Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: halaman dengan galat kutipan VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baginda 480 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: halaman dengan galat kutipan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(6 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 15:
[[Suku Melayu]] yang menjadi mayoritas [[demografi Malaysia|penduduk Malaysia]] sebesar 50,4% adalah kelompok etnis [[suku bangsa Austronesia]] yang sebagian besar mendiami [[Semenanjung Malaya]], meliputi wilayah [[Thailand Selatan|paling selatan Thailand]], pantai timur [[Sumatra]], pantai [[Kalimantan]], dan pulau-pulau kecil yang terletak di antara tempat-tempat ini. Asal usul etnis Melayu yang sebenarnya masih menjadi subjek kajian di kalangan sejarawan, antropolog, dan ahli bahasa. Sebuah teori populer menyatakan bahwa orang yang menggunakan [[rumpun bahasa Austronesia]] pertama kali tiba di [[Asia Tenggara Maritim]] antara 2500 SM dan 1500 SM sebagai bagian dari perluasan wilayah Austronesia dari [[Taiwan]] ke [[Asia Tenggara]].<ref>{{Cite book|title=A History of Malaysia and Singapore|pages=4 & 5|author=Neil Joseph Ryan|isbn=0-19-580302-7|year= 1976|publisher=Oxford University Press| location=London}}</ref> Namun, studi genetik yang dilakukan oleh HUGO ([[Organisasi Genom Manusia]]) yang melibatkan hampir 2 ribu orang di seluruh Asia menunjukkan teori lain tentang pola migrasi Asia. Temuan HUGO mendukung hipotesis bahwa Asia dihuni terutama melalui peristiwa migrasi tunggal dari selatan dan bahwa kawasan Asia Tenggara dihuni pertama kali yang mengandung paling banyak keanekaragaman, kemudian berlanjut perlahan ke Utara dengan keragamannya hilang.<ref>{{cite news| url=http://news.bbc.co.uk/2/hi/8406506.stm |work=BBC News | title=Genetic 'map' of Asia's diversity | date=11 December 2009}}</ref>
 
Pengaruh [[Hindu]] dan [[Buddha]] terjadi melalui kontak perdagangan dengan [[anak benua India]]. Negeri-negeri Melayu kono bangkit pada awal milenium pertama di wilayah pesisir Semenanjung Malaysia, terutama [[Chi Tu|Kerajaan Tanah Merah]] (abad ke-1), [[Gangga Negara]] (abad ke-2), [[Langkasuka]] (abad ke-2), [[Lembah Bujang|Kedah]] (abad ke-2), dan [[Kerajaan Pahang Tua|Pahang]] (abad ke-5). Antara abad ke-7 dan ke-13, banyak dari negara-negara perdagangan maritim semenanjung yang kecil dan sering kali makmur ini menjadi bagian dari [[Kerajaan Sriwijaya]],<ref>{{Cite web|url=http://www.sabrizain.org/malaya/early.htm |title=Early Malay kingdoms |publisher=Sabrizain.org |access-date=21 June 2010}}</ref> sebuah kerajaan Melayu yang berpusat di [[Palembang]] dan [[Kedah|Kadaram]].<ref>{{cite book |last=Munoz|first=Paul Michel|title=Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula|url=https://archive.org/details/earlykingdomsofi0000muno|publisher=Editions Didier Millet|year=2006|location=Singapore|page=[https://archive.org/details/earlykingdomsofi0000muno/page/171 171]|isbn= 981-4155-67-5}}</ref><ref>{{cite book |last=Muljana|first=Slamet|author-link=Slamet Muljana|title= Sriwijaya|url=https://archive.org/details/Sriwijaya|editor= F.W. Stapel|publisher=PT. LKiS Pelangi Aksara|year=2006 |isbn=978-979-8451-62-1 }}</ref>
 
