Albertus Soegijapranata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Danangpri (bicara | kontrib)
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Dalam budaya populer: dobel info ama yg atas
 
(30 revisi perantara oleh 18 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Featured article}}
{{Infobox Christian leader
|honorific-prefix = Mgr.Yang Mulia
|name = Albertus Soegijapranata
|honorific-suffix = [[Yesuit|S.J.]]
|native_name =
|native_name_lang =
|title = [[Keuskupan Agung Semarang|Uskup Agung Semarang]]
|image = Mgr. Albertus Soegijapranata.jpeg
|image_size =
|alt =
|caption = Foto resmi Soegijapranata
|church =
|archdiocese = Semarang
<!--|province = Semarang
|metropolis = Semarang-->
|diocese =
|see =
|elected =
|appointed = [[1 Agustus]] [[1940]]
|term =
|term_start =
|quashed =
|term_end = [[22 Juli]] [[1963]]
|predecessor = Tidak ada, jabatan baru
|opposed =
|successor = [[Justinus Darmojuwono]]
|other_post =
<!---------- Orders ---------->
|ordination = [[15&nbsp;Agustus]] [[1931]]
|ordinated_by = [[Laurentius Schrijnen]]
|consecration = [[6&nbsp;Oktober]] [[1940]]
|consecrated_by = [[Petrus Johannes Willekens]]
|cardinal =
|rank =
<!---------- Personal details ---------->
|birth_name = Soegija
|birth_date = {{Birth date|df=yes|1896|11|25}}
|birth_place = {{Flagicon|Belanda}} [[Surakarta]], [[Hindia Belanda]]
|death_date = {{Death date and age|df=yes|1963|07|22|1896|11|25}}
|death_place = {{Flagicon|Belanda}} [[Steyl]], [[Belanda]]
|buried = [[Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal]]
|nationality = Indonesia
|religion = [[Katolik]]
|residence =
|parents = {{plainlistunbulleted list|Ayah: Karijosoedarmo|Ibu: Soepiah}}
|occupation =
*Karijosoedarmo <small>(ayah)</small>
|profession =
*Soepiah <small>(ibu)</small>
|previous_post =
}}
|occupation =
|profession =
|previous_post =
|education =
|alma_mater =
|motto = "''In Nomine Jesu''" <br/> (Dalam nama Yesus)
|signature =
|signature_alt =
|coat_of_arms =
|coat_of_arms_alt =
<!---------- Other ---------->
|other =
}}
{{Spoken Wikipedia|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 1 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 2 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 3 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 4 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 5 - Albertus Soegijapranata.wav|date=29 September 2022}}
 
Mgr. '''Albertus Soegijapranata''', {{post-nominals|post-noms=[[Yesuit|S.J.]]}} ([[EYD|Ejaan Yang Disempurnakan]]: '''Albertus Sugiyapranata'''; {{lahirmati||25|11|1896||22|7|1963}}), lebih dikenal dengan nama lahir '''Soegija''', merupakan Vikaris Apostolik [[Semarang]], kemudian menjadi [[uskup agung]]. Ia merupakan [[uskup]] [[pribumi]] Indonesia pertama dan dikenal karena pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".
 
Baris 72 ⟶ 71:
 
== Kehidupan awal ==
Soegija dilahirkan pada 25&nbsp;November 1896 di [[Surakarta]]. Ia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang ''abdi dalem'' di [[Susuhunankasunanan Surakarta|SusuhunanKeraton Kasunanan Surakarta]], dan ibu Soepiah. Keluarga tersebut merupakan keluarga Muslim [[abangan]], dan kakek Soegija, Soepa, seorang [[kyai]].{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}}{{sfn|Gonggong|2012|p=10}}{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Namanya Soegija diambil dari kata ''sugih'' dalam [[bahasa Jawa]], yang berarti "kaya".{{sfn|Gonggong|2012|p=11}} Keluarga itu lalu berpindah ke Ngabean, [[Yogyakarta]]. Di sana, Karijosoedarmo bertugas sebagai ''abdi dalem'' di [[Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat]] untuk Sultan [[Hamengkubuwono&nbsp;VII]], sementara istrinya merupakan pedagang ikan;{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} keluarga Soegija miskin, dan sering kurang makan.{{sfn|Moeryantini|1975|p=13}} Soegija anak yang berani, suka berkelahi, pintar bermain [[sepak bola]], dan dikenal karena kecerdasannya sejak kecil.{{sfn|Gonggong|2012|p=19}} Saat masih kecil, Soegija [[saum|berpuasa]] bersama ayahnya, sesuai hukum [[Islam]].{{sfn|Gonggong|2012|p=11}}
[[Berkas:Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.jpg|jmpl|Albertus Soegijapranata berdiri paling kiri]]
 
