Sartono (politikus): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→cleanup: + rm non-notable subjects; fixed infobox |
|||
(31 revisi perantara oleh 19 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Redirect|Sartono|kegunaan lain|Sartono (disambiguasi)}}
{{noref}}{{pemastian}}
{{Kotak info pemegang jabatan
| honorific-prefix =
|name = Sartono▼
|
| image = Sartono, Kepartaian dan Parlementaria Indonesia (1954).jpg
|imagesize = ▼
|
|
| office = [[Presiden Indonesia]]<br/><small>Pejabat</small>
|order1 = 1▼
|
|
|
|predecessor1 = Tidak Ada▼
|
|
| term_end1 = 2 Juli 1959
|birth_place = {{negara|Belanda}} [[Slogohimo, Wonogiri]], [[Hindia Belanda]]▼
| president1 = [[Soekarno]]
|death_date = {{death date and age|1968|10|15|1900|8|5}}▼
|
|
|
|
|
| deputy2 = [[Albert Mangaratua Tambunan]]<br />(1950–1956)<br />[[Arudji Kartawinata]]<br />(1950–1959)<br />[[Tadjuddin Noor]]<br />(1950–1956)<br />[[Zainul Arifin]]<br />(1956–1959)<br />[[Zainal Abidin Ahmad]]<br />(1956–1959)
▲|religion = [[Islam]]
| predecessor2 = ''Tidak ada, jabatan baru''
| successor2 = [[Zainul Arifin]]
| birth_date = {{tanggal lahir|1900|8|5}}
▲| birth_place
| death_place = [[Jakarta]], Indonesia
| party = [[Partai Nasional Indonesia]]<br />(1927–1931)<br />[[Partai Indonesia]]<br />(1931–1937)<br />[[Gerakan Rakyat Indonesia]]<br />(1937–1942)
| spouse = Siti Zaenab
| children = <!-- Kolom ini diisi hanya jumlah anak; hanya nama anak yang secara independen sudah terkenal atau telah memiliki artikelnya di Wikipedia; bila ada rujukan/referensi, uraikan dan tulis pada artikel -->3
| alma_mater = [[Universitas Leiden]]
| occupation =
| religion = <!-- Kosongkan bagian ini; kolom terkait Suku, Agama dan Ras telah dinonaktifkan -->
| signature = Signature of Sartono.svg
}}
[[Berkas:Sartono1951.jpg|thumb|280px|[[Sartono|Ketua DPR Sartono]] terlihat sedang melakukan rapat dengan pimpinan fraksi pada tahun [[1951]].]]▼
[[Berkas:Pejabat Presiden Sartono (1).jpg|thumb|220px|[[Soekarno|Presiden Soekarno]] berfoto bersama [[Sartono]] dan istri setelah serah terima jabatan tahun [[1958]].]]▼
[[Berkas:Sartono Mahaputera.jpg|thumb|220px|[[Soekarno|Presiden Soekarno]] menyematkan Bintang Mahaputera untuk [[Sartono]].]]▼
[[Berkas:Sartono dan Nasution.jpg|thumb|280px|Pada tahun [[1958]], saat [[Sartono|Mr.Sartono]] sebagai pejabat presiden, ia bekerjasama dengan [[Abdul Haris Nasution|Jenderal AH Nasution]] dalam peristiwa pemberontakan [[PRRI]], dan juga meratakan jalan bagi diberlakukannya kembali [[UUD 1945]] pada tahun [[1959]].]]▼
[[Berkas:Sartono dan HB IX.jpg|thumb|280px|[[Sartono|Pejabat Presiden/Ketua Parlemen Sartono]] menerima ucapan selamat dari [[Sri Sultan Hamengkubuwono IX]], di suatu resepsi kenegaraan. Perjuangan melawan penjajah yang dilakukan oleh kedua tokoh ini tidak diragukan, dan terhadap keduanya Belanda tidak pernah melakukan penahanan.]]▼
[[Berkas:Sartono dan Lee Kuan Yew.jpg|thumb|250px|[[Sartono]] bersama [[Lee Kuan Yew]].]]▼
[[Berkas:Sartono inspeksi.jpg|thumb|250px|[[Sartono|Mr.Sartono]] selaku Pejabat Presiden melakukan inspeksi pada suatu instalasi militer.]]▼
▲Dilahirkan sebagai keturunan bangsawan [[Suku Jawa|Jawa]], Sartono berturut-turut mengikuti pendidikan di [[HIS]], [[MULO]], [[AMS]], dan [[RHS]] yang ditamatkannya pada tahun [[1922]]. Ia kemudian meneruskan pendidikannya ke [[Universitas Leiden]] [[Belanda]] dan mendapatkan gelar ''Meester in de Rechten'' pada tahun [[1926]].