Pada abad ke-15, [[Kesultanan Melaka]] yang memiliki pengaruh di sebagian besar kepulauan Melayu barat telah menjadi pusat [[pengislaman]] di timur. Tradisi Melaka diteruskan dan dipupuk wiracarita identitas Melayu dengan kuat.<ref name="T. N Harper page 15">{{Cite book|title=The End of Empire and the Making of Malaya|page=15|author=T. N. Harper |isbn=978-0-521-59040-2|year= 2001|publisher=Cambridge University Press|location=UK}}</ref><ref>{{Cite book|title=New terrains in Southeast Asian history|page=15|author=Abu Talib Ahmad, Liok Ee Tan |isbn=9971-69-269-4|year= 2003|publisher=Ohio University press|location=Singapore}}</ref> Sejak zaman ini, keyakinan Islam diidentikkan dengan masyarakat Melayu dan memainkan peran penting dalam menakrifkan [[kemelayuan|identitas Melayu]].<ref name="Barbara Watson Andaya, Leonard Y. Andaya page 55">{{Cite book|title=A History of Malaysia|page=55|author=Barbara Watson Andaya, Leonard Y. Andaya |isbn=0-333-27672-8|year= 1984|publisher=Palgrave Macmillan|location=Lonndon}}</ref><ref>{{Cite book|title=Contesting Malayness: Malay identity across boundaries|page=7|author=Timothy P. Barnar |isbn=9971-69-279-1|year= 2004|publisher=Singapore University press|location=Singapore}}</ref><ref>{{Cite book|title=Malaysia: Transformasi dan perubahan sosial|page=16|author=Mohd Fauzi Yaacob |isbn=978-967-3-23132-4|year= 2009|publisher=Arah Pendidikan Sdn Bhd|location=Malaysia}}</ref>
Baris 26:
Kebijakan kependidikan Britania kemudian mensegregasi kaum-kaum yang satu dengan yang lain. Britania memberikan pendidikan yang minim bagi kaum Melayu, sedangkan kaum non-Melayu dibiarkan sendiri. Kaum Melayu yang umumnya tinggal di pedesaan tidak dianjurkan bersosialisasi dengan kaum non-Melayu perkotaan.<ref>Hwang, pp. 30–31.</ref> Kondisi ekonomi Melayu yang miskin dibandingkan dengan kaum Tionghoa yang lebih baik juga membakar sentimen rasial ini.
 
Faktor lain yang mencuatkan ketuanan Melayu adalah pendudukan [[Jepang]] di Malaya semasa Perang Dunia II. Perang Dunia ini "membangkitkan kesadaran politik di antara warga Malaya dengan mengintensifkan komunalisme dan kebencian rasial". Kebijakan Jepang atas "politisasi kaum petani Melayu" secara sengaja membakar nasionalisme Melayu. Dua sejarahwan Melayu menulis bahwa "Perlakuan tidak ramah yang diberikan Jepang kepada kaum Tionghoa dan perlakuan sebaliknya yang diberikan kepada kaum Melayu membantu kaum Tionghoa merasakan identitasnya yang terkucil secara lebih tajam..." Salah satu komentator asing juga menyatakan "Semasa periode pendudukan ... sentimen nasional Melayu telah menjadi kenyataan; sentimen ini sangatlah anti-Tionghoa dan dalam unjuk rasa diserukan 'Malaya untuk orang Melayu'..."<ref>Hwang, pp. 34–35.</ref>
 
== Prakemerdekaan ==
Baris 103:
Lee kemudian berkeluh: "Malaysia — kepada siapa ia berpunya? Kepada bangsa Malaysia. Namun siapakah bangsa Malaysia? Saya berharap saya adalah bangsa Malaysia, Tuan Pembicara. Namun kadang-kadang, duduk di ruangan ini, saya ragu apakah saya diizinkan menjadi bangsa Malaysia. Keraguan inilah yang menyangkut di pikiran saya, dan ... [seketika] emosi dilepaskan, dan manusia dengan manusia saling berseberangan dibatasi oleh garis tak terucapkan ini, anda akan mempunyai sejenis peperangan yang akan memecah belah negara ini dari atas ke bawah dan menghancurkan Malaysia."<ref>Keith, pp. 115–116.</ref> Kadang-kadang, Lee memperparah situasi dengan membuat komentar-komentar rasial. Banyak pidato-pidatonya yang terus mendengung-dengungkan komposisi etnis Malaysia, mengingatkan kepada para pendengar bahwa kaum non-Melayu yang sekarang telah menjadi mayoritas, dengan 61% populasi berbanding 39% Melayu, "Mengapa kita harus kembali ke Singapura yang dulu dan sekali lagi menurunkan derajat non-Melayu di Malaya menjadi minoritas?"<ref>Sopiee, p. 204.</ref> Lee memperparah hubungan PAP-UMNO dengan secara konstan menuntut pemerintah federal memerangi kelompok [[Ultra (Malaysia|ultra]] yang banyak menduduki jabatan penting UMNO seperti [[Syed Jaafar Albar]] dan [[Syed Nasir Ismail]].<ref>Sopiee, p. 194.</ref><ref>Keith, p. 118.</ref>
 
