Macapat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 202.67.40.50 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Hysocc |
RaFaDa20631 (bicara | kontrib) −Kategori:Budaya Jawa; +Kategori:Macapat menggunakan HotCat |
||
(65 revisi perantara oleh 42 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Gamelan Performance by Pasinaon Omah Kendeng 02.jpg|ka|jmpl|350px|Anak-anak dari Pasinaon Omah Kendheng membawakan macapat pada Festival Cipta Media Ekspresi di Taman Budaya Yogyakarta.]]
'''Macapat''' ({{lang-jv|ꦩꦕꦥꦠ꧀}}) adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut ''gatra'', dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (''guru wilangan'') tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut ''guru lagu''.<ref>Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan</ref> Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan [[Bali]],<ref>Hinzler (1994:v-vi)</ref>
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa [[Mataram Baru]], pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat.<ref name="ras309">{{Harvnb|Ras|1982|p=309}}</ref>
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: ''tembang cilik'', ''tembang tengahan'' dan ''tembang gedhé''.<ref name="arps14">{{Harvnb|Arps|1992|p=14-15}}</ref> Macapat digolongkan
▲Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa [[Mataram Baru]], pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat.<ref name="ras309">{{Harvnb|Ras|1982|p=309}}</ref>. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau ''gancaran'' pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja.<ref name="ras309"/> Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk ''[[Serat Wedhatama]]''<ref>Ras 1982:313</ref>, ''[[Serat Wulangreh]]''<ref>Ras 1982:314</ref>, dan ''[[Serat Kalatidha]]''.<ref>{{cite web|url=http://www.muurgedichten.nl/ranggawarsita.html |title=Ranggawarsita , serat Kalatidha - Een duistere tijd|accessdate=2010-05-2}}</ref>
▲Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: ''tembang cilik'', ''tembang tengahan'' dan ''tembang gedhé''.<ref name="arps14">{{Harvnb|Arps|1992|p=14-15}}</ref> Macapat digolongkan kepada kepada kategori ''tembang cilik'' dan juga ''tembang tengahan'', sementara ''tembang gedhé'' berdasarkan [[kakawin]] atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek.<ref name="arps14"/> Di sisi lain ''tembang tengahan'' juga bisa merujuk kepada ''[[kidung]]'', puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.<ref>Arps (1996:51)</ref>
Kalau dibandingkan dengan [[kakawin]], aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada [[bahasa Sanskerta]], dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.<ref name="arps14"/>
Baris 12:
Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa ''-pat'' merujuk kepada jumlah tanda diakritis (''sandhangan'') dalam [[aksara Jawa]] yang relevan dalam penembangan macapat.<ref name="arps62"/>
Kemudian menurut ''[[Serat Mardawalagu]]'', yang dikarang oleh [[Ranggawarsita]], macapat merupakan singkatan dari frasa ''maca-pat-lagu'' yang artinya ialah "melagukan nada keempat".<ref name="arps62"/> Selain ''maca-pat-lagu'', masih ada lagi ''maca-sa-lagu'', ''maca-ro-lagu'' dan ''maca-tri-lagu''.<ref name="arps62"/> Konon ''maca-sa'' termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri.<ref name="arps62"/> Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama ''[[kakawin|tembang gedhé]]''.<ref name="arps62"/> ''Maca-ro'' termasuk tipe ''tembang gedhé'' di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara.<ref name="arps62"/> ''Maca-tri'' atau kategori yang ketiga adalah ''tembang tengahan'' yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya.<ref name="arps62"/> Dan akhirnya, ''macapat'' atau ''tembang cilik'' diciptakan oleh [[Sunan Bonang]] dan diturunkan kepada semua wali.<ref name="arps62"/>
== Sejarah macapat ==
Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa [[Majapahit]] dan dimulainya pengaruh [[Walisanga]],
Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan [[kakawin]], mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara.<ref>{{Harvnb|Prijohoetomo|1934|p=?}}</ref> Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.