[[Berkas:Albertus Soegijapranata Muda.jpg|al=Albertus Soegijapranata Muda|jmpl|Pater Albertus Soegijapranata di masa mudanya]]
{{multiple image
Soegija dilahirkan pada 25&nbsp;November 1896 di [[Surakarta]]. Ia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang ''abdi dalem'' di [[Susuhunan|Susuhunan Surakarta]], dan ibu Soepiah. Keluarga tersebut merupakan keluarga Muslim [[abangan]], dan kakek Soegija, Soepa, seorang [[kyai]].{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}}{{sfn|Gonggong|2012|p=10}}{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Namanya Soegija diambil dari kata ''sugih'' dalam [[bahasa Jawa]], yang berarti "kaya".{{sfn|Gonggong|2012|p=11}} Keluarga itu lalu berpindah ke Ngabean, [[Yogyakarta]]. Di sana, Karijosoedarmo bertugas sebagai ''abdi dalem'' di [[Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat]] untuk Sultan [[Hamengkubuwono&nbsp;VII]], sementara istrinya merupakan pedagang ikan;{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} keluarga Soegija miskin, dan sering kurang makan.{{sfn|Moeryantini|1975|p=13}} Soegija anak yang berani, suka berkelahi, pintar bermain [[sepak bola]], dan dikenal karena kecerdasannya sejak kecil.{{sfn|Gonggong|2012|p=19}} Saat masih kecil, Soegija [[saum|berpuasa]] bersama ayahnya, sesuai hukum [[Islam]].{{sfn|Gonggong|2012|p=11}}
| align = left
| total_width = 300
| direction = horizontal
| image1 = Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.jpg
[[Berkas:Mgr.| Albertuscaption1 Soegijapranata, SJ.jpg|jmpl| = Albertus Soegijapranata berdiri paling kiri]]
| image2 = Albertus Soegijapranata Muda.jpg
| alt2 = Albertus Soegijapranata Muda
| caption2 = Pater Albertus Soegijapranata di masa mudanya
}}
 
Soegija mulai menempuh pendidikannya di sebuah Sekolah ''Angka Loro'' di wilayah Kraton. Di sana, ia belajar membaca dan menulis. Ia kemudian dipindahkan ke suatu sekolah di Wirogunan, Yogyakarta, dekat [[Pakualaman]]. Pada tahun ketiga ia mulai menempuh pendidikan di sebuah Hollands Inlands School di Lempuyangan.{{sfn|Subanar|2003|p=27}} Di luar sekolah ia belajar [[gamelan]] dan [[tembang|menembang]] bersama orang tuanya.{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} Sekitar 1909 Soegija diminta oleh Pater [[Frans van Lith]] untuk bergabung dengan sebuah sekolah [[Yesuit]] di [[Muntilan]], 30 kilometer barat laut Yogyakarta. Biarpun awalnya kedua orang tuanya khawatir bahwa Soegija akan menjadi seperti anak Eropa, mereka merestui.{{sfn|Subanar|2003|pp=28–29}}
Baris 87 ⟶ 95:
 
