Staphylococcus aureus: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(32 revisi perantara oleh 18 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox spesies
| species = '''''S. aureus'''''▼
▲ }}
'''''Staphylococcus aureus''''' (''S. aureus'') adalah [[bakteri gram positif]] yang menghasilkan pigmen kuning, bersifat anaerob fakultatif, tidak menghasilkan [[spora]], dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, dengan diameter sekitar 0,
Infeksi ''S. aureus'' diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi,
== Mikrobiologi ==
''S. aureus'' termasuk bakteri [[osmotoleran]], yaitu bakteri yang dapat hidup di lingkungan dengan rentang konsentrasi zat terlarut (contohnya garam) yang luas, dan dapat hidup pada konsentrasi [[NaCl]] sekitar 3 [[Molar]].<ref name="Prescott"/>
[[Habitat]] alami ''S aureus'' pada manusia adalah di daerah kulit, hidung, mulut, dan usus besar, di mana pada keadaan [[sistem imun]] normal, ''S. aureus'' tidak bersifat [[patogen]] ([[mikroflora normal manusia]]).<ref name="Prescott"/>
=== ''Quorum Sensing'' ===▼
[[Berkas:Staphylococcus aureus Gram stain.jpg|jmpl]]
''S. aureus'' merupakan bakteri gram positif yang banyak ditemukan pada kulit manusia, selaput lendir pada mulut, hidung, saluran pernapasan, saluran pencernaan, selain itu juga dapat ditemukan dalam air, tanah, susu, makanan, dan udara. ''S. aureus'' berbentuk bulat dan terlihat seperti untaian buah anggur ketika diamati dengan mikroskop.
''S. aureus'' merupakan sel yang berbentuk bulat dengan ukuran diameter 0,7–1,2 mikrometer, tersusun dalam koloni yang tidak teratur (pada biakan sering terlihat kokus yang tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai), ''S, aureus'' dapat tumbuh pada keadaan aerob sampai anaerob fakultatif, namun pertumbuhan yang terbaik pada kondisi aerob. Pertumbuhan optimal ''S. aureus'' terjadi pada suhu 35°C–40°C dan paling cepat pada suhu 37°C, dengan pH optimal 7,0–7,5.
''S. aureus'' dapat memfermentasi [[karbohidrat]] antara lain : glukosa, dekstrosa, mannitol, sukrosa, dan laktosa serta dapat menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan gas. ''S.aureus'' menghasilkan enzim koagulase dan enzim katalase yang bersifat hemolitik, mereduksi nitrat menjadi nitrit. ''S. aureus'' relative resistan terhadap pengeringan, panas (''S. aureus'' tahan pada suhu 50°C selama 30 menit) dan NaCl 7–8%. ''S. aureus'' juga menghasilkan enterotoksin yang dalam jumlah tertentu akan meracuni tubuh dan menyebabkan gastroenteteritis atau radang mukosa usus..
Menurut Spicer (2000) ''S. aureus'' mempunyai 4 karakteristik khusus, yaitu faktor virulensi yang menyebabkan penyakit berat pada ''normal hast,'' faktor diferensiasi yang menyebabkan penyakit yang berbeda pada sisi atau tempat berbeda, faktor persisten bakteri pada lingkungan dan manusia yang membawa gejala karier, dan faktor resistensi terhadap berbagai antibiotik yang sebelumnya masih efektif.
''S. aureus'' memiliki kemampuan ''[[Quorum sensing]]'' menggunakan sinyal [[oligopeptida]] untuk memproduksi [[toksin]] dan faktor [[virulensi]] .<ref name="Prescott"/>
==
{{Cleanup rewrite|date=Juni 2021}}
Menurut Warsa (1994) dalam Sri Agung. F.K. (2009), sebagian bakteri ''Staphylococcus'' merupakan flora normal pada kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Selain itu, bakteri ini juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. ''S. aureus'' yang patogen bersifat invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan mannitol.
Menurut Sri Agung. F.K. (2009). Infeksi yang disebabkan oleh ''S.aureus'' ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh ''S.aureus'' di antaranya adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat di antaranya pneumonia, mastitis, phlebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomyelitis, dan endocarditis. ''S. aureus'' juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindrom syok toksik (Ryan, ''et. al.,'' 1994; Warsa, 1994).
Keracunan makanan yang disebabkan oleh kontaminasi enterotoksin dari ''S. aureus,'' waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan adalah 1,0 µg/gr makanan (Sri Agung. F.K. (2009). Gejala keracunan ditandai dengan mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam (Ryan, ''et. al.,'' 1994; Jawetz, ''et. al.,'' 1995).
''S. aureus'' akan sangat bergantung pada kepekaan setiap individu terhadap toksin, jumlah makanan tercemar yang dikonsumsi dan status kesehatan individu tersebut. Pada umumnya makanan dapat tercemar dibawah suhu 4°C. Gejala yang paling umum akibat keracunan enterotoksin adalah mual, muntah, kram pada perut (''abdomen''), dan diare. Pada tingkatan yang lebih parah terjadi sakit kepala, kram otot, peningkatan denyut nadi, perubahan tekanan darah, dan kadang-kadang sampai pingsan. Cara untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan mengganti cairan, garam, dan mineral yang hilang akibat diare dan muntah (Todar, 2005).
== Faktor Virulensi ''S. aureus'' ==
{{Cleanup rewrite|date=Juni 2021}}
''S. aureus'' dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya:
Katalase merupakan enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus ''Staphylococcus'' dari ''Streptococcus (Ryan et al.,'' 1994; Brooks ''et al''., 1995).
