Kesultanan Buton: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: gambar rusak VisualEditor
 
(144 revisi perantara oleh 65 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{gabungdari|Sejarah Buton (Wolio)}}
{{rapikan}}
{{refimprove}}
'''[[Kesultanan Buton]]''' terletak di [[Pulau Buton]], tenggara Pulau Celebes atau namanya sekarang, [[Sulawesi]], pada zaman dahulu pernah mempunyai kerajaan sendiri. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan [[Majapahit]]. Patih [[Gajah Mada]] dalam [[Sumpah Palapa]], menyebut nama Pulau Buton.
{{Infobox Former Country
| conventional_long_name = Kesultanan Buton
| common_name = Buton
| religion = [[Islam]]
| p1 = Majapahit
| p2 = Kesultanan Melaka
| s1 = Indonesia
| flag_p1 = Majapahit fictitious flag.svg
| flag_s1 = Flag_of_Indonesia.svg
| year_start = 1332
| year_end = 1960
| date_start =
| date_end =
| event_start = Didirikan
| event_end = Bergabung Dengan [[Indonesia]]
| image_flag = Longa-longa Bendera Kesultanan Buton.jpg
| image_coat =
| symbol_type =
| image_map = Buton Topography.png
| image_map_caption = Wilayah Kekuasaan Buton
| capital = [[Kota Baubau|Baubau]]
| common_languages = {{bulleted list|[[Bahasa Wolio|Wolio]],{{butuh rujukan}}|[[Bahasa Cia-cia|Cia-cia]],{{butuh rujukan}}|[[Bahasa Kulisusu|Kulisusu]],{{butuh rujukan}}|[[Bahasa Tukang Besi|Kaumbeda]],{{butuh rujukan}}|[[Bahasa Moronene|Moronene]],{{butuh rujukan}} dan|[[Bahasa Muna|Muna]]{{butuh rujukan}}}}
| government_type = [[Kesultanan]]
| title_leader = Sultan (''Yang Mulia Mahaguru'')<br>Sara Pangka (Eksekutif),<br> Sara Gau (Legislatif),<br> Sara Bitara (Yudikatif)
| currency =
| footnotes =
| p3 = Kesultanan Gowa
| flag_p3 = Flag_of_the_Sultanate_of_Gowa.svg
}}
 
{{Sejarah_Indonesia}}
==Sejarah awal==
[[Mpu Prapanca]] juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, [[Negara Kartagama]]. Sejarah yang umum diketahui orang, bahawa [[Kerajaan Bone]] di [[Sulawesi]] lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, iaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Beliau berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
 
[[Berkas:Detik IMG 4284.JPG|jmpl|300px|Salah satu istana Sultan Buton yang masih dapat dijumpai di [[Kota Baubau]]]]
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahawa di Callasusung (Kalensusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De kraton van Boeton TMnr 60028794.jpg|jmpl|300px|Kraton Buton pada tahun 1910-1940]]
'''[[Kesultanan]] [[Buton]]''' terletak di Kepulauan [[Buton]] (Kepulauan Sulawesi Tenggara) [[Provinsi]] [[Sulawesi tenggara]], di bagian tenggara Pulau [[Sulawesi]].<!-- dahulu Celebes --> Pada zaman dahulu memiliki [[kerajaan]] sendiri yang bernama [[kerajaan]] [[Buton]] dan berubah menjadi bentuk [[kesultanan]] yang dikenal dengan nama [[Kesultanan]] [[Buton]]. Nama Pulau [[Buton]] dikenal sejak zaman pemerintahan [[Majapahit]], Patih [[Gajah Mada]] dalam [[Sumpah Palapa]], menyebut nama Pulau [[Buton]].
 
== Sejarah ==
Selain pendapat yang menyebut bahawa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahawa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari pelbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahawa walau pun bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Melaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
{{main|Sejarah Buton (Wolio)}}
=== Sejarah Awal ===
Kerajaan [[Buton]] awalnya terdiri dari perkampungan kecil yang dinamakan '''Wolio''' (saat ini berada dalam wilayah [[Kota Bau-Bau]]) yang dipimpin dengan sistem pemerintahan tradisional dan berbentuk 4 ''Limbo'' (Empat Wilayah Kecil) yaitu ''Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa'' dan ''Baluwu'' yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang ''Bonto'' sehingga lebih dikenal dengan ''Patalimbona''. Pemerintahan ini dirintis oleh kelompok [[Mia Patamiana]] (si empat orang) yaitu ''Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati'' yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah [[Melayu]] pada akhir abad ke – 13.<ref name="Pemkot Baubau"/>
 
Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti ''Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga'' dan ''Batauga''. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan [[Wa Kaa Kaa]] (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan [[Kerajaan Majapahit]]) menjadi Raja I pada tahun [[1332]] setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (yang dikemudian hari menjadi lembaga legislatif). [[Mpu Prapanca]] juga menyebut nama Pulau [[Buton]] di dalam naskah [[Kakawin Nagarakretagama]], yang membuktikan adanya hubungan.<ref name="Pemkot Baubau">{{cite web | title=Pemerintah Kota Baubau | website=Selamat datang | url=https://web.baubaukota.go.id/pages_detail/sejarah-kota-baubau | language=id | access-date=2023-11-27}}</ref>
Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
 
=== Raja Buton masukMasuk Islam ===
Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa [[Kerajaan Bone]] di [[Sulawesi]] lebih dulu menerima agama [[Islam]] yang dibawa oleh [[Datuk ri Bandang]] yang berasal dari [[Minangkabau]] sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya [[Sayid Jamaluddin al-Kubra]] lebih dulu sampai di Pulau [[Buton]], yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh [[Raja]] [[Mulae Sangia i-Gola]] dan baginda langsung memeluk [[agama]] [[Islam]]. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] yang dikatakan datang dari [[Johor]]. Ia berhasil mengislamkan [[Raja]] [[Buton]] yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Kerajaan Buton secara rasminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilapotan atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahawa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu Gatas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.
 
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimanapun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan [[Syeikh Abdul Wahid]] di [[Buton]]. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al- Fathani]], diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan [[Kerajaan]] [[Buton]], didapati semua penduduknya beragama [[Islam]].<ref>{{Cite book|last=mubarok|first=frenky|date=2023|title=fungsi, jejaring, & budaya naskah nusantara|location=depok|publisher=Manassa|isbn=9786026018267|pages=122|url-status=live}}</ref>
Di Pulau Batu Gatas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
 
Selain pendapat yang menyebut bahwa [[Islam]] datang di [[Buton]] berasal dari [[Johor]], ada pula pendapat yang menyebut bahwa [[Islam]] datang di [[Buton]] berasal dari [[Ternate]]. Dipercayai orang-orang [[Melayu]] dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau [[Buton]]. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walaupun [[Bahasa]] yang digunakan dalam [[Kerajaan]] [[Buton]] ialah [[bahasa]] [[Wolio]], namun dalam masa yang sama digunakan [[Bahasa]] [[Melayu]], terutama [[bahasa]] [[Melayu]] yang dipakai di [[Malaka]], [[Johor]] dan [[Patani]]. Orang-orang [[Melayu]] tinggal di Pulau [[Buton]], sebaliknya orang-orang [[Buton]] pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang [[Bugis]] juga. Orang-orang [[Buton]] sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia [[Melayu]] dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Walau bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan kerana daripada sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
 
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, yaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau [[Halu Oleo]]. Bagindalah yang diislamkan oleh [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] yang datang dari [[Johor]]. Menurut beberapa riwayat bahwa [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] sebelum sampai di [[Buton]] pernah tinggal di [[Johor]]. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke [[Adonara]]. Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau [[Batu atas]] yang termasuk dalam pemerintahan [[Buton]].
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
[[Berkas:Rajaterakhir4.jpg|jmpl|300px|Sultan Buton ke 38, Muhamad Falihi Kaimuddin bersama Presiden RI Pertama [[Soekarno]]]]
Di Pulau [[Batu atas]], [[Buton]], [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] bertemu [[Imam Pasai]] yang kembali dari [[Maluku]] menuju [[Pasai]] ([[Aceh]]). [[Imam Pasai]] menganjurkan [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] pergi ke [[Pulau Buton]], menghadap Raja [[Buton]]. [[Syeikh Abdul Wahid]] setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah [[Raja]] [[Buton]] memeluk [[Islam]], Baginda langsung ditabalkan menjadi [[Sultan Buton]] oleh [[Syeikh Abdul Wahid]] pada tahun 948 H/1538 M.
 
Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain menyebutkan bahwa [[Syeikh Abdul Wahid]] merantau dari Patani-Johor ke [[Buton]] pada tahun 1564 M. Sultan [[Halu Oleo]] dianggap sebagai [[Sultan]] [[Buton]] pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu [[Sultan]] [[Qaimuddin]]. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama [[Islam]].
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:
 
Dalam riwayat yang lain menyebut bahwa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru dia yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
 
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekanbaru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:
# Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
# Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
# Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru beliaudia yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekali gussekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.
 
Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul [[Kabanti]] Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawabahwa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahawabahwa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538 Miladiyah.
[[Berkas:Kesultanan Buton.jpg|jmpl|300px]]
Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), berarti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi karena masa dia telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, tampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
 
Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahwa kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
 
Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktivitas Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja ataupun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.
Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama''. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani ? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
 
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahwa ada hubungan antara [[Patani]] dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahwa orang Buton sembahyang Jum'at di Ternate.
Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.
 
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam maupun sekular, terdapat perbedaan yang sangat kental dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan [[Martabat Tujuh]]. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Namun ajaran syariat tidak diabaikan.
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahawa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate.
 
Semua perundang-undangan ditulis dalam [[Bahasa Wolio]] menggunakan [[huruf Arab]], yang dinamakan [[Buri Wolio]] seperti kerajaan-kerajaan Melayu menuliskan bahasa Melayu menggunakan [[Abjad Arab-Melayu]]. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundang-undangan, juga digunakan dalam penulisan silsilah kesultanan, naskah-naskah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam mahu pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau bagaimanapun ajaran syariat tidak diabaikan.
[[Berkas:Bangsawan Buton.jpg|jmpl|300px|Bangsawan Buton]]
 
== Pemerintahan ==
Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.
'''
==KEPERCAYAAN REINKARNASI==*'''
Satu hal yang paling menonjol pada sufisme ini, di pusat Kesultanan Wolio, ialah kepercayaan pada reinkarnasi yang masih hidup di Buton masa kini, terutama di pusat. Di desa-desa, kepercayaan pada reinkarnasi tidak terlalu kuat dan dianggap sebagai ajaran Islam sebagaimana disebarkan di pusat.
Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni:
1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
 
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan Murhum.
Mengenai kematian dan akhirat, bagi orang muslim penguburan diikuti dengan serangkaian upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak, orang Muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya akan ajaran Islam tentang kiamat dan pengadilan nanti, masuk surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada kepercayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang lain.
'''
A. Asal-Usul Kepercayaan Pada Reinkarnasi'''
Reinkarnasi berarti penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati. Reinkarnasi merupakan kepercayaan bahwa jiwa tinggal pada pada banyak tubuh, satu sesudah yang lain dan dapat hidup berkali-kali di dunia sebelum akhirnya dimurnikan seutuhnya dan dengan demikian bebas dari keharusan untuk pindak ke tubuh lain. Menurut kepercayaan ini, jiwa sudah ada sebelum masuk ketubuh dan sesudah kematian pun tetap ada dalam keadaan tanpa tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai satu tubuh dari jenis yang sama atau yang lain. Dalam berbagai bentuk, reinkarnasi diterima oleh agama Budha, Hindhu dan Neoplatonisme.
 
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit.
Bila mendengar atau membaca soal kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton, orang mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?. Ada beberapa kemungkinan. Orang dapat menerka itu telah ada dalam kebudayaan Buton pra-Islam (dan mungkin pra-Hindu). Kemungkinan kedua, kepercayaan itu terbentuk di bawah pengaruh Hindu sebelum pengislaman, khususnya sebagai akibat adanya hubungan dengan kerajaan Jawa-Hindu; Majapahit. Kemungkinan ketiga yang patut disebut, gagasan reinkarnasi terkandung dalam sufisme yang dibawa ke Buton.
Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.
 
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, Ratu Waa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat Kesultanan Buton adalah lambang demokrasi Kesultanan Buton.
Wilken (1912:64-90) berdasarkan kepustakaan yang ada pada 1884, berkesimpulan bahwa kepercayaan pada perpindahan arwah memang dikenal oleh berbagai suku di Indonesia. Ia menganggap ide tentang reinkarnasi sebagai bentuk khusus daripadanya. Pada hematnya, “ajaran tentang perpindahan arwah” merupakan konsep asli Polinesia, maksudnya gagasan Indonesia asli (Wilken 1912:64). Tentang kebudayaan Jawa ia memang menunjuk kepada Hindu, namun ia memberi kesan bahwa disitu pun, ia berasumsi gagasan Indonesia asli sangat penting (Wilken 1912:64 dan 68).
di sini dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.
 
Pembagian kelompok di majelis yang diatur dalam UU yang disebut Tutura ini adalah sebagai berikut:
Mengenai anggapan bahwa pengaruh Hindu di Buton, ada beberapa bukti yang dapat diajukan. Pertama, tradisi setempat menyebut adanya hubungan dengan Majapahit. Pernyataan ini diperkuat oleh nama-nama raja Buton pada kurun waktu itu, yang menyiratkan pengaruh Jawa Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru, Tuarade dan Rajamulae. Menurut cerita turun-temurun, raja keenam masuk Islam dan kemudian menggunakan gelar sultan. Lalu ia disebut dengan Murhum, yang berasal dari bahasa Arab marhum (Zahari 1977, I:46).
# Eksekutif = Sara Pangka
# Legislatif = Sara Gau
# Yudikatif = Sara Bitara
 
Ada 114 anggota majelis Sara buton yang terdiri dari 3 fraksi
Bukti kedua merupakan cerita, termasuk cerita turun-temurun, bahwa raja keempat, Tuarade, dari kunjungannya ke Majapahit membawa pulang empat tanda kekuasaan. Juga dalam sejarah Jawa tentang Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton disebut sebagai kawasan yang mempunyai hubungan dengan atau berada dibawah pengaruh Majapahit. Bukti lain, tampak dalam cerita tentang para pengungsi Jawa dari Majapahit yang mencari perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah pemerintahan Rajamulae. Di bawah penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar masuk Islam.
# Fraksi rakyat = Beranggotakan 30 menteri/bonto ditambah 2 menteri besar yang juga mewakili pemukiman-pemukiman di wilayah Buton.
# Fraksi pemerintahan = Pangka, Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan.
# Fraksi Agama = Diwakili oleh pejabat lingkungan sarakidina/sarana hukumu yang berkonsentrasi di masjid agung kesultanan Buton.
 
== Birokrasi Kesultanan ==
Bukti lain yang berbeda corak dapat pula digunakan karena ada kemiripan gagasan tentang reinkarnasi di Jawa (Tengah) sebagaimana digambarkan oleh Geertz (1960:75,76), “Pandangan ketiga, sangat luas dianut oleh semua orang, kecuali para santri, yang mengutuknya sebagai bid’ah, merupakan gagasan tentang reinkarnasi-bahwa ketika orang meninggal, arwahnya tidak lama kemudian masuk ke dalam janin sebagai jalan menuju kelahiran.
Wilayah Kesultanan Buton yang berawal dari empat negeri tersusun dalam suatu sistem tata pemerintahan dimana tiap-tiap wilayah besar dan kecil menempatkan dirinya sesuai dengan sejarah dan tradisinya masing-masing. Wilayah Kesultanan Buton tersebut terdiri atas Wilayah Inti, [[Suku Moronene|Moronene]] dan Barata. Dalam perkembangannya setelah agama Islam menjadi agama resmi bagi masyarakat Kerajaan Buton. Wilayah Kesultanan ya meliputi pulau Buton secara keseluruhan, pulau Muna bagian selatan, kepulauan Tukang Besi, pula Wawonii dan Jazirah Tenggara daratan pulau Sulawesi. Undang-undang "[[Murtabat Tujuh Kesultanan Buton]]" ditetapkan sejak tahun 1610 di masa pemerintahan Sultan Dayanu Iksanuddin (1579- 1631). Undang-undang tersebut mengenal tiga tingkatan pemerintahan.<ref name=":0" />
 
* Pertama: Pemerintahan Pusat "Sarana Wolio" meliputi tiga unsur yaitu; (1) Sultan, (2) Badan Sarana Wolio yang terdiri atas Pasopitumatana, Siolimbona, Sarana Hukumu dan (3) Staf khusus kesultanan.
Biasanya, seorang wanita yang mengandung tiba-tiba sangat mengidamkan beberapa makanan tertentu- sebuah jeruk yang tidak musimnya atau sebutir telur itik- makanan ini bernyawa dan dengan demikian masuk ke dalam kandungan perempuan itu dan dilahirkan kembali sebagai anaknya. Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi dalam keluarga yang sama, walaupun hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan orang yang menerima reinkarnasi tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang yang telah meninggal. Itu mungkin diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh kemiripan sifat anak dan orang yang baru saja meninggal, atau oleh tahi lalat yang serupa.
* Kedua: Pemerintahan Wilayah "Sarana Kadie" meliputi para Bobato, Bonto, Parabela, Akanamia, Kaosa dan Talombo.
* Keliga: Pemerintahan Barata "Sarana Barata", meliputi Lakina/ Kepala Barata, sapati, Kanepulu, Bonto Ogena, Kapatilau, dan Lakina Agama.
 
Dengan susunan dan tingkatan seperti demikian maka jabatan tertinggi adalah Sultan. Pada tingkat pemerintahan wilayah (Kadie) 27 dipimpin Babato atau Bonto dan pada tingkat pemerintahan Barata dipimpin oleh Lakina Barata.<ref name=":0" />
Bagi orang Buton, tidaklah bijaksana menceritakan kepada anak, siapa yang menitis padanya, karena hal ini dapat mempermalukan arwah dalam diri si anak, dan ia akan jatuh sakit. Setelah si anak berumur enam tahun atau lebih, hal itu tidak menjadi masalah.
 
=== Pemerintahan Pusat "Sarana Wolio"<ref name=":0">{{Cite book|last=Zuhdi dkk|first=Susanto|date=1996|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/12819/1/Kerajaan%20tradisional%20sulawesi%20tenggara%20kesultanan%20buton.pdf|title=Kerajaan tradisional sulawesi tenggara kesultanan buton|location=Jakarta|publisher=Proyek lnventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (CV. Defit Prima Karya)|pages=26-32|url-status=live}}</ref> ===
Soal gagasan tentang reinkarnasi dalam sufisme dan yang tersebar di Buton, tentu memang ada. Dalam kepustakaan mengenai sufisme Indonesia, khususnya di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17, gagasan tentang reinkarnasi tidak disebut.. setidaknya dapat diduga bahwa sufisme secara masuk bisa menerima gagasan yang berbeda-beda dan menawarkan kemungkinan tertentu kepada gagasan tentang reinkarnasi.
 
