Eyang Djugo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
(15 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Eyang Djugo''' (wafat pada 22 Januari 1871<ref name=":0">{{Cite web|last=Kusumo|first=Rizky|title=Mbah Jugo, Sosok Tabib Sakti yang Jinakkan Wabah Kolera di Jawa|url=https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/11/18/mbah-jugo-sosok-tabib-sakti-yang-jinakkan-wabah-kolera-di-jawa|website=Good News From Indonesia|language=id-ID|access-date=2022-01-29|archive-date=2022-07-15|archive-url=https://web.archive.org/web/20220715230238/https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/11/18/mbah-jugo-sosok-tabib-sakti-yang-jinakkan-wabah-kolera-di-jawa|dead-url=no}}</ref> atau 1879<ref name=":3">{{Cite
== Nama ==
Eyang Djugo dikenal dengan banyak nama, antara lain:
* '''
* '''Kiai Zakaria II/كياي زكريااِثْنَانِ''' , mengikuti ayahnya, nama yang ia pilih setelah berganti nama dari nama bangsawan<ref name=":0" />
* '''Mbah Kromodi Redjo ꧋ꦩ꧀ꦧꦃꦏꦿꦺꦴꦩꦺꦴꦣꦶꦉꦣ꧀ꦗꦺꦴ'''<ref name=":2" />
* '''Taw Low She 大老师''', dalam [[pinyin]] dibaca menjadi ''dà lǎoshī'', sebuah julukan yang secara harfiah berarti "guru besar" atau "guru agung", namun sering diartikan menjadi "guru besar pertama" dengan
== Kehidupan ==
Baris 15:
=== Status sebagai bangsawan ===
Eyang Djugo dikenal oleh [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat|Keraton Yogyakarta]] sebagai seorang bangsawan dengan nama
=== Penasihat spiritual dan pengawal ===
Terdapat dua versi tentang periode kehidupan Mbah Djugo sebelum kemunculannya di desa Jugo.
Eyang Djugo dikatakan pernah menjadi penasihat spiritual dan pengawal [[Pangeran Diponegoro]].<ref name=":4" /> Setelah kekalahan dan pengasingan Pangeran Diponegoro ke Manado pada tahun 1830, ia dikabarkan melepas atribut kebangsawanannya dan pergi mengembara.<ref name=":2" />
Eyang Djugo mengembara dari [[Yogyakarta]], menuju [[Sleman]], [[Kabupaten Nganjuk|Nganjuk]], [[Kabupaten Bojonegoro|Bojonegoro]], dan berujung di [[Kota Blitar|Blitar]]. Di kota Blitar, ia terkejut dengan keberadaan kadipaten Belanda dan merasa masih terlalu dekat. Ia berpindah 60
Setelah beberapa tahun tiba di Kesamben, Eyang Djugo kemudian didatangi oleh murid dan putra angkatnya, [[Raden Mas Iman Soedjono]] (Eyang Sudjo). Eyang Sudjo juga turut mengembara setelah pembuangan Pangeran Diponegoro dan berujung di desa tempat Eyang Djugo tinggal.<ref name=":1" />
Versi lain dari cerita ini mengatakan bahwa beliau merupakan punggawa di bawah [[Hong Xiuquan]] (1813–1864), pimpinan [[Pemberontakan Taiping]] di [[Dinasti Qing]]. Setelah pemberontakan berakhir, ia hidup menyepi sebagai [[Rahib|petapa]] di [[Gunung Kawi]] dan mendapatkan sejumlah murid Jawa. Pada versi ini, dikatakan bahwa Eyang Djugo wafat pada tahun 1879.<ref name=":5">{{Cite web|title=Mbah Djugo|url=http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/mbah-djugo?lang=id|website=encyclopedia.jakarta-tourism.go.id|archive-url=https://archive.
