Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
k ~ |
||
(2 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox hospital
|
|
| logo
|
|
|
|
| alt =
|
|
|
|
|
| country = [[Indonesia]]
|
|
|
| religious_affiliation =
| affiliation = Fakultas Kedokteran [[Universitas Sebelas Maret]]
|
|
|
|
|
|
|
| h1-number =
|
|
|
|
|
|
|
|
|
| website = <!-- {{URL|www.example.com}} -->
| other_links =
| module =
}}
{{rapikan|date=2012}}
'''Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi''' ({{lang-jv|
== Sejarah ==
=== Masa Kolonial ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Europeanen bij de plechtigheid rond het leggen van de eerste steen van de ziekeninrichting Bale Koesolo TMnr 60047773.jpg|jmpl|300px|Peletakan batu pertama Bale Kusolo pada tahun 1921]]
Khusus di wilayah
Ziekenzorg, yang berkedudukan di Mangkubumen dengan nama Partikelir Inslandscziekenhuis der verregniging ziekenzorg. Tidak diketahui secara pasti kapan rumah sakit swasta pribumi ini didirikan, namun yang jelas pada tahun 1907 rumah sakit yang dikelola oleh Vereeniging voor zieken verpleging in Nederlandsch-Indie (VZNI) ini sudah mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial.
Baris 50 ⟶ 54:
=== Pendudukan Jepang ===
Pada tanggal 8 Desember 1941 pasukan Jepang menyerang Pearl Harbour. Selama 6 bulan sejak jatuhnya Pearl Harbour itu, Jepang melakukan gerakan yang ofensif. Sejak saat itu pula serangan diarahkan ke kepulauan Indonesia. Pada bulan Januari 1942 terjadi pertempuran seru di Laut Jawa yang membawa keunggulan armada Jepang. Setelah berhasil menaklukan Tarakan, Balikpapan, Manado, Kendari, dan
Setelah dilakukan penyerahan kekuasaan dari pasukan Belanda kepada Jepang di Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942, maka semua rumah sakit zending kemudian diokupasi oleh Jepang. Jepang menganggap bahwa semua dokter yang menjadi top manajer disemua rumah sakit zending, yang notabene orang Belanda, tidak lain merupakan mata-mata Sekutu. Oleh karena itu mereka kemudian ditangkap dan dipindahkan ke kamp-kamp konsentrasi dan tidak boleh berhubungan dengan karyawan rumah sakit yang dipimpinnya. Setahun kemudian mereka dipulangkan ke Belanda sebagai tawanan perang.
Ketika terjadi pendudukan tentara Jepang atas Indonesia itu, secara umum kesehatan masyarakat Indonesia tidak terkecuali di Surakarta dapat dikatakan mengalami kemunduran dibandingkan pada masa penjajahan Belanda. Penurunan kualitas kesehatan masyarakat tersebut disebabkan karena beberapa hal: pertama, rusaknya prasarana kesehatan akibat peperangan, kedua beralihnya fungsi lembaga kesehatan, ketiga memburuknya kesehatan akibat kekurangan pangan. Semua fasilitas kesehatan, baik milik pemerintah maupun swasta, diambil alih oleh Eiseikyu (dinas kesehatan) untuk keperluan suksesnya perang. Pada masa ini obat sulit sekali ditemukan karena kebanyakan dipakai untuk keperluan perang oleh tentara Jepang. Keadaan fasilitas rumah sakit juga sangat menyedihkan karena sebagian rumah sakit tidak mempunyai kasur dan merawat pasiennya.
Seperti terjadi pada bidang-bidang lainnya, pada bidang kesehatan pada masa ini juga terjadi perubahan organisasional. Dinas kesehatan diganti nama menjadi Eiseikyoku yang merupakan bagian dari Departemen Dalam Negeri (Naimubu) dibawah perintah kantor kepala pemerintahan militer (Gunseikanbu). Disamping dokter-dokter Jepang, di kantor Eiseikyoku juga dipekerjakan dokter Indonesia. Sementara dokter-dokter Belanda ditahan atau diusir dan dipulangkan oleh pemerintahan pendudukan Jepang. Struktur lembaga kesehatan di daerah masih tetap dipertahankan, yang berubah adalah pada tingkat
Demikian juga halnya yang terjadi pada rumah sakit-rumah sakit yang ada di Surakarta. Setelah dokter-dokter Belanda ditahan, dokter-dokter Indonesia kemudian memegang peranan di dalam rumah sakit sementara direkturnya dipegang oleh dokter Jepang. Selain itu juga terjadi perubahan fungsi lembaga rumah sakit, demikian halnya juga terjadi pada rumah sakit yang ada di Surakarta. Rumah sakit Ziekenzorg beralih fungsi sebagai interneringkamp (tempat tahanan), setelah itu rumah sakit ini dipindah ke Jebres menempati bangunan gedung rumah sakit zending ziekenhuis. Sementara rumah sakit zending ziekenhuis pindah ke belakang, tempat dibangun Rehabilitasi Centrum (R.C.) Prof. dr. Soeharso. Biasanya alasan pemerintah militer Jepang dalam melakukan pengambilalihan rumah sakit-rumah sakit itu karena mereka menganggap bahwa lembaga tersebut didirikan dengan menggunakan uang subsidi dari pemerintah.
