Suku Badui: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Dikembalikan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(39 revisi perantara oleh 25 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{no footnotes|date=Juli 2021}}
{{Ethnic group |
|group =Orang Badui
|native_name = {{small| ''Urang Kanékés''}}
|image = Raiyani Muharramah-Pakaian badui luar DSCF2964.jpg
|caption = Kelompok suku Badui luar
|poptime =
|region =[[Kabupaten Lebak]]
|langs =[[Bahasa Badui|Bahasa Sunda Badui]]
|rels = {{•}} 99% [[Berkas:Kembang Cakra Symbol.svg|17px]] [[Sunda Wiwitan]]<br>{{•}} 1% [[Berkas:Allah-green.svg|15px]] [[Islam|Islam Sunni]]
|related =[[Suku Banten|Sunda Banten]]
|population=|region1=[[Banten]]|pop1={{circa}} 26.000 jiwa}}
'''Suku Badui''' {{aka}} '''Sunda Badui''' ([[Bahasa Badui]]: '''''[[Urang Kanékés]]'''''
Suku Badui termasuk
Masyarakat Badui menolak istilah "[[Pariwisata|wisata]]" atau "pariwisata" untuk mendeskripsikan kampung-kampung mereka. Sejak 2007, untuk mendeskripsikan wilayah mereka serta untuk menjaga kesakralan wilayah tersebut, masyarakat Badui memperkenalkan istilah "[[Saba Budaya Badui]]", yang bermakna "Silaturahmi Kebudayaan Badui".<ref>{{Cite
<!-- BUTUH UPDATE KHUSUS
== Demografi ==
Baris 21:
== Etimologi ==
Sebutan "Badui" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti [[Belanda]] yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok [[Suku Badui (Arab)|Arab Badawi]] yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah ([[nomaden]]). Kemungkinan lain adalah karena adanya [[Sungai Badui]] dan [[Gunung Badui]] yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai ''[[urang Kanekes]]'' atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti ''[[Urang Cibeo]]'' (Garna, 1993).
Berdasarkan [[Kamus Besar Bahasa Indonesia]], penulisan yang tepat adalah "Badui", bukan "Baduy".<ref name="Hasil Pencarian - KBBI Daring"/>
== Wilayah ==
[[Berkas:Rumah Tradisional Warga Baduy Luar 2.jpg|jmpl|Bangunan rumah adat warga Badui Luar]]
Suku Badui bermukim di wilayah di [[Kanekes, Leuwidamar, Lebak|Desa Kanekes]], [[Leuwidamar, Lebak|Kecamatan Leuwidamar]], [[Kabupaten Lebak]]. Permukimannya terpusat di [[daerah aliran sungai]] pada [[Ci Ujung|sungai Ciujung]] yang termasuk dalam wilayah Cagar Budaya [[Pegunungan Kendeng]].<ref>{{Cite book|last=BPS Provinsi Banten|date=2019|url=https://dmsppid.bantenprov.go.id/upload/dms/52/buku-pbda-2019-final.pdf|title=Pariwisata Banten dalam Angka Tahun 2019|publisher=Dinas Pariwisata Provinsi Banten|pages=51|url-status=live}}</ref> Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng yang berjarak sekitar
Tiga desa utama Kanekes Dalam adalah [[Cikeusik (Kanekes)|Cikeusik]], [[Cikertawana]], dan [[Cibeo]].{{Butuh rujukan}}
Baris 37:
== Kelompok masyarakat ==
[[Berkas:
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu ''tangtu'', ''panamping'', dan ''dangka'' (Permana, 2001).
Baris 67:
* Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
* Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
* Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam ''buffer zone'' atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
== Asal usul ==
[[Berkas:
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes, mempunyai tugas bertapa atau ''asketik'' (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan [[Kerajaan Sunda]] yang sebelum keruntuhannya pada [[abad ke-16]] berpusat di [[Pakuan Pajajaran]] (sekitar [[Bogor]] sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat [[pulau Jawa]] ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Badui merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara ''kabuyutan'' (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. ''Kebuyutan'' di daerah ini dikenal dengan ''kabuyutan'' Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (''wiwitan''=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama [[Sunda Wiwitan
[[Berkas:
== Kepercayaan ==
Baris 95:
== Pemerintahan ==
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai ''jaro pamarentah'', yang ada di bawah [[camat]], sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
[[Berkas:
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung ''tangtu''. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan ''Pu'un'' tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
== Mata pencaharian dan pemenuhan pangan ==
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani [[Budidaya padi lahan kering|padi huma]]. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti [[durian]] dan [[asam keranji]], serta [[madu]] hutan. Bertani merupakan pekerjaan utama masyarakat Badui dan padi adalah tanaman utama yang dibudidayakan. Orang Badui menanam padi ladang atau ''ngahuma''. Mereka pantang menanam di sawah, sehingga tidak pernah menggunakan cangkul untuk mengolah tanah. Alat pertanian yang digunakan yaitu parang dan tunggak untuk memasukkan benih. Di ladang, orang Baduy akan menanam padi satu kali dalam setahun dengan benih lokal. Masa tanam hingga panen membutuhkan waktu selama lima bulan.<ref>{{Cite book|last=Arif|first=Ahmad|date=2021|title=Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan|location=Jakarta|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|isbn=9786024814809|pages=251|url-status=live}}</ref>
== Interaksi dengan masyarakat luar ==
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya [[Kesultanan Banten]] yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan ''[[seba]]'' ke [[Kesultanan Banten]] (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara [[barter]], sekarang ini telah mempergunakan mata uang [[rupiah]] biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para [[tengkulak]]. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun, sampo atau
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
== Catatan ==
<references group="lower-alpha" responsive="1"></references>
== Rujukan ==
Baris 114 ⟶ 117:
== Kepustakaan ==
* Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 – 59.
* Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
Baris 139 ⟶ 142:
* Tricht, B. van, 1929 Levende Antiquiteiten in West-Java. Djawa IX: 43-120.
* {{Cite book|last=Rahardjo|first=D.M.|first2=Y.S.|last3=Rahayu|year=2002|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/10756/|title=Urang kanekes di Banten Kidul|location=Jakarta|publisher=Badan pengembangan kebudayaan dan pariwisata|oclc=993742641|ref=harv|url-status=live}}
== Pranala luar ==
{{GambarLuar|[http://teweraut.multiply.com/photos/album/27/SITUS_MEGALITIK_ARCA_DOMAS Arca Domas]}}
Baris 153:
{{authority control}}
{{DEFAULTSORT:Badui, Suku}}
[[Kategori:Suku bangsa di Banten]]
|