=== Kemunculan di Desa Jugo dan asal-usul nama ''Djugo'' ===
Im Yang Tju menuliskan bahwa Eyang Djugo tiba-tiba muncul di depan sekelompok anak-anak penggembala di [[Jugo, Kesamben, Blitar|desa Jugo]]. Setelah kemunculannya itu, ia kembali lagi ke dalam hutan tempatnya datang dan baru muncul kembali beberapa hari kemudian sambil berjalan menuju kandang sapi yang sudah tidak terpakai. Di situlah ia menetap. Pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang berwibawa membuat masyarakat segan mendekatinya.<ref name=":2">{{Cite web|first=Suhandi|date=2021-09-22|title=Cerita Mbah Jugo di Pesarean Gunung Kawi - JejakPejalanKaki|url=https://jejakpejalankaki.com/cerita-makam-ulama-di-pesarean-gunung-kawi.html|website=JejakPejalanKaki|language=id-ID|access-date=2022-01-29|archive-date=2023-06-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20230602015026/https://jejakpejalankaki.com/cerita-makam-ulama-di-pesarean-gunung-kawi.html|dead-url=no}}</ref>
Di Jugo, ia bertemu dengan Tosiman yang menanyai asal-usulnya. Agar tidak dicurigai, Mbah Jugo lalu mengatakan dirinya sedang ''sajugo'' (bahasa Jawa untuk "sendirian"). Tosiman salah sangka dengan ucapan ini, mengira nama beliau adalah Sayugo, dan itulah asal-usul nama ''Djugo''.<ref>{{Cite book|last=Drs. Tashadi, dkk|first=|date=1994|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/8416/1/budaya%20spiritual%20situs%20keramat%20gunung%20kawi%20jatim.pdf|title=Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur|location=Jakarta|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|pages=18–19|url-status=live|access-date=2022-01-31|archive-date=2022-07-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20220713101542/http://repositori.kemdikbud.go.id/8416/1/budaya%20spiritual%20situs%20keramat%20gunung%20kawi%20jatim.pdf|dead-url=no}}</ref> Nama tersebut beliau pergunakan dan masih populer hingga kini.<ref>{{Cite book|last=Soeryowidagdo|first=RS|date=1989|title=Pasarean Gunung Kawi, Tata Cara Ziarah dan Riwayat Makam Eyang Penembahan Djoego, Eyang Raden Mas Imam Sudjono|location=Gunung Kawi, Malang|url-status=live}}</ref>
Eyang Djugo diperkirakan mengganti namanya agar tidak diketahui status kebangsawanannya oleh orang lain, terutama orang Belanda. Perilaku ini juga dikenal dalam kisah [[pewayangan]]; seorang [[ksatria]] yang sedang mengembara biasanya mengganti nama.<ref>Drs. Tashadi dkk (1994), hlm. 18.</ref>
Baris 39 ⟶ 38:
Di Kesamben, ia bersama dengan Eyang Sudjo tinggal dan mendakwahkan Islam, ajaran moral, cara bercocok tanam, pengobatan, serta keterampilan lain.
Dari penceritaan Im Yang Tju,<ref>{{Cite
Menurut penceritaan lain yaitu Drs. Tashadi yang menulis dalam ''Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur'' terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1994, penyakit yang disembuhkan adalah "wabah penyakit hewan di desa Sonan" pada tahun 1860. Tidak dituliskan secara khusus wabah penyakit yang disembuhkan.<ref name=":6">Drs. Tashadi dkk (1994), hlm. 19.</ref>
Tan Kie Lam, seorang murid Eyang
=== Pendirian padepokan dan pesarean ===
Baris 53 ⟶ 52:
Sebelum wafat, beliau dikatakan melaksanakan ''tapa ngelowong'', sebuah metode pertapaan tanpa minum dan makan, hanya menghirup udara selama 36 hari. Di hari ke-37, beliau masuk ke liang lahatnya, duduk bersila, dan menghembuskan nafas terakhirnya.<ref name=":3" />
Eyang Djugo wafat di Gunung Kawi, pada malam Senin Pahing, 22 Januari 1871 atau Minggu 22 Januari 1871 Masehi (dalam kalender Jawa: Ngahad Lêgi 1 Dulkangidah Dal 1799).<ref name=":6" /> Sumber lain mengatakan beliau meninggal pada tahun 1879 dan pernah menggali liang lahatnya sendiri di tahun 1872.<ref name=":3" />
Lokasi pengebumian Eyang Djugo diadakan sesuai wasiatnya, di tempat yang kini menjadi pesarean (makam) Gunung Kawi. Perjalanan dari desa padepokan Eyang Djugo ke tempat tersebut memakan waktu tiga hari. Pada malam Jumat Legi, Eyang Sudjo yang memimpin prosesi pemakaman dan upacara pengebumian pun mengadakan [[tahlilan]] akbar.<ref name=":8">{{Cite web|last=Herwiratno|first=Martinus|date=2012-08-27|title=Eyang Djoego dan Eyang RM Iman Soedjono : Dua bangsawan Jawa yang Dihormati Masyarakat Tionghoa.|url=http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2299-eyang-djoego-dan-eyang-rm-iman-soedjono--dua-bangsawan-jawa-yang-dihormati-masyarakat-tionghoa|website=Budaya-Tionghoa|language=id-ID|archive-url=https://archive.
