Kapitayan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Surijeal (bicara | kontrib)
k Membatalkan 3 suntingan oleh Akbarkediri (bicara) ke revisi terakhir oleh Allwe265(Tw)
Tag: Pembatalan
 
(46 revisi perantara oleh 18 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{takakurat}}
'''Kapitayan''' adalah sebuah keyakinan yang dianut oleh masyarakat kuno di bumi [[Nusantara]], yakni mereka yang termasuk ras kulit hitam (''Proto Melanesia'') semenjak era [[paleolitikum]]'','' [[mesolitikum]]'','' neolithikum dan [[Megalit|megalitikum]].<ref>{{Cite web|last=Dharmapala|first=Rangga Wisesa|date=2014-02-22|title=Sejarah Agama dan Kepercayaan Kapitayan|url=https://www.keajaibandunia.web.id/3311/sejarah-agama-dan-kepercayaan-kapitayan.html|website=Keajaiban Dunia|language=id-ID|access-date=2021-06-05}}</ref> Dengan datangnya orang [[Rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]], agama kapitayan dianut dan dijalankan turun temurun oleh ras [[Proto-Melayu|Proto Melayu]] dan [[Deutero melayu|Deutro Melayu]].<ref>Sunyoto (2017). p. 13.</ref> Agama ini umumnya ditemui di Jawa dan disebut agama Jawa kuno, agama leluhur, atau agama Jawi. Agama kapitayan bersifat [[monoteistik]].<ref>{{Cite web|last=Firdaus|first=Akhol|date=2019-09-26|title=Melacak Keberadaan Agama (Asli) Jawa|url=https://ijir.iain-tulungagung.ac.id/melacak-keberadaan-agama-asli-jawa/|website=Institute for Javanese Islam Research|language=id|access-date=2021-06-05}}</ref>
{{klaim sepihak}}
{{riset asli}}
{{taknetral}}
{{kontradiktif}}
{{italic title}}
{{about|[[agama Jawanik]] yang bersifat monoteistik|agama Jawanik yang bersifat non-monoteistik|Kejawen}}
{{Infobox religion
| name = {{lang|jv|Kapitayan}}
| native_name = {{lang|jv|ꦏꦥꦶꦠꦪꦤ꧀}}
| icon =
| icon_width =
| icon_alt =
| image = HYANG.gif
| imagewidth = 200px
| alt =
| caption =
| abbreviation =
| type = [[Agama asli Nusantara]]
([[Suku Jawa]])
| main_classification =
| orientation =
| scripture =
| theology = [[Monoteisme]]
| polity =
| governance = Majelis Nasional Agama Jawa
| structure =
| leader_title =
| leader_name =
| fellowships_type =
| fellowships =
| division_type =
| division =
| associations =
| full_communion =
| area = [[Jawa Tengah]] & [[Jawa Timur]]
| language ={{plainlist|
* [[Bahasa Jawa Kuno]] (biasa digunakan pada ritual keagamaan)
* [[Bahasa Jawa]] (terutama [[Bahasa Bagongan]])}}
| liturgy =
| headquarters = [[Jawa Tengah]]
| territory =
| possessions =
| founder =
| founded_date =
| founded_place =
| independence =
| reunion =
| recognition = Diakui sejak 2017, sebagai Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.<ref>{{Cite news|date=10 April 2018|title=Penghayat Kepercayaan: Setelah Putusan MK dan Kolom KTP|url=https://www.voaindonesia.com/amp/penghayat-kepercayaan-setelah-putusan-mk-dan-kolom-ktp/4340417.html#:~:text=Penghayat%20kepercayaan%20kepada%20Tuhan%20Yang%20Maha%20Esa,%20akan%20menerima%20Kartu%20Tanda%20Penduduk%20yang%20mencantumkan%20kolom%20kepercayaan.|work=voaindonesia.com|access-date=25 Juli 2023}}</ref>
| separated_from =
| branched_from =
| merger =
| absorbed =
| separations =
| defunct =
| congregations_type =
| congregations =
| members = [[Suku Jawa]]
| number_of_followers =
| ministers_type = | ministers = | missionaries =
| hospitals = | nursing_homes = | aid = | primary_schools = | secondary_schools = | tax_status = | tertiary =
| other_names = | publications = | website = | website_title1 = | slogan = | logo =
| module =
| footnotes = }}
{{Agama di Jawa}}
{{Agama asli di Nusantara}}
'''''Kapitayan''''' (dari {{lang-jv|ꦏꦥꦶꦠꦪꦤ꧀}}) adalah salah satu agama kuno di [[pulau Jawa]], khususnya bagi [[Suku Jawa]]. Kapitayan merupakan salah satu bentuk [[monoteisme]] asli Jawa yang dianut dan dijalankan oleh sebagaian masyarakat Jawa secara turun-temurun.<ref>Sunyoto (2017). p. 13.</ref> Agama ini juga kerap mengidentifikasikannya sebagai "agama kuno Jawa", "agama monoteis Jawa", "agama monoteis leluhur", "agama asli Jawa", yang mana berbeda dari [[Kejawen]] ([[agama Jawanik]] lainnya yang bersifat non-monoteistik).
 