# Sultan, adalah kepala Negara yang memimpin pemerintahan, pemimpin umat dan keagamaan yang memegang kebijaksanaan dan keadilan tertinggi. Dalam rangka mengemban tugas yang mengabdi kepada kepentingan dan kemaslahatan rakyat lahir dan bathin. Sultan menjalankan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif.
'''B. Gagasan-gagasan yang Berkaitan dengan Reinkarnasi'''
# Pasopitumatana yang berfungsi sebagai Kabinet Kesultanan yang membantu tugas-tugas Sultan. Dewan Kabinet ini terdiri dari : Sapati, Kenepulu, Kopitalao, Bontoogema, Lakina Sarawalio dan Lakina Ba'adia. Adapun tugas masing-masing pejabat (pangka) ini adalah sebagai berikut :
'''b.1 . Pengaruh terhadap waktu dan tempat reinkarnasi'''
#* Sapati, adalah jabatan yang dipegang oleh golongan bangsawan (Kaomu), sebagai Ketua Dewan Kabinet atau Perdana menteri yang mengurusi pemerintahan, berfungsi sebagai pelindung Sultan dan rakyat. Dalam melaksanakan tugas bertindak tegas terhadap pelanggar hukum adat.
Ada kepercayaan bahwa orang tertentu punya kekuatan untuk menentukan kapan orang mati dikubur, dimana, dan kapan rohnya akan kembali. Di Wolio orang demikian disebut motaurakea, dan di Lia dan Rongi (nama desa) pasucu. Di Wolio kepercayaan akan hal ini masih kuat, di Lia dan Rongi tak begitu kuat. Keluarga mendiang akan memilih seseorang yang punya bakat ini, dan ia akan menguburkan orang yang meninggal itu secara baik dan memanjatkan doa yang tepat.
#* Kanepulu, adalah jabatan yang dipegang oleh golongan bangsawan (Kaomu) dengan tugas utamanya adalah menampung aspirasi rakyat dan diteruskan kepada Dewan Sara, disamping bersama-sama Sapati membantu Sultan.
#* Kapitalao atau Kapitaraja adalah jabatan untuk golongan bangsawan (Kaomu), Kapitalao dipegang dua orang sebagai menteri pertahanan dan panglima perang.
#* Bonto Ogena, jabatan ini untuk golongan Walaka yang terdiri dari dua orang. Dalam Dewan Kabinet Pasopitumatana sebagai lembaga Eksekutif, Bonto Ogena adalah salah satu anggota kabinet. Sedang dalam Dewan Siolimbona sehagai badan Legislatif, Bonto Ogena sebagai Ketua Dewan yang anggotanya adalah manteri-manteri (Bonto Siolimbona). Tugas yang diemban oleh Bonto Ogena dalam pemerintahan kesultanan adalah mengawasi dan mamajukan kesejahteraan rakyat dan memperhatikan usul serta kehendak rakyat.
#* Lakina Agama (Kadhi) adalah Jabatan untuk golongan bangsawan (Kaomu). Dalam Dewan Kabinet Pasopitumatana ia sebagai anggota, sedangkan dalam Sarana Hukumu (Lembaga Keagamaan) ia sebagai Kepala.
#* Lakina Sarawolio dan Lakina Baadia, (Kepala Wilayah/ Raja Daerah Khusus), adalah jabatan yang diberikan kepada golongan bangsawan (Kaomu), sebagai penguasa daerah khusus ibu kota (Keraton Wolio) bertugas melancarkan pelaksanaan pusat pemerintahan Kesultanan, tugas utamanya adalah mengawasi keamanan dan ketentraman umum.
# Siolimbona; Sio = Sembilan, Limbo= Kampung/kadie. Bonto Siolimbona, adalah sembilan Kepala-Kepala Wilayah pemerintahan Daerah. Siolimbona ini dapat dipandang sebagai Badan Perwakilan Rakyat (Legislatit). Jabatan ini diberikan kepada golongan "Walaka" yang dipimpin oleh Bonto Ogena (Mantri Besar). Siolimbona juga merupakan Dewan Sarana Wolio atau dewan kesultanan.
# Sarana Hukumu; adalah hadan yang bertugas mengurusi dan mengawasi masalah-masalah yang berhuhungan dengan pelaksanaan ajaran Islam dan masalah-masalah ibadah. Badan Sarana Hukumu ini dipimpin oleh Lakina Agama.
# Staf khusus kesultanan.
#* Bantoynunca atau Staf Istana
#* Bontona Lencina Kanjawari, selaku staf khusus yang berkaitan dengan tugas-tugas tertentu.
#* Staf lainnya seperti Juru Basa (juru bahasa), Sabandara, Talombo, dan Pangalasa
 
=== Pemerintahan Wilayah "Sarana Kadie" ===
Salah seorang informan (Wolio) ingat bahwa pamannya berlaku sebagai motaurakea pada suatu pemakaman. Keluarga orang yang meninggal itu bertanya, ‘Kemana Anda akan bawa arwah itu?’ ia menjawab dengan serta merta, ‘Saya membawanya kesini,” seraya menunjuk kepada satu keluarga yang hadir. Tidak begitu lama arwah mendiang lahir kembali dalam keluarga itu. (Penelitian Antropolgi Pim Schoorl, tentang Masyarakat, Sejarah Dan Kebudayaan Buton: 1984}
Pemerintahan kadie adalah bagian wilayah yang mempunyai hukum adat dan majelis sendiri yang disebut "Sarana kadie". Kedudukannya dalam organisasi pemerintahan adalah wilayah-wilayah yang terdiri dari 72 Kadie yang mempunyai hukum adat. hak atas tanah dalam wilayahnya masing-masing, penggunaannya atas dasar hak pakai. Pemerintahan kadie juga diberi kekuasaan penuh oleh pemerintah pusat mempertahankan tanah dan wilayah kekuasaannya, berkewajiban mengatur penggunaan tanah. menguasai hutan dan pengambilan hasil hutan.
 
=== Pemerintahan Barata "Sarana Barata" ===
Di Rongi pernah ada kepercayaan bahwa orang dapat berlaku sebagai pasucu, tetapi sekarang pendapat yang dominan ialah cepatnya roh kembali tergantung pada amal ibadahnya dan kadar dosanya. Dan diantara mereka ada yang menolak jalan pikiran bahwa, pasucu dapat menentukan kemana arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia yakin bahwa arwah sumanga yang sudah bersih atau suci akan mencari sendiri tempat yang baik. Jika tidak ada hubungan baik antara suami-istri di kalanagan sanak terdekat, maka arwah tidak ingin kembali kesana. Tetapi arwah biasanya kembali ke tubuh seorang cucu. Ini disebut “ditempati oleh almarhum” (kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya arwah diluar keluarga almarhum atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.
Penjelasan mengenai Sarana Barata akan dikemukakan secara khusus dalam [[4 Barata Kesultanan Buton]] sebagai sistem pemerintahan dan pertahanan.
 
== Politik ==
Menurut adat, mula-mula arwah pergi ke semacam surga (kacingkia, kepercayaan akan surga dimana cingkaha, arwah, juga disebut sumanga, tinggal). Surga serupa dengan tempat tinggal orang hidup, dan disanalah diambil keputusan tentang kembalinya arwah oleh Tuhan (Kawasana Ompu).
 
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan [[Majapahit]], [[Kedatuan Luwu|Luwu]], [[Kerajaan Konawe|Konaw]]<nowiki/>e, dan [[Kerajaan Muna|Muna]]. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan [[uang]] yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem [[Desentralisasi]] (o[[Daerah otonom|tonomi daerah]]) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
Setiap tahun pada hari pertama bulan puasa (Ramadhan), berlangsung pertemuan di batula (surga), dan pada kesempatan ini arwah dapat bertanya kepada Kawasana Ompu tentang keputusan tentang pemberian keputusan baru. Kerabat yang masih hidup dapat meringankan nasib roh dengan memanjatkan doa untuknya dengan berzikir dambil menyiramkan air diatas kuburan (kabubusi).
 
== Masyarakat ==
Dengan cara ini, dosa almarhum juga dikurangi. Jika dosanya sangat besar, mungkin arwah tidak dapat menebusnya, bahkan setelah melewati masa tujuh tahun. Kemudian arwah itu lahir kembali, akan tetapi orang yang menjadi reinkarnasinya akan cacat.
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperoleh dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
 
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu sering kali memunculkan konflik yang berujung kepada [[perang saudara]], bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
Dalam pemikiran keagamaan Buton, ada tujuh alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh alam itu (martabat tujuh) juga ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut sejarah Buton, versi pertama konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La Elangi (1578-1615) dengan bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed (bandingkan dengan contoh gagasan reinkarnasi diatas).
Tiga alam pertama, alam ahdat (ahadiyya), alam wahadat (wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan secara keseluruhan merupakan wewenang Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran tentang tiga alam pertama tersebut. Alam kedua dan ketiga memiliki persamaan dengan keadaan di bumi. Akan tetapi, hanya di alam keempat ada semacam persolan tentang, perintah agar menjadi (kun). Ini alam arwah. Arwah berpindah ke pikiran, otak bapak, dan menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang menikah harus meminta arwah yang sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang tinggal bersama Rasul, bagi anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta kemakmuran dan penyempurnaan agama yang kaut. Lalu dari sana arwah akan bergerak ke alam yang kelima, alam masal dan disini dibentuk citra, pemikiran, gagasan dalam kandungan ibu. Dalam rahim ibu itu terjadi perubahan bentuk dari setetes cairan (air mani), yang berubah menjadi daging dan darah; menjadi tubuh. Itu alam keenam, alam ajisam. Alam masal dan alam ajisam berlangsung selama 40 hari. Selama alam ajisam orang tua harus berhati-hati agar tidak menderita cacat dan tidak mendapat masalah dalam pertumbuhannya. Dalam kurun waktu itu juga watak anak terbentuk. Janin berkembang menjadi makhluk dengan panca indera; seorang manusia. Kemudian alam ketujuh, alam insan atau alam manusia dicapai.
 
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari [[Kerajaan Pagaruyung]]. Ada pula yang berasal dari [[Jawa]] yaitu Sri Batara dan [[Raden Jutubun]] yang merupakan putra dari [[Jayanagara|Jayanegara]].
Kendati arwah masih berada dalam alam insan orang tua harus selalu berdoa untuk kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan untuk penyucian sebelum doa mereka panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku, seperti saya berada di alam insan”. Ini merupakan inti doa yang diucapkan dalam bentuk batata khusus, atau ungkapan (pra-Islam).
 
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
Ada juga pertalian antara gagasan tentang reinkarnasi dan selamatan peringatan upacara untuk orang meninggal pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseratus dua puluh setelah wafatnya. Terdapat semacam peresamaan dalam perkembangan antara reinkarnasi arwah melalui kelahiran baru dan penguraian mayat.
 
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak [[Gajah Mada]] mengumumkan [[Sumpah Palapa|sumpah palapa]]-nya. Pada masa itu [[Sriwijaya|Kerajaan Sriwijaya]] mengalami kemunduran. Begitu juga [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singosari]]. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.
Setelah tiga hari jenazah menjadi bengkak, tetapi belum pecah. Dalam rentang waktu itu arwah mencari-cari, namun tidak dapat menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh hari, tubuh menjadi bengkak dan mulai pecah terurai, cairan dan darah mengalir keluar. Dalam periode ini, arwah ditiup kedalam nyawa yang didorong oleh zikir secara terus-menerus oleh mereka yang menghadiri selamatan. Namun, arwah belum juga masuk kedalam tubuh. Setelah empat puluh hari sebagian besar jenazah menjadi busuk, walaupun tulamg belulang masih diliputi daging dan darah. Arwah kemudian mengambil bentuk mereka yang pertama dalam kepala bapak, akan tetapi masih belum mempunyai wujud lahiriyah. Baru setelah seratus hari berlalu, sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah bersama nyawa masuk kedalam ibu melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui persetubuhan. Badan mulai berkembang dan semua belum sempurna, namun masih belum tumbuh mendewasa-indapo aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki belum terbuka. Setelah seratus dua puluh hari seluruh tubuh sudah sempurna dan hanya tinggal tumbuh lagi.
 
== Perekonomian ==
Ilmu tentang asal mula manusia, tentang berbagai alam tempat tinggal arwah sebelum lahir sangat penting baik untuk orang muda maupun orang tua jika mereka ingin terbebas dari kesombongan dan kecongkakan. Acuan pada rahim merupakan pernyataan kerendahan hati: dengan demikian orang tidak akan lupa bahwa ia berasal dari keadaan yang tidak bersih. Bahkan pada saat senang orang harus sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan sejati. Bahkan mereka yang jarang ke masjid namun hidup dengan pemikiran ini, adalah penganut agama yang baik. Inti kejahatan terletak kepada kesombongan, keangkuhan, dan lupa pada asal-usul.
 
Wilayah kerajaan/kesultanan Buton sangat strategis. Pedagang dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).
Ilmu tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu kejadian), ilmu tentang menjadi ada. Ilmu ini penting jika orang ingin mengetahui tentang diri sendiri dan asal-usulnya. Tanpa ini, orang benar-benar tidak dapat yakin adanya Tuhan.
 
== Hukum ==
Seandainya orang telah mencapai ilmu itu, maka ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat. Pada tingkat ini, orang tidak harus sembahyang (shalat) secara teratur, karena bila sudah dekat pada Tuhan orang tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang sudah berjalan di sisi Tuhan. Mereka yang telah mencapai taraf ini, para ahli tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari soal keduniaan. Mereka yang telah menimba banyak ilmu, yang sangat mendekati Tuhan (opoopoti oputa, secara harfiah “merenungkan Tuhan) dapat menentukan kemana arwah mereka akan pergi, sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal lain yang tidak dapat dilakuakan oleh orang biasa.
 
Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam Bahasa Wolio dikenal dengan istilah digogoli.
Di lain pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan baik dapat diganjar dengan kehidupan berikut yang lebih baik. Seseorang dari golongan bangsawan lapis ketiga (papara) dapat dilahirkan kembali sebagai anak dari walaka (lapis kedua) atau dari La ode (lapis pertama) atau pada zaman dahulu bahkan bisa jadi adalah sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang hidup buruk dapat dilahirkan kembali ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu juga dipandang sebagai seorang perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi kenyataan bahwa mereka dititiskan sebagai perempuan karena orang laki-laki selalu dianggap lebih penting dan anak laki-laki lebih dimanjakan daripada gadis.
 
== Bahasa ==
Konon, di Rongi orang percaya bahwa hidup buruk, seperti mengumbar nafsu birahi dapat mengakibatkan roh kembali dalam wujud binatang. Ini bisa segala macam hewan bahkan seekor babi.
'''
b.2. Berubah menjadi binatang'''
Perjalanan arwah ke alam binatang disebut dauru (dawr = perubahan). Dalam kepercayaan Wolio dan Pulau Muna, perjalanan itu tidak berhubungan dengan hukuman atas hidup buruk. Sebaliknya, orang yang dapat menjalani perubahan ini sangatlah suci. Kisah yang terkenal ialah Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum (k.l.1491-1537; bandingkan dengan Zahari 1977, I:46; nama sangia juga menunjukan kesucian).
 
Etnik/Suku Buton sebutan bagi masyarakat yang berasal dari Kerajaan dan Kesultanan Buton, memiliki sejumlah bahasa yang berbeda tiap wilayah. Secara umum, setidaknya ada 4 bahasa yg digunakan oleh 4 kelompok/etnik masyarakat yakni Bahasa Muna, Bahasa Cia-Cia, Bahasa Pulo (Wakatobi), dan Bahasa Moronene. Selain 4 bahasa tersebut masih terdapat pula beberapa bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat yang lebih kecil, seperti bahasa Laompo/Batauga, Bahasa Barangka/Kapontori, Bahasa Wabula, Bahasa Lasalimu, Bahasa Kulisusu, Bahasa Katobengke dan sebagai bahasa pemersatu digunakan Bahasa Wolio. Bahasa Wolio ini merupakan bahasa resmi kesultanan.
Cerita ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape terkenal telah menuntut ilmu kebatinan. Pada suatu hati ia memperhatikan kulitnya yang mulai menyerupai kulit buaya. Putranya Sangia Wambulu, juga mengetahuinya dan merasa malu. Ia berkata kepada ayahnya, “Lebih baik saya bawa ayah ke laut, mandi disana.” Ketika mereka tiba di laut, Sangia-i-rape menaruh sarungnya di atas batu dan dimandikan oleh putranya. Ketika dimandikan, ia betul-betul berubah menjadi buaya. Karena ilmu yang ia tuntut itu, ia dapat langsung berubah menjadi buaya. Menurut seorang informan dari Wolio, ia jelas telah begitu dekat padaTuhan (opooputi oputa) karena dapat menjadi apa saja yang dia inginkan. Jika seseorang sudah begitu dekat pada Tuhan dan mencapai penyatuan dengan Tuhan seperti itu, maka ia dapat berbuat apa saja yang disukainya.
 
== Bidang Pertahanan ==
'''b.1. Mengenal arwah mendiang pada anak-anak'''
Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan [[falsafah]] perjuangan yaitu:
Kadang kala seorang kerabat dengan jelas akan menyatakan, sebelum meninggal, kepada siapa dia akan kembali. Pada beberapa anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan dari roman muka dan atau kelakuan. Cucu laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi permainsuri sultan, membuat hal ini jelas karena sebagai anak kecil ia mampu mengenali perhiasan mendiang permainsuri dan mengakui sebagai miliknya.
 
'''“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo”''' ''(Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)''
Sultan Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851 M) juga tahu siapa yang menitis pada dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa (Sultan XXX : 1851-1861 M), serta merta berbicara setelah kelahirannya berkat arwah yang menitis pada dirinya.
 
'''“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu”''' ''(Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)''
'''C. Percaya pada Reinkarnasi dan Gagasan-gagasan Keagamaan Lain'''
'''c.1. Percaya pada reinkarnasi dan Islam'''
Informan yang memberikan keterangan kepada Pim Schoorl, sangat percaya pada reinkarnasi, memperkenalkan pandangan hidup Islam yang ortodoks (kolot) tetang kehidupan setelah mati, sedangkan ia juga mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok dengan Islam.
 
'''“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara”''' ''(Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)''
Doa-doa Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca dikuburan dimaksudkan untuk membawa kebaikan bagi orang yang mati. Jadi, ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di makam guna menjamin kesejahteraan orang yang meninggal. Istigfar dan tobat dimasudkan untuk mendapatkan pembebasan dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat mendiang/almarhum melalui amal shaleh sangat menentukan.
 
'''“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama”''' ''(Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)''
Meskipun demikian, ada pula kepercayaan pada kembalinya arwah yang dipandang tidak bertentangan dengan Islam. Orang yang benar-benar percaya pada reinkarnasi biasanya menjalani hidup dengan baik, menepati janjinya, menolak hidup mewah, menahan semua keinginan untuk mengungguli orang lain dan menahan diri supaya tidak sombong dan ia mengutuk tingkah laku seperti itu pada orang lain.
 
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat '''Barata''' (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat '''matana sorumba''' (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
Mereka memperoleh pembenaran atas kepercayaan pada reinkarnasi dalam sebuah ayat al-Qur’an yang mereka baca sebagai pujian setiap hari setelah shalat. Disitu dinyatakan” Perpindahan malam ke siang dan perpindahan siang ke malam; dan masuknya hidup dari mati bagi siapa saja yang disukainya dengan tidak menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju an-nahara fi al-layli, wa tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita min al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27) dan (Arbery 1955, I:76).
 
Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah [[kesultanan]], juga mulai membangun [[benteng]] dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan [[masyarakat]] dan [[pemerintah]] dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa [[Kerajaan]]/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun [[1332]] dan berakhir tahun [[1960]]) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan [[sejarah]], [[budaya]] dan [[arkeologi]]. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu: Dengan wacana p [http://fajar.co.id/headline/2015/04/30/pemekaran-provinsi-kepulauan-buton-harga-mati.html embentukan] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150527122800/http://fajar.co.id/headline/2015/04/30/pemekaran-provinsi-kepulauan-buton-harga-mati.html |date=2015-05-27 }} '''[http://www.kepbutonraya.com/ Provinsi Kepulauan Buton] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150527185131/http://kepbutonraya.com/ |date=2015-05-27 }}''' yang terdiri dari [[Kabupaten Buton]], [[Kabupaten Wakatobi]], [[Kabupaten Buton Utara]], [[Kota Bau-Bau]], [[Kabupaten Buton Selatan]], dan [[Kabupaten Buton Tengah]]. Serta tiga daerah yang masuk dalam [[Sulawesi Tenggara|Provinsi Sulawesi Tenggara]] [[Kabupaten Konawe Kepulauan]], [[Kabupaten Bombana]], [[Kabupaten Muna]].
Antara ilmu tasawuf (Islam) dan perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada hubungan. Murtabat Tujuh juga menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa pada bagian: orohi yitu kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa (Wolio). Dalam bahasa Arab nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau berpindah dan sebab itu roh dalam bahasa Wolio dikataka lipa, artinya pergi. Teks Wolio itu mempunyai arti harfiah: roh itu pergi terus-menerus, roh itu kata Arab yang artinya “pergi”.
 