== Struktur macapat ==
Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa ''pupuh'', sementara setiap ''pupuh'' dibagi menjadi beberapa ''pada''.<ref name="ras309"
Jumlah ''pada'' per ''pupuh'' berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan.<ref name="ras309"/> Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi ''larik'' atau ''gatra''.<ref name="ras309"/> Sementara setiap ''larik'' atau ''gatra'' ini dibagi lagi menjadi suku kata atau ''wanda''.<ref name="ras309"/> Setiap ''gatra'' jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.<ref name="ras309"/>
Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama ''guru wilangan''.<ref name="ras309"/> Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap ''larik'' atau ''gatra'' diberi nama ''guru lagu''.<ref name="ras309"/>
Baris 31:
Ada beberapa jenis tembang macapat. masing-masing jenis tembang tersebut memiliki aturan berupa guru lagu dan guru wilangan masing-masing yang berbeda-beda. Yang paling dikenal umum ada 11 jenis tembang macapat. Yaitu, Pucung, Megatruh, Pangkur, Dangdanggula, dll. Lebih lengkap nya sebagai berikut,
# Pangkur
# Maskumambang berasal dari dua kata
# Sinom ada hubungannya dengan kata Sinoman, yaitu perkumpulan para pemuda untuk membantu orang
# Asmaradana/ Asmaradhahana berasal dari kata "Asmara" (Gejalak Asmara/ Gelora Cinta- Baasa Jawa) dan "Dhana"/ "Dhahana" (Api- Bahasa Jawa). Dalam mitologi dan kebudayaan hindu Asmara atau Hyang Asmara adalah nama dewa percintaan ([[Wayang|pewayangan]] jawa-bali). Dhana berasal dari kata Dahana yang berarti api. Nama Asmaradana berkaitan denga peristiwa hangusnya dewa Asmara oleh sorot mata ketiga dewa Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja. Dalam Serat Purwaukara, Smarandana diberi arti remen ing paweweh, berarti suka memberi. Dan dalam falsafah hidup orang jawa Asmaradana adalah suatu tembang yang menggambarkan gejolak cinta seorang pemuda yang kian membara/ berapi-api. Oleh karnanya di sepanjang pulau jawa, tembang jawa kuno Asmaradana tidak mungkin membawakan kisah kematian atau kesedihan karena bergesekan dengan pakem rasa orang jawa atau sudah menjadi selera paten orang jawa.
#
# Durma dari kata jawa klasik yang berarti harimau. Sesuai dengan arti itu, tembang Durma berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana seram. Pun demikian itu adalah beberapa versi yang kurang valid dan perlu dibuktikan kevalidannya. Kata "Durma" sangat identik dengan kata "Derma" (Memberi— Bahasa Jawa-Melayu). Dan dari penelusuran makna homofun tersebut adalah yang kian menguatkan alasan mengapa subtansi dari tembang Durma cenderung selalu petuah, nasehat, kabar menakutkan supaya taat agama, dsb. Durma ibarat, "hanya memberi tak harap kembali" atau pemaknaan yang lebih mengena adalah "anut sukur, ora anut—nyong ora rugi". Dalam falsafah jawa pun, tembang Durma ini identik ditembangkan oleh orang yang berumur kepada para pemuda supaya menjalani kehidupan dengan lebih baik dan benar serta tidak menyalahi larangan Tuhan Yang Maha Esa.
# Mijil dari kata Wijil (Biji - Bahasa Jawa). Mijil berarti biji yang keluar. Dalam metafora kebudayaan jawa adalah suatu pengibaratan bayi yang keluar dari gerbang rahim ibunya menuju dunia luar nan luas. Biji yang keluar adalah cikal bakal kehidupan yang berharga. Dari tidak ada kemudian diadakan hingga dilahirkan adalah suatu anugrah Tuhan yang amat besar. Oleh karena filosofi jawa-islam yang amat kental nan luhur tersebut Wijil/ Biji-bijian juga diartikan sebagai pintu/ gerbang tercatanya pahala dan lain sebagainya yang perlu dipupuk dan disemai air secukupnya hingga ia kanak-kanak dan beranjak dewasa dan siap menghadapi kehidupan.
