 10–11.</ref> pada tahun 1970, salah satu anggota kabinet mendeklarasikan bahwa hak khusus Melayu akan terus ada "ratusan tahun ke depan".<ref>Lim, Kit Siang (1978). ''Time Bombs in Malaysia'', p. 218 (2nd ed.). Democratic Action Party. No ISBN available.</ref> Tunku mengamati pada tahun 1977 bahwa "tampaknya kaum non-Bumiputera memandang bahwa mereka telah menjadi warga negara kelas dua dalam negara ini."<ref>Hickling, p. 181.</ref> Kebijakan etnik pemerintah Malaysia terus didasarkan atas dua argumen dasar Mahathir, yaitu status "historis" kekuasaan Melayu atas Malaya dan "kebutuhan khusus" Melayu.<ref>Ye, pp. 34–35.</ref> Oleh karena diskusi publik mengenai isu-isu ini dikriminalisasikan, terdapat sedikit sekali literatur-literatur lokal yang membahas supremasi Melayu.
Baris 182 ⟶ 181:
Kelompok Ultra yang dicurigai mengeksploitasi kerusuhan 13 Mei kemudian berhasil mengontrol Malaysia. Razaleigh, Menteri Keuangan saat itu, disanjung-sanjung sebagai "Bapak Ekonomi [[Bumiputera]]".<ref>Khoo, p. 49.</ref> Musa Hitam dan Mahathir, yang keduanya semakin bernaik kiprah di bidang politik menjaga citra mereka sebagai bagian dari kelompok "ultra", walaupun tidaklah jelas apakah ini memang disengajakan. Jurnalis [[K. Das]] pernah mengklaim bahwa Musa memberitahukannya bahwa "seorang politikus muda Malaysia harus memainkan "kartu rasialis" secara penuh bahkan apabila tiada tulang chauvinis satupun yang berada dalam tubuhnya."<ref>Khoo, p. 24.</ref> Setelah pensiun, Musa mengatakan bahwa "pemimpin-pemimpin nasional cenderung mencari [[kambing hitam]] ketika dihadapkan kepada situasi krisis dalam keputusasan" dan menggunakan taktik rasial untuk mengisi "perut kosong" mereka.<ref>Hwang, p. 145.</ref>
 
[[Pergerakan Pemuda UMNO]] khususnya menjaga citra "ultra" ini sejak tahun 1960-an. Salah satu wakil ketuanya mengatakan bahwa "Tujuan asal UMNO adalah memperjuangkan kepentingan ras Melayu dan ini harus diteruskan. Kita tidak ingin adanya faksi-faksi dalam UMNO."<ref>b. Maaruf, p. 121.</ref> Pada tahun 1980, [[Tun Hussein Onn]] mengumumkan bahwa ia akan meletakkan jabatannya kepada Mahathir oleh karena kesehatan yang memburuk. Mahathir menjadi perdana menteri pada tahun 1981 dengan Musa Hitam sebagai wakilnya.
 
== Pemerintahan Mahathir ==
Baris 193 ⟶ 192:
Ketegangan mulai muncul setelah Pemilihan Umum Malaysia tahun 1986, ketika UMNO berhasil mendapatkan mayoritas kursi Parlemen, mengizinkan UMNO membentuk pemerintahan sendiri tanpa berkoalisi dengan partai-partai lain. Beberapa pemimpin UMNO dengan serius mendiskusikan kemungkinan pemerintahan tanpa koalisi ini. Salah satu pemimpin tersebut, [[Abdullah Ahmad Badawi]], secara publik mendukung supremasi Melayu secara permanen dan menurunkan status kaum non-Melayu sebagai warga negara kelas dua. Seruan ini pada akhirnya tidak dihiraukan dan pemerintahan koalisi Barisan Nasional tetap berlanjut. Walau demikian, beberapa pejabat UMNO memperingati partai-partai non-Melayu untuk tidak "bermain api" dengan mempertanyakan isu-isu seperti hak khusus orang Melayu (''Hak Keistimewaan Orang Melayu''). Dalam Majelis Umum UMNO tahun itu, Mahathir menyatakan: "Kita tidak berharap mencuri hak-hak orang lain. Namun janganlah biarkan orang lain mencuri hak-hak kita." Ketika parlemen bersidang, DAP mulai menyerukan keberatannya mengenai pembagian warga Malaysia menjadi "warga negara kelas satu dan kelas dua". Sebagai balasannya, beberapa anggota parlemen UMNO mulai menyebut-nyebut kaum non-Melayu sebagai pendatang asing dalam parlemen. Ketika DAP mencoba untuk melakukan penelusuran distribusi ekonomi antar kaum untuk mengevaluasi progres Kebijakan Ekonomi Baru, peraturan parlemen (''Peraturan-peraturan Majlis Mesyuarat'') diamendemen sehingganya melarang penelusuran tersebut. Hal ini membuat DAP menuduh bahwa sasaran Kebijakan Ekonomi Baru telah tercapai agar dapat dibuat kadaluwarsa pada tahun 1990.<ref>Means, hal. 187–189.</ref>
 