== Daftar penguasa Buton ==
Dalam doa kepada Tuhan, berdoa untuk para arwah juga ada bagian yang biasa dibaca: “Ya Tuhan ampunilah kami dan dia. Biarlah dia mempunyai tempat yang lebih baik, gantilah yang tidak baik dengan yang lebih baik dan berikanlah banyak cahaya kepadanya dalam kuburan.” Dan untuk arwah mereka yang relatif telah lama meninggal, maka kata-kata berikut: Engkau punya kuasa mengatur segala sesuatu. Kami tidak tahu apakah arwah itu masih ada dalam makam atau telah berpindah ke tubuh lain, tetapi Engkau punya kuasa mengatur segala-galanya.
=== Daftar Raja ===
# Ratu ke I: [[Wa Kaa Kaa]]
# Ratu ke II: [[Bulawambona]]
# Raja ke III: [[Bataraguru]]
# Raja ke IV: [[tua rade|Tua Rade]]
# Raja ke V: [[Mulae]]
# Raja ke VI: La Kilaponto / Timbang Timbaga / Halu Oleo / [[Murhum]]
 
===Daftar sultan===
Pada tahun 1939, La Malangka, kepala desa Bau-bau dan seorang Muhamadiyyah menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada soal kembali. Kepala desa Nganganaumala, Haji Abdullah bertanya kepadanya, dimana dapat ditemuakn teks atau ayat yang menunjukan tidak ada reinkarnasi. Dan Ia bertanya, “Apa artinya ayat berikut dari Qur’an ini: ”Perpindahan malam dst?” (lihat di atas). Bagaimanapun juga mati masuk kedalam kehidupan bukan mati mengganti kehidupan. Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal tersebut.
# 1491-1537: Sultan Murhum
# 1545-1552: Sultan La Tumparasi
# 1566-1570: Sultan La Sangaji
# 1578-1615: Sultan La Elangi
# 1617-1619: Sultan La Balawo
# 1632-1645: Sultan La Buke
# 1645-1646: Sultan La Saparagau
# 1647-1654: Sultan La Cila
# 1654-1664: Sultan La Awu
# 1664-1669: Sultan La Simbata
# 1669-1680: Sultan La Tangkaraja
# 1680-1689: Sultan La Tumpamana
# 1689-1697: Sultan La Umati
# 1697-1702: Sultan La Dini
# 1702: Sultan La Rabaenga
# 1702-1709: Sultan La Sadaha
# 1709-1711: Sultan La Ibi
# 1711-1712: Sultan La Tumparasi
# 1712-1750: Sultan Langkarieri
# 1750-1752: [[Himayatuddin Muhammad Saidi|Sultan La Karambau]]
# 1752-1759: Sultan Hamim
# 1759-1760: Sultan La Seha
# 1760-1763: [[Himayatuddin Muhammad Saidi|Sultan La Karambau]]
# 1763-1788: Sultan La Jampi
# 1788-1791: Sultan La Masalalamu
# 1791-1799: Sultan La Kopuru
# 1799-1823: Sultan La Badaru
# 1823-1824: Sultan La Dani
# 1824-1851: Sultan Muh. Idrus
# 1851-1861: Sultan Muh. Isa
# 1871-1886: Sultan Muh. Salihi
# 1886-1906: Sultan Muh. Umar
# 1906-1911: Sultan Muh. Asikin
# 1914: Sultan Muh. Husain
# 1918-1921: Sultan Muh. Ali
# 1922-1924: Sultan Muh. Saifu
# 1928-1937: Sultan Muh. Hamidi
# 1937-1960: Sultan Muh. Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis
 
== Budaya ==
Islam secara resmi tidak mencoba dengan jelas menentang kepercayaan pada reinkarnasi. Namun, orang Buton tidak memperlihatkan kepercayaannya demi menghindari perselisihan pendapat
Meskipun menganut agama islam, masyarakat buton memiliki kepercaan akan adanya reinkarnasi pada seorang ulama. Salah satu kisahnya adalah kisah pada masa pemerintahan raja Mulae (Akhir Abad 15), terjadi percakapan antara syekh Abdul Wahid dan gurunya, [[Ahmed bin Chais]]. Yang terakhir menyuruh Abdul Wahid pergi dari [[Kesultanan Samudera Pasai|Pasai]] ke Buton. Dia bilang "Nanti di masa cucu kalian, saya akan datang ke Buton untuk menyempurnakan adat istiadat kalian". Ketika masa cucu Abdul Wahid hidup, yang bernama [[Imam Malanga]], datanglah ulama kedua ke Buton, yakni [[Firus Muhammad]]. Pada saat bersamaan lahirlah Mardana Ali, yang akan menjadi sultan pada 1647 hingga 1654.Lantas ulama tersebut mencari bayi dan menyakini sebagai reinkarnasi dari Ahmed bin Chais.<ref>{{Cite journal|last=Schoorl|first=J. W.|date=1985|title=Belief in Reincarnation on Buton, S.e. Sulawesi, Indonesia|url=https://www.jstor.org/stable/27863639|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|volume=141|issue=1|pages=103–134|issn=0006-2294}}</ref>
 
== Pranala luar ==
'''c.2. Percaya pada reinkarnasi dan pemujaan leluhur'''
* {{id}}[http://history.melayuonline.com/?a=SlRWL29QTS9VenVwRnRCb20%3D= Sejarah Kerajaan Buton di MelayuOnline.com] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20160304215806/http://history.melayuonline.com/?a=SlRWL29QTS9VenVwRnRCb20%3D= |date=2016-03-04 }}
Dalam agama Buton, ada tempat yang ditetapkan untuk pemujaan leluhur. Tetapi bukan mendeskripsikan sebagai tempat dan ‘pemujaan’ yang terlalu jauh. Pada berbagai upacara muslim, makam leluhur disirami air. Seorang tua yang berilmu, memanjatkan doa atau mengucapkan patah (batata) untuk air itu. Kembang-kembang dan wangi-wangian dibubuhkan pada air tersebut. Bila bersiap pergi jauh atau sekembalinya, orang akan ke makam leluhur atau orang tua untuk berdoa. Orang pergi ke kuburan orang yang telah tiada, menurut keyakinan masyarakat Buton, orang yang telah tiada telah kembali ke kehidupan ini melalui reinkarnasi mereka teristimewa pada anak-anak mereka sendiri. Bagi mereka hal ini merupakan gagasan yang kompleks dan mereka tidak mencoba menetapkan hubungan yang masuk akal.
* {{id}}[http://www.butonraya.com/= ButonRaya.com]{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* https://www.butonmagz.id/2020/10/wilayah-kesultanan-buton-dan-dinamika.html {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20220706093734/https://www.butonmagz.id/2020/10/wilayah-kesultanan-buton-dan-dinamika.html |date=2022-07-06 }}
{{Kerajaan di Sulawesi}}
 
== Daftar Pustaka ==
Memang dari penjelasan tentang diatas akan menimbulkan pertanyaan, sebagaimana pernah terjadi percakapan antara tetua adat dengan anaknya pada tahun 1984, sang anak menanyakan “Bagaimana mungkin banyak manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah tetap?” Tetua adat tersebut kemudian memberikan jawaban kepadanya bahwa satu arwah dapat menitis lebih dari satu kali. Adakalanya seseorang yang telah meninggal, kembali melalui lebih dari sepuluh cucu.
 
* Aceaux, J.C., 2004, Wolio Dictionary (Wolio-English-Indonesian). Holand: Foris Publication.
Ada satu jawaban mengenai hal tersebut yang diberikan seorang informan kepada Schoorl: “Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Tuhan Maha Kuasa dan dapat membuat banyak dari apa saja. Ia memberi siapa saja sebanyak yang Ia suka, sedikit atau banyak, tanpa memperhitungkan; bagi Tuhan segala sesuatu mungkin. Karena ditulis dalam Qur’an, soal ro/arwah merupakan rahasia Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat mengatakan mengapa kini ada banyak roh /arwah sedangkan biasanya hanya ada sedikit saja, atau sebaliknya. Alam arwah hanya diketahui Tuhan saja. Pengetahuan manusia tentan hal itu sedikti malah tak ada. ” (Arberry 1955, I:311-312)
* Azra, Azyumardi, 2004, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII akar Pembaruan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
*[SABIR, MAHASISWA KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM UIN SYARIF HIDAYTULLAH JAKARTA & KETUA PENGEMBANGAN MINAT DAN BAKAT HIMPUNAN PEMUDA PELAJAR DAN MAHASISWA BUTON INDONESIA/HIPPMIB '06-'08 M]
* B, Burhanuddin, dkk., 1977, Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1977.
* Berg, E.J. van den, 1939, “Adatgebruiken in verban met de sultansinstallatie in Boeton”, TBG 79:469-528.
* Bruinesen, Martin van, 1995, Kitab Kuning Pesanren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Indonesia. Bandung: Mizan.
* Couvreur, J., 2001, Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna. Penerjemah Rene van den Berg. Kupang: Artha Wacana Press.
* Djamaris, Edwar, 1983, Khabar Akhirat Dalam Hal Kiamat. Jakarta: Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
* Hasaruddin, 2005, Kabanti Paiasa Mainawa; Sebuah Kajian Filologi. Tesis Magister PPs Unpad. Bandung.
* Ikram, Achadiati, 2001, Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
* Ligtvoet, A., 1878, “Beschrijving en Geschiedenis van Buton”, BKI Vol. 26. “s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
* Munawwir, A.W., 2002, Kamus Al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif.
* Muthahhari, 1986, Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara. Jakarta: Gramedia.
* Poerwadarminta, W.J.S., 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
* Sabirin, Falah, 2011, Tarekat Sammaniyah di Kesultanan Buton Kajian Naskah-Naskah Buton. Tangeran: YPM.
* Sangidu, 2003, Wahdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Arniri., Yogyakarta: Gama Media.
* Schoorl, J.W., 1985, “Power, Ideology and Change in The Early State of Buton”. Makalah. Disajikan pada saat kongres Indonesia-Belanda yang ke-5. Gravenhag. Belanda.
* Suryadi, 2005, “Surat-Surat Sultan Buton XXVI Muhyuddin Abdul Gafur Kepada Kompeni Belanda”. Makalah disajikan pada Simposium Internasional IX. Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, Indonesia.
* Tahir Al-Haddad Al-Habib Alwi bin, 1995, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Penerjemah Shahab S. Dhiya. Jakarta: Lentera.
* Yunus, Abdul Rahim, 1995, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton Dalam Abad Ke-17. Jakarta: INIS.
* Zaenu, La Ode, 1985, Buton Dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya: Suradipa.
* Zahari, A.M, 1977, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni. Jakarta: Balai Pustaka.
* Zuhdi, Susanto, 1999, “Labu Rope Labu Wana: Sejarah Butun Abad XVII-XVII”. Disertasi dalam bidang Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia, Jakarta.
* Zuhri, Saifuddin, 1965, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Al Ma’arif. Bandung.
 
[[Kategori:Kesultanan Buton| ]]
 
 
 
==KEPERCAYAAN REINKARNASI==*
Satu hal yang paling menonjol pada sufisme ini, di pusat Kesultanan Wolio, ialah kepercayaan pada reinkarnasi yang masih hidup di Buton masa kini, terutama di pusat. Di desa-desa, kepercayaan pada reinkarnasi tidak terlalu kuat dan dianggap sebagai ajaran Islam sebagaimana disebarkan di pusat.
Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni:
1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
 
Mengenai kematian dan akhirat, bagi orang muslim penguburan diikuti dengan serangkaian upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak, orang Muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya akan ajaran Islam tentang kiamat dan pengadilan nanti, masuk surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada kepercayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang lain.
 
A. Asal-Usul Kepercayaan Pada Reinkarnasi
 
Reinkarnasi berarti penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati. Reinkarnasi merupakan kepercayaan bahwa jiwa tinggal pada pada banyak tubuh, satu sesudah yang lain dan dapat hidup berkali-kali di dunia sebelum akhirnya dimurnikan seutuhnya dan dengan demikian bebas dari keharusan untuk pindak ke tubuh lain. Menurut kepercayaan ini, jiwa sudah ada sebelum masuk ketubuh dan sesudah kematian pun tetap ada dalam keadaan tanpa tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai satu tubuh dari jenis yang sama atau yang lain. Dalam berbagai bentuk, reinkarnasi diterima oleh agama Budha, Hindhu dan Neoplatonisme.
Bila mendengar atau membaca soal kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton, orang mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?. Ada beberapa kemungkinan. Orang dapat menerka itu telah ada dalam kebudayaan Buton pra-Islam (dan mungkin pra-Hindu). Kemungkinan kedua, kepercayaan itu terbentuk di bawah pengaruh Hindu sebelum pengislaman, khususnya sebagai akibat adanya hubungan dengan kerajaan Jawa-Hindu; Majapahit. Kemungkinan ketiga yang patut disebut, gagasan reinkarnasi terkandung dalam sufisme yang dibawa ke Buton.
Wilken (1912:64-90) berdasarkan kepustakaan yang ada pada 1884, berkesimpulan bahwa kepercayaan pada perpindahan arwah memang dikenal oleh berbagai suku di Indonesia. Ia menganggap ide tentang reinkarnasi sebagai bentuk khusus daripadanya. Pada hematnya, “ajaran tentang perpindahan arwah” merupakan konsep asli Polinesia, maksudnya gagasan Indonesia asli (Wilken 1912:64). Tentang kebudayaan Jawa ia memang menunjuk kepada Hindu, namun ia memberi kesan bahwa disitu pun, ia berasumsi gagasan Indonesia asli sangat penting (Wilken 1912:64 dan 68).
Mengenai anggapan bahwa pengaruh Hindu di Buton, ada beberapa bukti yang dapat diajukan. Pertama, tradisi setempat menyebut adanya hubungan dengan Majapahit. Pernyataan ini diperkuat oleh nama-nama raja Buton pada kurun waktu itu, yang menyiratkan pengaruh Jawa Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru, Tuarade dan Rajamulae. Menurut cerita turun-temurun, raja keenam masuk Islam dan kemudian menggunakan gelar sultan. Lalu ia disebut dengan Murhum, yang berasal dari bahasa Arab marhum (Zahari 1977, I:46).
Bukti kedua merupakan cerita, termasuk cerita turun-temurun, bahwa raja keempat, Tuarade, dari kunjungannya ke Majapahit membawa pulang empat tanda kekuasaan. Juga dalam sejarah Jawa tentang Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton disebut sebagai kawasan yang mempunyai hubungan dengan atau berada dibawah pengaruh Majapahit. Bukti lain, tampak dalam cerita tentang para pengungsi Jawa dari Majapahit yang mencari perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah pemerintahan Rajamulae. Di bawah penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar masuk Islam.
Bukti lain yang berbeda corak dapat pula digunakan karena ada kemiripan gagasan tentang reinkarnasi di Jawa (Tengah) sebagaimana digambarkan oleh Geertz (1960:75,76), “Pandangan ketiga, sangat luas dianut oleh semua orang, kecuali para santri, yang mengutuknya sebagai bid’ah, merupakan gagasan tentang reinkarnasi-bahwa ketika orang meninggal, arwahnya tidak lama kemudian masuk ke dalam janin sebagai jalan menuju kelahiran.
Biasanya, seorang wanita yang mengandung tiba-tiba sangat mengidamkan beberapa makanan tertentu- sebuah jeruk yang tidak musimnya atau sebutir telur itik- makanan ini bernyawa dan dengan demikian masuk ke dalam kandungan perempuan itu dan dilahirkan kembali sebagai anaknya. Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi dalam keluarga yang sama, walaupun hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan orang yang menerima reinkarnasi tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang yang telah meninggal. Itu mungkin diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh kemiripan sifat anak dan orang yang baru saja meninggal, atau oleh tahi lalat yang serupa.
Bagi orang Buton, tidaklah bijaksana menceritakan kepada anak, siapa yang menitis padanya, karena hal ini dapat mempermalukan arwah dalam diri si anak, dan ia akan jatuh sakit. Setelah si anak berumur enam tahun atau lebih, hal itu tidak menjadi masalah.
Soal gagasan tentang reinkarnasi dalam sufisme dan yang tersebar di Buton, tentu memang ada. Dalam kepustakaan mengenai sufisme Indonesia, khususnya di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17, gagasan tentang reinkarnasi tidak disebut.. setidaknya dapat diduga bahwa sufisme secara masuk bisa menerima gagasan yang berbeda-beda dan menawarkan kemungkinan tertentu kepada gagasan tentang reinkarnasi.
 
B. Gagasan-gagasan yang Berkaitan dengan Reinkarnasi
 
b.1 . Pengaruh terhadap waktu dan tempat reinkarnasi
 
Ada kepercayaan bahwa orang tertentu punya kekuatan untuk menentukan kapan orang mati dikubur, dimana, dan kapan rohnya akan kembali. Di Wolio orang demikian disebut motaurakea, dan di Lia dan Rongi (nama desa) pasucu. Di Wolio kepercayaan akan hal ini masih kuat, di Lia dan Rongi tak begitu kuat. Keluarga mendiang akan memilih seseorang yang punya bakat ini, dan ia akan menguburkan orang yang meninggal itu secara baik dan memanjatkan doa yang tepat.
Salah seorang informan (Wolio) ingat bahwa pamannya berlaku sebagai motaurakea pada suatu pemakaman. Keluarga orang yang meninggal itu bertanya, ‘Kemana Anda akan bawa arwah itu?’ ia menjawab dengan serta merta, ‘Saya membawanya kesini,” seraya menunjuk kepada satu keluarga yang hadir. Tidak begitu lama arwah mendiang lahir kembali dalam keluarga itu.
Di Rongi pernah ada kepercayaan bahwa orang dapat berlaku sebagai pasucu, tetapi sekarang pendapat yang dominan ialah cepatnya roh kembali tergantung pada amal ibadahnya dan kadar dosanya. Dan diantara mereka ada yang menolak jalan pikiran bahwa, pasucu dapat menentukan kemana arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia yakin bahwa arwah sumanga yang sudah bersih atau suci akan mencari sendiri tempat yang baik. Jika tidak ada hubungan baik antara suami-istri di kalanagan sanak terdekat, maka arwah tidak ingin kembali kesana. Tetapi arwah biasanya kembali ke tubuh seorang cucu. Ini disebut “ditempati oleh almarhum” (kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya arwah diluar keluarga almarhum atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.
Menurut adat, mula-mula arwah pergi ke semacam surga (kacingkia, kepercayaan akan surga dimana cingkaha, arwah, juga disebut sumanga, tinggal). Surga serupa dengan tempat tinggal orang hidup, dan disanalah diambil keputusan tentang kembalinya arwah oleh Tuhan (Kawasana Ompu).
Setiap tahun pada hari pertama bulan puasa (Ramadhan), berlangsung pertemuan di batula (surga), dan pada kesempatan ini arwah dapat bertanya kepada Kawasana Ompu tentang keputusan tentang pemberian keputusan baru. Kerabat yang masih hidup dapat meringankan nasib roh dengan memanjatkan doa untuknya dengan berzikir dambil menyiramkan air diatas kuburan (kabubusi). Dengan cara ini, dosa almarhum juga dikurangi. Jika dosanya sangat besar, mungkin arwah tidak dapat menebusnya, bahkan setelah melewati masa tujuh tahun. Kemudian arwah itu lahir kembali, akan tetapi orang yang menjadi reinkarnasinya akan cacat.
Dalam pemikiran keagamaan Buton, ada tujuh alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh alam itu (martabat tujuh) juga ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut sejarah Buton, versi pertama konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La Elangi (1578-1615) dengan bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed (bandingkan dengan contoh gagasan reinkarnasi diatas).
Tiga alam pertama, alam ahdat (ahadiyya), alam wahadat (wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan secara keseluruhan merupakan wewenang Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran tentang tiga alam pertama tersebut. Alam kedua dan ketiga memiliki persamaan dengan keadaan di bumi. Akan tetapi, hanya di alam keempat ada semacam persolan tentang, perintah agar menjadi (kun). Ini alam arwah. Arwah berpindah ke pikiran, otak bapak, dan menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang menikah harus meminta arwah yang sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang tinggal bersama Rasul, bagi anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta kemakmuran dan penyempurnaan agama yang kaut. Lalu dari sana arwah akan bergerak ke alam yang kelima, alam masal dan disini dibentuk citra, pemikiran, gagasan dalam kandungan ibu. Dalam rahim ibu itu terjadi perubahan bentuk dari setetes cairan (air mani), yang berubah menjadi daging dan darah; menjadi tubuh. Itu alam keenam, alam ajisam. Alam masal dan alam ajisam berlangsung selama 40 hari. Selama alam ajisam orang tua harus berhati-hati agar tidak menderita cacat dan tidak mendapat masalah dalam pertumbuhannya. Dalam kurun waktu itu juga watak anak terbentuk. Janin berkembang menjadi makhluk dengan panca indera; seorang manusia. Kemudian alam ketujuh, alam insan atau alam manusia dicapai.
Kendati arwah masih berada dalam alam insan orang tua harus selalu berdoa untuk kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan untuk penyucian sebelum doa mereka panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku, seperti saya berada di alam insan”. Ini merupakan inti doa yang diucapkan dalam bentuk batata khusus, atau ungkapan (pra-Islam).
Ada juga pertalian antara gagasan tentang reinkarnasi dan selamatan peringatan upacara untuk orang meninggal pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseratus dua puluh setelah wafatnya. Terdapat semacam peresamaan dalam perkembangan antara reinkarnasi arwah melalui kelahiran baru dan penguraian mayat.
 