Baris 64 ⟶ 68:
Pada tanggal 25 September 1945 diadakan sebuah pertemuan antara para dokter Indonesia dengan para kepala bagian untuk menentukan kedudukan rumah sakit sepeninggal pendudukan Jepang. Hasil rapat tersebut memutuskan bahwa rumah sakit zending di Yogyakarta harus kembali pada asas semula yaitu rumah sakit Kristen dan dikelola oleh pihak swasta. Sehari kemudian putusan tersebut disetujui oleh seluruh karyawan rumah sakit zending Yogyakarta dan dr. Samallo menjadi direktur yang berasal dari pribumi pertama di lembaga tersebut dan nama rumah sakit diubah menjadi Roemah Sakit Oemoem Poesat (RSUP). Kemandirian rumah sakit zending Yogyakarta juga tidak terlepas dari bantuan Parkindo (Partai Kristen Indonesia).
Sebelum kepindahannya kembali ke Jakarta, Inspektur Kementerian Kesehatan RI dr. Soemakno beberapa kali menawarkan kepada RSUP agar semua pegawainya mau masuk menjadi pegawai negeri agar gajinya dapat disesuaikan dengan peraturan gaji pegawai dan status RSUP menjadi milik Negara Republik Indonesia. Namun semua karyawan RSUP Yogyakarta menolak usulan Kementerian Kesehatan tersebut dan tetap ingin menjadi rumah sakit Kristen yang dikelola pihak swasta. Eksistensi RSUP Yogyakarta pada saat itu tidak dapat dilepaskan dari Kesultanan Yogyakarta karena Sultan Hamengku Buwono IX akhirnya memberi bantuan sebesar f 8000 pada awal tahun 1949. Selain itu juga mendapat bantuan dari Dinas Kesehatan Belanda sebesar f10.000 pada pertengahan tahun 1949.
Dipihak lain tawaran yang sama juga dilakukan Kementerian Kesehatan RI terhadap pimpinan dan pegawai rumah-rumah sakit zending yang ada di Jawa Tengah. Berbeda dengan rumah sakit zending di Yogyakarta, pimpinan dan pegawai rumah sakit zending di Jawa Tengah ini mau menerima tawaran dari Kementerian Kesehatan RI untuk menjadi pegawai negeri. Alasan Kementerian Kesehatan RI dalam melakukan nasionalisasi terhadap rumah sakit zending pada waktu itu selain faktor ekonomi, yaitu minimnya dana yang dipunyai oleh pengelola rumah sakit juga faktor sosial yaitu pentingnya keberadaan sebuah rumah sakit dalam suatu daerah. Setelah dikelola oleh pemerintah RI kesembilan rumah sakit Zending Gereformeerd di Jawa Tengah ini kemudian dijadikan sebagai rumah sakit setempat. Kesembilan rumah sakit tersebut masing-masing di Blora, Klaten, Jebres-Surakarta, Wonosobo, Purwokerto, Magelang, Purbalingga, Purworejo, dan Kebumen. Sementara itu dengan alasan yang sama yaitu masalah biaya, pada tahun 1948 pengelolaan Rumah Sakit Kadipolo diserahkan kepada pemerintah swatantra Jawa Tengah, namun dengan syarat bahwa keluarga
Pada saat itu kemudian muncul suatu rencana untuk mendirikan suatu Rumah Sakit Pusat di Surakarta. Sesudah melalui diskusi dan kajian yang matang akhirnya nama Bale Kusolo dinilai layak untuk dijadikan nama sekaligus identitas bagi rumah sakit di Surakarta. Pengambilalihan Rumah Sakit Bale Kusolo oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI tanggal 2 Maret 1950, No. 384/Sekr./D/7, terhitung mulai tanggal 1 Januari 1950, Rumah Sakit Bale Kusolo diambil alih dan dikelola oleh Pemerintah RI. Surat keputusan ini sekaligus menetapkan nama Rumah Sakit Bale Kusolo diganti dengan nama Rumah Sakit Pusat Surakarta dengan dr. Toha sebagai direktur pertamanya. (Selanjutnya tanggal 1 Januari 1950 ditetapkan sebagai hari jadi RSUD Dr.Moewardi Surakarta).