Beberapa orang, seperti [[Richard Yeoh]], meyakini bahwa Abdullah, pembantu Mahathir, adalah orang pertama yang menggunakan istilah "''Ketuanan Melayu''". Yeoh mendeskripsikan konteks yang digunakan Ahmad sebagai "pidato yang cukup ramah dan sebagian besar dari kita tidak bermasalah akan itu, tetapi, but it has been taken to mean Malay supremacy by some Umno leaders who don't necessarily know what it means."<ref name="flay">{{Cite news | first=Aidila | last=Razak | coauthors= | authorlink= | title=Forum speakers flay 'Ketuanan Melayu' | date=12 December 2009 | publisher= | url =http://malaysiakini.com/news/119722 | work =Malaysiakini | pages = | accessdate = 10 February 2010 | language= | archive-date=2010-02-10 | archive-url=https://web.archive.org/web/20100210162113/http://www.malaysiakini.com/news/119722 | dead-url=yes }}</ref>
 
=== Meninjau dan menyusun ulang kebijakan ekonomi ===
Baris 202 ⟶ 201:
Selama tahun 1980-an, perhatian tentang diskriminasi di pendidikan tinggi terus bertumbuh. Pada titik ini, Menteri Pendidikan mengatakan kepada parlemen tentang ketidakpuasan dan kekecewaan di antara orang non-Melayu tentang berkurangnya kesempatan bagi melanjutkan jenjang pendidikan tinggi.<ref name="trindade_lee_50"> Kemudian pada tahun 1997, Menteri Pendidikan Najib Razak mempertahankan kuota sebagaimana diperlukan dengan mengklaim bahwa hanya 5% dari semua sarjana lokal akan menjadi orang Melayu jika kuota dihapuskan.<ref>Musa, p. 182.</ref>
 
Kritik lain adalah bahwa DEB dan tindakan afirmatif lainnya telah benar-benar mengurangi kepercayaan diri orang Melayu, meskipun Mahathir berniat membangun kelas bisnis orang Melayu untuk menjadi panutan bagi orang Melayu yang miskin. Seorang wartawan Melayu berpendapat: "[Di bawah Kebijakan Ekonomi Baru ini, tidak ada bumiputra yang dapat yakin bahwa 'kemenangan' seperti yang dia terima pantas diterima sepenuhnya."<ref>Rashid, p. 99.</ref> DEB juga dikritik karena berusaha memperbaiki saham ekonomi orang Melayu secara keseluruhan, bahkan jika bagian ini dipegang oleh sejumlah kecil orang Melayu.<ref>Bennet, Abang (2005). [http://aliran.com/archives/monthly/2005b/7d.html "UMNO: A threat to national prosperity"]. Retrieved 11 November 2005.</ref> Beberapa kalangan menuduh DEB terlalu berat dalam pendekatannya terhadap tindakan afirmatif, sehingga mempertahankan DEB berarti telah menghilangkan kesempatan non-Melayu yang memenuhi syarat untuk pendidikan tinggi dan promosi pekerjaan serta memaksa banyak non-Melayu untuk berpindah sebagai gantinya.<ref>Abdullah & Pedersen, p. 56.</ref> Hal ini, dipadukan dengan kesan NEP sebagai korup dan terkait dengan ketuanan Melayu, menimbulkan "kebencian yang dalam", khususnya di antara orang Tionghoa.<ref>Branegan, Jay (20 August 1990). [http://www.time.com/time/asia/2003/mahathir/mahathir900820.html A Working Racial Bias] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20031017003326/http://www.time.com/time/asia/2003/mahathir/mahathir900820.html |date=2003-10-17 }}. ''[[TIME]]''.</ref> DEB dikritik sebagai "menempatkan orang Malaysia begitu dihormati dengan itu di atas yang lain, memberi mereka perlakuan preferensial NEP," sementara "membagi Malaysia menjadi warga negara kelas satu dan dua".<ref>Rashid, pp. 98, 135.</ref>
 
Pada tahun 1990, DEB digantikan oleh [[Kebijakan Pembangunan Nasional]] (DPN) yang melanjutkan sebagian besar kebijakan zaman DEB. Meskipun secara substansial lebih besar, pangsa ekonomi Melayu tidak mendekati sasaran 30% berdasarkan angka pemerintah. Dalam tinjauannya terhadap DEB, pemerintah menemukan bahwa meskipun ketimpangan pendapatan telah berkurang, beberapa sasaran penting yang terkait dengan kepemilikan perusahaan Melayu secara keseluruhan belum terpenuhi. Baik Mahathir maupun Abdul Rahman telah menyatakan keprihatinan bahwa orang Melayu tetap terlalu bergantung pada orang Tionghoa secara ekonomi.<ref>Maidin, pp. 252–253.</ref><ref>Putra, pp. 97–99.</ref>
 
Klaim bahwa DEB telah memperlambat pertumbuhan ekonomi ditolak; ada anggapan bahwa DEB telah berhasil mencegah kerusuhan rasial lebih lanjut yang akan lebih merugikan pertumbuhan ekonomi daripada DEB. DEB juga dibela karena telah menciptakan kelas menengah Melayu dan meningkatkan [[taraf hidup]] tanpa mengorbankan bagian ekonomi non-Bumiputra secara mutlak; statistik menunjukkan bahwa kelas menengah Cina dan India juga tumbuh di bawah DEB, meskipun tidak sebanyak orang Melayu. Tingkat kemiskinan Malaysia secara keseluruhan telah menyusut dari 50% pada saat kemerdekaan menjadi 7%. Juga dikatakan bahwa [[stereotipe rasial]] sebagian besar telah dihilangkan karena DEB berhasil menciptakan kelas atas Melayu. Meskipun banyak dari tujuan NEP yang dinyatakan kembali oleh DPN, kebijakan baru tersebut tampaknya lebih diarahkan pada retensi kekayaan dan penciptaan, dibandingkan dengan penyaluran ulang sederhana. <ref name="pedersen_53"/><ref>Ye pp. 85, 92, 94, 156.</ref><ref>Milne & Mauzy, pp. 72–74.</ref> Namun demikian, banyak dari kebijakan dari era DEB tetap dipertahankan di bawah NDP, yang berakhir pada tahun 2020.<ref>Musa, p. 113.</ref>
 