Setelah tiga hari jenazah menjadi bengkak, tetapi belum pecah. Dalam rentang waktu itu arwah mencari-cari, namun tidak dapat menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh hari, tubuh menjadi bengkak dan mulai pecah terurai, cairan dan darah mengalir keluar. Dalam periode ini, arwah ditiup kedalam nyawa yang didorong oleh zikir secara terus-menerus oleh mereka yang menghadiri selamatan. Namun, arwah belum juga masuk kedalam tubuh. Setelah empat puluh hari sebagian besar jenazah menjadi busuk, walaupun tulamg belulang masih diliputi daging dan darah. Arwah kemudian mengambil bentuk mereka yang pertama dalam kepala bapak, akan tetapi masih belum mempunyai wujud lahiriyah. Baru setelah seratus hari berlalu, sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah bersama nyawa masuk kedalam ibu melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui persetubuhan. Badan mulai berkembang dan semua belum sempurna, namun masih belum tumbuh mendewasa-indapo aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki belum terbuka. Setelah seratus dua puluh hari seluruh tubuh sudah sempurna dan hanya tinggal tumbuh lagi.
Ilmu tentang asal mula manusia, tentang berbagai alam tempat tinggal arwah sebelum lahir sangat penting baik untuk orang muda maupun orang tua jika mereka ingin terbebas dari kesombongan dan kecongkakan. Acuan pada rahim merupakan pernyataan kerendahan hati: dengan demikian orang tidak akan lupa bahwa ia berasal dari keadaan yang tidak bersih. Bahkan pada saat senang orang harus sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan sejati. Bahkan mereka yang jarang ke masjid namun hidup dengan pemikiran ini, adalah penganut agama yang baik. Inti kejahatan terletak kepada kesombongan, keangkuhan, dan lupa pada asal-usul.
Ilmu tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu kejadian), ilmu tentang menjadi ada. Ilmu ini penting jika orang ingin mengetahui tentang diri sendiri dan asal-usulnya. Tanpa ini, orang benar-benar tidak dapat yakin adanya Tuhan.
Seandainya orang telah mencapai ilmu itu, maka ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat. Pada tingkat ini, orang tidak harus sembahyang (shalat) secara teratur, karena bila sudah dekat pada Tuhan orang tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang sudah berjalan di sisi Tuhan. Mereka yang telah mencapai taraf ini, para ahli tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari soal keduniaan. Mereka yang telah menimba banyak ilmu, yang sangat mendekati Tuhan (opoopoti oputa, secara harfiah “merenungkan Tuhan) dapat menentukan kemana arwah mereka akan pergi, sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal lain yang tidak dapat dilakuakan oleh orang biasa.
 
Di lain pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan baik dapat diganjar dengan kehidupan berikut yang lebih baik. Seseorang dari golongan bangsawan lapis ketiga (papara) dapat dilahirkan kembali sebagai anak dari walaka (lapis kedua) atau dari La ode (lapis pertama) atau pada zaman dahulu bahkan bisa jadi adalah sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang hidup buruk dapat dilahirkan kembali ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu juga dipandang sebagai seorang perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi kenyataan bahwa mereka dititiskan sebagai perempuan karena orang laki-laki selalu dianggap lebih penting dan anak laki-laki lebih dimanjakan daripada gadis.
Konon, di Rongi orang percaya bahwa hidup buruk, seperti mengumbar nafsu birahi dapat mengakibatkan roh kembali dalam wujud binatang. Ini bisa segala macam hewan bahkan seekor babi.
 
b.2. Berubah menjadi binatang
 
Perjalanan arwah ke alam binatang disebut dauru (dawr = perubahan). Dalam kepercayaan Wolio dan Pulau Muna, perjalanan itu tidak berhubungan dengan hukuman atas hidup buruk. Sebaliknya, orang yang dapat menjalani perubahan ini sangatlah suci. Kisah yang terkenal ialah Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum (k.l.1491-1537; bandingkan dengan Zahari 1977, I:46; nama sangia juga menunjukan kesucian).
Cerita ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape terkenal telah menuntut ilmu kebatinan. Pada suatu hati ia memperhatikan kulitnya yang mulai menyerupai kulit buaya. Putranya Sangia Wambulu, juga mengetahuinya dan merasa malu. Ia berkata kepada ayahnya, “Lebih baik saya bawa ayah ke laut, mandi disana.” Ketika mereka tiba di laut, Sangia-i-rape menaruh sarungnya di atas batu dan dimandikan oleh putranya. Ketika dimandikan, ia betul-betul berubah menjadi buaya. Karena ilmu yang ia tuntut itu, ia dapat langsung berubah menjadi buaya. Menurut seorang informan dari Wolio, ia jelas telah begitu dekat padaTuhan (opooputi oputa) karena dapat menjadi apa saja yang dia inginkan. Jika seseorang sudah begitu dekat pada Tuhan dan mencapai penyatuan dengan Tuhan seperti itu, maka ia dapat berbuat apa saja yang disukainya.
 
 
 
b.1. Mengenal arwah mendiang pada anak-anak
 
Kadang kala seorang kerabat dengan jelas akan menyatakan, sebelum meninggal, kepada siapa dia akan kembali. Pada beberapa anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan dari roman muka dan atau kelakuan. Cucu laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi permainsuri sultan, membuat hal ini jelas karena sebagai anak kecil ia mampu mengenali perhiasan mendiang permainsuri dan mengakui sebagai miliknya.
 
Sultan Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851 M) juga tahu siapa yang menitis pada dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa (Sultan XXX : 1851-1861 M), serta merta berbicara setelah kelahirannya berkat arwah yang menitis pada dirinya.
 
C. Percaya pada Reinkarnasi dan Gagasan-gagasan Keagamaan Lain
 
c.1. Percaya pada reinkarnasi dan Islam
 
Informan yang memberikan keterangan kepada Pim Schoorl, sangat percaya pada reinkarnasi, memperkenalkan pandangan hidup Islam yang ortodoks (kolot) tetang kehidupan setelah mati, sedangkan ia juga mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok dengan Islam.
Doa-doa Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca dikuburan dimaksudkan untuk membawa kebaikan bagi orang yang mati. Jadi, ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di makam guna menjamin kesejahteraan orang yang meninggal. Istigfar dan tobat dimasudkan untuk mendapatkan pembebasan dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat mendiang/almarhum melalui amal shaleh sangat menentukan.
Meskipun demikian, ada pula kepercayaan pada kembalinya arwah yang dipandang tidak bertentangan dengan Islam. Orang yang benar-benar percaya pada reinkarnasi biasanya menjalani hidup dengan baik, menepati janjinya, menolak hidup mewah, menahan semua keinginan untuk mengungguli orang lain dan menahan diri supaya tidak sombong dan ia mengutuk tingkah laku seperti itu pada orang lain.
Mereka memperoleh pembenaran atas kepercayaan pada reinkarnasi dalam sebuah ayat al-Qur’an yang mereka baca sebagai pujian setiap hari setelah shalat. Disitu dinyatakan” Perpindahan malam ke siang dan perpindahan siang ke malam; dan masuknya hidup dari mati bagi siapa saja yang disukainya dengan tidak menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju an-nahara fi al-layli, wa tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita min al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27) dan (Arbery 1955, I:76).
Antara ilmu tasawuf (Islam) dan perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada hubungan. Murtabat Tujuh juga menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa pada bagian: orohi yitu kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa (Wolio). Dalam bahasa Arab nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau berpindah dan sebab itu roh dalam bahasa Wolio dikataka lipa, artinya pergi. Teks Wolio itu mempunyai arti harfiah: roh itu pergi terus-menerus, roh itu kata Arab yang artinya “pergi”.
Dalam doa kepada Tuhan, berdoa untuk para arwah juga ada bagian yang biasa dibaca: “Ya Tuhan ampunilah kami dan dia. Biarlah dia mempunyai tempat yang lebih baik, gantilah yang tidak baik dengan yang lebih baik dan berikanlah banyak cahaya kepadanya dalam kuburan.” Dan untuk arwah mereka yang relatif telah lama meninggal, maka kata-kata berikut: Engkau punya kuasa mengatur segala sesuatu. Kami tidak tahu apakah arwah itu masih ada dalam makam atau telah berpindah ke tubuh lain, tetapi Engkau punya kuasa mengatur segala-galanya.
Pada tahun 1939, La Malangka, kepala desa Bau-bau dan seorang Muhamadiyyah menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada soal kembali. Kepala desa Nganganaumala, Haji Abdullah bertanya kepadanya, dimana dapat ditemuakn teks atau ayat yang menunjukan tidak ada reinkarnasi. Dan Ia bertanya, “Apa artinya ayat berikut dari Qur’an ini: ”Perpindahan malam dst?” (lihat di atas). Bagaimanapun juga mati masuk kedalam kehidupan bukan mati mengganti kehidupan. Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal tersebut.
Islam secara resmi tidak mencoba dengan jelas menentang kepercayaan pada reinkarnasi. Namun, orang Buton tidak memperlihatkan kepercayaannya demi menghindari perselisihan pendapat
 
c.2. Percaya pada reinkarnasi dan pemujaan leluhur
Dalam agama Buton, ada tempat yang ditetapkan untuk pemujaan leluhur. Tetapi bukan mendeskripsikan sebagai tempat dan ‘pemujaan’ yang terlalu jauh. Pada berbagai upacara muslim, makam leluhur disirami air. Seorang tua yang berilmu, memanjatkan doa atau mengucapkan patah (batata) untuk air itu. Kembang-kembang dan wangi-wangian dibubuhkan pada air tersebut. Bila bersiap pergi jauh atau sekembalinya, orang akan ke makam leluhur atau orang tua untuk berdoa. Orang pergi ke kuburan orang yang telah tiada, menurut keyakinan masyarakat Buton, orang yang telah tiada telah kembali ke kehidupan ini melalui reinkarnasi mereka teristimewa pada anak-anak mereka sendiri. Bagi mereka hal ini merupakan gagasan yang kompleks dan mereka tidak mencoba menetapkan hubungan yang masuk akal.
Memang dari penjelasan tentang diatas akan menimbulkan pertanyaan, sebagaimana pernah terjadi percakapan antara tetua adat dengan anaknya pada tahun 1984, sang anak menanyakan “Bagaimana mungkin banyak manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah tetap?” Tetua adat tersebut kemudian memberikan jawaban kepadanya bahwa satu arwah dapat menitis lebih dari satu kali. Adakalanya seseorang yang telah meninggal, kembali melalui lebih dari sepuluh cucu.
Ada satu jawaban mengenai hal tersebut yang diberikan seorang informan kepada Schoorl: “Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Tuhan Maha Kuasa dan dapat membuat banyak dari apa saja. Ia memberi siapa saja sebanyak yang Ia suka, sedikit atau banyak, tanpa memperhitungkan; bagi Tuhan segala sesuatu mungkin. Karena ditulis dalam Qur’an, soal ro/arwah merupakan rahasia Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat mengatakan mengapa kini ada banyak roh /arwah sedangkan biasanya hanya ada sedikit saja, atau sebaliknya. Alam arwah hanya diketahui Tuhan saja. Pengetahuan manusia tentan hal itu sedikti malah tak ada. ” (Arberry 1955, I:311-312)
*'''[SABIR, MAHASISWA KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM UIN SYARIF HIDAYTULLAH JAKARTA & KETUA PENGEMBANGAN MINAT DAN BAKAT HIMPUNAN PEMUDA PELAJAR DAN MAHASISWA BUTON INDONESIA/HIPPMIB '06-'08 M]'''
 
 
 
 
[[
'''KEPERCAYAAN REINKARNASI*''']]
 
Satu hal yang paling menonjol pada sufisme ini, di pusat Kesultanan Wolio, ialah kepercayaan pada reinkarnasi yang masih hidup di Buton masa kini, terutama di pusat. Di desa-desa, kepercayaan pada reinkarnasi tidak terlalu kuat dan dianggap sebagai ajaran Islam sebagaimana disebarkan di pusat.
Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni:
1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
 
Mengenai kematian dan akhirat, bagi orang muslim penguburan diikuti dengan serangkaian upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak, orang Muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya akan ajaran Islam tentang kiamat dan pengadilan nanti, masuk surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada kepercayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang lain.
'''
A. Asal-Usul Kepercayaan Pada Reinkarnasi'''
 
Reinkarnasi berarti penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati. Reinkarnasi merupakan kepercayaan bahwa jiwa tinggal pada pada banyak tubuh, satu sesudah yang lain dan dapat hidup berkali-kali di dunia sebelum akhirnya dimurnikan seutuhnya dan dengan demikian bebas dari keharusan untuk pindak ke tubuh lain. Menurut kepercayaan ini, jiwa sudah ada sebelum masuk ketubuh dan sesudah kematian pun tetap ada dalam keadaan tanpa tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai satu tubuh dari jenis yang sama atau yang lain. Dalam berbagai bentuk, reinkarnasi diterima oleh agama Budha, Hindhu dan Neoplatonisme.
 
Bila mendengar atau membaca soal kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton, orang mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?. Ada beberapa kemungkinan. Orang dapat menerka itu telah ada dalam kebudayaan Buton pra-Islam (dan mungkin pra-Hindu). Kemungkinan kedua, kepercayaan itu terbentuk di bawah pengaruh Hindu sebelum pengislaman, khususnya sebagai akibat adanya hubungan dengan kerajaan Jawa-Hindu; Majapahit. Kemungkinan ketiga yang patut disebut, gagasan reinkarnasi terkandung dalam sufisme yang dibawa ke Buton.
 
Wilken (1912:64-90) berdasarkan kepustakaan yang ada pada 1884, berkesimpulan bahwa kepercayaan pada perpindahan arwah memang dikenal oleh berbagai suku di Indonesia. Ia menganggap ide tentang reinkarnasi sebagai bentuk khusus daripadanya. Pada hematnya, “ajaran tentang perpindahan arwah” merupakan konsep asli Polinesia, maksudnya gagasan Indonesia asli (Wilken 1912:64). Tentang kebudayaan Jawa ia memang menunjuk kepada Hindu, namun ia memberi kesan bahwa disitu pun, ia berasumsi gagasan Indonesia asli sangat penting (Wilken 1912:64 dan 68).
 
Mengenai anggapan bahwa pengaruh Hindu di Buton, ada beberapa bukti yang dapat diajukan. Pertama, tradisi setempat menyebut adanya hubungan dengan Majapahit. Pernyataan ini diperkuat oleh nama-nama raja Buton pada kurun waktu itu, yang menyiratkan pengaruh Jawa Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru, Tuarade dan Rajamulae. Menurut cerita turun-temurun, raja keenam masuk Islam dan kemudian menggunakan gelar sultan. Lalu ia disebut dengan Murhum, yang berasal dari bahasa Arab marhum (Zahari 1977, I:46).
 
Bukti kedua merupakan cerita, termasuk cerita turun-temurun, bahwa raja keempat, Tuarade, dari kunjungannya ke Majapahit membawa pulang empat tanda kekuasaan. Juga dalam sejarah Jawa tentang Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton disebut sebagai kawasan yang mempunyai hubungan dengan atau berada dibawah pengaruh Majapahit. Bukti lain, tampak dalam cerita tentang para pengungsi Jawa dari Majapahit yang mencari perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah pemerintahan Rajamulae. Di bawah penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar masuk Islam.
 
Bukti lain yang berbeda corak dapat pula digunakan karena ada kemiripan gagasan tentang reinkarnasi di Jawa (Tengah) sebagaimana digambarkan oleh Geertz (1960:75,76), “Pandangan ketiga, sangat luas dianut oleh semua orang, kecuali para santri, yang mengutuknya sebagai bid’ah, merupakan gagasan tentang reinkarnasi-bahwa ketika orang meninggal, arwahnya tidak lama kemudian masuk ke dalam janin sebagai jalan menuju kelahiran.
 
Biasanya, seorang wanita yang mengandung tiba-tiba sangat mengidamkan beberapa makanan tertentu- sebuah jeruk yang tidak musimnya atau sebutir telur itik- makanan ini bernyawa dan dengan demikian masuk ke dalam kandungan perempuan itu dan dilahirkan kembali sebagai anaknya. Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi dalam keluarga yang sama, walaupun hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan orang yang menerima reinkarnasi tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang yang telah meninggal. Itu mungkin diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh kemiripan sifat anak dan orang yang baru saja meninggal, atau oleh tahi lalat yang serupa.
 
Bagi orang Buton, tidaklah bijaksana menceritakan kepada anak, siapa yang menitis padanya, karena hal ini dapat mempermalukan arwah dalam diri si anak, dan ia akan jatuh sakit. Setelah si anak berumur enam tahun atau lebih, hal itu tidak menjadi masalah.
 
Soal gagasan tentang reinkarnasi dalam sufisme dan yang tersebar di Buton, tentu memang ada. Dalam kepustakaan mengenai sufisme Indonesia, khususnya di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17, gagasan tentang reinkarnasi tidak disebut.. setidaknya dapat diduga bahwa sufisme secara masuk bisa menerima gagasan yang berbeda-beda dan menawarkan kemungkinan tertentu kepada gagasan tentang reinkarnasi.
 
'''B. Gagasan-gagasan yang Berkaitan dengan Reinkarnasi'''
 
'''b.1 . Pengaruh terhadap waktu dan tempat reinkarnasi'''
 
Ada kepercayaan bahwa orang tertentu punya kekuatan untuk menentukan kapan orang mati dikubur, dimana, dan kapan rohnya akan kembali. Di Wolio orang demikian disebut motaurakea, dan di Lia dan Rongi (nama desa) pasucu. Di Wolio kepercayaan akan hal ini masih kuat, di Lia dan Rongi tak begitu kuat. Keluarga mendiang akan memilih seseorang yang punya bakat ini, dan ia akan menguburkan orang yang meninggal itu secara baik dan memanjatkan doa yang tepat.
 
Salah seorang informan (Wolio) ingat bahwa pamannya berlaku sebagai motaurakea pada suatu pemakaman. Keluarga orang yang meninggal itu bertanya, ‘Kemana Anda akan bawa arwah itu?’ ia menjawab dengan serta merta, ‘Saya membawanya kesini,” seraya menunjuk kepada satu keluarga yang hadir. Tidak begitu lama arwah mendiang lahir kembali dalam keluarga itu. (Penelitian Antropolgi Pim Schoorl, tentang Masyarakat, Sejarah Dan Kebudayaan Buton: 1984}
 
Di Rongi pernah ada kepercayaan bahwa orang dapat berlaku sebagai pasucu, tetapi sekarang pendapat yang dominan ialah cepatnya roh kembali tergantung pada amal ibadahnya dan kadar dosanya. Dan diantara mereka ada yang menolak jalan pikiran bahwa, pasucu dapat menentukan kemana arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia yakin bahwa arwah sumanga yang sudah bersih atau suci akan mencari sendiri tempat yang baik. Jika tidak ada hubungan baik antara suami-istri di kalanagan sanak terdekat, maka arwah tidak ingin kembali kesana. Tetapi arwah biasanya kembali ke tubuh seorang cucu. Ini disebut “ditempati oleh almarhum” (kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya arwah diluar keluarga almarhum atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.
 
Menurut adat, mula-mula arwah pergi ke semacam surga (kacingkia, kepercayaan akan surga dimana cingkaha, arwah, juga disebut sumanga, tinggal). Surga serupa dengan tempat tinggal orang hidup, dan disanalah diambil keputusan tentang kembalinya arwah oleh Tuhan (Kawasana Ompu).
 
Setiap tahun pada hari pertama bulan puasa (Ramadhan), berlangsung pertemuan di batula (surga), dan pada kesempatan ini arwah dapat bertanya kepada Kawasana Ompu tentang keputusan tentang pemberian keputusan baru. Kerabat yang masih hidup dapat meringankan nasib roh dengan memanjatkan doa untuknya dengan berzikir dambil menyiramkan air diatas kuburan (kabubusi).
 
Dengan cara ini, dosa almarhum juga dikurangi. Jika dosanya sangat besar, mungkin arwah tidak dapat menebusnya, bahkan setelah melewati masa tujuh tahun. Kemudian arwah itu lahir kembali, akan tetapi orang yang menjadi reinkarnasinya akan cacat.
 