== Latar belakang dan keluarga ==
[[Berkas:Sartono n family.jpg|
Nama Sartono, berasal dari kata [[Jawa]], yaitu ''sarto'' dan ''ono''. Arti nama tersebut ialah "keberadaannya menjadi pelengkap". Kelak dalam perjalanan hidupnya terbukti Sartono selalu menjadi pelengkap dari kekurangan masyarakat atau bangsanya. Beliau lahir dari keluarga bangsawan. Nama kedua orang tuanya adalah Raden Mas Martodikaryo dan Raden Ajeng Ramini. Ayahnya adalah cicit dari [[Mangkunegoro II]], sedangkan ibunya adalah cucu dari [[Mangkunegoro III]].
Sartono menikah dengan Siti Zaenab yang merupakan anak dari [[Wiryono Sastrohandoyo|Wiryowiguno]], seorang saudagar batik yang sukses dan mempunyai reputasi tinggi di kalangan masyarakat [[Solo]] pada tanggal [[26 Mei]] [[1930]]. Beliau menikah di kediaman keluarga Wiryowiguno yang terletak sekitar 100 meter dari rumah [[Samanhudi|KH Samanhudi]], pendiri [[Sarekat Islam]]. Sartono dikaruniai 3 anak yang bernama R.M. Gunadi, R.A. Sri Mulyati, dan R.A. Rukmini.
== Karier ==
=== Sebelum Kemerdekaan ===
Sartono mulai berjuang untuk kemerdekaan sejak usia 16 tahun, saat ia mulai memasuki pergerakan nasional, sebagai anggota [[Darmo Kondo|Darmokoro]]. Menjelang Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928, ia termasuk yang memberi sponsor terlaksana Kongres II bersama temannya Mr. Soenario. Selama 29 tahun ia mengabdikan dirinya tanpa henti untuk mencapai cita-cita [[Indonesia]] merdeka.
=== Menjadi Menteri Kabinet Pertama RI ===
Baris 53 ⟶ 58:
=== Menjadi Ketua DPR ===
▲[[Berkas:Sartono1951.jpg|
Sartono mulai duduk di meja pimpinan [[DPR RIS]] sebagai Ketua sejak keputusan sidang pertama DPR RIS disahkan oleh Presiden pada tanggal [[22 Februari]] [[1950]]. Sartono berhasil mengalahkan kedua calon lainnya yaitu [[Mohammad Yamin]] dan [[Tambunan|Mr. Tambunan]], pemungutan suara pun dilakukan sebanyak 3 kali karena baru pemungutan suara ketiga, Mr. Tambunan mengundurkan diri dan calonnya hanya dua saja. Sartono terpilih dengan perolehan suara 51, sedangkan [[Mohammad Yamin]] sebanyak 39 suara. Mereka sama-sama berasal dari [[RI]]. Setelah Sartono terpilih sebagai Ketua DPR RIS, dilakukan juga pemilihan wakil ketua I di lembaga perwakilan rakyat tersebut. Ada dua calon yang muncul, yaitu [[Albert
RIS tidak berlangsung lama. Pada tanggal [[15 Agustus]] [[1950]], [[DPR RIS]], Senat dan [[BPKNP]] secara bersamaan resmi mengakhiri tugasnya karena RIS akan kembali lagi menjadi Negara Kesatuan [[RI]]. Namun, terhitung keesokan harinya, seluruh ketua, wakil ketua, dan para angota ketiga dewan perwakilan tersebut diangkat kembali menjadi anggota [[DPR]] Negara Kesatuan RI dan lazim disebut sebagai DPR Sementara mengingat para anggotanya belum dipilih melalui pemilihan umum. Sartono dan semua anggota [[DPRS]] lainnya