== Jalan menuju imamat ==
[[Berkas:Velp (NB) Rijksmonument 514139 Mariëndaal (De Binckhof) keuken.jpg|jmpl|kiri|Soegija menyelesaikan periode novisiat di Mariëndaal, di [[Grave]], [[Belanda]].]]
Pada 1919 Soegija dan siswa lain pergi ke [[Uden]], Belanda, untuk meneruskan pendidikan mereka; mereka berangkat dari [[Pelabuhan Tanjung Priok|Tanjung Priok]] di [[Jakarta|Batavia]]. Di Uden Soegija menghabiskan satu tahun untuk mendalami bahasa Latin dan Yunani, sesuatu yang diperlukan untuk menjadi romo di Hindia Belanda. Ia dan rekan kelasnya juga harus beradaptasi dengan budaya Belanda.{{sfn|Subanar|2003|pp=61–64}} Pada tanggal 27&nbsp;September 1920 Soegija memulai periode novisiat untuk bergabung dengan Serikat Yesus; rekan-rekannya baru mulai pada tahun berikutnya.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}} Selama menjalani novisiatnya di Mariëndaal di [[Grave]], Soegija dipisah dari dunia luar dan menghabiskan waktunya dengan meditasi. Ia menyelesaikan novisiat pada 22&nbsp;September 1922 dan dijadikan anggota Yesuit; Soegija bersumpah agar tetap miskin, murni, dan taat.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}}
 
Setelah bergabung dengan Serikat Yesus Soegija menghabiskan satu tahun di Mariëndaal sebagai yuniorat. Mulai pada 1923 ia belajar filsafat di Kolese Berchmann di [[Oudenbosch]].{{sfn|Subanar|2003|p=69}} Dalam periode ini ia lebih mendalami ajaran Thomas Aquinas. Ia juga mulai menulis tentang agama Katolik. Dalam sebuah surat tertanggal 11&nbsp;Agustus 1923 ia menulis bahwa orang Jawa belum dapat membedakan antara orang Katolik dan Protestan, dan bahwa cara yang terbaik untuk menambahkan jumlah orang Katolik ialah dengan perilaku dan bukti nyata, bukan hanya janji. Ia juga menerjemahkan hasil Kongres Ekaristi ke-27, yang diadakan di [[Amsterdam]] pada 1924, untuk majalah [[bahasa Jawa|berbahasa Jawa]] ''Swaratama''; ada pula tulisan yang dimuat dalam ''St. Claverbond, Berichten uit Java''.{{sfn|Subanar|2003|pp=70–71}} Soegija lulus dari Berchmann pada 1926, lalu bersiap untuk kembali ke Hindia Belanda.{{sfn|Subanar|2003|p=69}}
Baris 97 ⟶ 105:
 
== Menjadi pastor ==
Pada tanggal 8&nbsp;Agustus 1933 Soegijapranata dan dua pastor lain berangkat dari Belanda menuju Hindia Belanda; Soegijapranata ditugaskan di paroki Kidul Loji di Yogyakarta, dekat Kraton.{{sfn|Subanar|2003|p=97-98}} iaIa bertugas sebagai pembantu Pr. van Driessche, salah satu gurunya dari Xaverius.{{sfn|Subanar|2003|p=103}} Dari romo yang lebih tua itu, Soegijapranata belajar bagaimana menangani keperluan paroki, sementara van Driessche kemungkinan besar menugaskan Soegijapranata untuk berkhotbah kepada warga kota pribumi yang Katolik.{{efn|Pada tahun 1933 jumlah orang Katolik keturunan Jawa di Yogyakarta sebanyak 7.092, dibanding tiga puluh tahun sebelumnya yang berjumlah 6.{{harv|Subanar|2003|p=102}}.}}{{sfn|Subanar|2003|p=105}}
 