# Kinanthi berarti menimang, bergandengan, berteman mesra. Dalam metafora jawa digambarkan sebagai kedua orang tua yang speechless namun bahagia sembari melihati buah hatinya setelah kelahirannya hingga sesaat sebelum ia mengalami keremajaan (ditandakan dengan aqil baligh dan munculnya romansa cinta). Yang tentunya dalam tatapan mereka berdua banyak harapan tertuang padanya supaya menjadi anak yang membanggakan & berbhakti kepada kedua orang tuanya, sukunya, bangsanya, dan tak luput juga negara dan agamanya. Sesuai dari semua arti itu, tembang Kinanthi berwatak suasana mesra dan senang penuh harap.
# Gambuh berarti
# Pucung/ Pocung adalah nama biji kepayang, Pucung adalah tetembangan yang
# Megatruh berasal dari awalan am,
Dan dalam paket kebudayaan, kebudayaan Jawa—Islam lah yang kian lekat dan pantas memiliki tembang 11 macapat ini. Karena mereka menerapkan dan menjadikannya sebagai pedoman hidup, melegitimasi dengan kepercayaan yang mereka anut, menggambarkan/ memetaforakan dengan sangat complicated dan detail, serta targeting mereka lebih mengena di hati dan akal manusia ada umumnya. Pun demikian, mereka tidak berhenti sampai disitu mereka terus berkreasi dengan pakem yang ada dan menyesuaikan dengan konten kehidupan manusia dari awal eksistensinya sebagai jabang bayi hingga berpisahnya roh dengan raga.
Kesemuaan unsur sedari historis hingga falsafah Jawa–Islam itu sudah susah lepas dalam ingatan siapa pemilik 11 tembang macapat sebenarnya. Pun demikian itu masih belum selesai. 11 lagu macapat ini ters mengalami peremajaan dan penyegaran setelah dimasukkan kedalam kurrikulum mata pelajaran Bahasa Jawa untuk SD–Perguruan Tinggi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara itu di lingkungan keraton seperti Keraton Ngayogyakarta — Yogyakarta sebagai contohnya saja, mobilitasnya lebih masif lagi dengan mengadakan event-event yang kental akan budaya.
Ada pula yang memasukkan tembang gede dan tembang tengahan ke dalam macapat. Tembang-tembang tersebut antara lain
# Wirangrong berarti trenyuh ( sedih ), nelangsa ( penuh derita ), kapirangu ( ragu-ragu )
# Jurudemung berasal dari kata juru yang berarti tukang
# Girisa
# Balabak, dalam Serat Purwaukara diberi arti kasilap atau terbenam. Apabila dihubungkan dengan kata bala dan baka, Balabak dapat berarti pasukan atau kelompok burung Bangau. Apabila terbang, pasukan burung Bangau tampak santai. Oleh karena itu tembang Balabak berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.
== Tabel macapat ==
Supaya lebih mudah membedakan antara ''guru gatra'', ''guru wilangan'' lan ''guru lagu'' dari tembang-tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini:<ref>Sesuai tabel yang diberikan oleh Ras (1982:310)</ref>
{| {{prettytable}}
Baris 124 ⟶ 130:
|<center>7</center>
|8i
|
|8é/o
|8a
|7a
Baris 306 ⟶ 312:
Sambaté mlas arsa<br />
Luhnya marawayan mili<br />
Gung tinamêng astanira
=== Sinom ===
Baris 348 ⟶ 354:
Lumuh tukua pawarta,<br />
Tan saranta nuruti hardengati,<br />
Satata tansah tinemu,<br />
Kataman martotama,<br />
Kadarmaning narendra sudibya sadu,<br />
Wus mangkana kalih samya,<br />
Sareng manguswa pada ji.