Dalam pemikiran keagamaan Buton, ada tujuh alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh alam itu (martabat tujuh) juga ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut sejarah Buton, versi pertama konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La Elangi (1578-1615) dengan bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed (bandingkan dengan contoh gagasan reinkarnasi diatas).
Tiga alam pertama, alam ahdat (ahadiyya), alam wahadat (wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan secara keseluruhan merupakan wewenang Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran tentang tiga alam pertama tersebut. Alam kedua dan ketiga memiliki persamaan dengan keadaan di bumi. Akan tetapi, hanya di alam keempat ada semacam persolan tentang, perintah agar menjadi (kun). Ini alam arwah. Arwah berpindah ke pikiran, otak bapak, dan menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang menikah harus meminta arwah yang sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang tinggal bersama Rasul, bagi anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta kemakmuran dan penyempurnaan agama yang kaut. Lalu dari sana arwah akan bergerak ke alam yang kelima, alam masal dan disini dibentuk citra, pemikiran, gagasan dalam kandungan ibu. Dalam rahim ibu itu terjadi perubahan bentuk dari setetes cairan (air mani), yang berubah menjadi daging dan darah; menjadi tubuh. Itu alam keenam, alam ajisam. Alam masal dan alam ajisam berlangsung selama 40 hari. Selama alam ajisam orang tua harus berhati-hati agar tidak menderita cacat dan tidak mendapat masalah dalam pertumbuhannya. Dalam kurun waktu itu juga watak anak terbentuk. Janin berkembang menjadi makhluk dengan panca indera; seorang manusia. Kemudian alam ketujuh, alam insan atau alam manusia dicapai.
 
Kendati arwah masih berada dalam alam insan orang tua harus selalu berdoa untuk kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan untuk penyucian sebelum doa mereka panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku, seperti saya berada di alam insan”. Ini merupakan inti doa yang diucapkan dalam bentuk batata khusus, atau ungkapan (pra-Islam).
 
Ada juga pertalian antara gagasan tentang reinkarnasi dan selamatan peringatan upacara untuk orang meninggal pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseratus dua puluh setelah wafatnya. Terdapat semacam peresamaan dalam perkembangan antara reinkarnasi arwah melalui kelahiran baru dan penguraian mayat.
 
Setelah tiga hari jenazah menjadi bengkak, tetapi belum pecah. Dalam rentang waktu itu arwah mencari-cari, namun tidak dapat menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh hari, tubuh menjadi bengkak dan mulai pecah terurai, cairan dan darah mengalir keluar. Dalam periode ini, arwah ditiup kedalam nyawa yang didorong oleh zikir secara terus-menerus oleh mereka yang menghadiri selamatan. Namun, arwah belum juga masuk kedalam tubuh. Setelah empat puluh hari sebagian besar jenazah menjadi busuk, walaupun tulamg belulang masih diliputi daging dan darah. Arwah kemudian mengambil bentuk mereka yang pertama dalam kepala bapak, akan tetapi masih belum mempunyai wujud lahiriyah. Baru setelah seratus hari berlalu, sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah bersama nyawa masuk kedalam ibu melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui persetubuhan. Badan mulai berkembang dan semua belum sempurna, namun masih belum tumbuh mendewasa-indapo aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki belum terbuka. Setelah seratus dua puluh hari seluruh tubuh sudah sempurna dan hanya tinggal tumbuh lagi.
 
Ilmu tentang asal mula manusia, tentang berbagai alam tempat tinggal arwah sebelum lahir sangat penting baik untuk orang muda maupun orang tua jika mereka ingin terbebas dari kesombongan dan kecongkakan. Acuan pada rahim merupakan pernyataan kerendahan hati: dengan demikian orang tidak akan lupa bahwa ia berasal dari keadaan yang tidak bersih. Bahkan pada saat senang orang harus sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan sejati. Bahkan mereka yang jarang ke masjid namun hidup dengan pemikiran ini, adalah penganut agama yang baik. Inti kejahatan terletak kepada kesombongan, keangkuhan, dan lupa pada asal-usul.
 
Ilmu tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu kejadian), ilmu tentang menjadi ada. Ilmu ini penting jika orang ingin mengetahui tentang diri sendiri dan asal-usulnya. Tanpa ini, orang benar-benar tidak dapat yakin adanya Tuhan.
 
Seandainya orang telah mencapai ilmu itu, maka ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat. Pada tingkat ini, orang tidak harus sembahyang (shalat) secara teratur, karena bila sudah dekat pada Tuhan orang tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang sudah berjalan di sisi Tuhan. Mereka yang telah mencapai taraf ini, para ahli tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari soal keduniaan. Mereka yang telah menimba banyak ilmu, yang sangat mendekati Tuhan (opoopoti oputa, secara harfiah “merenungkan Tuhan) dapat menentukan kemana arwah mereka akan pergi, sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal lain yang tidak dapat dilakuakan oleh orang biasa.
 
Di lain pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan baik dapat diganjar dengan kehidupan berikut yang lebih baik. Seseorang dari golongan bangsawan lapis ketiga (papara) dapat dilahirkan kembali sebagai anak dari walaka (lapis kedua) atau dari La ode (lapis pertama) atau pada zaman dahulu bahkan bisa jadi adalah sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang hidup buruk dapat dilahirkan kembali ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu juga dipandang sebagai seorang perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi kenyataan bahwa mereka dititiskan sebagai perempuan karena orang laki-laki selalu dianggap lebih penting dan anak laki-laki lebih dimanjakan daripada gadis.
 
Konon, di Rongi orang percaya bahwa hidup buruk, seperti mengumbar nafsu birahi dapat mengakibatkan roh kembali dalam wujud binatang. Ini bisa segala macam hewan bahkan seekor babi.
 
 
'''b.2. Berubah menjadi binatang'''
 
Perjalanan arwah ke alam binatang disebut dauru (dawr = perubahan). Dalam kepercayaan Wolio dan Pulau Muna, perjalanan itu tidak berhubungan dengan hukuman atas hidup buruk. Sebaliknya, orang yang dapat menjalani perubahan ini sangatlah suci. Kisah yang terkenal ialah Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum (k.l.1491-1537; bandingkan dengan Zahari 1977, I:46; nama sangia juga menunjukan kesucian).
 
Cerita ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape terkenal telah menuntut ilmu kebatinan. Pada suatu hati ia memperhatikan kulitnya yang mulai menyerupai kulit buaya. Putranya Sangia Wambulu, juga mengetahuinya dan merasa malu. Ia berkata kepada ayahnya, “Lebih baik saya bawa ayah ke laut, mandi disana.” Ketika mereka tiba di laut, Sangia-i-rape menaruh sarungnya di atas batu dan dimandikan oleh putranya. Ketika dimandikan, ia betul-betul berubah menjadi buaya. Karena ilmu yang ia tuntut itu, ia dapat langsung berubah menjadi buaya. Menurut seorang informan dari Wolio, ia jelas telah begitu dekat padaTuhan (opooputi oputa) karena dapat menjadi apa saja yang dia inginkan. Jika seseorang sudah begitu dekat pada Tuhan dan mencapai penyatuan dengan Tuhan seperti itu, maka ia dapat berbuat apa saja yang disukainya.
 
'''b.3. Mengenal arwah mendiang pada anak-anak'''
 
Kadang kala seorang kerabat dengan jelas akan menyatakan, sebelum meninggal, kepada siapa dia akan kembali. Pada beberapa anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan dari roman muka dan atau kelakuan. Cucu laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi permainsuri sultan, membuat hal ini jelas karena sebagai anak kecil ia mampu mengenali perhiasan mendiang permainsuri dan mengakui sebagai miliknya.
 
Sultan Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851 M) juga tahu siapa yang menitis pada dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa (Sultan XXX : 1851-1861 M), serta merta berbicara setelah kelahirannya berkat arwah yang menitis pada dirinya.
 
'''C. Percaya pada Reinkarnasi dan Gagasan-gagasan Keagamaan Lain'''
 
'''c.1. Percaya pada reinkarnasi dan Islam'''
 
Informan yang memberikan keterangan kepada Pim Schoorl, sangat percaya pada reinkarnasi, memperkenalkan pandangan hidup Islam yang ortodoks (kolot) tetang kehidupan setelah mati, sedangkan ia juga mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok dengan Islam.
 
Doa-doa Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca dikuburan dimaksudkan untuk membawa kebaikan bagi orang yang mati. Jadi, ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di makam guna menjamin kesejahteraan orang yang meninggal. Istigfar dan tobat dimasudkan untuk mendapatkan pembebasan dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat mendiang/almarhum melalui amal shaleh sangat menentukan.
 
Meskipun demikian, ada pula kepercayaan pada kembalinya arwah yang dipandang tidak bertentangan dengan Islam. Orang yang benar-benar percaya pada reinkarnasi biasanya menjalani hidup dengan baik, menepati janjinya, menolak hidup mewah, menahan semua keinginan untuk mengungguli orang lain dan menahan diri supaya tidak sombong dan ia mengutuk tingkah laku seperti itu pada orang lain.
 
Mereka memperoleh pembenaran atas kepercayaan pada reinkarnasi dalam sebuah ayat al-Qur’an yang mereka baca sebagai pujian setiap hari setelah shalat. Disitu dinyatakan” Perpindahan malam ke siang dan perpindahan siang ke malam; dan masuknya hidup dari mati bagi siapa saja yang disukainya dengan tidak menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju an-nahara fi al-layli, wa tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita min al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27) dan (Arbery 1955, I:76).
 
Antara ilmu tasawuf (Islam) dan perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada hubungan. Murtabat Tujuh juga menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa pada bagian: orohi yitu kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa (Wolio). Dalam bahasa Arab nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau berpindah dan sebab itu roh dalam bahasa Wolio dikataka lipa, artinya pergi. Teks Wolio itu mempunyai arti harfiah: roh itu pergi terus-menerus, roh itu kata Arab yang artinya “pergi”.
 
Dalam doa kepada Tuhan, berdoa untuk para arwah juga ada bagian yang biasa dibaca: “Ya Tuhan ampunilah kami dan dia. Biarlah dia mempunyai tempat yang lebih baik, gantilah yang tidak baik dengan yang lebih baik dan berikanlah banyak cahaya kepadanya dalam kuburan.” Dan untuk arwah mereka yang relatif telah lama meninggal, maka kata-kata berikut: Engkau punya kuasa mengatur segala sesuatu. Kami tidak tahu apakah arwah itu masih ada dalam makam atau telah berpindah ke tubuh lain, tetapi Engkau punya kuasa mengatur segala-galanya.
 
Pada tahun 1939, La Malangka, kepala desa Bau-bau dan seorang Muhamadiyyah menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada soal kembali. Kepala desa Nganganaumala, Haji Abdullah bertanya kepadanya, dimana dapat ditemuakn teks atau ayat yang menunjukan tidak ada reinkarnasi. Dan Ia bertanya, “Apa artinya ayat berikut dari Qur’an ini: ”Perpindahan malam dst?” (lihat di atas). Bagaimanapun juga mati masuk kedalam kehidupan bukan mati mengganti kehidupan. Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal tersebut.
 
Islam secara resmi tidak mencoba dengan jelas menentang kepercayaan pada reinkarnasi. Namun, orang Buton tidak memperlihatkan kepercayaannya demi menghindari perselisihan pendapat
 
'''c.2. Percaya pada reinkarnasi dan pemujaan leluhur'''
 
Dalam agama Buton, ada tempat yang ditetapkan untuk pemujaan leluhur. Tetapi bukan mendeskripsikan sebagai tempat dan ‘pemujaan’ yang terlalu jauh. Pada berbagai upacara muslim, makam leluhur disirami air. Seorang tua yang berilmu, memanjatkan doa atau mengucapkan patah (batata) untuk air itu. Kembang-kembang dan wangi-wangian dibubuhkan pada air tersebut. Bila bersiap pergi jauh atau sekembalinya, orang akan ke makam leluhur atau orang tua untuk berdoa. Orang pergi ke kuburan orang yang telah tiada, menurut keyakinan masyarakat Buton, orang yang telah tiada telah kembali ke kehidupan ini melalui reinkarnasi mereka teristimewa pada anak-anak mereka sendiri. Bagi mereka hal ini merupakan gagasan yang kompleks dan mereka tidak mencoba menetapkan hubungan yang masuk akal.
 
Memang dari penjelasan tentang diatas akan menimbulkan pertanyaan, sebagaimana pernah terjadi percakapan antara tetua adat dengan anaknya pada tahun 1984, sang anak menanyakan “Bagaimana mungkin banyak manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah tetap?” Tetua adat tersebut kemudian memberikan jawaban kepadanya bahwa satu arwah dapat menitis lebih dari satu kali. Adakalanya seseorang yang telah meninggal, kembali melalui lebih dari sepuluh cucu.
 
Ada satu jawaban mengenai hal tersebut yang diberikan seorang informan kepada Schoorl: “Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Tuhan Maha Kuasa dan dapat membuat banyak dari apa saja. Ia memberi siapa saja sebanyak yang Ia suka, sedikit atau banyak, tanpa memperhitungkan; bagi Tuhan segala sesuatu mungkin. Karena ditulis dalam Qur’an, soal ro/arwah merupakan rahasia Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat mengatakan mengapa kini ada banyak roh /arwah sedangkan biasanya hanya ada sedikit saja, atau sebaliknya. Alam arwah hanya diketahui Tuhan saja. Pengetahuan manusia tentan hal itu sedikti malah tak ada. ” (Arberry 1955, I:311-312)
*[SABIR, MAHASISWA KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM UIN SYARIF HIDAYTULLAH JAKARTA & KETUA PENGEMBANGAN MINAT DAN BAKAT HIMPUNAN PEMUDA PELAJAR DAN MAHASISWA BUTON INDONESIA/HIPPMIB '06-'08 M]
 
 
 
 
 
'''KEPERCAYAAN REINKARNASI *'''
----
 
Satu hal yang paling menonjol pada sufisme ini, di pusat Kesultanan Wolio, ialah kepercayaan pada reinkarnasi yang masih hidup di Buton masa kini, terutama di pusat. Di desa-desa, kepercayaan pada reinkarnasi tidak terlalu kuat dan dianggap sebagai ajaran Islam sebagaimana disebarkan di pusat.
Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni:
1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
 
Mengenai kematian dan akhirat, bagi orang muslim penguburan diikuti dengan serangkaian upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak, orang Muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya akan ajaran Islam tentang kiamat dan pengadilan nanti, masuk surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada kepercayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang lain.
 
'''A. Asal-Usul Kepercayaan pada Reinkarnasi'''
 
Reinkarnasi berarti penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati. Reinkarnasi merupakan kepercayaan bahwa jiwa tinggal pada pada banyak tubuh, satu sesudah yang lain dan dapat hidup berkali-kali di dunia sebelum akhirnya dimurnikan seutuhnya dan dengan demikian bebas dari keharusan untuk pindak ke tubuh lain. Menurut kepercayaan ini, jiwa sudah ada sebelum masuk ketubuh dan sesudah kematian pun tetap ada dalam keadaan tanpa tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai satu tubuh dari jenis yang sama atau yang lain. Dalam berbagai bentuk, reinkarnasi diterima oleh agama Budha, Hindhu dan Neoplatonisme.
 
Bila mendengar atau membaca soal kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton, orang mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?. Ada beberapa kemungkinan. Orang dapat menerka itu telah ada dalam kebudayaan Buton pra-Islam (dan mungkin pra-Hindu). Kemungkinan kedua, kepercayaan itu terbentuk di bawah pengaruh Hindu sebelum pengislaman, khususnya sebagai akibat adanya hubungan dengan kerajaan Jawa-Hindu; Majapahit. Kemungkinan ketiga yang patut disebut, gagasan reinkarnasi terkandung dalam sufisme yang dibawa ke Buton.
 
Wilken (1912:64-90) berdasarkan kepustakaan yang ada pada 1884, berkesimpulan bahwa kepercayaan pada perpindahan arwah memang dikenal oleh berbagai suku di Indonesia. Ia menganggap ide tentang reinkarnasi sebagai bentuk khusus daripadanya. Pada hematnya, “ajaran tentang perpindahan arwah” merupakan konsep asli Polinesia, maksudnya gagasan Indonesia asli (Wilken 1912:64). Tentang kebudayaan Jawa ia memang menunjuk kepada Hindu, namun ia memberi kesan bahwa disitu pun, ia berasumsi gagasan Indonesia asli sangat penting (Wilken 1912:64 dan 68).
 
Mengenai anggapan bahwa pengaruh Hindu di Buton, ada beberapa bukti yang dapat diajukan. Pertama, tradisi setempat menyebut adanya hubungan dengan Majapahit. Pernyataan ini diperkuat oleh nama-nama raja Buton pada kurun waktu itu, yang menyiratkan pengaruh Jawa Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru, Tuarade dan Rajamulae. Menurut cerita turun-temurun, raja keenam masuk Islam dan kemudian menggunakan gelar sultan. Lalu ia disebut dengan Murhum, yang berasal dari bahasa Arab marhum (Zahari 1977, I:46).
 
Bukti kedua merupakan cerita, termasuk cerita turun-temurun, bahwa raja keempat, Tuarade, dari kunjungannya ke Majapahit membawa pulang empat tanda kekuasaan. Juga dalam sejarah Jawa tentang Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton disebut sebagai kawasan yang mempunyai hubungan dengan atau berada dibawah pengaruh Majapahit. Bukti lain, tampak dalam cerita tentang para pengungsi Jawa dari Majapahit yang mencari perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah pemerintahan Rajamulae. Di bawah penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar masuk Islam.
 
Bukti lain yang berbeda corak dapat pula digunakan karena ada kemiripan gagasan tentang reinkarnasi di Jawa (Tengah) sebagaimana digambarkan oleh Geertz (1960:75,76), “Pandangan ketiga, sangat luas dianut oleh semua orang, kecuali para santri, yang mengutuknya sebagai bid’ah, merupakan gagasan tentang reinkarnasi-bahwa ketika orang meninggal, arwahnya tidak lama kemudian masuk ke dalam janin sebagai jalan menuju kelahiran.
 
Biasanya, seorang wanita yang mengandung tiba-tiba sangat mengidamkan beberapa makanan tertentu- sebuah jeruk yang tidak musimnya atau sebutir telur itik- makanan ini bernyawa dan dengan demikian masuk ke dalam kandungan perempuan itu dan dilahirkan kembali sebagai anaknya. Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi dalam keluarga yang sama, walaupun hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan orang yang menerima reinkarnasi tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang yang telah meninggal. Itu mungkin diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh kemiripan sifat anak dan orang yang baru saja meninggal, atau oleh tahi lalat yang serupa.
 
Bagi orang Buton, tidaklah bijaksana menceritakan kepada anak, siapa yang menitis padanya, karena hal ini dapat mempermalukan arwah dalam diri si anak, dan ia akan jatuh sakit. Setelah si anak berumur enam tahun atau lebih, hal itu tidak menjadi masalah.
 
Soal gagasan tentang reinkarnasi dalam sufisme dan yang tersebar di Buton, tentu memang ada. Dalam kepustakaan mengenai sufisme Indonesia, khususnya di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17, gagasan tentang reinkarnasi tidak disebut.. setidaknya dapat diduga bahwa sufisme secara masuk bisa menerima gagasan yang berbeda-beda dan menawarkan kemungkinan tertentu kepada gagasan tentang reinkarnasi.
 
'''B. Gagasan-gagasan yang Berkaitan dengan Reinkarnasi'''
 
'''b.1 . Pengaruh terhadap waktu dan tempat reinkarnasi'''
 
Ada kepercayaan bahwa orang tertentu punya kekuatan untuk menentukan kapan orang mati dikubur, dimana, dan kapan rohnya akan kembali. Di Wolio orang demikian disebut motaurakea, dan di Lia dan Rongi (nama desa) pasucu. Di Wolio kepercayaan akan hal ini masih kuat, di Lia dan Rongi tak begitu kuat. Keluarga mendiang akan memilih seseorang yang punya bakat ini, dan ia akan menguburkan orang yang meninggal itu secara baik dan memanjatkan doa yang tepat.
 
