Lie Kim Hok: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
tamabah pranala dalam
 
(3 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 44:
 
== Guru dan penerbit ==
Pada usia 20 tahun, Lie telah fasih berbahasaber[[bahasa Sunda]] dan [[Bahasa Melayu|Melayu]]. Ia juga telah dapat berbicara dalam bahasa Belanda dengan lancar yang merupakan hal yang langka bagi [[Kelompok etnik|etnis]] Tionghoa pada masa itu.{{sfn|Setiono|2008|p=233}} Lie membantu van der Linden di sekolah misionaris dan pada pertengahan dekade 1870-an. Lie juga membuka sebuah sekolah umum untuk anak-anak Tionghoa yang kurang mampu. Lie juga bekerja di perusahaan percetakan milik van der Linden, yakni Zending Press dengan gaji sebesar 40 [[gulden Hindia Belanda|gulden]] per bulan sembari menjadi editor di majalah keagamaan mingguan berbahasa Belanda, ''De Opwekker'' dan majalah keagamaan dwimingguan berbahasa Melayu, ''Bintang Djohor''.{{sfn|Suryadinata|1995|pp=81–82}} Pada tahun 1876, Lie menikahi Oey Pek Nio yang berusia tujuh tahun lebih muda darinya.{{sfn|Tio|1958|p=44}} Tio, dalam sebuah wawancara dengan akademisi [[sastra Tionghoa Melayu]], Claudine Salmon, menyatakan bahwa Lie sebenarnya bertunangan dengan kakak dari Oey Pek Nio, tetapi kakak dari Oey Pek Nio melarikan diri semalam sebelum acara pernikahan sehingga Lie diminta oleh orang tuanya untuk menikahi Oey Pek Nio guna menyelamatkan muka keluarga.{{sfn|Salmon|1994|p=141}} Meskipun tidak senang dengan permintaan tersebut, Lie tetap menaatinya.{{sfn|Tio|1958|p=44}} Hubungan Lie dan Oey Pek Nio kemudian menjadi semakin dekat. Setahun kemudian, Oey Pek Nio pun melahirkan anak pertamanya, tetapi anak tersebut meninggal tidak lama setelah lahir. Pada tahun 1879, ibu Lie meninggal, dan setahun kemudian, ayahnya juga meninggal.{{sfn|Tio|1958|pp=46–47}}
 
[[Berkas:Sair Tjerita Siti Akbari.jpg|jmpl|kiri|lurus|alt=Sebuah sampul buku yang tertulis "Sair Tjerita Siti Akbari"|Sampul ''[[Sair Tjerita Siti Akbari]]'', [[syair]] pertama yang diterbitkan oleh Lie.]]
Baris 53:
Pada tahun 1886, Lie membeli hak untuk mencetak ''[[Pembrita Betawi]]'', sebuah surat kabar berbahasa Melayu yang berbasis di Batavia dan editornya dipimipin oleh W. Meulenhoff, dengan harga 1.000 gulden. Sebagian dari uang tersebut juga berasal dari pinjaman teman-temannya. Pada pertengahan tahun 1886,{{efn|{{harvtxt|Tio|1958|p=55}} menyatakan mulai 1 September, yang juga dikutip oleh {{harvtxt|Adam|1995|pp=64–66}}. Namun, dalam sebuah kutipan, {{harvtxt|Tio|1958|p=145}} menyatakan tanggal 1 Juni.}} perusahaan percetakan milik Lie (yang telah dipindah ke Batavia) pun mulai disebut sebagai pencetak Pembrita Betawi.{{sfn|Tio|1958|p=55}} Di tengah kesibukannya di perusahaan percetakan tersebut, Lie tetap menulis atau berkontribusi di empat buku. Dua buku pertama bergenre nonfiksi, yakni buku koleksi ramalan Tiongkok dan buku mengenai hukum sewa. Sementara, buku ketiga merupakan hasil terjemahan sebagian dari ''[[Seribu Satu Malam]]'', yaitu sebuah koleksi yang telah populer di kalangan Melayu. Sedangkan, buku keempat adalah novel pertama karya Lie, yakni ''[[Tjhit Liap Seng]]''.{{sfn|Tio|1958|pp=84–86}} Novel tersebut menceritakan sekelompok orang terpelajar di daratan utama Tiongkok. ''Tjhit Liap Seng'' pun dianggap sebagai novel Tionghoa Melayu pertama.{{sfn|Salmon|1994|p=126}}
 
