Keresidenan Surakarta: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Migrasi 1 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:q11225235 |
k ~ |
||
(39 revisi perantara oleh 20 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Peta Surakarta 1945.jpg|jmpl|Peta Surakarta sekitar tahun 1945]]
'''Karesidenan Surakarta''' ( {{lang-jv|ꦏꦫꦺꦱꦶꦝꦺꦤꦤ꧀ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ|Karésidhènan Surakarta}}, [[EBI]]: '''Keresidenan Surakarta''') adalah wilayah [[Karesidenan]] ({{lang-nl|Residentie Soerakarta}}) di [[Jawa Tengah]] pada masa [[Hindia Belanda|Kolonial Belanda]] dan beberapa tahun setelahnya. Wilayahnya mencakup daerah kekuasaan [[Kasunanan Surakarta]] dan [[Praja Mangkunegaran]] mencakup luas 5.677 Km<sup>2</sup>.
Setelah Keresidenan Surakarta ditiadakan pada tanggal 4 Juli 1950<!-- info dari kotak suksesi -->, maka dari wilayah tersebut dibentuklah [[Kota Surakarta]] dan 6 kabupaten di sekitarnya yang merupakan daerah tingkat II di Indonesia.
== Sejarah ==
=== Era Hindia-Belanda ===
[[Berkas:NAAMLIJST VAN HOOFDEN VAN GEWESTELIJK BESTUUR OP JAVA EN MADURA VAN 1817 TOT 1859 (IA jstor-25733821) (page 18 crop).jpg|thumb|left|Daftar residen Surakarta 1817-1859, dari buku ''Naamlijst Van Hoofden Van Gewestelijk Bestuur Op Java En Madura Van 1817 Tot 1859'' (Daftar Kepala Pemerintah Daerah Di Jawa Dan Madura Dari 1817 Sampai 1859)]]
Residen Surakarta merupakan kepanjangan tangan administrasi [[gubernur jenderal|Gubernur Jenderal]] yang berkedudukan di [[Batavia]], khususnya pada masa kolonial. Pada tahun 1885 tercatat berpenduduk 1.053.985 jiwa.<ref>[http://www.retrobibliothek.de/retrobib/seite.html?id=115452#Surakarta Surakarta], entri pada Meyers Konversationslexikon. Leipzig & Wien. 1885-1892</ref>
{{clear}}
=== Pascakemerdekaan Indonesia ===
Pada masa setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|Proklamasi Kemerdekaan RI]], wilayah keresidenan ini menjadi "[[Daerah Istimewa Surakarta]]", dengan [[Gubernur]] [[Pakubuwana XII|Sri Susuhunan Pakubuwono XII]] dan [[Mangkunegara VIII|Wakil Gubernur Sri Mangkunegoro VIII]] (bersamaan dengan berdirinya [[DI Yogyakarta]]).
Status ini tidak berumur panjang karena terjadi revolusi sosial yang didalangi oleh [[Tan Malaka]] untuk menentang berkuasanya kekuatan [[aristokrasi]] dan [[feodalisme]] di wilayah ini, sehingga setelah pengakuan kedaulatan [[Indonesia]] oleh [[Belanda]], Surakarta kehilangan otonominya dan wilayah ini menjadi Karesidenan Surakarta.
Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Surakarta kehilangan hak otonominya. Pada masa perang revolusi, Pakubuwana XII naik takhta hampir bersamaan dengan lahirnya [[Republik Indonesia]]. Tidak lama setelah [[proklamasi kemerdekaan Indonesia]], pada tanggal 1 September 1945, Sri Sunan [[Pakubuwana XII]] mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negeri Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan pusat RI. Pada tanggal 6 September 1945 pemerintah RI memberikan piagam kedudukan kepada Sri Sunan Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh Soekarno dan tertanggal 19 Agustus 1945.<ref name="DIS" />
Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya [[Panji Suroso]] tanggal 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa. Pengakuan tersebut masih diperkuat lagi dengan pemberian pangkat militer kepada Sri Sunan Pakubuwana XII dengan pangkat [[Letnan Jenderal]] pada tanggal 1 November 1945.<ref name="DIS" />
[[Belanda]] yang tidak merelakan kemerdekaan [[Indonesia]] berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan [[Januari]] [[1946]] ibu kota [[Indonesia]] terpaksa pindah ke [[Yogyakarta]] karena [[Jakarta]] jatuh ke tangan [[Belanda]].