Pernyataan-pernyataan Lee mengundang kemarahan banyak pihak, utamanya politikus-politikus Perikatan. Tan Siew Sin menyebut Lee "Kekuatan perusak terbesar dalam seluruh sejarah Malaysia dan Malaya."<ref>[http://ourstory.asia1.com.sg/merger/headline/mimposib.html "'Impossible to co-operate with Singapore while Lee is Premier'"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20050310003615/http://ourstory.asia1.com.sg/merger/headline/mimposib.html |date=2005-03-10 }}. (2 June 1965). ''[[Straits Times]]''.</ref> Tunku Abdul Rahman menganggap Lee terlalu ekstremis dalam pandangannya, manakala politikus-politikus UMNO berpendapat bahwa Lee hanyalah berusaha menarik dukungan kaum Tionghoa Malaysia dengan retorikanya.<ref>Khaw, Ambrose (1998). [http://ourstory.asia1.com.sg/merger/lifeline/akimpos.html "This man is making too much noise"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20060522214050/http://ourstory.asia1.com.sg/merger/lifeline/akimpos.html |date=2006-05-22 }}. Retrieved 11 November 2005.</ref> Pernyataan Lee mengenai migrasi Melayu mendapatkan bantahan keras. Albar menyerukan: "Mengatakan bahwa orang Melayu berada dalam kategori yang sama dengan ras lain adalah sebuah hinaan..." [[Koran|Surat kabar]] UMNO ''Malaya Merdeka'' memperingatkan: "Jika kaum Melayu ditekan dengan keras dan kepentingannya tidak dilindungi," kaum Melayu akan menggabungkan Malaysia dengan [[Indonesia]].<ref>Keith, p. 124.</ref> Adalah hal ini yang Tunku Abdul Rahman takuti. Baginya, golongan ultra bukanlah ekstremis sebenarnya. Adalah orang-orang yang menginginkan terbentuknya "Indonesia Raya" untuk menekan populasi Tionghoalah yang dia anggap sebagai ancaman utama.<ref>Keith, pp. 66–67.</ref>
 
Hubungan antar kaum yang buruk berakhir pada [[kerusuhan rasial 1964 Singapura]],<ref name="spark"/> yang secara tidak langsung oleh politikus Melayu PAP [[Othman Wok]] tuduh telah direncanakan oleh kelompok Ultra.<ref>Veloo, Ravi (Jan. 25, 1997). [http://ourstory.asia1.com.sg/independence/ref/race.html "Othman Wok on race relations"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150502022606/http://ourstory.asia1.com.sg/independence/ref/race.html |date=2015-05-02 }}. ''Straits Times''.</ref> Ketegangan antar kaum terus bertambah tahun-tahun setelah kerusuhan itu. Deklarasi Syed Jaafar Albar "Di mana pun saya berada, saya adalah seorang Melayu" mendapatkan tanggapan keras dari Lee Kuan Yew yang menyatakan dalam Parlemen: "Jika saya telah berpindah dan mengatakan apa yang [dia] telah katakan (''Di mana pun saya berada, saya adalah seorang Tionghoa''), di manakah kita ini? Tetapi saya terus mengingatkan orang-orang bahwa saya adalah seorang Malaysia. Saya belajar "Bahasa Kebangsaan" (''Bahasa Melayu'') dan saya menerima Pasal 153 Konstitusi."<ref>Keith, p. 128.</ref>
Baris 125:
=== Insiden 13 Mei ===
{{main|Insiden 13 Mei}}
Pada tahun 1969, Pemilihan Umum Malaysia diadakan. Pemilihan umum ini adalah pemilihan pertama yang diikuti oleh partai-partai oposisi non-Melayu secara besar-besaran, selain pada pemilihan tahun 1964 yang diikuti PAP dari Singapura. Dua partai oposisi utama adalah [[Partai Aksi Demokratik]] (''Democratic Action Party'', DAP) yang merupakan lanjutan dari partai PAP dan [[Partai Gerakan Rakyat Malaysia]] (Gerakan) yang merupakan partai multirasial pimpinan [[Lim Chong Eu]], dan intelektual kelas menengah lainnya seperti [[Tan Chee Khoon]] dan [[Syed Hussein Alatas]]. Kedua partai tersebut mengajukan proposal kebijakan mengenai bahasa, pendidikan, dan hak-hak Melayu yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah. DAP terus berkampanye "Malaysian Malaysia" setelah Singapura pimpinan Lee Kuan Yew memisahkan dari Malaysia. Beberapa politkuspolitikus dari DAP utamanya menyerukan pengangkatan [[bahasa Inggris]], [[bahasa Mandarin]], dan [[bahasa Tamil]] sebagai bahasa nasional bersama-sama dengan bahasa Melayu. Dukungan pemerintah yang lebih kuat terhadap pendidikan kaum Tionghoa juga dituntut.<ref>Hwang, p. 74, 89.</ref>
 
