Nyai: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Menambahkan pranala |
||
(18 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Nyai''' adalah sebutan umum di [[Jawa Barat]], khususnya bagi wanita [[dewasa]].
Seorang nyai berada dalam posisi yang tinggi secara ekonomis, tetapi rendah secara moral. Secara ekonomis, mereka berada di atas rata-rata perempuan [[pribumi]] yang bukan bangsawan. Para nyai mengenakan kain [[songket]] bersulam benang emas dan perak, mengenakan tusuk konde roos, peniti intan, dan giwang yang terbuat dari berlian.
Nyai juga berarti isteri (nyonya) dari Kyai (gelar ulama di Jawa), misalnya [[Nyai Ahmad Dahlan]]. Tetapi [[Kiai]] di Kalimantan merupakan gelar menteri kerajaan dan gelar kepala distrik (Lalawangan) yang bukan keturunan bangsawan (Tutus Raja), sedangkan Nyai berarti gelar untuk wanita terhormat yang bukan keturunan bangsawan, misalnya [[Nyai Undang]], [[Nyai Siti Diang Lawai]], [[Nyai Ratu Komalasari]]. Ratu Komalasari adalah permaisuri Sultan Adam dari [[Kesultanan Banjar]], penambahan gelar Nyai di depan gelar '[[Ratu]]'
== Nyai dalam
Di sejumlah karya [[sastra]] yang terbit pada masa kolonialisme, seorang nyai selalu digambarkan sebagai sosok perempuan yang suka serong, bodoh, dan suka mencuri harta tuannya. Cerita ''[[Nyai Dasima]]'' yang dikarang G. Francis misalnya. Dasima, perempuan dari Kampung Koeripan menjadi nyai Tuan Edward W. Ia sangat dicintai dan dimanjakan layaknya istri yang sah. Namun, Dasima yang rupanya elok ternyata bukan perempuan yang bisa dipercaya. Ia serong dengan Baba Samioen dari Kampung Pedjambon.
Cerita Nyai Dasima di atas memiliki kesamaan dengan cerita ''[[Si Tjonat]]'' karangan F.D.J. Pangemanann, yang anehnya adalah pengarang pribumi. Adalah Saipa, nyai Tuan Opmeijer, asal Desa Tjirenang yang sangat elok dan muda belia. Sebelum menjadi nyai Tuan Opmeijer, Saipa dijual Kaenoen, abahnya, kepada Tjengkao seharga F 40 dan kemudian dijual lagi seharga dua ratus rupiah. Selama menjadi nyai, Saipa sangat dicintai tuannya.
Oleh [[Pramoedya Ananta Toer]], cerita tentang seorang nyai diangkat lewat tokoh Nyai Ontosoroh dalam roman ''[[Bumi Manusia]]''. Pram menggambarkan, Ontosoroh tidak sekadar nyai yang hanya menjadi objek seksual dan prestise sosial tuan kolonial. Nyai Ontosoroh menghadirkan dirinya tidak lagi sekadar gundik, piaraan, dan pajangan tuannya. Begitu pun tabiat suka serong yang dilekatkan pada nyai dibantah Ontosoroh, ia tidak genit saat menerima tamu lelaki. Ontosoroh menjelmakan dirinya menjadi sosok nyai yang berbeda. Ia merupakan harmonisasi dari paras dan rupa Timur yang elok dengan keuletan, keberanian, dan kepintaran seorang perempuan [[Eropa]]. Di titik inilah Ontosoroh menjelmakan dirinya sebagai bagian dari politik narasi kebangsaan. Ia hadir, mengiringi sekaligus mengambil bagian di dalam pergulatan kebangsaan sepanjang awal sampai pertengahan abad ke-19, masa awal [[kebangkitan nasional]].
Cerita tentang seorang nyai diangkat juga dalam ''[[Cerita Nyai Sarikem]]'' ([[1900]]), ''[[Nyai Isah]]'' ([[1903]]), ''[[Nyai Permana]]'' ([[1912]])
== Pranala luar ==
|