== Etimologi dan terminologi ==
Secara etimologi, kata "''{{lang|kaw|Kapitayan}}''" merupakan istilah yang berasal dari [[bahasa Jawa Kuno]], yang memiliki kata dasar "''{{lang|kaw|Taya}}''" ([[Aksara Jawa Kuno|Caraka Kuno]]: [[File:Aksara Kawi ta.svg|15px]][[File:Aksara Kawi ya.svg|15px]]) yang berarti "tak terbayangkan", "tak terlihat" atau "mutlak" secara harfiah,<ref name="Old Javanese">{{citation|last=Zoetmulder|first=P.J.|title=Old Javanese-English Dictionary|year=1982|publisher=[[Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies|Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde]]}}</ref> dalam [[bahasa Sunda]] juga terdapat kata ''taya'' (singkatan dari ''teu aya'') yang memiliki arti "tidak ada" atau "tiada",<ref>{{Cite book|last=Satjadibrata|first=R.|date=1944|url=https://books.google.co.id/books?id=7nhhEAAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=kamus+sunda&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjvs8LrjIX6AhWqSGwGHU6XCA8Q6wF6BAgJEAE#v=onepage&q=taya&f=false|title=Kamus Sunda-Indonesia|location=Bandung|publisher=Dunia Pustaka Jaya|isbn=978-623-7295-22-8|pages=342|url-status=live}}</ref> dengan demikian itu berarti bahwa ''Taya'' tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan, atau tidak dapat digapai oleh [[panca indra]] duniawi manusia.<ref name=":2">Sunyoto (2017). p. 14.</ref>
Secara sederhana,  Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna hampa, kosong, ''suwung'', atau ''awang''-''uwung''. Kata ''awang''-''uwung'' bermakna ada tapi tidak ada, tidak ada tapi ada, untuk itu, supaya bisa dikenal dan disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat Ilahiah yang disebut Tu atau To yang bermakna "daya gaib" bersifat adikodrati. ''Taya'' bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindra.<ref name=":2">Sunyoto (2017). p. 14.</ref>
 
Kapitayan dapat digambarkan sebagai ajaran yang memuja atau menyembah ''{{lang|kaw|Taya}}'' ({{Script/Java|ꦠꦪ}}) atau ''{{lang|kaw|Sang [[Hyang]] Taya}}'' ({{Script/Java|ꦱꦁꦲꦾꦁꦠꦪ}}) yang merujuk kepada entitas yang tak terbayangkan dan tak terlihat, yang terkadang juga disebut sebagai ''Suwung'' (ꦱꦸꦮꦸꦁ), ''Awang'' (ꦲꦮꦁ), or ''Uwung'' (ꦲꦸꦮꦸꦁ).
 
Kata ''Awang-uwung'' (ꦲꦮꦁꦲꦸꦮꦸꦁ) mengacu pada keberadaan nyata tetapi tidak terjangkau, sehingga dapat diketahui dan disembah oleh makhluk duniawi termasuk manusia, dan ''{{lang|kaw|Sang [[Hyang]] Taya}}'' digambarkan sebagai entitas bersifat ketuhanan dan supranatural yang berkategori ''{{lang|kaw|Tu}}'' (ꦠꦸ) ataupun ''{{lang|kaw|To}}'' (ꦠꦺꦴ).<ref name=":2">Sunyoto (2017). p. 14.</ref>
 