Eyang Sudjo wafat tidak lama kemudian, pada hari Rabu Kliwon tanggal 12 Suro pada tahun
== Penghormatan oleh masyarakat ==
=== Kegiatan setiap malam Jumat Legi ===
Tahlilan adalah sebuah kegiatan yang kerap dilakukan di pesarean setiap malam Jumat Legi, mengikuti hari prosesi pemakaman dan upacara pengebumian Eyang Djugo. Umumnya, pesarean mengalami lonjakan kunjungan pada malam itu. Selain melakukan tahlilan, peziarah juga meletakkan [[sesajen]], membakar [[dupa]], dan melakukan [[semadi]]. Kegiatan ini biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan keturunan Eyang Sudjo.<ref>{{Cite web|last=Rahmaniah|first=Aniek|date=2015|title=Etnografi Masyarakat Gunung Kawi Kabupaten Malang|url=http://repository.uin-malang.ac.id/692/|website=repository.uin-malang.ac.id|language=en|access-date=2022-01-30|archive-date=2022-07-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20220713101155/http://repository.uin-malang.ac.id/692/|dead-url=no}}</ref>
=== Perayaan Satu Suro ===
Perayaan setiap tanggal 1 Suro (dalam [[kalender Jawa]]) dilakukan oleh masyarakat Wonosari. Kegiatan ini terpusat di Pesarean Gunung Kawi. Pada malam sebelumnya, masyarakat melakukan pengajian, pertunjukan [[wayang kulit]] semalam suntuk, serta membagikan [[angpau]] kepada [[barongsai]]. Di tanggal yang bersangkutan, masyarakat melakukan [[kirab]] dan arak-arakan sejauh 3
=== Pemujaan oleh masyarakat Tionghoa ===
Masyarakat Tionghoa dikenal memuja Eyang Djugo, selain di pesarean dan klenteng yang dibangun di dekatnya, juga di klenteng-klenteng di luar Gunung Kawi. Misalnya, beliau merupakan salah satu obyek pemujaan di [[Kim Tek Ie]], klenteng tertua di Jakarta, serta di Vihara Dharma Jaya ([[Pasar Baru]]), Vihara Tunggal Dharma, Vihara Sapto Ranggo, dan Vihara Mahabrahma di [[Bogor]].<ref name=":5" />
Pada hari-hari tertentu, seperti [[Imlek]] dan [[Tahun Baru Islam]], jumlah masyarakat Tionghoa yang berziarah ke Pesarean Gunung Kawi lebih banyak dibandingkan masyarakat Jawa.<ref name=":8" /><ref>Rahmaniah (2015), hlm. 49.</ref>
Baris 81 ⟶ 80:
== Lihat pula ==
* [[Chen Fu Zhen Ren|Chen Fu Zhen Ren]]
* [[Chen De Xiu|Chen De Xiu]]
* [[Ze Hai Zhen Ren|Ze Hai Zhen Ren]]
== Referensi ==
Baris 90 ⟶ 89:
== Bacaan lebih lanjut ==
* ''Cerita-cerita pesugihan di Jawa: pola kekerabatan sastra dan paradoks teks-konteks'' oleh Mashuri di [http://repositori.kemdikbud.go.id/10112/ Repositori Kemdikbud] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20230602143303/https://repositori.kemdikbud.go.id/10112/ |date=2023-06-02 }}
[[Kategori:Tokoh spiritual dari Jawa Timur]]
|