Sejak saat itu di Surakarta terdapat 3 rumah sakit yang semuanya dikelola oleh pemerintah yaitu:
Baris 81 ⟶ 85:
Dengan memperhatikan usulan dari Kepala Dinas Kesehatan Rakyat Daerah Swatantra Tingkat I Jawa Tengah tertanggal 19 Februari 1960 No. K.693/UNH, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah memalui surat No. H.149/2/3 tertanggal 1 Maret 1960 memutuskan untuk menyatukan ketiga rumah sakit tersebut kedalam suatu unit organisasi dibawah seorang direktur dengan nama Rumah Sakit “Surakarta”. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, ketiga rumah sakit itu kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat I Jawa Tengah.
Proses penyatuan ketiga rumah sakit ini diserahkan sepenuhnya kepada kepala Dinas Kesehatan Rakyat daerah Swatantra Tingkat I Jawa Tengah dan akhirnya selesai dilakukan pada tanggal 1 Juli 1960 yang untuk selanjutnya dipusatkan di Mangkubumen. Sementara itu masing-masing rumah sakit kemudian menjadi bagian-bagian dari Rumah Sakit Surakarta, yaitu komplek Mangkubumen, Kadipolo, dan Jebres. Untuk selanjutnya, mulai tanggal 1 Juli 1960 Rumah Sakit Surakarta dipimpin oleh seorang dokter yaitu dr. Mas Ariyotedjo, sebagai direktur pertamanya.
Dengan selesainya penyatuan ketiga rumah sakit itu, berangsur-angsur pula pembagian unit-unit
Mulai tanggal 1 Juli 1960 Rumah Sakit Surakarta terdiriatas tiga “rumah sakit” yaitu Rumah Sakit Mangkubumen, Rumah Sakit Kadipolo, dan Rumah Sakit Jebres. Dengan tujuan melakukan kesatupaduan di antara ketiganya dalam rangka untuk meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka diadakan spesialisasi di masing-masing unit pelaksana fungsional yang ada di Rumah Sakit Surakarta. Berikut ini adalah identifikasi masing-masing rumah sakit:
Baris 90 ⟶ 94:
Sementara luas bangunannya adalah 14.106 m 2.
Rumah Sakit Jebres disebut juga Rumah Sakit Komplek C, khusus untuk pelayanan kebidanan dan penyakit kandungan,
Khusus untuk Rumah Sakit Jebres (Komplek C) sesuai dengan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah tanggal 12 Agustus 1973 Nomor: Hukum G 171/1973 diberi nama Komplek Rumah Sakit Dr. Moewardi. Mengingat Rumah Sakit Kadipolo (Komplek A) pada perkembangannya dinilai tidak efisien dan tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan sebagai rumah sakit, maka pada bulan September 1976 atas pendapat dari dr. R. Hirlan Saparno Widagdo, selaku Direktur Rumah Sakit Umum “Surakarta” dengan persetujuan dari Inspektur Kesehatan Rakyat Provinsi Dati I Jawa Tengah di Semarang, maka Rumah Sakit Kadipolo berserta peralatan dan perlengkapan medisnya kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Mangkubumen.
Sementara itu pemindahan pasien dari Rumah Sakit Kadipolo ke Rumah Sakit Mangkubumen baru selesai dikerjakan pada pertengahan bulan Januari 1977. Dengan selesainya kepindahan pasien ini maka sejak saat itu Rumah Sakit Kadipolo tidak berfungsi lagi sebagai lembaga pelayanan kesehatan, untuk selanjutnyagedung bekas rumah sakit ini digunakan sebagai Kampus Sekolah Pendidikan Keperawatan (SPK).
Baris 96 ⟶ 100:
== Daftar direktur ==
# Soepaat Soemosoedirdjo, dr. (
# Slamet Prawironoto, dr. (
# Soetrasno, dr., Sp.M (
# R. Hirlan Saparno Widagdo, dr., Sp.Rad (
# Soekawi, dr. (
# Tri Tresno Kemat, dr. (
# H. Abdoel Rasim, dr., MBA, MARS (
# M. Soedjoko, dr., MMR (2001-2002)
# Sardjono, dr., MMR (2002-2004)
# Mardiatmo, dr., Sp.R (2003-2009)
# Basoeki Soetardjo, drg.,MMR (
# Endang Agustinar, dr., M.Kes. (
# Dr. dr. Cahyono Hadi, Sp.OG (
== Referensi ==
|