 
== Prinsip keagamaan ==
 
=== Tuhan ===
Tuhan dalam agama kapitayan disebut Sang Hyang Taya. ''Taya'' berarti "''suwung''" (kosong). Tuhan Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan. Sang Hyang Taya diartikan sebagai "''tan keno kinaya ngapa''", tidak dapat dilihat, dipikirkan, atau dibayangkan, alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, supaya bisa disembah Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna "daya gaib" yang bersifat adikodrati.<ref name=":3">{{Cite journal|last=Sunyoto|first=Agus|date=2017|title=NU dan Faham Keislaman Nusantara|journal=Mozaic : Islam Nusantara|volume=3|issue=1|pages=15-30}}</ref> Tu atau To adalah tunggal dalam Dzat. Satu Pribadi. Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. Tu yang bersifat Kebaikan disebut Tu-han disebut dengan nama Sanghyang Wenang. Tu yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya bersifat gaib tidak dapat didekati dengan pancaindera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.<ref name=":3">{{Cite journal|last=Sunyoto|first=Agus|date=2017|title=NU dan Faham Keislaman Nusantara|journal=Mozaic : Islam Nusantara|volume=3|issue=1|pages=15-30}}</ref>{{rp|17}}
 
Kekuatan Sang Hyang Taya yang kemudian mewakili di berbagai tempat, seperti di batu, monumen, pohon, dan di banyak tempat lain.<ref>Galbinst (2019). ph. 13.</ref> Oleh karena itu, mereka memberikan persembahan atas tempat itu, bukan karena mereka menyembah batu, pohon, monumen, atau apa pun, tetapi mereka melakukannya sebagai pengabdian mereka kepada Sang Hyang Taya yang kekuatannya diwakili di semua tempat itu.<ref name=":0">Galbinst (2019). ph. 14.</ref> Agama kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti dalam agama Hindu dan Budha.<ref>Samantho, Ahmad Yanuana (Oktober 2016). ''Kapitayan Agama Pertama di Nusantara, Bukti bahwa Para Nabi Pernah diutus di Nusantara''. Dalam ''Agama Pertama di Tanah Jawa, Kapitayan, Agama Universal''. Halaman 4.</ref>
 
=== Teologi ===
Agama kapitayan ini, adalah agama kuno yang dipelajari dalam kajian arkeologi, yang tinggalan dan peninggalan arkeologisnya dalam terminologi Barat dikenal dengan dolmen, menhir, sarkofagus, dan lain-lain yang mengindikasikan adanya agama kuno disekitar tempat itu. Dan oleh sejarawan Belanda, agama ini secara salah disebut sebagai animisme dan dinamisme, karena memuja pohon, batu, dan makhluk halus. Menurut sudut pandang Ma Huan, praktek penyembahan benda-benda seperti itu disebut orang yang tidak beriman.<ref name=":0" /> Kapitayan ini lebih menyerupai [[Tauhid|ketauhidan]] daripada animisme-dinamisme seperti yang kebanyakan peneliti anggap. Penyebutan sebagai animisme-dinamisme sendiri muncul oleh karena, secara tampilan fisik, ritual yang dilakukan oleh para penganutnya tampak sebagai penyembahan terhadap benda-benda. Secara sederhana, penyembahan benda-benda itu dipahami sebagai pemujaan terhadap kekuatan benda itu sendiri (animisme-dinamisme). Sebenarnya, pada awalnya ajaran Kapitayan justru tidak menyembah benda itu sebagai kekuatan mutlak, namuntetapi lebih pada penyembahan Sang Hyang, kekuatan tertinggi. Benda-benda yang terdapat dalam ritual keagamaan, seperti pohon, batu, dan mata air adalah beberapa perwujudan saja dari kekuatan yang maha tinggi Sang Hyang tersebut.<ref>{{Cite journal|last=Ridho|first=Ali|date=2019|title=Tradisi Megengan dalam Menyambut Ramadhan: Living Qur’an Sebagai Kearifan Lokal Menyemai Islam di Jawa|journal=Jurnal Literasiologi|volume=1|issue=2|pages=24-50}}</ref>{{rp|25}}
 
Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sanghyang Taya yang disebut TUTu atau TOTo itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama TUTu atau TOTo. Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-TUtu, TUtu-gu, TUtu-tuk,TU tu-nda, TUtu-lang, TUtu-nggul, TUtu-ak, TUtu-k, TUtu-ban, TUtu-mbak,TUnggak tunggak, TUtu-lup,TUtu-ngkub, TUtu-rumbukan, un-TUtu, pin-TUtu, TUtu-tud, TOto-peng, TOto-san, TOto-pong, TOto-parem, TOto-wok, TOto-ya. (sisaSisa-sisa sarana pemujaan inilah yang dalam arkeologi dikenal sebagai Menhir, Dolmen, Punden Berundak, Nekara, SarcopagusSarkofagus, dan lain lain). Dalam melakukan bhakti memuja Sanghyang Taya melalui sarana-sarana inilah, orang menyediakan sesaji berupa TUmpeng[[tumpeng]], TUtu-mbal, TUtu-mbu, TUtu-kung, TUtu-d kepada Sanghyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib.<ref name=":3" />{{rp|17}}
 