=== Bangsa Malaysia dan liberalisasi politik ===
Baris 218 ⟶ 217:
 
== Pemerintahan Abdullah ==
[[File:Abdullah badawi.jpg|frame|AfterSetelah [[Abdullah Ahmad Badawi]] succeededmenggantikan Mahathir assebagai thePerdana Prime Minister ofMenteri Malaysia, ''Ketuanan Melayu'' wasdiperkenalkan introducedke into the nationaldalam [[secondaryKurikulum schoolsekolah kedua.|kurikulum sekolah kedua]] [[curriculum]]secara nasional. ]]
Buku pelajaran sejarah sekolah menengah yang disetujui pemerintah yang diterbitkan pada tahun 2004 oleh [[Dewan Bahasa dan Pustaka]] menakrifkan ketuanan Melayu ialah:
 
Baris 239 ⟶ 238:
Pada Sidang Umum UMNO 2004, Wakil Ketua Tetap [[Badruddin Amiruldin]] membacakan buku tentang Peristiwa 13 Mei, dengan memperingatkan: "58 tahun yang lalu kita memiliki kesepakatan dengan ras lain, ketika kita mengizinkan mereka untuk menumpang di tanah ini. ... Janganlah ada ras lain yang mempertanyakan hak-hak orang Melayu di tanah ini. Jangan mempertanyakan agamanya karena ini adalah hak saya atas tanah ini." Kemudian Menteri Pendidikan Tinggi [[Shafie Salleh]] juga menyatakan di sidang bahwa warga bukan bumiputra tidak akan pernah diizinkan masuk ke Universiti Teknologi MARA (UiTM), yang hanya boleh bagi bumiputra, seraya berkata "Saya tidak akan pandang bulu dalam masalah ini."<ref name="hornets"/><ref>Noor, Farish A. (2005). ''From Majapahit to Putrajaya: Searching for Another Malaysia'', p. 241. Silver Fish Books. {{ISBN|983-3221-05-X}}.</ref>
 
Kemudian pada Sidang Umum tahun berikutnya, Menteri Pendidikan dan Ketua Pemuda UMNO [[Hishammuddin Hussein]], putra Tun Hussein Onn, mengacungkan keris seraya menyerukan restorasi DEB sebagai bagian dari Kebijakan Pembangunan Nasional (DPN) yang digagas Mahathir. Menurut Hishammuddin, keris melambangkan peran pemuda UMNO dalam memperjuangkan ras Melayu. Sementara itu, wakilnya [[Khairy Jamaluddin]], menantu Abdullah, membahas kebangkitan DEB dalam bentuk entitas terpisah yang diberi nama [[Agenda Nasional Baru]] (ANB).<ref>
Kumar, R. Surenthira & Yusop, Husna (29 July 2005). [http://sun2surf.com/article.cfm?id=10420 Rebranding the NEP] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20081208022546/http://sun2surf.com/article.cfm?id=10420 |date=8 December 2008 }} . ''The Sun''.
</ref> Hishammuddin would later describe the ''keris'' as a "unifying symbol", stating that "The young people today no longer see it as a symbol to uphold ''ketuanan Melayu''."<ref>{{cite web|url=http://www.malaysia-today.net/Blog-n/2006/08/hishammuddin-keris-is-unifying-symbol.htm|title=Hishammuddin: Keris is a unifying symbol|date=27 August 2006|work=New Straits Times|archive-url=https://web.archive.org/web/20060902012907/http://www.malaysia-today.net/Blog-n/2006/08/hishammuddin-keris-is-unifying-symbol.htm|archive-date=2006-09-02|url-status=dead}}</ref>
Baris 248 ⟶ 247:
Setahun sebelumnya, Abdullah menyebut aspek paling signifikan dari kontrak sosial adalah kesepakatan masyarakat adat untuk memberikan kewarganegaraan kepada imigran Tionghoa dan India. Meskipun Abdullah melanjutkan dengan menyatakan jati diri bangsa berubah menjadi salah satu yang warga Tionghoa dan India juga bisa sebut sebagai milik mereka,<ref>{{cite web|author=Badawi, Abdullah Ahmad|year=2004|url=http://domino.kln.gov.my/kln/statemen.nsf/0/eee39330c19514e648256e7c0009f6ee?OpenDocument|title=The Challenges of Multireligious, Multiethnic and Multicultural Societies|access-date=12 November 2005|archive-url=https://web.archive.org/web/20060225004256/http://domino.kln.gov.my/kln/statemen.nsf/0/eee39330c19514e648256e7c0009f6ee?OpenDocument|archive-date=2006-02-25|url-status=dead}}</ref> pidato tersebut sebagian besar tidak diketahui ramai orang. Akhirnya, Keng Yaik menyatakan bahwa pers Melayu telah membesar-besarkan komentarnya dan salah mengutipnya. Masalah diakhiri dengan Ketua Pemuda UMNO Hishammuddin Hussein memperingatkan masyarakat untuk tidak "mengungkit masalah lagi seperti yang telah disepakati, dihargai, dipahami dan disahkan oleh Konstitusi."<ref>[http://www.bernama.com/bernama/v3/news.php?id=150404 "Don't Raise Social Contract Issue, Umno Youth Chief Warns"]. (15 August 2005). ''[[BERNAMA]]''.</ref>
 