=== Koagulase ===
Koagulase merupakan protein ekstraseluler yang dihasilkan oleh ''S. aureus'' yang dapat menggumpalkan plasma dengan bantuan faktor yang terdapat dalam serum (Fajar. B.L dan Siti Isrina. O. S, 2015). Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis (Warsa, 1994). ''Staphylococcus aureus'' mempunyai dua macam koagulase, yaitu (Sari Wijayanti, 2009) :
1) Koagulase terikat atau faktor penjendalan yang terikat pada dinding sel bakteri. Bila suspensi bakteri dicampur dengan plasma maka enzim tersebut dapat mengumpulkan fibrin yang ada di dalam plasma membentuk deposit pada permukaan selnya. Kemampuan ini diduga untuk menghindarkan sel dari serangan sel fagosit hospes. Koagulase ini dapat dideteksi dengan ''slide test.'' Tes ini dilakukan untuk uji cepat atau ''screening.''
▲=== Protein A ===
2) Koagulase bebas merupakan enzim ekstraseluler yang juga dapat menjendalkan fibrin. Koagulase ini dapat dideteksi dengan uji tabung yang memberikan hasil lebih baik daripada ''slide test'' (Anonim, 2006).
===
Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada ''S. aureus'' terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisin, dan delta hemolisin. Alfa hemolisin merupakan toksin yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni ''S. aureus'' pada medium darah, toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia.
Beta hemolisin yaitu toksin yang terutama dihasilkan ''Staphylococcus'' yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin merupakan toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba (Warsa, 1994).
===
Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena ''Staphylococcus'' patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat difagositosis (Jawetz ''et. al.,'' 1995).
=== Toksin Eksfoliatif ===
Toksin eksfoliatif mempunyai proteolitik dan dapat melarutkan matriks mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepithelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyabab ''Staphylococcal Scalded Skin Syndrome,'' yang ditandai melepuhnya kulit (Warsa, 1994).
=== Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST) ===
Sebagian besar galur ''S. aureus'' yang diisolasi dari penderita sindrom syok toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini dapat menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh (Ryan, ''et al.,'' 1994; Jawetz ''et al.,'' 1995).
=== Enterotoksin ===
Enterotoksin merupakan enzim yang tahan terhadap panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan yang mengandung karbohidrat dan protein (Jawetz ''et al.,'' 1995).
== Resistensi ==
=== Resisten penisilin ===
Hampir semua isolat ''S. aureus'' resisten terhadap [[penisilin]] G.<ref name="WHO"/>
=== Resisten Metisilin (''Methicillin-resistant S. aureus''/MRSA) ===
Sebagian isolat ''S. aureus'' resisten terhadap [[methisilin]] karena adanya modifikasi protein pengikat penisilin.<ref name="WHO"/>
== Kontrol ==
Tidak ada vaksin yang efektif terhadap ''S. aureus''.<ref name="WHO"/>
== Referensi ==
{{reflist}}
* Aprilia, P. R., Santoso, S. A. B., & Harjanti, D. W. (2016). Jumlah Staphylococcus aureus dan kandungan nutrien susu akibat dipping puting menggunakan ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) pada sapi perah penderita mastitis subklinis. ''Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan (Indonesian Journal of Animal Science)'', ''26''(1), 43-51.
* Agung Fitri Kusuma, Sri. (2009). ''Staphylococcus aureus.'' Jatinangor, Apt Fakultas Farmasi. Universitas Padjajaran.
* Cahyono, D. (2013). ''Kajian Kualitas Mikrobiologis (Total Plate Count (Tpc), Enterobacteriaceae Dan Staphylococcus Aureus) Susu Sapi Segar Di Kecamatan Krucil Kababupaten Probolinggo'' (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).
* Herlina, N. F., Afiati, A. D., Cahyo, P. D., Herdiyani, Q., & Tappa, B. (2015). Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus dari Susu Masitis Subklinis di Tasikmalaya, Jawa Barat. In ''Prosesing Seminar Nasional Masyarakat Biodiversi Indonesia'' (Vol. 1, No. 3, pp. 413-417).
* Lestari, F. B., & Salasia, S. I. O. Karakterisasi Staphylococcus aureus Isolat Susu Sapi Perah Berdasar Keberadaan Protein-A pada Media Serum Soft Agar terhadap Aktivitas Fagositosis Secara In Vitro. ''Jurnal Sain Veteriner'', ''33''(2), 2-3.
* Miskiyah, M. (2011). Kajian standar nasional Indonesia susu cair di Indonesia. ''Jurnal Standardisasi'', ''13''(1), 1-7.
* Wasitaningrum, I. D. A. (2009). ''Uji resistensi bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dari isolat susu sapi segar terhadap beberapa antibiotik'' (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
* Wijayanti, S. (2009). ''Identifikasi dan Pemeriksaan Jumlah Total Bakteri Susu Sapi Segar dari Koperasi Unit Desa di Kabupaten Boyolali'' (Doctoral dissertation, Univerversitas Muhammadiyah Surakarta).
* Tamam, Mh. Badrut. (-). Ciri-Ciri Morfologi Bakteri Staphylococcus aureus. [Online]. Tersedia : <nowiki>https://generasibiologi.com/2016/10/ciri-ciri-morfologi-bakteri-staphylococcus-aureus.html</nowiki>. (internet). (01 Juni 2021).
== Lihat pula ==
Baris 63 ⟶ 96:
* [[Mikrobiologi]]
{{Klasifikasi bakteri}}
{{Taxonbar|from=Q188121}}
[[Kategori:
[[Kategori:Bakteri
|