Pemerintahan [[Indonesia]] saat itu dipegang oleh [[Sutan Syahrir]] sebagai [[perdana menteri]], selain [[Presiden Sukarno]] selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan [[Sutan Syahrir]], misalnya kelompok [[Jenderal Sudirman]].
Karena [[Yogyakarta]] menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis [[Surakarta]] yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah [[Indonesia]].
Barisan Banteng berhasil menguasai [[Surakarta]] sedangkan pemerintah [[Indonesia]] tidak menumpasnya karena pembelaan [[Jendral Sudirman]]. Bahkan, [[Jendral Sudirman]] juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang [[Surakarta]]. Sejak tanggal [[1 Juni]] [[1946]] [[Kasunanan Surakarta]] hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi [[Jawa Tengah]]. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.
Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik [[Republik Indonesia]], sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding [[Hamengkubuwana IX]] di [[Yogyakarta]].
== D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka ==
Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, Susuhunan Surakarta (Sunan [[Pakubuwana XII]]) serta adipati Mangkunegaran (KGPAA [[Mangkunegara VIII]]) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Kasunana dan Mangkunegaran) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan provinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).{{fact}}
Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah [[Tan Malaka]], tokoh [[Persatuan Perjuangan]]. Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus kekuasaan Kasunanan dan Mangkunegaran. Pertumbuhan gerakan ini cepat dikarenakan ketidakpuasan rakyat Surakarta terhadap Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani (''landreform'') oleh gerakan sosialis.
Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Ndalem susuhunan (Perdana Menteri raja), KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Susuhunan dan Adipati Mangkunegara. Bulan Maret 1946, Pepatih ndalem yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membekukan DIS dan menghilangkan sementara kekuasaan politik Kasunanan dan Mangkunegaran. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk [[Karesidenan Surakarta]] yang mencakup wilayah-wilayah [[Kasunanan Surakarta]] dan [[Praja Mangkunegaran]], termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.
Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap [[Perdana Menteri|PM]] [[Sutan Syahrir]] di Surakarta oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral [[Soedarsono]] dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia. PM Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke 14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14-pimpinan pemberontak.
Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel [[Soeharto]], pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak. Namun Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala ([[bahasa Belanda]] ''koppig'').<ref>Ramadhan K.H. "Soeharto: Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya"</ref>
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah Letkol. Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. PM Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.
=== Keresidenan Surakarta ===
Pada 16 Juni 1946, dibentuk Keresidenan Surakarta dan terdiri dari daerah-daerah berikut:{{fact}}
* [[Kota Surakarta]]
* [[Kabupaten Karanganyar]]
* [[Kabupaten Sragen
* [[Kabupaten * [[Kabupaten
* [[Kabupaten
* [[Kabupaten
Tanggal 16 Juni ini lalu diperingati setiap tahun sebagai tanggal lahir daerah [[Kota Surakarta|Surakarta]] dan [[Kota Surakarta|Kota Solo]].
=== Pembubaran ===
{{sect-stub}}
==Residen==
Berikut adalah daftar residen yang pernah memerintah Surakarta.
{| class="wikitable"
!Residen Surakarta
!Mulai
!Selesai
|-
|Diederik Willem Pinket van Haak
|[[1817]]
|1817
|-
|Rijk van Prehn
|1817
|[[1819]]
|-
|Huibert Gerard Nahuijs van Burgst