mengangkat sumpah jabatan pada tanggal [[16 Agustus]] [[1950]] malam di Gedung DPR. Jumlah seluruh anggota DPR yang dilantik sebanyak 235 orang dengan perincian sebagai berikut: [[Masyumi]] 43, [[PNI]] 42, [[PIR]] 22, [[PKI]] 17, [[PSI]] 15, [[PRN]] 13, [[Persatuan Progressif]] 10, [[Demokrat]] 9, [[Partai Katolik]] 9, [[NU]] 8, [[Parindra]] 7, [[Partai Buruh]] 6, [[Parkindo]] 5, [[Partai Murba]] 4, [[PSII]] 4, sedangkan sisanya adalah partai-partai kecil dan golongan tak berpartai. Sidang [[DPRS]] pertama berlangsung pada tanggal [[19 Agustus]] [[1950]] dengan agenda pemilihan pimpinan DPR yang baru. Berdasarkan hasil pleno tersebut, terpilih Sartono sebagai Ketua DPR, sedangkan urutan yang bertindak sebagai wakil ketua adalah [[Tambunan|Mr. Tambunan]], [[Arudji Kartawinata]] dan [[Tadjuddin Noor|Mr. M Tadjuddin Noor]].
Baris 61 ⟶ 67:
=== Menjadi Pejabat Presiden ===
▲[[Berkas:Pejabat Presiden Sartono (1).jpg|
▲[[Berkas:Sartono Mahaputera.jpg|
▲[[Berkas:Sartono dan Nasution.jpg|
▲[[Berkas:Sartono dan HB IX.jpg|
▲[[Berkas:Sartono inspeksi.jpg|
Sartono pada [[20 Desember]] [[1957]] berdiri dengan khusyuk di hadapan sidang pleno [[DPR]] hasil pilihan rakyat untuk mengucapkan sumpah jabatan sebagai Pejabat Presiden. Sartono adalah orang pertama yang menduduki jabatan [[Presiden Republik Indonesia]] karena dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Sartono menjadi Pejabat Presiden berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1957 Pasal 2 yang menegaskan bahwa yang ditunjuk untuk menjalankan pekerjaan dalam situasi Presiden mangkat atau berhalangan adalah Ketua Parlemen, dengan ketentuan sampai ditunjuk Presiden yang baru. Dengan demikian, kedudukan Pejabat yang Menjalankan Pekerjaan Jabatan Presiden sebagaimana yang dimaksud oleh undang-undang tersebut adalah praktis sama dengan jabatan Wakil Presiden. Ia kini berada di posisi yang tertinggi dalam kelembagaan negara. Namun, penampilan Sartono tetap bersahaja. Dalam setiap produk undang-undang yang ia tanda tangani selaku Pejabat Presiden, ia selalu menuliskan namanya hanya dengan Sartono, tanpa gelar apa pun. Salah satu undang-undang yang mendapat pengesahan dari Pejabat Presiden Sartono ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1958 tentang perubahan nama Provinsi [[Sunda Kecil]] menjadi [[Nusa Tenggara]]. Barangkali Sartono yang lahir di desa kecil di daerah [[Surakarta]] tersebut tidak mengira bahwa suatu waktu ia diberi kesempatan untuk memegang jabatan sebagai Kepala Negara. Ketika sejarah mencatat bahwa dalam memegang jabatan tersebut, Sartono harus melalui beberapa badai yang mengguncang kehidupan bangsa. Sartono hanya menjabat sampai tahun [[1959]] yang dimana Indonesia akan memasuki masa [[Demokrasi Terpimpin]], yang akan kembali kepada [[UUD 1945]].