Hingga tahun 1887, Lie juga menulis lima novel lain yang berlatar belakang Tiongkok. Beberapa novel tersebut didasarkan pada kisah-kisah Tiongkok yang diceritakan oleh teman-temannya yang dapat berbicara dalam bahasa Mandarin.{{sfn|Tio|1958|pp=72–73}} Pada tahun 1887, Lie menjual saham ''[[Pembrita Betawi]]'' ke Karsseboom & Co., tetapi ia tetap mencetak ''Pembrita Betawi'' hingga surat kabar tersebut dan perusahaan percetakan miliknya diakuisisi oleh Albrecht & Co. pada tahun 1888.{{sfnm|1a1=Adam|1y=1995|1pp=64–66|2a1=Tio|2y=1958|2p=55}} Lie kemudian tidak lagi berbisnis di bidang penerbitan, tetapi tetap berkontribusi di sejumlah surat kabar, termasuk di surat kabar baru milik [[Meulenhoff]], yakni ''Hindia Olanda''.{{sfn|Tio|1958|p=55}} Hingga tahun 1890, Lie pun tidak memiliki pekerjaaan tetap dan melakukan berbagai pekerjaan, termasuk menjadi penjual bambu, kontraktor, dan kasir.{{sfn|Setyautama|Mihardja|2008|pp=253–254}}
 
== Tiong Hoa Hwe Koan, penerjemahan, dan kematian ==
Baris 74:
Adam berpendapat bahwa Lie paling diingat atas kontribusinya pada [[sastra Indonesia]],{{sfn|Adam|1995|pp=64–66}} dengan karyanya yang diterima dengan baik oleh orang yang hidup pada saat itu. Tio juga menulis bahwa "Tua-muda membaca dengan mesra tulisan-tulisannya yang dipuji gaya-bahasanya yang sederhana, berirama, jernih, hidup, segar, dan kuat. Cermat dan tepat dipilihnya kata-kata, tertib dan rapi disusunnya kalimat-kalimat. ... Dikatakan orang, ia terlahir mendahului zaman. Ia diibaratkan sebuah bintang besar berkilau-kilauan, suatu kontras tajam terhadap bintang-bintang kecil yang muram diangkasa yang gelap-gulita."{{sfn|Tio|1958|pp=3–4}} Pujian lain juga diberikan oleh orang yang hidup pada saat itu, baik dari etnis pribumi maupun etnis Tionghoa, seperti [[Ibrahim Marah Soetan|Ibrahim gelar Marah Soetan]] dan [[Agus Salim]].{{sfn|Setiono|2008|p=244}} Saat penulis etnis Tionghoa menjadi hal yang umum pada dekade 1900-an, kritikus pun menjuluki Lie sebagai "bapak sastra Tionghoa Melayu" atas kontribusinya, seperti ''Siti Akbari'' dan ''Tjhit Liap Seng''.{{sfn|Tio|1958|p=87}}
 