[[Berkas:Gerakan celebrate after 1969 election.jpg|jmpl|[[Partai Gerakan Rakyat Malaysia|Gerakan]], yang dimpimpin oleh [[Lim Chong Eu]] dan [[Syed Hussein Alatas]], memenangi beberapa kursi dalam Parlemen Malaysia pada pemilu tahun 1969.]]
Baris 166:
Untuk menjaga semua hal ini, amendemen pasal-pasal yang menyentuh "isu-isu sensitif" seperti di atas beserta klausa-klausa yang mengatur undang-undang amendemen dilarang dibahas oleh parlemen tanpa persetujuan [[Majlis Raja-Raja]]. Langkah ini membuat pasal-pasal "sensitif" tersebut dikukuhkan (tak dapat diubah) dan mendapat kritik dari anggota-anggota parlemen dari pihak oposisi. Tidaklah jelas pula apakah larangan pembahasan "isu-isu sensitif" ini juga berlaku bagi larangan itu sendiri. Walau demikian, undang-undang ini tetap disahkan.<ref name="khoo_104"/> [[Undang-Undang Keselamatan Dalam Negeri]] (''Akta Keselamatan Dalam Negeri'') yang memberikan pemerintah kuasa untuk menangkap siapapun yang dianggap membahayakan keselamatan nasional untuk periode waktu tak terbatas tanpa kaji ulang hukum juga diamendemen pada tahun 1971 dengan menekankan pada "pemeliharaan keharmoninisan antarkaum".<ref>Khoo, p. 107.</ref>
 
Perubahan-perubahan ini mendapatkan penentangan yang keras dan pihak oposisi dan luar negeri. Ketika rancangan perubahan pertama diumumkan, Britania menuduh bahwa perubahan ini akan "mempertahankan [[sistem feodal]] yang mendominasi masyarakat Melayu" dengan "memberikan lembaga [[Kerajaan konstitusional|monarki konstitusional]] ini kuasa pemblokiran yang besar". Penyensoran isu-isu sensitif ini dicap bertolak belakang dengan seruan Tun Abdul Razak yang menyerukan "realisasi penuh masalah-masalah yang sensitif tidak boleh lagi disembunyikan dalam karpet..."<ref>Emery, Fred (Nov. 8, 1969). "Malaysia unity call against a background of fear", p. 7. ''[[The Times]]''.</ref> Beberapa kritikus berargumen bahwa Pasal 153 tidaklah lebih dari sebuah "mangkuk nasi kertas" dan bahkan tidak memberikan [[Orang Asli]] dan suku-suku aborigin lainnya hak-hak khusus Melayu.<ref>Hickling, pp. 74–75.</ref>
 