Salah seorang informan (Wolio) ingat bahwa pamannya berlaku sebagai motaurakea pada suatu pemakaman. Keluarga orang yang meninggal itu bertanya, ‘Kemana Anda akan bawa arwah itu?’ ia menjawab dengan serta merta, ‘Saya membawanya kesini,” seraya menunjuk kepada satu keluarga yang hadir. Tidak begitu lama arwah mendiang lahir kembali dalam keluarga itu. (Penelitian Antropolgi Pim Schoorl, tentang Masyarakat, Sejarah Dan Kebudayaan Buton: 1984}
 
Di Rongi pernah ada kepercayaan bahwa orang dapat berlaku sebagai pasucu, tetapi sekarang pendapat yang dominan ialah cepatnya roh kembali tergantung pada amal ibadahnya dan kadar dosanya. Dan diantara mereka ada yang menolak jalan pikiran bahwa, pasucu dapat menentukan kemana arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia yakin bahwa arwah sumanga yang sudah bersih atau suci akan mencari sendiri tempat yang baik. Jika tidak ada hubungan baik antara suami-istri di kalanagan sanak terdekat, maka arwah tidak ingin kembali kesana. Tetapi arwah biasanya kembali ke tubuh seorang cucu. Ini disebut “ditempati oleh almarhum” (kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya arwah diluar keluarga almarhum atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.
 
Menurut adat, mula-mula arwah pergi ke semacam surga (kacingkia, kepercayaan akan surga dimana cingkaha, arwah, juga disebut sumanga, tinggal). Surga serupa dengan tempat tinggal orang hidup, dan disanalah diambil keputusan tentang kembalinya arwah oleh Tuhan (Kawasana Ompu).
 
Setiap tahun pada hari pertama bulan puasa (Ramadhan), berlangsung pertemuan di batula (surga), dan pada kesempatan ini arwah dapat bertanya kepada Kawasana Ompu tentang keputusan tentang pemberian keputusan baru. Kerabat yang masih hidup dapat meringankan nasib roh dengan memanjatkan doa untuknya dengan berzikir dambil menyiramkan air diatas kuburan (kabubusi).
 
Dengan cara ini, dosa almarhum juga dikurangi. Jika dosanya sangat besar, mungkin arwah tidak dapat menebusnya, bahkan setelah melewati masa tujuh tahun. Kemudian arwah itu lahir kembali, akan tetapi orang yang menjadi reinkarnasinya akan cacat.
 
Dalam pemikiran keagamaan Buton, ada tujuh alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh alam itu (martabat tujuh) juga ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut sejarah Buton, versi pertama konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La Elangi (1578-1615) dengan bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed (bandingkan dengan contoh gagasan reinkarnasi diatas).
Tiga alam pertama, alam ahdat (ahadiyya), alam wahadat (wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan secara keseluruhan merupakan wewenang Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran tentang tiga alam pertama tersebut. Alam kedua dan ketiga memiliki persamaan dengan keadaan di bumi. Akan tetapi, hanya di alam keempat ada semacam persolan tentang, perintah agar menjadi (kun). Ini alam arwah. Arwah berpindah ke pikiran, otak bapak, dan menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang menikah harus meminta arwah yang sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang tinggal bersama Rasul, bagi anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta kemakmuran dan penyempurnaan agama yang kaut. Lalu dari sana arwah akan bergerak ke alam yang kelima, alam masal dan disini dibentuk citra, pemikiran, gagasan dalam kandungan ibu. Dalam rahim ibu itu terjadi perubahan bentuk dari setetes cairan (air mani), yang berubah menjadi daging dan darah; menjadi tubuh. Itu alam keenam, alam ajisam. Alam masal dan alam ajisam berlangsung selama 40 hari. Selama alam ajisam orang tua harus berhati-hati agar tidak menderita cacat dan tidak mendapat masalah dalam pertumbuhannya. Dalam kurun waktu itu juga watak anak terbentuk. Janin berkembang menjadi makhluk dengan panca indera; seorang manusia. Kemudian alam ketujuh, alam insan atau alam manusia dicapai.
 
Kendati arwah masih berada dalam alam insan orang tua harus selalu berdoa untuk kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan untuk penyucian sebelum doa mereka panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku, seperti saya berada di alam insan”. Ini merupakan inti doa yang diucapkan dalam bentuk batata khusus, atau ungkapan (pra-Islam).
 
Ada juga pertalian antara gagasan tentang reinkarnasi dan selamatan peringatan upacara untuk orang meninggal pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseratus dua puluh setelah wafatnya. Terdapat semacam peresamaan dalam perkembangan antara reinkarnasi arwah melalui kelahiran baru dan penguraian mayat.
 
Setelah tiga hari jenazah menjadi bengkak, tetapi belum pecah. Dalam rentang waktu itu arwah mencari-cari, namun tidak dapat menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh hari, tubuh menjadi bengkak dan mulai pecah terurai, cairan dan darah mengalir keluar. Dalam periode ini, arwah ditiup kedalam nyawa yang didorong oleh zikir secara terus-menerus oleh mereka yang menghadiri selamatan. Namun, arwah belum juga masuk kedalam tubuh. Setelah empat puluh hari sebagian besar jenazah menjadi busuk, walaupun tulamg belulang masih diliputi daging dan darah. Arwah kemudian mengambil bentuk mereka yang pertama dalam kepala bapak, akan tetapi masih belum mempunyai wujud lahiriyah. Baru setelah seratus hari berlalu, sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah bersama nyawa masuk kedalam ibu melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui persetubuhan. Badan mulai berkembang dan semua belum sempurna, namun masih belum tumbuh mendewasa-indapo aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki belum terbuka. Setelah seratus dua puluh hari seluruh tubuh sudah sempurna dan hanya tinggal tumbuh lagi.
 
Ilmu tentang asal mula manusia, tentang berbagai alam tempat tinggal arwah sebelum lahir sangat penting baik untuk orang muda maupun orang tua jika mereka ingin terbebas dari kesombongan dan kecongkakan. Acuan pada rahim merupakan pernyataan kerendahan hati: dengan demikian orang tidak akan lupa bahwa ia berasal dari keadaan yang tidak bersih. Bahkan pada saat senang orang harus sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan sejati. Bahkan mereka yang jarang ke masjid namun hidup dengan pemikiran ini, adalah penganut agama yang baik. Inti kejahatan terletak kepada kesombongan, keangkuhan, dan lupa pada asal-usul.
 
Ilmu tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu kejadian), ilmu tentang menjadi ada. Ilmu ini penting jika orang ingin mengetahui tentang diri sendiri dan asal-usulnya. Tanpa ini, orang benar-benar tidak dapat yakin adanya Tuhan.
 
Seandainya orang telah mencapai ilmu itu, maka ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat. Pada tingkat ini, orang tidak harus sembahyang (shalat) secara teratur, karena bila sudah dekat pada Tuhan orang tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang sudah berjalan di sisi Tuhan. Mereka yang telah mencapai taraf ini, para ahli tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari soal keduniaan. Mereka yang telah menimba banyak ilmu, yang sangat mendekati Tuhan (opoopoti oputa, secara harfiah “merenungkan Tuhan) dapat menentukan kemana arwah mereka akan pergi, sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal lain yang tidak dapat dilakuakan oleh orang biasa.
 
Di lain pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan baik dapat diganjar dengan kehidupan berikut yang lebih baik. Seseorang dari golongan bangsawan lapis ketiga (papara) dapat dilahirkan kembali sebagai anak dari walaka (lapis kedua) atau dari La ode (lapis pertama) atau pada zaman dahulu bahkan bisa jadi adalah sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang hidup buruk dapat dilahirkan kembali ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu juga dipandang sebagai seorang perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi kenyataan bahwa mereka dititiskan sebagai perempuan karena orang laki-laki selalu dianggap lebih penting dan anak laki-laki lebih dimanjakan daripada gadis.
 
Konon, di Rongi orang percaya bahwa hidup buruk, seperti mengumbar nafsu birahi dapat mengakibatkan roh kembali dalam wujud binatang. Ini bisa segala macam hewan bahkan seekor babi.
 
'''b.2. Berubah menjadi binatang'''
 
Perjalanan arwah ke alam binatang disebut dauru (dawr = perubahan). Dalam kepercayaan Wolio dan Pulau Muna, perjalanan itu tidak berhubungan dengan hukuman atas hidup buruk. Sebaliknya, orang yang dapat menjalani perubahan ini sangatlah suci. Kisah yang terkenal ialah Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum (k.l.1491-1537; bandingkan dengan Zahari 1977, I:46; nama sangia juga menunjukan kesucian).
 
Cerita ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape terkenal telah menuntut ilmu kebatinan. Pada suatu hati ia memperhatikan kulitnya yang mulai menyerupai kulit buaya. Putranya Sangia Wambulu, juga mengetahuinya dan merasa malu. Ia berkata kepada ayahnya, “Lebih baik saya bawa ayah ke laut, mandi disana.” Ketika mereka tiba di laut, Sangia-i-rape menaruh sarungnya di atas batu dan dimandikan oleh putranya. Ketika dimandikan, ia betul-betul berubah menjadi buaya. Karena ilmu yang ia tuntut itu, ia dapat langsung berubah menjadi buaya. Menurut seorang informan dari Wolio, ia jelas telah begitu dekat padaTuhan (opooputi oputa) karena dapat menjadi apa saja yang dia inginkan. Jika seseorang sudah begitu dekat pada Tuhan dan mencapai penyatuan dengan Tuhan seperti itu, maka ia dapat berbuat apa saja yang disukainya.
 
'''b.3. Mengenal arwah mendiang pada anak-anak'''
 
Kadang kala seorang kerabat dengan jelas akan menyatakan, sebelum meninggal, kepada siapa dia akan kembali. Pada beberapa anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan dari roman muka dan atau kelakuan. Cucu laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi permainsuri sultan, membuat hal ini jelas karena sebagai anak kecil ia mampu mengenali perhiasan mendiang permainsuri dan mengakui sebagai miliknya.
 
Sultan Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851 M) juga tahu siapa yang menitis pada dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa (Sultan XXX : 1851-1861 M), serta merta berbicara setelah kelahirannya berkat arwah yang menitis pada dirinya.
 
'''C. Percaya pada Reinkarnasi dan Gagasan-gagasan Keagamaan Lain'''
 
'''c.1. Percaya pada reinkarnasi dan Islam'''
 
Informan yang memberikan keterangan kepada Pim Schoorl, sangat percaya pada reinkarnasi, memperkenalkan pandangan hidup Islam yang ortodoks (kolot) tetang kehidupan setelah mati, sedangkan ia juga mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok dengan Islam.
 
Doa-doa Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca dikuburan dimaksudkan untuk membawa kebaikan bagi orang yang mati. Jadi, ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di makam guna menjamin kesejahteraan orang yang meninggal. Istigfar dan tobat dimasudkan untuk mendapatkan pembebasan dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat mendiang/almarhum melalui amal shaleh sangat menentukan.
 
Meskipun demikian, ada pula kepercayaan pada kembalinya arwah yang dipandang tidak bertentangan dengan Islam. Orang yang benar-benar percaya pada reinkarnasi biasanya menjalani hidup dengan baik, menepati janjinya, menolak hidup mewah, menahan semua keinginan untuk mengungguli orang lain dan menahan diri supaya tidak sombong dan ia mengutuk tingkah laku seperti itu pada orang lain.
 
Mereka memperoleh pembenaran atas kepercayaan pada reinkarnasi dalam sebuah ayat al-Qur’an yang mereka baca sebagai pujian setiap hari setelah shalat. Disitu dinyatakan” Perpindahan malam ke siang dan perpindahan siang ke malam; dan masuknya hidup dari mati bagi siapa saja yang disukainya dengan tidak menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju an-nahara fi al-layli, wa tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita min al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27) dan (Arbery 1955, I:76).
 
Antara ilmu tasawuf (Islam) dan perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada hubungan. Murtabat Tujuh juga menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa pada bagian: orohi yitu kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa (Wolio). Dalam bahasa Arab nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau berpindah dan sebab itu roh dalam bahasa Wolio dikataka lipa, artinya pergi. Teks Wolio itu mempunyai arti harfiah: roh itu pergi terus-menerus, roh itu kata Arab yang artinya “pergi”.
 
Dalam doa kepada Tuhan, berdoa untuk para arwah juga ada bagian yang biasa dibaca: “Ya Tuhan ampunilah kami dan dia. Biarlah dia mempunyai tempat yang lebih baik, gantilah yang tidak baik dengan yang lebih baik dan berikanlah banyak cahaya kepadanya dalam kuburan.” Dan untuk arwah mereka yang relatif telah lama meninggal, maka kata-kata berikut: Engkau punya kuasa mengatur segala sesuatu. Kami tidak tahu apakah arwah itu masih ada dalam makam atau telah berpindah ke tubuh lain, tetapi Engkau punya kuasa mengatur segala-galanya.
 
Pada tahun 1939, La Malangka, kepala desa Bau-bau dan seorang Muhamadiyyah menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada soal kembali. Kepala desa Nganganaumala, Haji Abdullah bertanya kepadanya, dimana dapat ditemuakn teks atau ayat yang menunjukan tidak ada reinkarnasi. Dan Ia bertanya, “Apa artinya ayat berikut dari Qur’an ini: ”Perpindahan malam dst?” (lihat di atas). Bagaimanapun juga mati masuk kedalam kehidupan bukan mati mengganti kehidupan. Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal tersebut.
 
Islam secara resmi tidak mencoba dengan jelas menentang kepercayaan pada reinkarnasi. Namun, orang Buton tidak memperlihatkan kepercayaannya demi menghindari perselisihan pendapat
 
'''c.2. Percaya pada reinkarnasi dan pemujaan leluhur'''
 
Dalam agama Buton, ada tempat yang ditetapkan untuk pemujaan leluhur. Tetapi bukan mendeskripsikan sebagai tempat dan ‘pemujaan’ yang terlalu jauh. Pada berbagai upacara muslim, makam leluhur disirami air. Seorang tua yang berilmu, memanjatkan doa atau mengucapkan patah (batata) untuk air itu. Kembang-kembang dan wangi-wangian dibubuhkan pada air tersebut. Bila bersiap pergi jauh atau sekembalinya, orang akan ke makam leluhur atau orang tua untuk berdoa. Orang pergi ke kuburan orang yang telah tiada, menurut keyakinan masyarakat Buton, orang yang telah tiada telah kembali ke kehidupan ini melalui reinkarnasi mereka teristimewa pada anak-anak mereka sendiri. Bagi mereka hal ini merupakan gagasan yang kompleks dan mereka tidak mencoba menetapkan hubungan yang masuk akal.
 
Memang dari penjelasan tentang diatas akan menimbulkan pertanyaan, sebagaimana pernah terjadi percakapan antara tetua adat dengan anaknya pada tahun 1984, sang anak menanyakan “Bagaimana mungkin banyak manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah tetap?” Tetua adat tersebut kemudian memberikan jawaban kepadanya bahwa satu arwah dapat menitis lebih dari satu kali. Adakalanya seseorang yang telah meninggal, kembali melalui lebih dari sepuluh cucu.
 
Ada satu jawaban mengenai hal tersebut yang diberikan seorang informan kepada Schoorl: “Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Tuhan Maha Kuasa dan dapat membuat banyak dari apa saja. Ia memberi siapa saja sebanyak yang Ia suka, sedikit atau banyak, tanpa memperhitungkan; bagi Tuhan segala sesuatu mungkin. Karena ditulis dalam Qur’an, soal ro/arwah merupakan rahasia Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat mengatakan mengapa kini ada banyak roh /arwah sedangkan biasanya hanya ada sedikit saja, atau sebaliknya. Alam arwah hanya diketahui Tuhan saja. Pengetahuan manusia tentan hal itu sedikti malah tak ada. ” (Arberry 1955, I:311-312)
 
*[SABIR, MAHASISWA KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA & KETUA PENGEMBANGAN MINAT DAN BAKAT HIMPUNAN PEMUDA PELAJAR DAN MAHASISWA BUTON INDONESIA/HIPPMIB-BERSATU JAKARTA 2006-2008 M]
 
 
 
 
 
 
----
 
'''KEPERCAYAAN REINKARNASI *'''
----
 
Satu hal yang paling menonjol pada sufisme ini, di pusat Kesultanan Wolio, ialah kepercayaan pada reinkarnasi yang masih hidup di Buton masa kini, terutama di pusat. Di desa-desa, kepercayaan pada reinkarnasi tidak terlalu kuat dan dianggap sebagai ajaran Islam sebagaimana disebarkan di pusat.
Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni:
1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
 
Mengenai kematian dan akhirat, bagi orang muslim penguburan diikuti dengan serangkaian upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak, orang Muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya akan ajaran Islam tentang kiamat dan pengadilan nanti, masuk surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada kepercayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang lain.
 
'''A. Asal-Usul Kepercayaan pada Reinkarnasi'''
 
Reinkarnasi berarti penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati. Reinkarnasi merupakan kepercayaan bahwa jiwa tinggal pada pada banyak tubuh, satu sesudah yang lain dan dapat hidup berkali-kali di dunia sebelum akhirnya dimurnikan seutuhnya dan dengan demikian bebas dari keharusan untuk pindak ke tubuh lain. Menurut kepercayaan ini, jiwa sudah ada sebelum masuk ketubuh dan sesudah kematian pun tetap ada dalam keadaan tanpa tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai satu tubuh dari jenis yang sama atau yang lain. Dalam berbagai bentuk, reinkarnasi diterima oleh agama Budha, Hindhu dan Neoplatonisme.
 
Bila mendengar atau membaca soal kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton, orang mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?. Ada beberapa kemungkinan. Orang dapat menerka itu telah ada dalam kebudayaan Buton pra-Islam (dan mungkin pra-Hindu). Kemungkinan kedua, kepercayaan itu terbentuk di bawah pengaruh Hindu sebelum pengislaman, khususnya sebagai akibat adanya hubungan dengan kerajaan Jawa-Hindu; Majapahit. Kemungkinan ketiga yang patut disebut, gagasan reinkarnasi terkandung dalam sufisme yang dibawa ke Buton.
 
Wilken (1912:64-90) berdasarkan kepustakaan yang ada pada 1884, berkesimpulan bahwa kepercayaan pada perpindahan arwah memang dikenal oleh berbagai suku di Indonesia. Ia menganggap ide tentang reinkarnasi sebagai bentuk khusus daripadanya. Pada hematnya, “ajaran tentang perpindahan arwah” merupakan konsep asli Polinesia, maksudnya gagasan Indonesia asli (Wilken 1912:64). Tentang kebudayaan Jawa ia memang menunjuk kepada Hindu, namun ia memberi kesan bahwa disitu pun, ia berasumsi gagasan Indonesia asli sangat penting (Wilken 1912:64 dan 68).
 
Mengenai anggapan bahwa pengaruh Hindu di Buton, ada beberapa bukti yang dapat diajukan. Pertama, tradisi setempat menyebut adanya hubungan dengan Majapahit. Pernyataan ini diperkuat oleh nama-nama raja Buton pada kurun waktu itu, yang menyiratkan pengaruh Jawa Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru, Tuarade dan Rajamulae. Menurut cerita turun-temurun, raja keenam masuk Islam dan kemudian menggunakan gelar sultan. Lalu ia disebut dengan Murhum, yang berasal dari bahasa Arab marhum (Zahari 1977, I:46).
 
Bukti kedua merupakan cerita, termasuk cerita turun-temurun, bahwa raja keempat, Tuarade, dari kunjungannya ke Majapahit membawa pulang empat tanda kekuasaan. Juga dalam sejarah Jawa tentang Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton disebut sebagai kawasan yang mempunyai hubungan dengan atau berada dibawah pengaruh Majapahit. Bukti lain, tampak dalam cerita tentang para pengungsi Jawa dari Majapahit yang mencari perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah pemerintahan Rajamulae. Di bawah penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar masuk Islam.
 
Bukti lain yang berbeda corak dapat pula digunakan karena ada kemiripan gagasan tentang reinkarnasi di Jawa (Tengah) sebagaimana digambarkan oleh Geertz (1960:75,76), “Pandangan ketiga, sangat luas dianut oleh semua orang, kecuali para santri, yang mengutuknya sebagai bid’ah, merupakan gagasan tentang reinkarnasi-bahwa ketika orang meninggal, arwahnya tidak lama kemudian masuk ke dalam janin sebagai jalan menuju kelahiran.
 
Biasanya, seorang wanita yang mengandung tiba-tiba sangat mengidamkan beberapa makanan tertentu- sebuah jeruk yang tidak musimnya atau sebutir telur itik- makanan ini bernyawa dan dengan demikian masuk ke dalam kandungan perempuan itu dan dilahirkan kembali sebagai anaknya. Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi dalam keluarga yang sama, walaupun hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan orang yang menerima reinkarnasi tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang yang telah meninggal. Itu mungkin diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh kemiripan sifat anak dan orang yang baru saja meninggal, atau oleh tahi lalat yang serupa.
 