=== Menjadi Wakil Ketua DPA ===
[[Berkas:DPA1962.jpg|
Pada bulan [[Maret]] [[1962]], Sartono menduduki posisi baru sebagai Wakil Ketua [[Dewan Pertimbangan Agung]]. Proses pengangkatan Sartono sebagai Wakil Ketua DPA ini dimulai pada 4 Maret 1962. Pada hari itu, [[Soekarno|Presiden Soekarno]] memanggil dia, [[Abdul Haris Nasution]], [[Juanda]], dan [[Chaerul Saleh]] untuk membicarakan tentang regrouping pemerintahan agar lebih efektif. Pertemuan tersebut dilanjutkan pada keesokan harinya, tetapi yang dipanggil hanya Sartono, [[Iwa Kusumasumantri]], dan [[Arifin Harahap]]. Baru keesokan harinya pengangkatan [[Sartono]] yang menggantikan [[Roeslan Abdulgani]] sebagai Wakil Ketua DPA diumumkan. [[Sartono]] dilantik sebagai Wakil Ketua DPA pada [[8 Maret]] [[1962]], dan pada tanggal [[9 Maret]] [[1962]] sebagai Wakil Menteri Pertama Kabinet Kerja.
Jabatan Wakil Ketua [[DPA]] dipegang oleh Sartono berkelanjutan hingga tahun [[1966]]. Selain menduduki jabatan tersebut, Sartono juga menjabat menteri ''ex offico'' dalam berbagai kabinet yang dipimpin oleh [[Soekarno|Presiden Soekarno]]. Bahkan, dalam [[Kabinet Dwikora II|Kabinet Dwikora yang Disempurnakan]], kedudukan Sartono menjadi Menteri Kompartemen Hukum dan Dalam Negeri, di mana ia membawahi Menteri-Menteri
Sewaktu di [[DPA]], Sartono tidak pernah lupa untuk selalu mengembangkan sistem demokrasi yang sehat di [[Indonesia]]. Melihat makin lemahnya penerapan demokrasi sejak pembubaran [[DPR]] hasil Pemilu, Sartono tergerak hatinya untuk menyampaikan suatu petisi. Pada tahun [[1962]], tidak berapa lama setelah diangkat sebagai Wakil Ketua DPA, Sartono melalui suatu panitia DPA mengusulkan agar pemerintah memperluas hak-hak [[demokrasi]] untuk rakyat. Salah satu rekomendasinya ialah saran untuk mencabut undang-undang darurat yang sudah beberapa lama berlaku. Pemerintahan [[Soekarno]] tidak lama kemudian mengikuti rekomendasi [[DPA]] tersebut.
Baris 75 ⟶ 88:
== Referensi ==
* Alamsjah, Rais. 1952 ''10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang''. Jakarta: Penerbit Mutiara
* Daradjadi. 2014. ''Mr. Sartono Pejuang Demokrasi & Bapak Parlemen Indonesia''. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Baris 85 ⟶ 99:
{{BPUPKI}}
{{lifetime|1900|1968|Sartono}}
[[Kategori:
[[Kategori:Menteri Kabinet Presidensial]]▼
[[Kategori:Ketua DPR]]▼
[[Kategori:Anggota DPR]]▼
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]▼
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh Orde Lama]]
[[Kategori:Pejuang kemerdekaan Indonesia]]
[[Kategori:Pengacara Indonesia]]
[[Kategori:Pendiri partai politik]]
[[Kategori:Politikus Hindia Belanda]]
[[Kategori:Politikus Indonesia]]
[[Kategori:Politikus Partai Nasional Indonesia]]
▲[[Kategori:Menteri Kabinet Presidensial]]
[[Kategori:Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia]]
[[Kategori:Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia]]
▲[[Kategori:Anggota DPR RI 1956–1959]]
|