Perbuahan kebijakan penting lainnya berkaitan dengan bidang pendidikan. Pada tahun 1970, pemerintah Malaysia menentukan bahwa bahasa Melayu menggantikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi. Walaupun pembiayaan pemerintah atas pendidikan kaum Tionghoa dan Tamil terus berlanjut, banyak kaum non-Melayu yang menganggap kebijakan baru ini sebagai yang "paling diskriminatif". Alasan pemerintah adalah perubahan ini akan memberikan kaum Melayu peluang mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan akan menyatukan para siswa-siswa sekolah dan memelihara keharmonisan antar kaum serta secara tidak langsung menekankan "kemelayuan negara Malaysia".<ref name="hwang_113"/>
Baris 175:
Model Partai Perikatan yang lama, di mana tiap-tiap kaum diwakili oleh satu partai ditinggalkan dengan pembentukan [[Barisan Nasional]] (BN) pada tahun 1974. Beberapa partai oposisi sebelumnya, meliputi Gerakan, PPP, dan PAS, bergabung ke dalam BN yang dipimpin UMNO. Walaupun MCA dan MIC disertakan dalam BN, pengaruh kedua partai ini menurun dikarenakan partisipasi partai-partai non-Melayu lainnya dalam koalisi. Pada tahun 1977, PAS dikeluarkan dari koalisi dan UMNO menjadi satu-satunya perwakilan partai Melayu di BN, walaupun terdapat partai-partai non-Melayu yang juga mewakili kepentingan Melayu.<ref>Hwang, pp. 115, 117.</ref> Setelah pengeluaran PAS, PAS melakukan pendekatan yang berbeda atas hak khusus Melayu, mengutuk Kebijakan Ekonomi Baru mendiskriminasi kaum lain serta tidak Islami.<ref>Musa, p. 81.</ref>
 
Pada tahun 1974, Mahathir diangkat sebagai Menterti dalam Kabinet Tun Razak. Ia menjadi Wakil Perdana Menteri dua tahun setelahnya di bawah [[Tun Hussein Onn]] yang meneruskan jabatan Perdana Menteri setelah kematian mendadak Tun Razak.<ref name="khoo_35">Khoo, p. 35.</ref>
 
Semasa 1970-an, ketika Kebijakan Ekonomi Baru sedang jaya-jayanya, "Dominasi Melayu" merupakan fakta kehidupan bernegara yang diterima oleh kebanyakan rakyat Malaysia.<ref name="khoo_35"/> Manakala pada periode 1957 sampai dengan 1969 "Dominasi Melayu" dibendung oleh "tawar-menawar antaretnis" dalam pemerintahan Partai Perikatan, sejak Insiden 13 Mei, banyak ahli politik yang memandang bahwa lingkungan politik telah berubah menjadi didominasi oleh "kontrol hegemoni" Melayu dan UMNO;<ref name="hwang_10">Hwang, pp. 10–11.</ref> pada tahun 1970, salah satu anggota kabinet mendeklarasikan bahwa hak khusus Melayu akan terus ada "ratusan tahun ke depan".<ref>Lim, Kit Siang (1978). ''Time Bombs in Malaysia'', p. 218 (2nd ed.). Democratic Action Party. No ISBN available.</ref> Tunku mengamati pada tahun 1977 bahwa "tampaknya kaum non-Bumiputera memandang bahwa mereka telah menjadi warga negara kelas dua dalam negara ini."<ref>Hickling, p. 181.</ref> Kebijakan etnik pemerintah Malaysia terus didasarkan atas dua argumen dasar Mahathir, yaitu status "historis" kekuasaan Melayu atas Malaya dan "kebutuhan khusus" Melayu.<ref>Ye, pp. 34–35.</ref> Oleh karena diskusi publik mengenai isu-isu ini dikriminalisasikan, terdapat sedikit sekali literatur-literatur lokal yang membahas supremasi Melayu.
Baris 181:
Kelompok Ultra yang dicurigai mengeksploitasi kerusuhan 13 Mei kemudian berhasil mengontrol Malaysia. Razaleigh, Menteri Keuangan saat itu, disanjung-sanjung sebagai "Bapak Ekonomi [[Bumiputera]]".<ref>Khoo, p. 49.</ref> Musa Hitam dan Mahathir, yang keduanya semakin bernaik kiprah di bidang politik menjaga citra mereka sebagai bagian dari kelompok "ultra", walaupun tidaklah jelas apakah ini memang disengajakan. Jurnalis [[K. Das]] pernah mengklaim bahwa Musa memberitahukannya bahwa "seorang politikus muda Malaysia harus memainkan "kartu rasialis" secara penuh bahkan apabila tiada tulang chauvinis satupun yang berada dalam tubuhnya."<ref>Khoo, p. 24.</ref> Setelah pensiun, Musa mengatakan bahwa "pemimpin-pemimpin nasional cenderung mencari [[kambing hitam]] ketika dihadapkan kepada situasi krisis dalam keputusasan" dan menggunakan taktik rasial untuk mengisi "perut kosong" mereka.<ref>Hwang, p. 145.</ref>
 
