Masihulan, Seram Utara, Maluku Tengah: Perbedaan antara revisi

|nama = Masihulan<br> ''Paisipulane''

'''Masihulan''' adalah [[negeri (Maluku Tengah)|negeri]] di LecamatanKecamatan [[Seram Utara, Maluku Tengah|Seram Utara]], [[Kabupaten Maluku Tengah|Maluku Tengah]], [[Maluku]], [[Indonesia]].

Nama Masihulan didapat dari bahasa yang dipakai di [[Sawai, Seram Utara, Maluku Tengah|Sawai]]. Saat itu, pemerintah [[Hindia Belanda]] sedang mengadakan survei nama negeri-negeri di Seram Utara dan mencatat nama Masihulan dari orang-orang di Sawai. Masihulan berasal dari kata ''masiasu'' yang artinya <nowiki>'</nowiki>''orang kasiang''<nowiki>'</nowiki> atau 'pecundang'.{{sfn|Eduardo Erlangga Drestanta|2023|pp=91-113}} Masyarakat Sawai menggunakan istilah itu untuk mengejek masyarakat Masihulan sebagai komunitas lemah yang bersembunyi di hutan-hutan. Padahal, pada masa lalu, Masihulan dikenal sebagai negeri para pemberani atau ksatria (''warior'')kesatria.{{sfn|Eduardo Erlangga Drestanta|2023|pp=91-113}}

Penduduk Masihulan padaPada zaman dahulu, masyarakat Masihulan mempraktikkan [[ngayau|pengayauan]] atau perburuan kepala.{{sfn|Eduardo Erlangga Drestanta|2023|pp=91-113}} Tradisi ini mulai hilang sejak masuknya pemerintahan kolonial ke [[Pulau Seram]] bagian utara. Masihulan bersama negeri-negeri lainnya disatukan dalam suatu administrasi kolonial, dengan pusatnya di [[Wahai, Seram Utara, Maluku Tengah|Wahai]]. Hingga hampir 2 dekade Indonesia merdeka, penduduk Masihulan masih menganut kepercayaan nenek moyang, sebelum akhirnya pada tahun 1963, secara sukarela mereka memeluk [[Kristen Protestan]] dan menjadi jemaat dalam tubuh [[Gereja Protestan Maluku]]. Tiga tahun setelah baptisan pertama, seluruh penduduk Masihulan sudah beragama Kristen.{{sfn|Eduardo Erlangga Drestanta|2023|pp=91-113}}

Sebuah hubungan sosial yang tidak seimbang (''unequal'') antara [[Sawai, Seram Utara, Maluku Tengah|Sawai]] dengan Masihulan telah dipaksakan oleh Belanda sejak 1914. Penduduk Masihulan dipaksa turun ke pantai mendiami daerah bernama Poputun dan Belanda menjadikan mereka sebagai anak negeri atau bawahan dari Sawai. Sawai menjadi negeri induk dan memposisikan diri sebagai [[pertuanan (Maluku)|pertuanan]] atau bapak sementara Masihulan adalah ''aniala'' atau anak.{{sfn|Eduardo Erlangga Drestanta|2023|pp=91-113}}

* {{cite journal |author=Eduardo Erlangga Drestanta |date=2023 |title=Customary Village (Desa Adat) and Inter-Ethnic Fragmentations in Seram Island, Maluku |url=https://journals.openedition.org/archipel/3446#tocto1n2 |journal=ARCHIPEL |volume=105 |issue= |pages=91-113 |doi=https://doi.org/10.4000/archipel.3446 |access-date=1 Juni 2024 |ref= harv}}