Pada Januari 2006, pemerintah mengumumkan kampanye kesadaran [[Rukun Negara]]. Kantor berita pemerintah Bernama mengutip pernyataan Abdul Rahman pada tahun 1986 bahwa "Orang Melayu bukan hanya penduduk asli tetapi juga penguasa negeri ini dan tidak ada yang dapat membantah fakta ini". Pasal-pasal konstitusi yang menyinggung agama resmi [[Islam]], monarki, status bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, dan hak-hak khusus Melayu digambarkan sebagai "dengan jelas mengeja pengakuan dan pengakuan bahwa orang Melayu adalah penduduk asli ' pribumi '[pribumi] dari negeri ini. " Kemudian dinyatakan bahwa penekanan baru pada Rukunegara adalah untuk mencegah pertanyaan lebih lanjut tentang kontrak sosial, yang "menentukan polaritas politik dan kedudukan sosial ekonomi orang Malaysia".<ref>Ramly, Rosliwaty (25 January 2006). [http://www.bernama.com.my/bernama/v3/news.php?id=177338 Appreciating The Rukun Negara] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070324110139/http://www.bernama.com.my/bernama/v3/news.php?id=177338 |date=24 March 2007 }} . ''[[BERNAMA]]''.</ref>
 
Diketahui kemudian bahwa survei terhadap orang Malaysia menemukan 55% responden setuju politisi harus disalahkan karena memisahkan orang dengan memainkan politik rasial. [[Mukhriz Mahathir|Mukhriz]] Mahathir—putra—putra Mahathir dan pemimpin Pemuda UMNO—membela tindakan UMNO karena kesenjangan ekonomi dengan menegaskan bahwa selalu ada orang yang memperjuangkan setiap perlombaan untuk menyamakan keadaan. [[Shahrir Abdul Samad]], ketua BN Backbenchers 'Club, berpendapat bahwa politisi hanya menanggapi sebuah negara yang terbagi ke dalam ras yang berbeda, dengan mengajukan pertanyaan, "jika Anda berbicara tentang masalah Melayu kepada komunitas Melayu, apakah itu memainkan peran ras politik?" Presiden PPP [[M. Kayveas]] menyatakan ketidaksetujuanny dengan berkata, "Setiap 12 bulan, partai kembali ke satu perlombaan untuk memperjuangkan tujuan mereka sendiri dan, pada akhirnya, ketika pemilihan umum tiba, kita berbicara tentang Bangsa Malaysia."<ref>"Racial politics. And so, who's to blame?", p. 12. (21 March 2006). ''[[New Straits Times]]''.</ref>
 
Merefleksikan iklim saling tidak percaya dan kebijakan rasialis di Singapura dan Malaysia (di Singapura, kebijakan yang diduga memihak orang Tionghoa),<ref>Rahim, Lily. The Singapore Dilemma: The Political and Educational Marginality of the Malay Community. New York: Oxford University Press, 1998, et al.</ref> [[Lee Kuan Yew]] memicu debat lain pada bulan September tentang peran keunggulan Melayu dalam politik Malaysia dengan menyatakan bahwa orang Tionghoa telah terpinggirkan secara sistematis di Malaysia dan Indonesia. Insiden diplomatik yang diakibatkan dengan penolakan marginalisasi dari politisi pemerintah Malaysia menyebabkan Lee mengeluarkan permintaan maaf atas pernyataannya yang juga berusaha untuk membenarkan mereka. Abdullah menyatakan bahwa dia tidak puas dengan apa yang dia sebut sebagai permintaan maaf yang memenuhi syarat, tetapi pemerintah Malaysia tetap menerimanya.<ref>{{cite web|author=Lau, Leslie|date=25 September 2006|url=http://www.malaysia-today.net/Blog-n/2006/09/chinese-malaysians-are-marginalised.htm|title=Chinese Malaysians are marginalised: DAP|work=Straits Times|archive-url=https://web.archive.org/web/20071013161242/http://www.malaysia-today.net/Blog-n/2006/09/chinese-malaysians-are-marginalised.htm|archive-date=2007-10-13|url-status=dead}}</ref><ref>{{cite web|author=Ahmad, Reme|date=4 October 2006|url=http://www.malaysia-today.net/Blog-n/2006/10/reply-gets-prominent-play-in-malaysian.htm|title=Reply gets prominent play in Malaysian media|work=Straits Times|archive-url=https://web.archive.org/web/20061108182932/http://www.malaysia-today.net/Blog-n/2006/10/reply-gets-prominent-play-in-malaysian.htm|archive-date=2006-11-08|url-status=dead}}</ref><ref>{{cite web|url=http://www.malaysia-today.net/Blog-n/2006/10/umno-and-mca-accept-mms-apology.htm|title=Umno and MCA accept MM's 'apology'|date=4 October 2006|work=BERNAMA|archive-url=https://web.archive.org/web/20061108174109/http://www.malaysia-today.net/Blog-n/2006/10/umno-and-mca-accept-mms-apology.htm|archive-date=2006-11-08|url-status=dead}}</ref>
Baris 256 ⟶ 255:
Bulan berikutnya, kontroversi muncul setelah Asian Strategic and Leadership Institute (ASLI) mengeluarkan laporan yang menghitung ekuitas yang dimiliki Bumiputra sebesar 45%, yang sangat berbeda dari angka resmi 18,9%, yang digunakan oleh politisi untuk membenarkan retensi atau kebangkitan NEP tersebut. Seorang analis lokal mengemukakan bahwa "Jika ekuitas Bumiputra adalah 45 persen, maka pertanyaan berikutnya adalah, mengapa perlu hak Bumiputera? Ini berimplikasi pada kebijakan pemerintah dan itu (menghilangkan hak adat) adalah satu hal yang tidak akan pernah diterima UMNO saat ini. . " Metodologi laporan tersebut dikritik karena menggunakan nilai pasar daripada nilai nominal untuk perhitungan ekuitasnya, dan membatasi ruang lingkupnya pada seribu perusahaan publik. Ini juga termasuk perusahaan yang terkait dengan pemerintah (GLC) sebagai perusahaan milik Bumiputra.<ref>Ahmad, Abdul Razak & Chow, Kum Hor (22 October 2006). "The nation's economic pie in perspective", pp. 20–21. ''New Sunday Times''.</ref> Namun, beberapa mengkritik pemerintah, menuduh bahwa nilai nominal tidak secara akurat mencerminkan nilai perusahaan yang diteliti, dan menyatakan bahwa sebagian dari ekuitas GLC harus dianggap yang dimiliki Bumiputra.<ref>Ooi, Jeff (2006). [http://www.jeffooi.com/2006/10/equity_share_is_racebased_meth.php "Equity share: Is race-based methodology relevant?"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20061108104648/http://www.jeffooi.com/2006/10/equity_share_is_racebased_meth.php |date=8 November 2006 }} . Retrieved 5 November 2006.</ref> Laporan tersebut kemudian ditarik, tetapi kontroversi berlanjut setelah outlet media independen mengutip sebuah studi yang mengikuti metodologi pemerintah yang mengindikasikan ekuitas Bumiputra telah melewati angka 30% pada tahun 1997.<ref>Beh, Lih Yi (1 November 2006). [http://www.malaysiakini.com/news/58885 Bumi equity hit NEP target 10 years ago]. ''Malaysiakini''.</ref>
 