[[Pergerakan Pemuda UMNO]] khususnya menjaga citra "ultra" ini sejak tahun 1960-an. Salah satu wakil ketuanya mengatakan bahwa "Tujuan asal UMNO adalah memperjuangkan kepentingan ras Melayu dan ini harus diteruskan. Kita tidak ingin adanya faksi-faksi dalam UMNO."<ref>b. Maaruf, p. 121.</ref> Pada tahun 1980, [[Tun Hussein Onn]] mengumumkan bahwa ia akan meletakkan jabatannya kepada Mahathir oleh karena kesehatan yang memburuk. Mahathir menjadi perdana menteri pada tahun 1981 dengan Musa Hitam sebagai wakilnya.
 
== Pemerintahan Mahathir ==
Baris 205:
Pada tahun 1990, DEB digantikan oleh [[Kebijakan Pembangunan Nasional]] (DPN) yang melanjutkan sebagian besar kebijakan zaman DEB. Meskipun secara substansial lebih besar, pangsa ekonomi Melayu tidak mendekati sasaran 30% berdasarkan angka pemerintah. Dalam tinjauannya terhadap DEB, pemerintah menemukan bahwa meskipun ketimpangan pendapatan telah berkurang, beberapa sasaran penting yang terkait dengan kepemilikan perusahaan Melayu secara keseluruhan belum terpenuhi. Baik Mahathir maupun Abdul Rahman telah menyatakan keprihatinan bahwa orang Melayu tetap terlalu bergantung pada orang Tionghoa secara ekonomi.<ref>Maidin, pp. 252–253.</ref><ref>Putra, pp. 97–99.</ref>
 
Klaim bahwa DEB telah memperlambat pertumbuhan ekonomi ditolak; ada anggapan bahwa DEB telah berhasil mencegah kerusuhan rasial lebih lanjut yang akan lebih merugikan pertumbuhan ekonomi daripada DEB. DEB juga dibela karena telah menciptakan kelas menengah Melayu dan meningkatkan [[taraf hidup]] tanpa mengorbankan bagian ekonomi non-Bumiputra secara mutlak; statistik menunjukkan bahwa kelas menengah Cina dan India juga tumbuh di bawah DEB, meskipun tidak sebanyak orang Melayu. Tingkat kemiskinan Malaysia secara keseluruhan telah menyusut dari 50% pada saat kemerdekaan menjadi 7%. Juga dikatakan bahwa [[stereotipe rasial]] sebagian besar telah dihilangkan karena DEB berhasil menciptakan kelas atas Melayu. Meskipun banyak dari tujuan NEP yang dinyatakan kembali oleh DPN, kebijakan baru tersebut tampaknya lebih diarahkan pada retensi kekayaan dan penciptaan, dibandingkan dengan penyaluran ulang sederhana. <ref name="pedersen_53"/><ref>Ye pp. 85, 92, 94, 156.</ref><ref>Milne & Mauzy, pp. 72–74.</ref> Namun demikian, banyak dari kebijakan dari era DEB tetap dipertahankan di bawah NDP, yang berakhir pada tahun 2020.<ref>Musa, p. 113.</ref>
 