Bagi orang Buton, tidaklah bijaksana menceritakan kepada anak, siapa yang menitis padanya, karena hal ini dapat mempermalukan arwah dalam diri si anak, dan ia akan jatuh sakit. Setelah si anak berumur enam tahun atau lebih, hal itu tidak menjadi masalah.
 
Soal gagasan tentang reinkarnasi dalam sufisme dan yang tersebar di Buton, tentu memang ada. Dalam kepustakaan mengenai sufisme Indonesia, khususnya di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17, gagasan tentang reinkarnasi tidak disebut.. setidaknya dapat diduga bahwa sufisme secara masuk bisa menerima gagasan yang berbeda-beda dan menawarkan kemungkinan tertentu kepada gagasan tentang reinkarnasi.
 
'''B. Gagasan-gagasan yang Berkaitan dengan Reinkarnasi'''
 
'''b.1 . Pengaruh terhadap waktu dan tempat reinkarnasi'''
 
Ada kepercayaan bahwa orang tertentu punya kekuatan untuk menentukan kapan orang mati dikubur, dimana, dan kapan rohnya akan kembali. Di Wolio orang demikian disebut motaurakea, dan di Lia dan Rongi (nama desa) pasucu. Di Wolio kepercayaan akan hal ini masih kuat, di Lia dan Rongi tak begitu kuat. Keluarga mendiang akan memilih seseorang yang punya bakat ini, dan ia akan menguburkan orang yang meninggal itu secara baik dan memanjatkan doa yang tepat.
 
Salah seorang informan (Wolio) ingat bahwa pamannya berlaku sebagai motaurakea pada suatu pemakaman. Keluarga orang yang meninggal itu bertanya, ‘Kemana Anda akan bawa arwah itu?’ ia menjawab dengan serta merta, ‘Saya membawanya kesini,” seraya menunjuk kepada satu keluarga yang hadir. Tidak begitu lama arwah mendiang lahir kembali dalam keluarga itu. (Penelitian Antropolgi Pim Schoorl, tentang Masyarakat, Sejarah Dan Kebudayaan Buton: 1984}
 
Di Rongi pernah ada kepercayaan bahwa orang dapat berlaku sebagai pasucu, tetapi sekarang pendapat yang dominan ialah cepatnya roh kembali tergantung pada amal ibadahnya dan kadar dosanya. Dan diantara mereka ada yang menolak jalan pikiran bahwa, pasucu dapat menentukan kemana arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia yakin bahwa arwah sumanga yang sudah bersih atau suci akan mencari sendiri tempat yang baik. Jika tidak ada hubungan baik antara suami-istri di kalanagan sanak terdekat, maka arwah tidak ingin kembali kesana. Tetapi arwah biasanya kembali ke tubuh seorang cucu. Ini disebut “ditempati oleh almarhum” (kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya arwah diluar keluarga almarhum atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.
 
Menurut adat, mula-mula arwah pergi ke semacam surga (kacingkia, kepercayaan akan surga dimana cingkaha, arwah, juga disebut sumanga, tinggal). Surga serupa dengan tempat tinggal orang hidup, dan disanalah diambil keputusan tentang kembalinya arwah oleh Tuhan (Kawasana Ompu).
 
Setiap tahun pada hari pertama bulan puasa (Ramadhan), berlangsung pertemuan di batula (surga), dan pada kesempatan ini arwah dapat bertanya kepada Kawasana Ompu tentang keputusan tentang pemberian keputusan baru. Kerabat yang masih hidup dapat meringankan nasib roh dengan memanjatkan doa untuknya dengan berzikir dambil menyiramkan air diatas kuburan (kabubusi).
 
Dengan cara ini, dosa almarhum juga dikurangi. Jika dosanya sangat besar, mungkin arwah tidak dapat menebusnya, bahkan setelah melewati masa tujuh tahun. Kemudian arwah itu lahir kembali, akan tetapi orang yang menjadi reinkarnasinya akan cacat.
 
Dalam pemikiran keagamaan Buton, ada tujuh alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh alam itu (martabat tujuh) juga ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut sejarah Buton, versi pertama konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La Elangi (1578-1615) dengan bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed (bandingkan dengan contoh gagasan reinkarnasi diatas).
Tiga alam pertama, alam ahdat (ahadiyya), alam wahadat (wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan secara keseluruhan merupakan wewenang Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran tentang tiga alam pertama tersebut. Alam kedua dan ketiga memiliki persamaan dengan keadaan di bumi. Akan tetapi, hanya di alam keempat ada semacam persolan tentang, perintah agar menjadi (kun). Ini alam arwah. Arwah berpindah ke pikiran, otak bapak, dan menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang menikah harus meminta arwah yang sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang tinggal bersama Rasul, bagi anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta kemakmuran dan penyempurnaan agama yang kaut. Lalu dari sana arwah akan bergerak ke alam yang kelima, alam masal dan disini dibentuk citra, pemikiran, gagasan dalam kandungan ibu. Dalam rahim ibu itu terjadi perubahan bentuk dari setetes cairan (air mani), yang berubah menjadi daging dan darah; menjadi tubuh. Itu alam keenam, alam ajisam. Alam masal dan alam ajisam berlangsung selama 40 hari. Selama alam ajisam orang tua harus berhati-hati agar tidak menderita cacat dan tidak mendapat masalah dalam pertumbuhannya. Dalam kurun waktu itu juga watak anak terbentuk. Janin berkembang menjadi makhluk dengan panca indera; seorang manusia. Kemudian alam ketujuh, alam insan atau alam manusia dicapai.
 
Kendati arwah masih berada dalam alam insan orang tua harus selalu berdoa untuk kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan untuk penyucian sebelum doa mereka panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku, seperti saya berada di alam insan”. Ini merupakan inti doa yang diucapkan dalam bentuk batata khusus, atau ungkapan (pra-Islam).
 
Ada juga pertalian antara gagasan tentang reinkarnasi dan selamatan peringatan upacara untuk orang meninggal pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseratus dua puluh setelah wafatnya. Terdapat semacam peresamaan dalam perkembangan antara reinkarnasi arwah melalui kelahiran baru dan penguraian mayat.
 
Setelah tiga hari jenazah menjadi bengkak, tetapi belum pecah. Dalam rentang waktu itu arwah mencari-cari, namun tidak dapat menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh hari, tubuh menjadi bengkak dan mulai pecah terurai, cairan dan darah mengalir keluar. Dalam periode ini, arwah ditiup kedalam nyawa yang didorong oleh zikir secara terus-menerus oleh mereka yang menghadiri selamatan. Namun, arwah belum juga masuk kedalam tubuh. Setelah empat puluh hari sebagian besar jenazah menjadi busuk, walaupun tulamg belulang masih diliputi daging dan darah. Arwah kemudian mengambil bentuk mereka yang pertama dalam kepala bapak, akan tetapi masih belum mempunyai wujud lahiriyah. Baru setelah seratus hari berlalu, sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah bersama nyawa masuk kedalam ibu melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui persetubuhan. Badan mulai berkembang dan semua belum sempurna, namun masih belum tumbuh mendewasa-indapo aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki belum terbuka. Setelah seratus dua puluh hari seluruh tubuh sudah sempurna dan hanya tinggal tumbuh lagi.
 
Ilmu tentang asal mula manusia, tentang berbagai alam tempat tinggal arwah sebelum lahir sangat penting baik untuk orang muda maupun orang tua jika mereka ingin terbebas dari kesombongan dan kecongkakan. Acuan pada rahim merupakan pernyataan kerendahan hati: dengan demikian orang tidak akan lupa bahwa ia berasal dari keadaan yang tidak bersih. Bahkan pada saat senang orang harus sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan sejati. Bahkan mereka yang jarang ke masjid namun hidup dengan pemikiran ini, adalah penganut agama yang baik. Inti kejahatan terletak kepada kesombongan, keangkuhan, dan lupa pada asal-usul.
 
Ilmu tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu kejadian), ilmu tentang menjadi ada. Ilmu ini penting jika orang ingin mengetahui tentang diri sendiri dan asal-usulnya. Tanpa ini, orang benar-benar tidak dapat yakin adanya Tuhan.
 
Seandainya orang telah mencapai ilmu itu, maka ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat. Pada tingkat ini, orang tidak harus sembahyang (shalat) secara teratur, karena bila sudah dekat pada Tuhan orang tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang sudah berjalan di sisi Tuhan. Mereka yang telah mencapai taraf ini, para ahli tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari soal keduniaan. Mereka yang telah menimba banyak ilmu, yang sangat mendekati Tuhan (opoopoti oputa, secara harfiah “merenungkan Tuhan) dapat menentukan kemana arwah mereka akan pergi, sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal lain yang tidak dapat dilakuakan oleh orang biasa.
 
Di lain pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan baik dapat diganjar dengan kehidupan berikut yang lebih baik. Seseorang dari golongan bangsawan lapis ketiga (papara) dapat dilahirkan kembali sebagai anak dari walaka (lapis kedua) atau dari La ode (lapis pertama) atau pada zaman dahulu bahkan bisa jadi adalah sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang hidup buruk dapat dilahirkan kembali ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu juga dipandang sebagai seorang perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi kenyataan bahwa mereka dititiskan sebagai perempuan karena orang laki-laki selalu dianggap lebih penting dan anak laki-laki lebih dimanjakan daripada gadis.
 
Konon, di Rongi orang percaya bahwa hidup buruk, seperti mengumbar nafsu birahi dapat mengakibatkan roh kembali dalam wujud binatang. Ini bisa segala macam hewan bahkan seekor babi.
 
'''b.2. Berubah menjadi binatang'''
 
Perjalanan arwah ke alam binatang disebut dauru (dawr = perubahan). Dalam kepercayaan Wolio dan Pulau Muna, perjalanan itu tidak berhubungan dengan hukuman atas hidup buruk. Sebaliknya, orang yang dapat menjalani perubahan ini sangatlah suci. Kisah yang terkenal ialah Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum (k.l.1491-1537; bandingkan dengan Zahari 1977, I:46; nama sangia juga menunjukan kesucian).
 
Cerita ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape terkenal telah menuntut ilmu kebatinan. Pada suatu hati ia memperhatikan kulitnya yang mulai menyerupai kulit buaya. Putranya Sangia Wambulu, juga mengetahuinya dan merasa malu. Ia berkata kepada ayahnya, “Lebih baik saya bawa ayah ke laut, mandi disana.” Ketika mereka tiba di laut, Sangia-i-rape menaruh sarungnya di atas batu dan dimandikan oleh putranya. Ketika dimandikan, ia betul-betul berubah menjadi buaya. Karena ilmu yang ia tuntut itu, ia dapat langsung berubah menjadi buaya. Menurut seorang informan dari Wolio, ia jelas telah begitu dekat padaTuhan (opooputi oputa) karena dapat menjadi apa saja yang dia inginkan. Jika seseorang sudah begitu dekat pada Tuhan dan mencapai penyatuan dengan Tuhan seperti itu, maka ia dapat berbuat apa saja yang disukainya.
 
'''b.3. Mengenal arwah mendiang pada anak-anak'''
 
Kadang kala seorang kerabat dengan jelas akan menyatakan, sebelum meninggal, kepada siapa dia akan kembali. Pada beberapa anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan dari roman muka dan atau kelakuan. Cucu laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi permainsuri sultan, membuat hal ini jelas karena sebagai anak kecil ia mampu mengenali perhiasan mendiang permainsuri dan mengakui sebagai miliknya.
 
Sultan Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851 M) juga tahu siapa yang menitis pada dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa (Sultan XXX : 1851-1861 M), serta merta berbicara setelah kelahirannya berkat arwah yang menitis pada dirinya.
 
'''C. Percaya pada Reinkarnasi dan Gagasan-gagasan Keagamaan Lain'''
 
'''c.1. Percaya pada reinkarnasi dan Islam'''
 
Informan yang memberikan keterangan kepada Pim Schoorl, sangat percaya pada reinkarnasi, memperkenalkan pandangan hidup Islam yang ortodoks (kolot) tetang kehidupan setelah mati, sedangkan ia juga mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok dengan Islam.
 
Doa-doa Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca dikuburan dimaksudkan untuk membawa kebaikan bagi orang yang mati. Jadi, ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di makam guna menjamin kesejahteraan orang yang meninggal. Istigfar dan tobat dimasudkan untuk mendapatkan pembebasan dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat mendiang/almarhum melalui amal shaleh sangat menentukan.
 
Meskipun demikian, ada pula kepercayaan pada kembalinya arwah yang dipandang tidak bertentangan dengan Islam. Orang yang benar-benar percaya pada reinkarnasi biasanya menjalani hidup dengan baik, menepati janjinya, menolak hidup mewah, menahan semua keinginan untuk mengungguli orang lain dan menahan diri supaya tidak sombong dan ia mengutuk tingkah laku seperti itu pada orang lain.
 
Mereka memperoleh pembenaran atas kepercayaan pada reinkarnasi dalam sebuah ayat al-Qur’an yang mereka baca sebagai pujian setiap hari setelah shalat. Disitu dinyatakan” Perpindahan malam ke siang dan perpindahan siang ke malam; dan masuknya hidup dari mati bagi siapa saja yang disukainya dengan tidak menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju an-nahara fi al-layli, wa tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita min al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27) dan (Arbery 1955, I:76).
 
Antara ilmu tasawuf (Islam) dan perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada hubungan. Murtabat Tujuh juga menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa pada bagian: orohi yitu kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa (Wolio). Dalam bahasa Arab nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau berpindah dan sebab itu roh dalam bahasa Wolio dikataka lipa, artinya pergi. Teks Wolio itu mempunyai arti harfiah: roh itu pergi terus-menerus, roh itu kata Arab yang artinya “pergi”.
 
Dalam doa kepada Tuhan, berdoa untuk para arwah juga ada bagian yang biasa dibaca: “Ya Tuhan ampunilah kami dan dia. Biarlah dia mempunyai tempat yang lebih baik, gantilah yang tidak baik dengan yang lebih baik dan berikanlah banyak cahaya kepadanya dalam kuburan.” Dan untuk arwah mereka yang relatif telah lama meninggal, maka kata-kata berikut: Engkau punya kuasa mengatur segala sesuatu. Kami tidak tahu apakah arwah itu masih ada dalam makam atau telah berpindah ke tubuh lain, tetapi Engkau punya kuasa mengatur segala-galanya.
 
Pada tahun 1939, La Malangka, kepala desa Bau-bau dan seorang Muhamadiyyah menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada soal kembali. Kepala desa Nganganaumala, Haji Abdullah bertanya kepadanya, dimana dapat ditemuakn teks atau ayat yang menunjukan tidak ada reinkarnasi. Dan Ia bertanya, “Apa artinya ayat berikut dari Qur’an ini: ”Perpindahan malam dst?” (lihat di atas). Bagaimanapun juga mati masuk kedalam kehidupan bukan mati mengganti kehidupan. Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal tersebut.
 
Islam secara resmi tidak mencoba dengan jelas menentang kepercayaan pada reinkarnasi. Namun, orang Buton tidak memperlihatkan kepercayaannya demi menghindari perselisihan pendapat
 
'''c.2. Percaya pada reinkarnasi dan pemujaan leluhur'''
 
Dalam agama Buton, ada tempat yang ditetapkan untuk pemujaan leluhur. Tetapi bukan mendeskripsikan sebagai tempat dan ‘pemujaan’ yang terlalu jauh. Pada berbagai upacara muslim, makam leluhur disirami air. Seorang tua yang berilmu, memanjatkan doa atau mengucapkan patah (batata) untuk air itu. Kembang-kembang dan wangi-wangian dibubuhkan pada air tersebut. Bila bersiap pergi jauh atau sekembalinya, orang akan ke makam leluhur atau orang tua untuk berdoa. Orang pergi ke kuburan orang yang telah tiada, menurut keyakinan masyarakat Buton, orang yang telah tiada telah kembali ke kehidupan ini melalui reinkarnasi mereka teristimewa pada anak-anak mereka sendiri. Bagi mereka hal ini merupakan gagasan yang kompleks dan mereka tidak mencoba menetapkan hubungan yang masuk akal.
 
Memang dari penjelasan tentang diatas akan menimbulkan pertanyaan, sebagaimana pernah terjadi percakapan antara tetua adat dengan anaknya pada tahun 1984, sang anak menanyakan “Bagaimana mungkin banyak manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah tetap?” Tetua adat tersebut kemudian memberikan jawaban kepadanya bahwa satu arwah dapat menitis lebih dari satu kali. Adakalanya seseorang yang telah meninggal, kembali melalui lebih dari sepuluh cucu.
 
Ada satu jawaban mengenai hal tersebut yang diberikan seorang informan kepada Schoorl: “Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Tuhan Maha Kuasa dan dapat membuat banyak dari apa saja. Ia memberi siapa saja sebanyak yang Ia suka, sedikit atau banyak, tanpa memperhitungkan; bagi Tuhan segala sesuatu mungkin. Karena ditulis dalam Qur’an, soal ro/arwah merupakan rahasia Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat mengatakan mengapa kini ada banyak roh /arwah sedangkan biasanya hanya ada sedikit saja, atau sebaliknya. Alam arwah hanya diketahui Tuhan saja. Pengetahuan manusia tentan hal itu sedikti malah tak ada. ” (Arberry 1955, I:311-312)
 
*[SABIR, MAHASISWA KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA & KETUA PENGEMBANGAN MINAT DAN BAKAT HIMPUNAN PEMUDA PELAJAR DAN MAHASISWA BUTON INDONESIA/HIPPMIB-BERSATU JAKARTA 2006-2008 M]
 
 
 
 
 
'''KEPERCAYAAN REINKARNASI *'''
 
Satu hal yang paling menonjol pada sufisme ini, di pusat Kesultanan Wolio, ialah kepercayaan pada reinkarnasi yang masih hidup di Buton masa kini, terutama di pusat. Di desa-desa, kepercayaan pada reinkarnasi tidak terlalu kuat dan dianggap sebagai ajaran Islam sebagaimana disebarkan di pusat.
Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni:
1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
 
Mengenai kematian dan akhirat, bagi orang muslim penguburan diikuti dengan serangkaian upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak, orang Muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya akan ajaran Islam tentang kiamat dan pengadilan nanti, masuk surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada kepercayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang lain.
 
'''A. Asal-Usul Kepercayaan pada Reinkarnasi'''
 
Reinkarnasi berarti penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati. Reinkarnasi merupakan kepercayaan bahwa jiwa tinggal pada pada banyak tubuh, satu sesudah yang lain dan dapat hidup berkali-kali di dunia sebelum akhirnya dimurnikan seutuhnya dan dengan demikian bebas dari keharusan untuk pindak ke tubuh lain. Menurut kepercayaan ini, jiwa sudah ada sebelum masuk ketubuh dan sesudah kematian pun tetap ada dalam keadaan tanpa tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai satu tubuh dari jenis yang sama atau yang lain. Dalam berbagai bentuk, reinkarnasi diterima oleh agama Budha, Hindhu dan Neoplatonisme.
 
Bila mendengar atau membaca soal kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton, orang mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?. Ada beberapa kemungkinan. Orang dapat menerka itu telah ada dalam kebudayaan Buton pra-Islam (dan mungkin pra-Hindu). Kemungkinan kedua, kepercayaan itu terbentuk di bawah pengaruh Hindu sebelum pengislaman, khususnya sebagai akibat adanya hubungan dengan kerajaan Jawa-Hindu; Majapahit. Kemungkinan ketiga yang patut disebut, gagasan reinkarnasi terkandung dalam sufisme yang dibawa ke Buton.
 
Wilken (1912:64-90) berdasarkan kepustakaan yang ada pada 1884, berkesimpulan bahwa kepercayaan pada perpindahan arwah memang dikenal oleh berbagai suku di Indonesia. Ia menganggap ide tentang reinkarnasi sebagai bentuk khusus daripadanya. Pada hematnya, “ajaran tentang perpindahan arwah” merupakan konsep asli Polinesia, maksudnya gagasan Indonesia asli (Wilken 1912:64). Tentang kebudayaan Jawa ia memang menunjuk kepada Hindu, namun ia memberi kesan bahwa disitu pun, ia berasumsi gagasan Indonesia asli sangat penting (Wilken 1912:64 dan 68).
 
Mengenai anggapan bahwa pengaruh Hindu di Buton, ada beberapa bukti yang dapat diajukan. Pertama, tradisi setempat menyebut adanya hubungan dengan Majapahit. Pernyataan ini diperkuat oleh nama-nama raja Buton pada kurun waktu itu, yang menyiratkan pengaruh Jawa Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru, Tuarade dan Rajamulae. Menurut cerita turun-temurun, raja keenam masuk Islam dan kemudian menggunakan gelar sultan. Lalu ia disebut dengan Murhum, yang berasal dari bahasa Arab marhum (Zahari 1977, I:46).
 