[[Berkas:Ganjuran Church exterior rear (3).JPG|jmpl|[[Gereja Ganjuran|Gereja paroki di Ganjuran]], tempat Soegijapranata bertugas sekaligus dengan Bintaran]]
Baris 117 ⟶ 125:
Pemerintah Jepang menangkap dan menahan ribuan pria dan wanita (sebagian besar orang Belanda), baik orang awam maupun klerus.{{efn|{{harvtxt|Subanar|2003|pp=155–163}} mencatat 109 Yesuit, 61 anggota [[Fratrum Immaculatae Conceptionis]], dan 21 biarawati dalam Ordo Carolus Borromeus yang ditahan selama periode pendudukan Jepang. Sebanyak dua belas pastor ditahbiskan dalam kurung waktu yang sama.}} Pemerintah juga menentukan kebijakan yang mengubah cara orang mengadakan misa. Penggunaan bahasa Belanda dilarang, baik yang dilafalkan maupun yang ditulis, dan sejumlah bangunan milik Gereja disita.{{sfn|Subanar|2003|pp=133–134}} Soegijapranata berusaha untuk mencegah penyitaan ini. Ia pernah mengisi gedung kosong dengan orang supaya tidak disita, dan menyatakan bahwa gedung lain, misalkan bioskop, akan lebih bermanfaat untuk Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=135}} Saat penguasa Jepang berusaha untuk menyita Katedral Semarang untuk digunakan sebagai kantor, Soegijapranata menyatakan bahwa mereka hanya boleh mengambil gereja tersebut kalau mereka memenggal kepalanya dulu; pihak Jepang kemudian menemukan tempat lain. Soegijapranata juga mencegah penyitaaan Pastoran Gedangan, tempat ia tinggal,{{sfn|Gonggong|2012|p=49}} serta menugaskan penjaga di sekolahan dan tempat lain, supaya tidak disita.{{sfn|Subanar|2003|p=139}} Namun, usaha ini tidak selalu berhasil, dan berbagai bangunan milik Gereja disita;{{sfn|Subanar|2005|p=59}} begitu pula dana Gereja.{{sfn|Subanar|2005|p=67}}
 
Soegijapranata tidak dapat menghentikan disiksanya [[tahanan perang]], termasuk para klerus,{{efn|Antara tahun 1942 dan 1945 sebanyak 74 pastor, 47 bruder, dan 160 biarawati dibunuh Jepang. Misalkan, Uskup Maluku dan Papua Barat Giovanni Aerts, bersama dengan sebelas bruder dan pendeta, [[Eksekusi kilat|dieksekusi kilat]] {{harv|Gonggong|2012|p=50}}. Beberapa klerus, termasuk Willekens, memanfaatkan hubungan diplomatik antara Vatikan dan Jepang untuk menyatakan diri sebagai duta, sehingga mereka dilindungi dari kekejaman Jepang {{harv|Subanar|2005|p=57}}.}}{{sfn|Subanar|2003|p=136}} tetapi diri Soegijapranata diperlakukan dengan baik oleh Jepang. Ia kerap diundang untuk upacara Jepang, tetapi tidak pernah hadir; sebagai ganti, ia mengirim karangan bunga.{{sfn|Gonggong|2012|p=48}} iaIa menggunakan kedudukannya itu untuk memastikan bahwa tahanan perang diperlakukan dengan baik. Ia berhasil membujuk penguasa Jepang untuk membiarkan para biarawati bekerja di rumah sakit dan tidak diwajibkan untuk mengikuti paramiliter. Ia dan warga Katolik lain juga mengumpulkan makanan untuk klerus yang ditahan, dan Soegijapranata terus menjaga hubungannya dengan para tahanan; ia memberikan informasi dan berita kepada mereka.{{sfn|Subanar|2005|pp=64–66}}
 
Karena jumlah klerus terbatas sekali, Soegijapranata pergi dari gereja ke gereja untuk berkhotbah secara aktif; hal ini juga menangkal desas-desus bahwa ia telah ditangkap Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=140}} Ia pergi dengan berjalan kaki, naik sepeda, atau naik kereta kuda, sebab mobilnya telah disita.{{sfn|Gonggong|2012|p=52}} Ia juga dapat mengirimkan imam ke [[prefektur apostolik]] lainnya, antara lain ke [[Bandung]], [[Surabaya]], dan [[Malang]] untuk menghadapi kurangnya jumlah klerus di sana.{{sfn|Subanar|2003|p=142}} Soegijapranata juga menentukan agar seminari terus menghasilkan pastor baru, dengan menentukan Pr. Hardjawasita, yang baru ditahbiskan pada tahun 1942, sebagai rektor.{{sfn|Subanar|2003|pp=143–144}} Ia juga memberi pastor lokal kekuasaan untuk memimpin acara pernikahan.{{sfn|Aritonang|Steenbrink|2008|p=705}} Supaya masyarakat Katolik tetap tenang, Soegijapranata mengunjungi rumah mereka dan menyatakan bahwa semuanya aman-aman saja.{{sfn|Subanar|2005|p=63}}
 