Seorang hamba pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (TUtu-ah) dan yang bersifat negatif (TUtu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai TUtu-ah dan TUtu-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-TUtu atau dha-TUtu. Mereka yang sudah dikaruniai TUtu-ah dan TUtu-lah, gerak-gerik Kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sanghyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-TUtu atau dha-TUtu, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika berbicara disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut PI-wulang. Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut PI-tuduh. Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut PIandel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PItapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PIndodakakriya (nasi dan air), PI-sang. Jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut PI-tara. Seorang raTUratu atau dha-TUtu, adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sanghyang Taya. Seorang raTUratu adalah citra Pribadi Sanghyang Tunggal.<ref name=":3" />{{rp|17-18}}
 
Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di muka, kedudukan ra-TUtu dan dha-TUtu tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-TUtu yang dituntut keharusan fundamental memiliki TUtu-ah dan TUtu-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis pada anak keturunannya. Seorang ra-TUtu harus berjuangkeras menunjukkan keunggulan TUtu-ah dan TUtu-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya. Penguasa wisaya diberi sebutan Raka. Seorang raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-TUtu. Dengan demikian, ra-TUtu adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan Tutu-ah dan TUlahtulah yang dimilikinya.<ref name=":3" />{{rp|18}}
 
Nilai-nilai keagamaan Kapitayan inilah yang kemudian diadopsi oleh para Walisongo dalam menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah. Karena konsep tauhid dalam Kapitayan pada dasarnya sama dengan konsep tauhid dalam Islam: istilah “Tan“''Tan keno kinaya ngapa”ngapa''” dalam Kapitayan (“tidak dapat dilihat, tidak dapat dipikirkan, tidak dapat dibayangkan, Ia berada di luar segalanya"), memiliki arti yang sama dengan "laisa kamitslihi syai'un" dalam Islam ("Tidak ada yang seperti Dia"; Qur'an Surah Ash-Syura bab 42 ayat 11).<ref name=":0" />
 
Walisongo juga menggunakan istilah “Sembahyang” (menyembah Sang Hyang Taya di Kapitayan) dalam memperkenalkan istilah “Shalat” dalam Islam. Dalam hal tempat pemujaan atau persembahyangan, Walisongo juga menggunakan istilah Sanggar di Kapitayan, yang merupakan bangunan empat persegi dengan lubang kosong di dindingnya sebagai simbol Sang Hyang Taya di Kapitayan, bukan arca atau arca seperti dalam agama Hindu atau agama Buddha. Istilah tempat untuk berdoa atau beribadah di Kapitayan ini juga digunakan oleh Walisongo dengan nama "Langgar" mewakili istilah Masjid dalam Islam.<ref>Sunyoto (2017). ph. 17.</ref><ref name=":0" />
 
Ada juga ritual tidak makan dari pagi hingga malam di Kapitayan, yang disebut dengan Upawasa (Puasa atau Poso). Kebetulan, ritual puasa dalam agama Hindu disebut juga dengan Upawasa atau Upavasa.<ref>{{Cite web|title=Upavasa - Banglapedia|url=http://en.banglapedia.org/index.php?title=Upavasa|website=en.banglapedia.org|access-date=2019-11-20}}</ref> Alih-alih menggunakan istilah puasa atau Siyam dalam Islam, Walisongo menggunakan istilah Puasa atau Upawasa dari Kapitayan dalam menggambarkan ritual tersebut. Sebutan Poso Dino Pitu dalam Kapitayan yang artinya puasa pada hari kedua dan kelima yang sama dengan puasa tujuh hari, sangat mirip dengan bentuk puasa Senin dan Kamis dalam Islam. Tradisi "Tumpengan" Kapitayan juga dilestarikan oleh para Walisongo dalam perspektif Islam yang dikenal sebagai "Sedekah". Inilah makna istilah yang disebut-sebut oleh Gus Dur (presiden keempat Indonesia) sebagai "mempribumikan Islam".<ref name=":0" />
 
=== Praktik ibadah ===
Dalam rangka melakukan puja bakti kepada Sanghyang Tunggal, penganut Kapitayan menyediakan sajen berupa Tutu-mpeng, Tutu-mpi (kue dari tepung), Tumbutumbu (keranjang persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), Tutu-ak (arak), Tutu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada Sanghyang Tu-nggal yang daya gaib-Nya tersembunyi pada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti Tutu-ngkub, Tutu-nda, wa-Tutu, Tutu-gu, Tutu-nggak, Tutu-k,Tu tu-ban, Tutu-rumbukan, Tutu-tuk. Para penganut Kapitayan yang punya maksud melakukan Tutu-ju (tenung) atau keperluan lain yang mendesak, akan memuja Sanghyang Tutu-nggal dengan persembahan khusus yang disebut Tutu-mbal.<ref name=":1">Sunyoto (2017). ph. 16-17.</ref>
 