AtPada the Johorkonvensi UMNO conventionJohor thatbulan sameyang monthsama, Johor Menteri Besar (Chief Minister),Johor [[Abdul Ghani Othman]], criticisedmengkritik thekebijakan ''Bangsa Malaysia'' anddan "meritocracy" policiesmeritokrasi. Ghani describedmenggambarkan ''Bangsa Malaysia'' assebagai aancaman threatbagi toorang theMelayu Malaysdan andposisi theirKonstitusional Constitutional positionmereka, suggestingmenunjukkan ithal coulditu dapat "threatenmengancam nationalstabilitas stabilitynasional" as welljuga. Ghani insistedbersikeras thatbahwa thekebijakan policytersebut "bediterapkan applieddalam in the contextkonteks ... withdengan theorang MalaysMelayu assebagai theras pivotal raceterpenting", anddan describedmenggambarkan meritocracymeritokrasi as asebagai "form ofbentuk discriminationdiskriminasi anddan oppressionpenindasan" becausekarena ruralpelajar MalayMelayu studentspedesaan couldtidak notdapat competebersaing withdengan theirsiswa urbanperkotaan counterpartsmereka.<ref>{{cite web|authors=Nambiar,Dalam Ravikontroversi &yang Nadzmi,timbul Sititentang Nurbaiyah|date=6pernyataannya, Novemberbeberapa 2006|url=http://malaysia-today.net/blog2006/newsncom.php?itemid=539|title=Ghani: Bangsa Malaysia is rojak and unacceptable|page=10|work=New Straits Times|archive-url=https://web.archive.org/web/20071013161427/http://malaysia-today.net/blog2006/newsncom.php?itemid=539|archive-date=2007-10-13|url-status=dead}}</ref> In the resulting controversy about his remarks, severalmenteri federal ministers criticisedmengkritik Ghani, withdengan onesatu sayingmengatakan thatbahwa ''Bangsa Malaysia'' "hastidak nothingada tohubungannya dodengan withsatu oneras raceyang givendiberi aperan pivotalpenting roleatas overyang otherslain", anddan anotheryang arguinglain thatberpendapat bahwa "ItItu doestidak notmelanggar impinge on the rights ofhak-hak Bumiputeras. oratau otherkomunitas communitieslain."<ref>"'Rejection of concept affects integration efforts'", p. 7. (7 November 2006). ''New Straits Times''.</ref> Ghani stoodmendukung by his commentskomentarnya, declaringmenyatakan thatbahwa thependukung proponents of ''Bangsa Malaysia'' werejuga alsomendukung" advocatingMalaysia aMalaysia "[[Malaysian Malaysia]]", asseperti yang dilakukan Lee Kuan Yew had, even though meskipun"the governmentpemerintah hastelah rejectedmenolaknya itsejak fromawal. the start." Najib, theWakil DeputyPerdana Prime MinisterMenteri, suggestedmenyarankan thatbahwa anysegala effortupaya tountuk definemendefinisikan ''Bangsa Malaysia'' politicallysecara wouldpolitis betidak fruitlessakan membuahkan hasil, anddan askarena suchitu theperdebatan debatetidak was unnecessaryperlu; heia alsojuga insistedmenegaskan thatbahwa "ItTidak doesmempersoalkan nothak-hak questionkhusus theorang special rights of the MalaysMelayu, ourkuota quota or anything ofkami thatatau sortsemacamnya."<ref>Nambiar, Ravi & Nadzmi, Siti Nurbaiyah (7 November 2006). "No Bangsa Malaysia in Constitution, says Najib", p. 6. ''New Straits Times''.</ref><ref>Tan, Marsha, Teh, Eng Hock, Vijayan, Meera & Zolkepli, Farik (7 November 2006). [http://www.thestar.com.my/news/story.asp?file=/2006/11/7/nation/15939803&sec=nation&focus=1 Bangsa Malaysia in mind] {{webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070325115212/http://www.thestar.com.my/news/story.asp?file=%2F2006%2F11%2F7%2Fnation%2F15939803&sec=nation&focus=1 |date=25 March 2007 }}. ''The Star''.</ref> The UMNO Annual General Assembly that year was the first to be televised in full; it became a subject of controversy when delegates such as [[Hashim Suboh]] made speeches utilising heavy racial rhetoric; Hishammuddin, who had brandished the ''kris'' again, was asked by Hashim when he would "use it". After the assembly, Hishammuddin insisted that the ''kris'' was not a symbol of Malay supremacy.<ref>{{cite web|author=Tan, Joceline|date=26 November 2006|url=http://malaysia-today.net/blog2006/newsncom.php?itemid=985|title=Hisham: The keris is here to stay|work=Malaysia Today|archive-url=https://web.archive.org/web/20071014171600/http://malaysia-today.net/blog2006/newsncom.php?itemid=985|archive-date=2007-10-14|url-status=dead}}</ref>
 