=== Revolusi Nasional ===
[[Berkas:Albertus Soegijapranata, from "Mgr. A. Soegijapranata S.J., Apostolisch Vicaris van Semarang, ontving prof. mr., Bestanddeelnr 127-6-2".jpg|jmpl|ki|Soegijapranata pada tahun 1946]]
Setelah [[serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki]] dan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]] pada bulan Agustus 1945,{{sfn|Adi|2011|p=32}} orang-orang Jepang mulai mengundurkan diri dari negara Indonesia. Untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, Soegijapranata memerintahkan agar sebuah [[bendera Indonesia]] dikibarkan di depan Pastoran Gedangan.{{sfn|Subanar|2003|p=146}} iaIa dan klerus lain juga merawat misionaris Belanda yang baru dibebaskan; orang-orang ini banyak yang terluka dan sangat kurang gizi, sehingga ada yang harus dirawat di rumah sakit. Beberapa orang ditahan lagi oleh pihak Indonesia, tetapi pemerintah masih mengizinkan agar tahanan itu dirawat orang-orang Katolik. Sementara, beberapa gedung gereja dibakar dan klerus dibunuh karena perselisihan antar-agama.{{sfn|Subanar|2003|p=147}}{{sfn|Subanar|2005|p=72}} Pemerintah juga mengambil alih beberapa bangunan milik Gereja, dan dari bangunan yang pernah disita Jepang tidak semuanya dikembalikan.{{sfn|Subanar|2005|p=74}}
 
[[Sekutu (Perang Dunia II)|Pasukan Sekutu]] yang ditugaskan untuk mengambil senjata Jepang dan membawa pulang tahanan perang mendarat di Indonesia pada bulan September 1945.{{sfn|Adi|2011|p=36}} Di Semarang, hal ini memicu suatu [[Pertempuran Lima Hari|pertempuran antara pihak Jepang dan Republik]], yang mulai pada tanggal 15&nbsp;Oktober; orang-orang Indonesia bermaksud untuk mengambil senjata Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=147}} Pada tanggal 20&nbsp;Oktober 1945 pasukan Sekutu mulai mendarat di Semarang, dan beberapa di antara mereka pergi ke Gedangan untuk berbicara dengan Soegijapranata. Karena peduli akan kesengsaraan rakyat, Soegija menyatakan bahwa pihak Sekutu harus menghentikan pertempuran di luar; pihak Sekutu mengaku bahwa mereka tidak bisa, sebab mereka tidak kenal dengan komandan Jepang. Soegijapranata lalu menghubungi pihak Jepang dan, siang itu, menjadi perantara dalam pembuatan gencatan senjata.{{sfn|Gonggong|2012|pp=64–66}}
Baris 129 ⟶ 138:
Adanya pertempuran besar di seluruh wilayah Semarang, serta terus beradanya pihak Sekutu, membuat masyarakat kota Semarang kelaparan; dan juga diberlakukannya jam malam dan pemadaman listrik. Kelompok-kelompok yang dipimpin warga sipil berusaha untuk menangani kekurangan ini, tetapi tidak mampu mengatasinya. Sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah di Semarang, Soegijapranata mengirim seorang warga lokal ke ibu kota di [[Jakarta]] untuk membicarakannya dengan pemerintah pusat. Warga itu bertemu dengan Perdana Menteri [[Sutan Sjahrir]], yang mengirim [[Wongsonegoro]] ke Semarang untuk membantu dalam pembentukan pemerintahan sipil.{{sfn|Gonggong|2012|pp=68–69}} Namun, pemerintah kota itu masih tidak mampu menangani masalah di Semarang, dan beberapa pemimpinnya ditangkap oleh ''[[NICA|Nederlandsch Indië Civil Administratie]]'' (NICA) dan ditahan; Soegijapranata, biarpun kadang-kadang menyembunyikan para revolusioner Indonesia, tidak ditahan.{{sfn|Gonggong|2012|p=71}}
 