(Haji Pamasa, [[Ranggawarsita]])
Mingkar mingkuring angkara,<br />
Akarana karenan mardi siwi,<br />
Mangka nadyan tuwa pikun,<br />
Yen tan mekani rasa,<br />
Yekti sepi sepa lir asepa samun,<br />
Samangsane pakumpulan,<br />
Gonyak ganyuk nglelingsemi.
=== Durma ===
Baris 371 ⟶ 377:
Katiban pusaka mami<br />
Mara tibakna<br />
Curiganira nuli
(Langendriyan)
Baris 381 ⟶ 387:
Ana manuk mamatuk sasari<br />
Angsoka sulastri<br />
Ruru karya gandrung
(Haji Pamasa, Ranggawarsita)
Baris 396 ⟶ 402:
=== Pucung ===
Ngelmu iku kalakone kanthi laku<br />Lekase lawan kas<br />Tegese kas nyantosani<br />Setya budya pengekesing dur angkara
'''Contoh lain dalam versi tebak-tebakan jawa klasik:'''
Bapak Pocung, dudu watu, dudu gunung
''(Ayo tebak, dia bukan batu bukan pula gunung)''
Sabane ing sendhang
''(Dia suka tinggal di sungai)''
Ngon-ingone sang Bupati
''(Dipelihara orang kaya seperti Si Bupati)''
Yen lumaku si Pocung lembehan grono
''(Kalau berjalan Si Dia suka melambaikan hidung)''
Dan jawaban dari tebak-tebakan tembang pucung tersebut adalah Gajah. Inilah sebabnya tembang pucung amat populer dikalangan anak-anak. Karena menarik untuk dijadikan lagu permainan tebak-tebakkan. Pun demikian syarat pakem dari guru lagu dan guru wilangan harus tetap terpenuhi.
=== Jurudemung ===
Baris 426 ⟶ 435:
Adhedhasar adol bungkus<br />
Wus katur sarta kalilan<br />
Déning jeng kyai Tumenggung
(Serat Pranacitra)
Baris 436 ⟶ 445:
Kunir pita kasut kayu<br />
Wulucumbu Madukara<br />
Paran margane ketemu
(Serat Sekar-sekaran, [[Mangkunegara IV]])
Baris 447 ⟶ 456:
Yèn tan pantes ugi<br />
Sanadyan mung sakecap<br />
Yèn tan pantes prenahira
(Serat Wulang Rèh, [[Pakubuwana IV]])
Baris 458 ⟶ 467:
antuké<br />
Praptêng wisma wusing nyapu atetebah<br />
jogané
(Serat Jaka Lodhang, Ranggawarsita)
Baris 467 ⟶ 476:
pandhane<br />
Soring surya ana gunung gung saguja<br />
blegere
(Ki Padmosukoco)
Baris 493 ⟶ 502:
* {{en}} Th. Pigeaud, 1967, ''Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Volume I. Synopsis of Javanese Literature 900 - 1900 A.D.'' The Hague: Martinus Nyhoff
* {{jv}} Poerbatjaraka, 1952, ''Kapustakan Djawi''. Djakarta: Djambatan
* {{nl}} Prijohoetomo, 1934, '' Nawaruci
* {{nl}} J.J. Ras, 1982, ''Inleiding tot het modern Javaans''. Leiden: KITLV uitgeverij. ISBN 90-6718-073-4
* {{id}} I.C. Sudjarwadi et al., 1980, ''Seni macapat Madura: laporan penelitian. Oleh Team Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember''. Jember: Universitas Negeri Jember.
* Effendy, Moh Hafid (2021-01-30). "Nilai Religius pada Kearifan Lokal Tembang Macapat Madura". ''Khazanah Theologia''. '''3''' (1): 1–12. [[Digital object identifier|doi]]:10.15575/kt.v3i1.10959. [[International Standard Serial Number|ISSN]] 2715-9701
[[Kategori:Sastra Jawa]]
[[Kategori:
|