=== Permasalahan politik ===
Pada pemilihan umum 2008, BN kembali berkuasa untuk pertama kalinya tanpa mayoritas mutlak di Dewan Rakyat, yang berarti BN tidak bisa lagi mengesahkan amendemen konstitusi tanpa dukungan partai oposisi. Hasil pemilu secara luas dipandang sebagai cerminan ketidakpuasan tentang keadaan ekonomi negara dan meningkatnya ketegangan etnis di dalam negeri; tiga partai oposisi utama telah berkampanye pada platform yang mengutuk NEP dan tanggapan pemerintah terhadap kesenjangan ekonomi yang semakin lebar. Sebulan setelahnya, Putra Mahkota Kelantan Tengku Faris Petra mengatakan dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Front Aksi Persatuan Melayu yang baru dibentuk bahwa sejak orang Melayu menyerah pada pemberian kewarganegaraan non-Melayu, yang terakhir tidak boleh mencari persamaan atau perlakuan khusus.<ref>{{Cite news| first=Andrew | last=Ong | title=Tengku Faris: Non-Malays should not seek equality | date=12 April 2008 | publisher=[[Malaysiakini]] | url=http://www.malaysiakini.com/news/81279 | work=Malaysiakini | access-date=13 April 2008 }}</ref> Dalam pidatonya, pangeran juga menyerukan persatuan Melayu untuk memastikan bahwa kedaulatan dan supremasi Melayu tetap terjaga.<ref>{{Cite news|title=TENGKU MAHKOTA OF KELANTAN CALLS FOR MALAY UNITY |date=13 April 2008 |publisher=Yahoo! Malaysia News |url=http://malaysia.news.yahoo.com/bnm/20080412/tts-malays-unity-bm-993ba14_1.html |work=Bernama |access-date=13 April 2008 }}{{dead link|date=June 2016|bot=medic}}{{cbignore|bot=medic}}</ref>
 
Anwar Ibrahim, mantan Wakil Presiden UMNO dan mantan Wakil Perdana Menteri, yang Parti Keadilan Rakyatnya menjadi partai terbesar kedua di Parlemen setelah pemilu, dan pemimpin de facto dari koalisi oposisi Pakatan Rakyat, memilih untuk menolak ketuanan Melayu demi "ketuanan rakyat" (supremasi rakyat). Merayakan berakhirnya larangan lima tahun dari aktivitas politik pada 15 April 2008, ia mengatakan kepada wartawan: "Kami di sini untuk melawan kampanye propaganda besar-besaran oleh para pemimpin Umno, yang berbicara tentang supremasi Melayu. Dan memberikan jawaban pasti yang jelas sebagai jawaban atas ini, untuk mengatakan bahwa apa yang kita inginkan, apa yang kita inginkan adalah Malaysia baru, adalah supremasi bagi semua orang Malaysia. "<ref>{{Cite news | first=Azreen | last=Madzlan | title=Kampung Baru hails 'Ketuanan Rakyat' | date=15 April 2008 | url=http://malaysiakini.com/news/81390 | work=Malaysiakini | access-date=15 April 2008 | archive-url=https://web.archive.org/web/20080420040914/http://www.malaysiakini.com./news/81390 | archive-date=20 April 2008 | url-status=dead | df=dmy-all }}</ref> Seminggu kemudian, istrinya Wan Azizah Wan Ismail, presiden PKR, mengatakan kepada pers bahwa" kita harus tidak terus-menerus berbicara tentang supremasi Melayu atau meminggirkan ras tertentu, yang tidak ingin dilihat orang, "malah mendorong adopsi ketuanan rakyat.<ref>{{Cite news|first=See Hoh` |last=Kong |title=PKR to champion for 'Ketuanan Rakyat' |date=24 April 2008 |url=http://www.sun2surf.com/article.cfm?id=21746 |work=The Sun |access-date=24 April 2008 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20081208022550/http://www.sun2surf.com/article.cfm?id=21746 |archive-date= 8 December 2008 |df=dmy }}</ref>
 