=== Bangsa Malaysia dan liberalisasi politik ===
Baris 238:
Pada Sidang Umum UMNO 2004, Wakil Ketua Tetap [[Badruddin Amiruldin]] membacakan buku tentang Peristiwa 13 Mei, dengan memperingatkan: "58 tahun yang lalu kita memiliki kesepakatan dengan ras lain, ketika kita mengizinkan mereka untuk menumpang di tanah ini. ... Janganlah ada ras lain yang mempertanyakan hak-hak orang Melayu di tanah ini. Jangan mempertanyakan agamanya karena ini adalah hak saya atas tanah ini." Kemudian Menteri Pendidikan Tinggi [[Shafie Salleh]] juga menyatakan di sidang bahwa warga bukan bumiputra tidak akan pernah diizinkan masuk ke Universiti Teknologi MARA (UiTM), yang hanya boleh bagi bumiputra, seraya berkata "Saya tidak akan pandang bulu dalam masalah ini."<ref name="hornets"/><ref>Noor, Farish A. (2005). ''From Majapahit to Putrajaya: Searching for Another Malaysia'', p. 241. Silver Fish Books. {{ISBN|983-3221-05-X}}.</ref>
 
Kemudian pada Sidang Umum tahun berikutnya, Menteri Pendidikan dan Ketua Pemuda UMNO [[Hishammuddin Hussein]], putra Tun Hussein Onn, mengacungkan keris seraya menyerukan restorasi DEB sebagai bagian dari Kebijakan Pembangunan Nasional (DPN) yang digagas Mahathir. Menurut Hishammuddin, keris melambangkan peran pemuda UMNO dalam memperjuangkan ras Melayu. Sementara itu, wakilnya [[Khairy Jamaluddin]], menantu Abdullah, membahas kebangkitan DEB dalam bentuk entitas terpisah yang diberi nama [[Agenda Nasional Baru]] (ANB).<ref>
Kumar, R. Surenthira & Yusop, Husna (29 July 2005). [http://sun2surf.com/article.cfm?id=10420 Rebranding the NEP] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20081208022546/http://sun2surf.com/article.cfm?id=10420 |date=8 December 2008 }} . ''The Sun''.
</ref> Hishammuddin would later describe the ''keris'' as a "unifying symbol", stating that "The young people today no longer see it as a symbol to uphold ''ketuanan Melayu''."<ref>{{cite web|url=http://www.malaysia-today.net/Blog-n/2006/08/hishammuddin-keris-is-unifying-symbol.htm|title=Hishammuddin: Keris is a unifying symbol|date=27 August 2006|work=New Straits Times|archive-url=https://web.archive.org/web/20060902012907/http://www.malaysia-today.net/Blog-n/2006/08/hishammuddin-keris-is-unifying-symbol.htm|archive-date=2006-09-02|url-status=dead}}</ref>
Baris 247:
Setahun sebelumnya, Abdullah menyebut aspek paling signifikan dari kontrak sosial adalah kesepakatan masyarakat adat untuk memberikan kewarganegaraan kepada imigran Tionghoa dan India. Meskipun Abdullah melanjutkan dengan menyatakan jati diri bangsa berubah menjadi salah satu yang warga Tionghoa dan India juga bisa sebut sebagai milik mereka,<ref>{{cite web|author=Badawi, Abdullah Ahmad|year=2004|url=http://domino.kln.gov.my/kln/statemen.nsf/0/eee39330c19514e648256e7c0009f6ee?OpenDocument|title=The Challenges of Multireligious, Multiethnic and Multicultural Societies|access-date=12 November 2005|archive-url=https://web.archive.org/web/20060225004256/http://domino.kln.gov.my/kln/statemen.nsf/0/eee39330c19514e648256e7c0009f6ee?OpenDocument|archive-date=2006-02-25|url-status=dead}}</ref> pidato tersebut sebagian besar tidak diketahui ramai orang. Akhirnya, Keng Yaik menyatakan bahwa pers Melayu telah membesar-besarkan komentarnya dan salah mengutipnya. Masalah diakhiri dengan Ketua Pemuda UMNO Hishammuddin Hussein memperingatkan masyarakat untuk tidak "mengungkit masalah lagi seperti yang telah disepakati, dihargai, dipahami dan disahkan oleh Konstitusi."<ref>[http://www.bernama.com/bernama/v3/news.php?id=150404 "Don't Raise Social Contract Issue, Umno Youth Chief Warns"]. (15 August 2005). ''[[BERNAMA]]''.</ref>
 