Berbeda dengan pemujaan terhadap Sanghyang Tunggal yang dilakukan masyarakat awam dengan persembahan sajen-sajen di tempat-tempat keramat, untuk beribadah menyembah Sanghyang Taya langsung, amaliah yang lazim dijalankan para ruhaniwan Kapitayan, berlangsung di suatu tempat bernama sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpang dengan Tu tututu-k (lubang ceruk) di dinding sebagai lambang kehampaan Sanghyang Taya.<ref name=":1" />
 
Dalam bersembahyang menyembah Sanghyang Taya di sanggar itu, para ruhaniwan Kapitayan mengikuti aturan tertentu: mula-mula, sang ruhaniwan yang sembahyang melakukan Tutu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutututu-k (lubang ceruk) dengan kedua tangan diangkat ke atas menghadirkan Sanghyang Taya di dalam Tutututu-d (hati). Setelah merasa Sanghyang Taya bersemayam di hati, kedua tangan diturunkan dan didekapkan di dada tepat pada hati. Posisi ini disebut swa-dikep (memegang ke-aku-an diri pribadi). Proses Tutu-lajeg ini dilakukan dalam tempo relatif lama. Setelah Tutu-lajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam tempo relatif lama. Lalu dilanjutkan lagi dengan posisi Tutu-lumpak (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki). Yang terakhir, dilakukan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya). Selama melakukan Tutu-lajeg, Tutu-ngkul, Tutu-lumpak, dan To-ndhem dalam waktu satu jam lebih itu, ruhaniwan Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Keberadaan Sanghyang Taya (Yang Hampa) yang sudah disemayamkan di dalam Tutututu-d (hati).<ref name=":1" />
 
== Sejarah ==
Dalam konteks “agama angin muson”, agama kuno yang disebut  Kapitayan merupakan agama yang dianut penghuni Nusantara, yang menurut cerita kuno adalah agama purbakala yang dianut oleh penghuni lama Pulau Jawa berkulit hitam. Dalam keyakinan penganut Kapitayan di Jawa, leluhur yang awal sekali dikenal sebagai penganjur  Kapitayan adalah tokoh mitologis  Danghyang Semar putera Sanghyang Wungkuham keturunan  Sanghyang Ismaya. Menurut cerita, negeri asal  Danghyang Semar adalah  Swetadwipa, benua yang tenggelam akibat banjir besar yang menyebabkan  Danghyang  Semar dan kaumnya mengungsi ke  Pulau Jawa. Sanghyang Semar memiliki saudara bernama  Sang  Hantaga (Togog) yang tinggal di negeri seberang (luar  Jawa), yang juga mengajarkan Kapitayan tapi sedikit berbeda dengan yang diajarkan  Danghyang  Semar. Saudara  Danghyang  Semar yang lain lagi bernama  Sang Manikmaya, menjadi penguasa di alam gaib kediaman para leluhur yang disebut Ka-hyang-an.<ref name=":2" />
 
Tokoh-tokoh idola dalam ajaran  Kapitayan seperti Danghyang  Semar,  Kyai  Petruk, Nala Gareng, dan  Bagong dimunculkan sebagai punakawan yang memiliki kekuatan adikodrati yang mampu mengalahkan dewaDewa-dewa Dewa dalam Agama Hindu.<ref>Sunyoto (2017). ph. 178.</ref>
 
== Rujukan ==
Baris 45 ⟶ 116:
* {{citation|last=Galbinst|first=Yuri|year=2019|title=Islam: Dari Indonesia ke Dinasti Safawi|location=Cambridge|publisher=Cambridge Stanford Books}}
* {{citation|last=Sunyoto|first=Agus|year=2017|title=Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo Sebagai Fakta Sejarah|location=Tangerang Selatan|publisher=Pustaka Iman}}
{{Authority control}}
 
{{Agama di Indonesia}}
[[Kategori:Kapitayan| ]]
[[Kategori:Kepercayaan tradisional Indonesia]]
[[Kategori:Spiritualitas]]
[[Kategori:Budaya Jawa]]
[[Kategori:Agama]]
[[Kategori:Agama di Indonesia]]