Tak lama kemudian, Hishammuddin sendiri meminta maaf atas pengangkatan kerisnya di tiga majelis umum tahunan UMNO sebelumnya, sambil mengatakan bahwa ia menyesal "jika itu menimpa orang non-Melayu". Dia menolak berkomentar apakah dia akan mengulangi tindakan itu di masa depan.<ref>{{Cite news | first=Kok Leong | last=Chan | title=Hisham apologises for keris act | date=25 April 2008 | url=http://malaysiakini.com/news/81956 | work=Malaysiakini | access-date=29 April 2008 | archive-url=https://web.archive.org/web/20080516085007/http://malaysiakini.com/news/81956 | archive-date=16 May 2008 | url-status=dead | df=dmy-all }}</ref> Permintaan maaf bersyaratnya mendapat kritik pedas dari dalam UMNO; Salah satu outlet media menggambarkan reaksi tersebut sebagai berikut: "Sentimen di antara banyak orang di partai ini adalah bahwa orang Tionghoa dan India mengkhianati BN ketika mereka memilih Pakatan Rakyat. Ada sakit hati. Ada kemarahan. Jadi mengapa Hishammuddin harus terlalu khawatir tentang apa orang non-Melayu memikirkan aksi keris? " Banyak yang merasa bahwa permintaan maaf itu sendiri mengancam ketuanan Melayu.<ref>{{Cite news|title=Keris apology fans unrest in divided Umno |date=28 April 2008 |url=http://www.themalaysianinsider.com/malaysia/article/Keris-apology-fans-unrest-in-divided-Umno/ |work=The Malaysian Insider |access-date=29 April 2008 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20130603065331/http://www.themalaysianinsider.com/malaysia/article/Keris-apology-fans-unrest-in-divided-Umno/ |archive-date=3 June 2013 |df=dmy }}</ref> Abdullah menyambut baik permintaan maaf tersebut, dengan mengatakan itu berani dan "menjelaskan kepada orang non-Melayu peran penting keris dalam komunitas Melayu".<ref>{{Cite news|title=Keris apology fans unrest in divided Umno Let's put keris issue to rest, says PM |date=29 April 2008 |url=http://www.themalaysianinsider.com/litee/malaysia/article/Lets-put-keris-issue-to-rest-says-PM/ |work=The Malaysian Insider |access-date=29 April 2008 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20130603041808/http://www.themalaysianinsider.com/litee/malaysia/article/Lets-put-keris-issue-to-rest-says-PM/ |archive-date=3 June 2013 |df=dmy }}</ref> Menanggapi pertanyaan tentang berkurangnya supremasi Melayu pasca pemilu, ia mengatakan bahwa ini lebih pada paritas bagi komunitas Bumiputra, menolak gagasan dominasi politik:
 
{{blockquote|So when we talk about (Malay supremacy), we mean we must be successful in many fields. It is never about ruling over others, or forcing our power upon them... We are not going to be a race that dominates others. We want to be a party that represents the Malays and that is ready to co-operate for the future of Malays and the people, as Malays will also succeed when all Malaysians are successful. ... That is Malay supremacy and I hope people will understand it.<ref>{{Cite news|first=Jane |last=Ritikos |author2=Manjit Kaur |title=Pak Lah explains meaning of 'ketuanan Melayu' |date=29 April 2008 |url=http://thestar.com.my/news/story.asp?file=/2008/4/29/nation/21094851&sec=nation |work=The Star |access-date=30 April 2008 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20080501051023/http://thestar.com.my/news/story.asp?file=%2F2008%2F4%2F29%2Fnation%2F21094851&sec=nation |archive-date= 1 May 2008 |df=dmy }}</ref>}}
 
Shortly thereafter, Information Minister [[Ahmad Shabery Cheek]] insisted that ''ketuanan Melayu'' did not imply a master-slave relationship in any sense between the Malays and non-Malays. Instead, he suggested, it referred to the institution of the Malay monarchs, who had once been the "masters", but gave up their primacy when the Federal Constitution was adopted at independence. Shabery cited Article 182 of the Constitution, which grants the royalty certain legal immunities, as an example of Malay supremacy.<ref>{{Cite news|title=Don't bring politics into Malay supremacy issue, says Ahmad Shabery |date=9 May 2008 |url=http://www.themalaysianinsider.com/litee/malaysia/article/Dont-bring-politics-into-Malay-supremacy-issue-says-Ahmad-Shabery/ |work=The Malaysian Insider |access-date=10 May 2008 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20130603050822/http://www.themalaysianinsider.com/litee/malaysia/article/Dont-bring-politics-into-Malay-supremacy-issue-says-Ahmad-Shabery/ |archive-date=3 June 2013 |df=dmy }}</ref> However, some prominent members of the royalty such as the [[Raja of Perlis]] and former [[Yang di-Pertuan Agong]] [[Tuanku Syed Sirajuddin Putra Syed Jamalullail]] have themselves been critical of ''ketuanan Melayu''; in early 2009, the Raja stated that "In Malaysia, every race is ''tuan'' [master]... I believe that if everyone understands that every individual of any race, should not be deprived of their rights, then the efforts of certain parties who think that the supremacy or rights should only be given to a particular race can be stopped."<ref>{{Cite news | title=Equal rights for all Malaysians, says Perlis ruler | date=6 March 2009 | url=http://www.malaysia-today.net/equal-rights-for-all-malaysians-says-perlis-ruler/ | work=New Straits Times | access-date=6 March 2009 | archive-date=2016-03-04 | archive-url=https://web.archive.org/web/20160304051647/http://www.malaysia-today.net/equal-rights-for-all-malaysians-says-perlis-ruler/ | dead-url=yes }}</ref>
 