Bukti kedua merupakan cerita, termasuk cerita turun-temurun, bahwa raja keempat, Tuarade, dari kunjungannya ke Majapahit membawa pulang empat tanda kekuasaan. Juga dalam sejarah Jawa tentang Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton disebut sebagai kawasan yang mempunyai hubungan dengan atau berada dibawah pengaruh Majapahit. Bukti lain, tampak dalam cerita tentang para pengungsi Jawa dari Majapahit yang mencari perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah pemerintahan Rajamulae. Di bawah penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar masuk Islam.
 
Bukti lain yang berbeda corak dapat pula digunakan karena ada kemiripan gagasan tentang reinkarnasi di Jawa (Tengah) sebagaimana digambarkan oleh Geertz (1960:75,76), “Pandangan ketiga, sangat luas dianut oleh semua orang, kecuali para santri, yang mengutuknya sebagai bid’ah, merupakan gagasan tentang reinkarnasi-bahwa ketika orang meninggal, arwahnya tidak lama kemudian masuk ke dalam janin sebagai jalan menuju kelahiran.
 
Biasanya, seorang wanita yang mengandung tiba-tiba sangat mengidamkan beberapa makanan tertentu- sebuah jeruk yang tidak musimnya atau sebutir telur itik- makanan ini bernyawa dan dengan demikian masuk ke dalam kandungan perempuan itu dan dilahirkan kembali sebagai anaknya. Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi dalam keluarga yang sama, walaupun hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan orang yang menerima reinkarnasi tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang yang telah meninggal. Itu mungkin diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh kemiripan sifat anak dan orang yang baru saja meninggal, atau oleh tahi lalat yang serupa.
 
Bagi orang Buton, tidaklah bijaksana menceritakan kepada anak, siapa yang menitis padanya, karena hal ini dapat mempermalukan arwah dalam diri si anak, dan ia akan jatuh sakit. Setelah si anak berumur enam tahun atau lebih, hal itu tidak menjadi masalah.
 
Soal gagasan tentang reinkarnasi dalam sufisme dan yang tersebar di Buton, tentu memang ada. Dalam kepustakaan mengenai sufisme Indonesia, khususnya di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17, gagasan tentang reinkarnasi tidak disebut.. setidaknya dapat diduga bahwa sufisme secara masuk bisa menerima gagasan yang berbeda-beda dan menawarkan kemungkinan tertentu kepada gagasan tentang reinkarnasi.
 
'''B. Gagasan-gagasan yang Berkaitan dengan Reinkarnasi'''
 
'''b.1 . Pengaruh terhadap waktu dan tempat reinkarnasi'''
 
Ada kepercayaan bahwa orang tertentu punya kekuatan untuk menentukan kapan orang mati dikubur, dimana, dan kapan rohnya akan kembali. Di Wolio orang demikian disebut motaurakea, dan di Lia dan Rongi (nama desa) pasucu. Di Wolio kepercayaan akan hal ini masih kuat, di Lia dan Rongi tak begitu kuat. Keluarga mendiang akan memilih seseorang yang punya bakat ini, dan ia akan menguburkan orang yang meninggal itu secara baik dan memanjatkan doa yang tepat.
 
Salah seorang informan (Wolio) ingat bahwa pamannya berlaku sebagai motaurakea pada suatu pemakaman. Keluarga orang yang meninggal itu bertanya, ‘Kemana Anda akan bawa arwah itu?’ ia menjawab dengan serta merta, ‘Saya membawanya kesini,” seraya menunjuk kepada satu keluarga yang hadir. Tidak begitu lama arwah mendiang lahir kembali dalam keluarga itu. (Penelitian Antropolgi Pim Schoorl, tentang Masyarakat, Sejarah Dan Kebudayaan Buton: 1984}
 
Di Rongi pernah ada kepercayaan bahwa orang dapat berlaku sebagai pasucu, tetapi sekarang pendapat yang dominan ialah cepatnya roh kembali tergantung pada amal ibadahnya dan kadar dosanya. Dan diantara mereka ada yang menolak jalan pikiran bahwa, pasucu dapat menentukan kemana arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia yakin bahwa arwah sumanga yang sudah bersih atau suci akan mencari sendiri tempat yang baik. Jika tidak ada hubungan baik antara suami-istri di kalanagan sanak terdekat, maka arwah tidak ingin kembali kesana. Tetapi arwah biasanya kembali ke tubuh seorang cucu. Ini disebut “ditempati oleh almarhum” (kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya arwah diluar keluarga almarhum atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.
 
Menurut adat, mula-mula arwah pergi ke semacam surga (kacingkia, kepercayaan akan surga dimana cingkaha, arwah, juga disebut sumanga, tinggal). Surga serupa dengan tempat tinggal orang hidup, dan disanalah diambil keputusan tentang kembalinya arwah oleh Tuhan (Kawasana Ompu).
 
Setiap tahun pada hari pertama bulan puasa (Ramadhan), berlangsung pertemuan di batula (surga), dan pada kesempatan ini arwah dapat bertanya kepada Kawasana Ompu tentang keputusan tentang pemberian keputusan baru. Kerabat yang masih hidup dapat meringankan nasib roh dengan memanjatkan doa untuknya dengan berzikir dambil menyiramkan air diatas kuburan (kabubusi).
 
Dengan cara ini, dosa almarhum juga dikurangi. Jika dosanya sangat besar, mungkin arwah tidak dapat menebusnya, bahkan setelah melewati masa tujuh tahun. Kemudian arwah itu lahir kembali, akan tetapi orang yang menjadi reinkarnasinya akan cacat.
 
Dalam pemikiran keagamaan Buton, ada tujuh alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh alam itu (martabat tujuh) juga ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut sejarah Buton, versi pertama konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La Elangi (1578-1615) dengan bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed (bandingkan dengan contoh gagasan reinkarnasi diatas).
Tiga alam pertama, alam ahdat (ahadiyya), alam wahadat (wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan secara keseluruhan merupakan wewenang Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran tentang tiga alam pertama tersebut. Alam kedua dan ketiga memiliki persamaan dengan keadaan di bumi. Akan tetapi, hanya di alam keempat ada semacam persolan tentang, perintah agar menjadi (kun). Ini alam arwah. Arwah berpindah ke pikiran, otak bapak, dan menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang menikah harus meminta arwah yang sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang tinggal bersama Rasul, bagi anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta kemakmuran dan penyempurnaan agama yang kaut. Lalu dari sana arwah akan bergerak ke alam yang kelima, alam masal dan disini dibentuk citra, pemikiran, gagasan dalam kandungan ibu. Dalam rahim ibu itu terjadi perubahan bentuk dari setetes cairan (air mani), yang berubah menjadi daging dan darah; menjadi tubuh. Itu alam keenam, alam ajisam. Alam masal dan alam ajisam berlangsung selama 40 hari. Selama alam ajisam orang tua harus berhati-hati agar tidak menderita cacat dan tidak mendapat masalah dalam pertumbuhannya. Dalam kurun waktu itu juga watak anak terbentuk. Janin berkembang menjadi makhluk dengan panca indera; seorang manusia. Kemudian alam ketujuh, alam insan atau alam manusia dicapai.
 
Kendati arwah masih berada dalam alam insan orang tua harus selalu berdoa untuk kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan untuk penyucian sebelum doa mereka panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku, seperti saya berada di alam insan”. Ini merupakan inti doa yang diucapkan dalam bentuk batata khusus, atau ungkapan (pra-Islam).
 
Ada juga pertalian antara gagasan tentang reinkarnasi dan selamatan peringatan upacara untuk orang meninggal pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseratus dua puluh setelah wafatnya. Terdapat semacam peresamaan dalam perkembangan antara reinkarnasi arwah melalui kelahiran baru dan penguraian mayat.
 
Setelah tiga hari jenazah menjadi bengkak, tetapi belum pecah. Dalam rentang waktu itu arwah mencari-cari, namun tidak dapat menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh hari, tubuh menjadi bengkak dan mulai pecah terurai, cairan dan darah mengalir keluar. Dalam periode ini, arwah ditiup kedalam nyawa yang didorong oleh zikir secara terus-menerus oleh mereka yang menghadiri selamatan. Namun, arwah belum juga masuk kedalam tubuh. Setelah empat puluh hari sebagian besar jenazah menjadi busuk, walaupun tulamg belulang masih diliputi daging dan darah. Arwah kemudian mengambil bentuk mereka yang pertama dalam kepala bapak, akan tetapi masih belum mempunyai wujud lahiriyah. Baru setelah seratus hari berlalu, sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah bersama nyawa masuk kedalam ibu melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui persetubuhan. Badan mulai berkembang dan semua belum sempurna, namun masih belum tumbuh mendewasa-indapo aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki belum terbuka. Setelah seratus dua puluh hari seluruh tubuh sudah sempurna dan hanya tinggal tumbuh lagi.
 
Ilmu tentang asal mula manusia, tentang berbagai alam tempat tinggal arwah sebelum lahir sangat penting baik untuk orang muda maupun orang tua jika mereka ingin terbebas dari kesombongan dan kecongkakan. Acuan pada rahim merupakan pernyataan kerendahan hati: dengan demikian orang tidak akan lupa bahwa ia berasal dari keadaan yang tidak bersih. Bahkan pada saat senang orang harus sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan sejati. Bahkan mereka yang jarang ke masjid namun hidup dengan pemikiran ini, adalah penganut agama yang baik. Inti kejahatan terletak kepada kesombongan, keangkuhan, dan lupa pada asal-usul.
 
Ilmu tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu kejadian), ilmu tentang menjadi ada. Ilmu ini penting jika orang ingin mengetahui tentang diri sendiri dan asal-usulnya. Tanpa ini, orang benar-benar tidak dapat yakin adanya Tuhan.
 
Seandainya orang telah mencapai ilmu itu, maka ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat. Pada tingkat ini, orang tidak harus sembahyang (shalat) secara teratur, karena bila sudah dekat pada Tuhan orang tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang sudah berjalan di sisi Tuhan. Mereka yang telah mencapai taraf ini, para ahli tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari soal keduniaan. Mereka yang telah menimba banyak ilmu, yang sangat mendekati Tuhan (opoopoti oputa, secara harfiah “merenungkan Tuhan) dapat menentukan kemana arwah mereka akan pergi, sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal lain yang tidak dapat dilakuakan oleh orang biasa.
 
Di lain pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan baik dapat diganjar dengan kehidupan berikut yang lebih baik. Seseorang dari golongan bangsawan lapis ketiga (papara) dapat dilahirkan kembali sebagai anak dari walaka (lapis kedua) atau dari La ode (lapis pertama) atau pada zaman dahulu bahkan bisa jadi adalah sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang hidup buruk dapat dilahirkan kembali ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu juga dipandang sebagai seorang perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi kenyataan bahwa mereka dititiskan sebagai perempuan karena orang laki-laki selalu dianggap lebih penting dan anak laki-laki lebih dimanjakan daripada gadis.
 
Konon, di Rongi orang percaya bahwa hidup buruk, seperti mengumbar nafsu birahi dapat mengakibatkan roh kembali dalam wujud binatang. Ini bisa segala macam hewan bahkan seekor babi.
 
'''b.2. Berubah menjadi binatang'''
 
Perjalanan arwah ke alam binatang disebut dauru (dawr = perubahan). Dalam kepercayaan Wolio dan Pulau Muna, perjalanan itu tidak berhubungan dengan hukuman atas hidup buruk. Sebaliknya, orang yang dapat menjalani perubahan ini sangatlah suci. Kisah yang terkenal ialah Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum (k.l.1491-1537; bandingkan dengan Zahari 1977, I:46; nama sangia juga menunjukan kesucian).
 
Cerita ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape terkenal telah menuntut ilmu kebatinan. Pada suatu hati ia memperhatikan kulitnya yang mulai menyerupai kulit buaya. Putranya Sangia Wambulu, juga mengetahuinya dan merasa malu. Ia berkata kepada ayahnya, “Lebih baik saya bawa ayah ke laut, mandi disana.” Ketika mereka tiba di laut, Sangia-i-rape menaruh sarungnya di atas batu dan dimandikan oleh putranya. Ketika dimandikan, ia betul-betul berubah menjadi buaya. Karena ilmu yang ia tuntut itu, ia dapat langsung berubah menjadi buaya. Menurut seorang informan dari Wolio, ia jelas telah begitu dekat padaTuhan (opooputi oputa) karena dapat menjadi apa saja yang dia inginkan. Jika seseorang sudah begitu dekat pada Tuhan dan mencapai penyatuan dengan Tuhan seperti itu, maka ia dapat berbuat apa saja yang disukainya.
 
'''b.3. Mengenal arwah mendiang pada anak-anak'''
 
Kadang kala seorang kerabat dengan jelas akan menyatakan, sebelum meninggal, kepada siapa dia akan kembali. Pada beberapa anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan dari roman muka dan atau kelakuan. Cucu laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi permainsuri sultan, membuat hal ini jelas karena sebagai anak kecil ia mampu mengenali perhiasan mendiang permainsuri dan mengakui sebagai miliknya.
 
Sultan Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851 M) juga tahu siapa yang menitis pada dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa (Sultan XXX : 1851-1861 M), serta merta berbicara setelah kelahirannya berkat arwah yang menitis pada dirinya.
 
'''C. Percaya pada Reinkarnasi dan Gagasan-gagasan Keagamaan Lain'''
 
'''c.1. Percaya pada reinkarnasi dan Islam'''
 
Informan yang memberikan keterangan kepada Pim Schoorl, sangat percaya pada reinkarnasi, memperkenalkan pandangan hidup Islam yang ortodoks (kolot) tetang kehidupan setelah mati, sedangkan ia juga mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok dengan Islam.
 
Doa-doa Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca dikuburan dimaksudkan untuk membawa kebaikan bagi orang yang mati. Jadi, ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di makam guna menjamin kesejahteraan orang yang meninggal. Istigfar dan tobat dimasudkan untuk mendapatkan pembebasan dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat mendiang/almarhum melalui amal shaleh sangat menentukan.
 
Meskipun demikian, ada pula kepercayaan pada kembalinya arwah yang dipandang tidak bertentangan dengan Islam. Orang yang benar-benar percaya pada reinkarnasi biasanya menjalani hidup dengan baik, menepati janjinya, menolak hidup mewah, menahan semua keinginan untuk mengungguli orang lain dan menahan diri supaya tidak sombong dan ia mengutuk tingkah laku seperti itu pada orang lain.
 
Mereka memperoleh pembenaran atas kepercayaan pada reinkarnasi dalam sebuah ayat al-Qur’an yang mereka baca sebagai pujian setiap hari setelah shalat. Disitu dinyatakan” Perpindahan malam ke siang dan perpindahan siang ke malam; dan masuknya hidup dari mati bagi siapa saja yang disukainya dengan tidak menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju an-nahara fi al-layli, wa tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita min al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27) dan (Arbery 1955, I:76).
 
Antara ilmu tasawuf (Islam) dan perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada hubungan. Murtabat Tujuh juga menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa pada bagian: orohi yitu kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa (Wolio). Dalam bahasa Arab nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau berpindah dan sebab itu roh dalam bahasa Wolio dikataka lipa, artinya pergi. Teks Wolio itu mempunyai arti harfiah: roh itu pergi terus-menerus, roh itu kata Arab yang artinya “pergi”.
 
Dalam doa kepada Tuhan, berdoa untuk para arwah juga ada bagian yang biasa dibaca: “Ya Tuhan ampunilah kami dan dia. Biarlah dia mempunyai tempat yang lebih baik, gantilah yang tidak baik dengan yang lebih baik dan berikanlah banyak cahaya kepadanya dalam kuburan.” Dan untuk arwah mereka yang relatif telah lama meninggal, maka kata-kata berikut: Engkau punya kuasa mengatur segala sesuatu. Kami tidak tahu apakah arwah itu masih ada dalam makam atau telah berpindah ke tubuh lain, tetapi Engkau punya kuasa mengatur segala-galanya.
 
Pada tahun 1939, La Malangka, kepala desa Bau-bau dan seorang Muhamadiyyah menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada soal kembali. Kepala desa Nganganaumala, Haji Abdullah bertanya kepadanya, dimana dapat ditemuakn teks atau ayat yang menunjukan tidak ada reinkarnasi. Dan Ia bertanya, “Apa artinya ayat berikut dari Qur’an ini: ”Perpindahan malam dst?” (lihat di atas). Bagaimanapun juga mati masuk kedalam kehidupan bukan mati mengganti kehidupan. Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal tersebut.
 
Islam secara resmi tidak mencoba dengan jelas menentang kepercayaan pada reinkarnasi. Namun, orang Buton tidak memperlihatkan kepercayaannya demi menghindari perselisihan pendapat
 
'''c.2. Percaya pada reinkarnasi dan pemujaan leluhur'''
 
Dalam agama Buton, ada tempat yang ditetapkan untuk pemujaan leluhur. Tetapi bukan mendeskripsikan sebagai tempat dan ‘pemujaan’ yang terlalu jauh. Pada berbagai upacara muslim, makam leluhur disirami air. Seorang tua yang berilmu, memanjatkan doa atau mengucapkan patah (batata) untuk air itu. Kembang-kembang dan wangi-wangian dibubuhkan pada air tersebut. Bila bersiap pergi jauh atau sekembalinya, orang akan ke makam leluhur atau orang tua untuk berdoa. Orang pergi ke kuburan orang yang telah tiada, menurut keyakinan masyarakat Buton, orang yang telah tiada telah kembali ke kehidupan ini melalui reinkarnasi mereka teristimewa pada anak-anak mereka sendiri. Bagi mereka hal ini merupakan gagasan yang kompleks dan mereka tidak mencoba menetapkan hubungan yang masuk akal.
 
Memang dari penjelasan tentang diatas akan menimbulkan pertanyaan, sebagaimana pernah terjadi percakapan antara tetua adat dengan anaknya pada tahun 1984, sang anak menanyakan “Bagaimana mungkin banyak manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah tetap?” Tetua adat tersebut kemudian memberikan jawaban kepadanya bahwa satu arwah dapat menitis lebih dari satu kali. Adakalanya seseorang yang telah meninggal, kembali melalui lebih dari sepuluh cucu.
 
Ada satu jawaban mengenai hal tersebut yang diberikan seorang informan kepada Schoorl: “Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Tuhan Maha Kuasa dan dapat membuat banyak dari apa saja. Ia memberi siapa saja sebanyak yang Ia suka, sedikit atau banyak, tanpa memperhitungkan; bagi Tuhan segala sesuatu mungkin. Karena ditulis dalam Qur’an, soal ro/arwah merupakan rahasia Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat mengatakan mengapa kini ada banyak roh /arwah sedangkan biasanya hanya ada sedikit saja, atau sebaliknya. Alam arwah hanya diketahui Tuhan saja. Pengetahuan manusia tentan hal itu sedikti malah tak ada. ” (Arberry 1955, I:311-312)
 
*[SABIR, MAHASISWA KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA & KETUA PENGEMBANGAN MINAT DAN BAKAT HIMPUNAN PEMUDA PELAJAR DAN MAHASISWA BUTON INDONESIA/HIPPMIB-BERSATU JAKARTA 2006-2008 M]
 
 
 
 
 
==Referensi==
http://wiki-indonesia.club/wiki/Kesultanan_Buton
http://www. MelayuOnline.com
Hockings, Paul (ed.), Encyclopedia of World Cultures. Jil. V, Bosto: Hall, 1993
Pusat Bahasa Dept. Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Schoorl, Pim, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Djambatan, Cet. I. Juli 2003,
Sj, G. O’Collins, & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Yogyakarta: Konisus, 1996
Zahari, A. Mulku, Sejarah dan adat Fiy darul Butuni (Buton), Jakarta: Depdikbud, 1977
Zahari, A. Mulku, Sejarah masuknya Islam di Buton dan Perkembangannya, Buton: Bau-bau. [Stensilan], 1980
 
===Pranala luar===
*{{id}}[http://history.melayuonline.com/?a=SlRWL29QTS9VenVwRnRCb20%3D= Sejarah Kerajaan Buton di MelayuOnline.com]
 
{{Kerajaan di Sulawesi}}
{{indo-sejarah-stub}}
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Buton]]
[[Kategori:Kesultanan Buton| ]]
[[Kategori:Kerajaan di Sulawesi Tenggara|Buton]]