Pada Januari 2006, pemerintah mengumumkan kampanye kesadaran [[Rukun Negara]]. Kantor berita pemerintah Bernama mengutip pernyataan Abdul Rahman pada tahun 1986 bahwa "Orang Melayu bukan hanya penduduk asli tetapi juga penguasa negeri ini dan tidak ada yang dapat membantah fakta ini". Pasal-pasal konstitusi yang menyinggung agama resmi [[Islam]], monarki, status bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, dan hak-hak khusus Melayu digambarkan sebagai "dengan jelas mengeja pengakuan dan pengakuan bahwa orang Melayu adalah penduduk asli ' pribumi '[pribumi] dari negeri ini. " Kemudian dinyatakan bahwa penekanan baru pada Rukunegara adalah untuk mencegah pertanyaan lebih lanjut tentang kontrak sosial, yang "menentukan polaritas politik dan kedudukan sosial ekonomi orang Malaysia".<ref>Ramly, Rosliwaty (25 January 2006). [http://www.bernama.com.my/bernama/v3/news.php?id=177338 Appreciating The Rukun Negara] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070324110139/http://www.bernama.com.my/bernama/v3/news.php?id=177338 |date=24 March 2007 }} . ''[[BERNAMA]]''.</ref>
 
Diketahui kemudian bahwa survei terhadap orang Malaysia menemukan 55% responden setuju politisi harus disalahkan karena memisahkan orang dengan memainkan politik rasial. [[Mukhriz Mahathir|Mukhriz]]—putra Mahathir dan pemimpin Pemuda UMNO—membela tindakan UMNO karena kesenjangan ekonomi dengan menegaskan bahwa selalu ada orang yang memperjuangkan setiap perlombaan untuk menyamakan keadaan. [[Shahrir Abdul Samad]], ketua BN Backbenchers 'Club, berpendapat bahwa politisi hanya menanggapi sebuah negara yang terbagi ke dalam ras yang berbeda, dengan mengajukan pertanyaan, "jika Anda berbicara tentang masalah Melayu kepada komunitas Melayu, apakah itu memainkan peran ras politik?" Presiden PPP [[M. Kayveas]] menyatakan ketidaksetujuanny dengan berkata, "Setiap 12 bulan, partai kembali ke satu perlombaan untuk memperjuangkan tujuan mereka sendiri dan, pada akhirnya, ketika pemilihan umum tiba, kita berbicara tentang Bangsa Malaysia."<ref>"Racial politics. And so, who's to blame?", p. 12. (21 March 2006). ''[[New Straits Times]]''.</ref>
Baris 278:
== Pemerintahan Mahathir kedua ==
[[Berkas:Pakatan Harapan Logo.svg|ka|jmpl|200px|Logo Pakatan Harapan]]
Walau [[Mahathir Mohamad]] kembali menjadi perdana menteri untuk kedua kalinya, tetapi kali ini ia mewakili koalisi [[Pakatan Harapan]] yang beranggotakan partai-partai yang belum pernah memegang tampuk kekuasaan federal. Beberapa bulan sejak Pakatan Harapan memerintah, Mahathir menyebut bahwa pemerintah akan meratifikasi ICERD di Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Usulan itu mendapat kecaman dari UMNO dan PAS. Khairy Jamaluddin dari UMNO menyebutkan kegagalan Pakatan Harapan dalam menyampaikan usulan itu terhadap kalangan rakyat, sehingga menimbulkan penolakan.<ref>{{cite news|url=https://www.malaysiakini.com/news/469343|title=Khairy: PH gagal interaksi dengan rakyat isu Icerd|website=Malaysiakini|date=24 Maret 2019|accessdate=24 Maret 2019}}</ref>
 
Pengamat sosial politik Mohd. Ayop Abd. Razid yang menulis untuk ''[[Berita Harian]]'' menyebut ketuanan Melayu tidak hilang di bawah pemerintah Pakatan Harapan, tidak seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Ia menyebutkan ketuanan Melayu tidak hilang di Kelantan, Terengganu, Selangor, Kedah, dan Perak hanya gara-gara mayoritas orang Melayu yang tinggal di sana tidak memilih UMNO.<ref>{{cite newspaper|last=Abd. Razid|first=Mohd. Ayop|url=https://www.pressreader.com/malaysia/berita-harian-malaysia/20181119/281616716406840|title=Sejarah buktikan kebenaran konsep ketuanan Melayu|newspaper=Berita Harian|date=19 November 2018|via=Pressreader}}</ref>