In late 2009, the Cabinet decided to change the curriculum of [[Biro Tata Negara]] (National Civics Bureau, or BTN) programmes, which are mandatory for public servants and students studying on public funds. Many, especially politicians from Pakatan Rakyat, had previously criticised BTN programmes as propaganda for ''ketuanan Melayu''; citing this, the [[Selangor]] state government banned its civil servants and students from attending BTN courses.<ref name='nazri dr m'>{{Cite news|first=Asrul Hadi |last=Abdullah Sani |title=Nazri calls Dr M a racist for defending BTN |date=7 December 2009 |url=http://www.themalaysianinsider.com/index.php/malaysia/45724-nazri-calls-dr-m-a-racist-for-defending-btn |work=The Malaysian Insider |access-date=7 December 2009 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20091212223732/http://www.themalaysianinsider.com/index.php/malaysia/45724-nazri-calls-dr-m-a-racist-for-defending-btn |archive-date=12 December 2009 |df=dmy }}</ref> Some Ministers and former Prime Minister Mahathir defended BTN as necessary to imbue participants with the values of discipline and honesty, denying they had anything to do with ''ketuanan Melayu''.<ref>{{Cite news|first=Shazwan |last=Mustafa Kamal |title=Dr M says criticisms against BTN an 'exaggeration' |date=7 December 2009 |url=http://www.themalaysianinsider.com/index.php/malaysia/45729-dr-m-says-criticisms-against-btn-an-exaggeration- |work=The Malaysian Insider |access-date=7 December 2009 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20091212223735/http://www.themalaysianinsider.com/index.php/malaysia/45729-dr-m-says-criticisms-against-btn-an-exaggeration- |archive-date=12 December 2009 |df=dmy }}</ref> Minister in the Prime Minister's Department [[Nazri Aziz]] insisted the Cabinet was right to demand a change in BTN, calling Mahathir a racist and saying:
 
{{blockquote|They all know what the syllabus is all about so who are we to say that it did not happen? You want to lie? You make people laugh. I mean there are people who attended the courses who came out very angry. There were many instances of the use of words like ''ketuanan Melayu''. It is ridiculous...<ref name='nazri dr m'/>}}
 
== Pemerintahan Najib ==
[[Berkas:Dato Sri Mohd Najib Tun Razak.JPG|ka|jmpl|150px|Najib Razak]]
Terdapat perubahan mendasar yang lebih terbuka semasa pemerintahan [[Najib Razak]] Setelah ia memegang tampuk pemerintahan, ia memperkenalkan gagasan [[1Malaysia]] yang diklaim memupuk perpaduan rakyat di antara kaum. Ketua Pemuda UMNO [[Khairy Jamaluddin]] mengusulkan supaya perkataan "ketuanan Melayu" digantikan dengan "kepimpinan Melayu".<ref>http://www.malaysiakini.com/news/150526 Bolehkah ketuanan Melayu dan 1Malaysia bersama?</ref> Ia juga menafikan [[Biro Tatanegara]] sebagai badan yang mempromosikan ketuanan Melayu.<ref>http://www.utusan.com.my/berita/nasional/najib-nafi-dakwaan-btn-perjuangkan-ketuanan-melayu-1.114579 {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20151117023445/http://www.utusan.com.my/berita/nasional/najib-nafi-dakwaan-btn-perjuangkan-ketuanan-melayu-1.114579 |date=2015-11-17 }} Najib nafi dakwaan BTN perjuangkan ketuanan Melayu</ref>Pada tahun 2015, Himpunan Maruah Melayu telah diadakan pada [[Hari Malaysia]] untuk menyokong aspek ketuananan Melayu yang "diancam" oleh [[Perhimpunan Bersih 2015]].
 
== Pemerintahan Mahathir kedua ==
[[Berkas:Pakatan Harapan Logo.svg|ka|jmpl|200px|Logo Pakatan Harapan]]
Walau [[Mahathir Mohamad]] kembali menjadi perdana menteri untuk kedua kalinya, tetapi kali ini ia mewakili koalisi [[Pakatan Harapan]] yang beranggotakan partai-partai yang belum pernah memegang tampuk kekuasaan federal. Beberapa bulan sejak Pakatan Harapan memerintah, Mahathir menyebut bahwa pemerintah akan meratifikasi ICERD di Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Usulan itu mendapat kecaman dari UMNO dan PAS. Khairy Jamaluddin dari UMNO menyebutkan kegagalan Pakatan Harapan dalam menyampaikan usulan itu terhadap kalangan rakyat, sehingga menimbulkan penolakan.<ref>{{cite news|url=https://www.malaysiakini.com/news/469343|title=Khairy: PH gagal interaksi dengan rakyat isu Icerd|website=Malaysiakini|date=24 Maret 2019|accessdate=24 Maret 2019}}</ref>
 
Pengamat sosial politik Mohd. Ayop Abd. Razid yang menulis untuk ''[[Berita Harian]]'' menyebut ketuanan Melayu tidak hilang di bawah pemerintah Pakatan Harapan, tidak seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Ia menyebutkan ketuanan Melayu tidak hilang di Kelantan, Terengganu, Selangor, Kedah, dan Perak hanya gara-gara mayoritas orang Melayu yang tinggal di sana tidak memilih UMNO.<ref>{{cite newspaper|last=Abd. Razid|first=Mohd. Ayop|url=https://www.pressreader.com/malaysia/berita-harian-malaysia/20181119/281616716406840|title=Sejarah buktikan kebenaran konsep ketuanan Melayu|newspaper=Berita Harian|date=19 November 2018|via=Pressreader}}</ref>