Sejumlah buku karya Lie, seperti ''Sair Tjerita Siti Akbari'', ''Kitab Edja'', ''Orang Prampoewan'' dan ''Sobat Anak-anak'', telah dicetak berulang kali. AkantetapiAkan tetapi, Tio tidak mencatat adanya pencetakan ulang lagi setelah dekade 1920-an.{{sfn|Tio|1958|pp=84–86}} Pada tahun 2000, ''Kitab Edja'' dicetak ulang di volume perdana dari ''Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia'', sebuah antologi sastra Tionghoa Melayu.{{sfn|Lie|2000|p=59}} ''Sair Tjerita Siti Akbari'', yang Lie anggap sebagai salah satu karya terbaiknya, pun telah beberapa kali diadaptasi menjadi drama panggung. Lie menggunakan versi sederhana untuk sebuah rombongan aktor remaja, yang ternyata cukup sukses di Jawa Barat.{{sfn|Tio|1958|pp=42–43}} Pada tahun 1922, Shiong Tih Hui cabang [[Sukabumi]] meluncurkan adaptasi panggung lain berjudul ''Pembalesan Siti Akbari'', yang kemudian ditampilkan oleh rombongan teater [[Miss Riboet]] pada tahun 1926.{{efn|Drama panggung ini dicetak ulang oleh [[Yayasan Lontar]] pada tahun 2006 dengan menggunakan [[EYD|Ejaan Yang Disempurnakan]].}}<ref>{{harvnb|Lontar Foundation|2006|p=155}}; {{harvnb|De Indische Courant 1928, Untitled}}</ref> [[Wong bersaudara]] juga menyutradarai sebuah film berjudul ''[[Siti Akbari]]'', yang dibintangi oleh [[Roekiah]] dan [[Rd. Mochtar]]. Film buatan tahun 1940 tersebut konon didasarkan pada puisi karya Lie, tetapi kebenarannya belum dapat dipastikan.<ref>{{harvnb|Filmindonesia.or.id, Siti Akbari}}; {{harvnb|Bataviaasch Nieuwsblad 1940, Cinema: Siti Akbari}}</ref>
 
Setelah munculnya gerakan [[Kebangkitan Nasional Indonesia|nasionalis]] dan pemerintah kolonial Belanda berupaya menggunakan [[Balai Pustaka]] untuk menerbitkan karya sastra bagi kaum pribumi, karya Lie pun mulai terpinggirkan. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan [[bahasa Melayu|Melayu Halus]] sebagai bahasa administrasi, yakni bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan diajarkan di sekolah. Melayu Halus umumnya digunakan oleh para bangsawan di Sumatra, sementara Melayu pasaran berkembang menjadi [[Bahasa kreol|kreol]] yang digunakan dalam kegiatan perdagangan di sebagian Hindia Belanda bagian barat. Melayu pasaran umumnya digunakan oleh masyarakat kelas bawah. Para nasionalis Indonesia juga menggunakan Melayu Halus untuk membantu membangun budaya nasional dan mempromosikannya melalui surat kabar dan sastra. Sastra Tionghoa Melayu, yang ditulis dalam Melayu "rendah", pun makin terpinggirkan dan dianggap berkualitas rendah.{{sfnm|1a1=Benitez|1y=2004|1pp=15–16, 82–83|2a1=Sumardjo|2y=2004|2pp=44–45}} Tio, dalam sebuah tulisannya pada tahun 1958, menemukan bahwa generasi muda tidak lagi mempelajari Lie dan karyanya,{{sfn|Tio|1958|p=3}} Empat tahun kemudian, Nio juga menulis bahwa Melayu pasaran "sudah beralih ke dalam museum."{{sfn|Nio|1962|p=158}} Sejarawan sastra Monique Zaini-Lajoubert pun mengindikasikan bahwa tidak ada lagi studi kritis yang dilakukan terhadap ''Sair Tjerita Siti Akbari'' mulai tahun 1939 hingga 1994.{{sfn|Zaini-Lajoubert|1994|p=104}}
Baris 454:
}}
{{refend}}
 
{{Authority control}}
 
{{Portal bar|Biografi|Indonesia}}
 
{{lifetime|1853|1912|Lie Kom Hok}}
{{Artikel pilihan}}
 
[[Kategori:Penulis Indonesia]]
[[Kategori:Marga Li]]