|[[1820]]
|[[1822]]
|-
|Adriaan Maurits Theodorus, baron de Salis
|1822
|[[1823]]
|-
|Hendrik Mac Gillavry
|1823
|1823
|-
|Jan Isaak van Sevenhoven
|[[1824]]
|[[1825]]
|-
|Hendrik Mac Gillavry
|1825
|[[1827]]
|-
|Huibert Gerard Nahuijs van Burgst
|1827
|[[1830]]
|-
|Johan Frederik Walraven van Nes
|1830
|[[1831]]
|-
|Hendrik Mac Gillavry
|1831
|[[1834]]
|-
|Jean Frédéric Theodore Maijor
|1834
|[[1843]]
|-
|Christiaan Lodewijk Hartmann
|1843
|[[1846]]
|-
|Willem Carel Emile de Geer
|1846
|[[1850]]
|-
|Hendrik Frederik Buschkens
|1851
|[[1858]]
|-
|[[Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen]]
|1858
|[[9 Juni]] [[1864]]
|-
|Nicolaas Dirk Lammers van Toorenburg
|9 Juni 1864
|[[1 Oktober]] [[1867]]
|-
|Johannes Petrus Zoetelief
|1 Oktober 1867
|[[30 April]] [[1869]]
|-
|Joan Hendrik Tobias
|30 April 1869
|[[23 November]] [[1871]]
|-
|Adriaan Anton Maximiliaan Nicolaas Keuchenius
|23 November 1871
|[[18 November]] [[1875]]
|-
|Nicolaas Dirk Lammers van Toorenburg
|18 November 1875
|[[25 Agustus]] [[1877]]
|-
|Carel Alexander Lodewijk Jacob Jeekel
|25 Agustus 1877
|[[18 Desember]] [[1881]]
|-
|Peter Adriaan Matthes
|18 Desember 1881
|[[2 November]] [[1884]]
|-
|Adrianus Johannes Spaan
|2 November 1884
|[[12 Mei]] [[1889]]
|-
|Oscar Arend Burnaby Lautier
|12 Mei 1889
|[[15 Agustus]] [[1894]]
|-
|Louis Thomas Hora Siccama
|15 Agustus 1894
|[[8 April]] [[1897]]
|-
|Willem de Vogel
|8 April 1897
|[[11 April]] [[1905]]
|-
|LT. Schneider
|11 April 1905
|[[18 Januari]] [[1909]]
|-
|GF. van Wijk
|18 Januari 1909
|[[3 April]] [[1914]]
|-
|FP. Sollewijn Gelpke
|3 April 1914
|[[4 Februari]] [[1918]]
|-
|Anton Johan Wouter Harloff
|4 Februari 1918
|[[10 April]] [[1922]]
|-
|Jan van der Marel
|10 April 1922
|[[19 Maret]] [[1924]]
|-
|Jan Hendrik Nieuwenhuis
|19 Maret 1924
|[[30 Mei]] [[1927]]
|-
|Max Buttner van der Jagt
|30 Mei 1927
|[[1 Juli]] [[1928]]
|-
|Harmen Thieden Ament
|1 Juli 1928
|[[November 1931]]
|-
|Gustaaf Karel Johan Alphonse Oosthout
|[[November]] [[1931]]
|[[1934]]
|-
! colspan="3" |1934 sebagai [[asisten residen]] di bawah [[Gubernemen Surakarta]]
|}
== Peninggalan ==
Meskipun '''Keresidenan Surakarta''' sudah tidak ada lagi, warga dari daerah ini masih dengan bangga menyebut dirinya orang ''''Solo'''<nowiki/>' (bentuk alternatif dari '''[[Kota Surakarta|Surakarta]]''') meskipun tidak berasal dari '''[[Kota Surakarta]]''' sendiri. Hal ini dilakukan sebagai identifikasi untuk membedakan diri mereka dari orang [[Kota Semarang|'''Semarang''']] dan '''[[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]]'''.
Terutama setelah runtuhnya '''[[Orde Baru]]''' dan terbentuk provinsi '''[[Banten]]''' serta dicanangkannya '''[[Otonomi Daerah]]''', banyak terdengar suara-suara yang sebenarnya masih berbentuk wacana saja untuk pembentukan kembali "'''Provinsi Surakarta'''". Apakah ini harus berbentuk '''[[provinsi]]''' 'biasa' atau '''[[Daerah Istimewa]]''' seperti di [[DIY|'''Yogyakarta''']] dengan seorang [[Monarki|'''Raja''']] sebagai '''[[Gubernur]]''', tidaklah jelas.
Perkembangan dalam administrasi pemerintahan menghapuskan tingkat Karesidenan, dan kemudian '''Keresidenan Surakarta''', sebagaimana [[Keresidenan|Karesidenan]] lainnya di '''[[Indonesia]]''', menjadi Daerah Pembantu Gubernur [[Jawa Tengah]] untuk Wilayah [[Kota Surakarta|Surakarta]], hingga sekarang.
Dalam usaha untuk mengintegrasikan pembangunan wilayah eks-'''Keresidenan Surakarta''', ketujuh kabupaten/kota di wilayah ini membentuk suatu ''bounded zone'' yang disebut '''Subosukawonosraten''' (merupakan akronim dari nama-nama kabupaten/kota anggotanya).<ref>Residen Soerakarta 1920: A.J.W. Harloff</ref>
== Catatan kaki ==
{{reflist}}
== Lihat pula ==
* [[Sejarah Surakarta]]
{{s-start}}
{{s-box
|title=
|years=16 Juni 1946 - 4 Juli 1950
|before=[[Provinsi Surakarta|Daerah Istimewa Surakarta]]
|after=
}}
{{s-end}}
{{Topik Surakarta}}
{{Solo Raya}}
[[Kategori:
[[Kategori:Sejarah Kota Surakarta]]
|