Pada bulan Januari 1946 pemerintah Indonesia pindah dari Jakarta&nbsp;– yang sudah dikuasai Belanda&nbsp;– ke Yogyakarta.{{sfn|Adi|2011|p=53}} Hal ini diikuti sejumlah warga sipil mengungsi dari daerah yang dikuasai Belanda. Soegijapranata awalnya tetap di Semarang, tempat ia berusaha untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan. Namun, pada tanggal 18&nbsp;Januari 1947 ia akhirnya pindah ke Yogyakarta, sehingga ia bisa berkomunikasi dengan pemerintah dengan mudah.{{sfn|Gonggong|2012|pp=74–77}}{{sfn|Subanar|2005|p=79}} iaIa berkedudukan di Gereja Santo Yoseph di Bintaran{{sfn|Gonggong|2012|pp=88–89}} dan menasihati orang-orang Katolik agar berjuang demi negara Indonesia; ia menyatakan bahwa mereka "baru boleh pulang kalau mati."{{sfn|Gonggong|2012|pp=90–92}}
 
[[Berkas:Sukarno and Sugiyo Pranoto 17 August 1950 KR.jpg|jmpl|kiri|Soegijapranata dan [[Georges de Jonghe d'Ardoye]] dengan Presiden [[Soekarno]], 1947]]
Setelah tidak berhasilnya [[Perjanjian Linggajati]], yang dimaksudkan untuk menghentikan perang antara Indonesia dan Belanda, serta [[Agresi Militer Belanda I|serangan besar Belanda terhadap Indonesia]] pada tanggal 21&nbsp;Juli 1947, Soegijapranata, melalui sebuah pidato di [[Radio Republik Indonesia]], menyatakan bahwa orang-orang Katolik akan bekerja sama dengan pejuang Indonesia.{{sfn|Gonggong|2012|p=82}} Soegijapranata juga banyak menulis kepada [[Tahta Suci]], yang menanggapi surat-surat Soegijapranata dengan mengirim Georges<!---Marie-Joseph-Hubert-Ghislain--> de Jonghe d'Ardoye sebagai duta ke Indonesia; ini membuka jalur diplomasi antara Vatikan dan Indonesia. D'Ardoye tiba di wilayah Republik pada bulan Desember 1947 dan bertemu dengan Presiden [[Soekarno]];{{sfn|Subanar|2005|p=79}} Soegijapranata di kemudian hari berteman dengan presiden.{{sfn|Prior|2011|p=69}}
 
Setelah [[Agresi Militer Belanda&nbsp;II]], ketika Belanda menduduki ibu kota di Yogyakarta pada tanggal 19&nbsp;Desember 1948, Soegijapranata menyatakan bahwa perayaan [[Hari Natal]] tidak boleh mewah, sebab rakyat sedang sengsara.{{sfn|Gonggong|2012|pp=88–89}} Selama Belanda menguasai Yogyakarta, Soegijapranata dapat mengirim beberapa tulisannya ke luar negeri; tulisan ini, yang dimuat di majalah ''Commonweal'', mendetail kehidupan sehari-hari orang Indonesia di bahwabawah kekuasaan Belanda dan menggugat agar masyarakat internasional mengutuk Belanda.{{sfn|Gonggong|2012|pp=90–92}} Soegijapranata juga berpendapat bahwa blokade Belanda terhadap Indonesia tidak hanya mencekik ekonomi Indonesia, tetapi juga meningkatkan kekuasaan orang-orang Komunis.{{sfn|Aritonang|Steenbrink|2008|p=193}} Ketika Belanda mulai mengundurkan diri setelah [[Serangan Umum 1&nbsp;Maret 1949]], Soegijapranata mulai berusaha agar orang Katolik mendapat peran dalam pemerintahan. Bersama [[I.J. Kasimo]], ia menyiapkan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia, yang diadakan dari tanggal 7 sampai 12 Desember. Kongres ini berakhir dengan disatukannya berbagai partai Katolik sebagai [[Partai Katolik (Indonesia)|Partai Katolik Indonesia]]. Soegijapranata dan Kasimo terus mengkonsolidasikan Partai Katolik setelah berakhirnya perang revolusi.{{sfn|Gonggong|2012|pp=106–108}}
 
=== Pasca-revolusi ===
Baris 142 ⟶ 151:
Selain mengawasi para klerus baru, Soegijapranata terus bertugas supaya anak dari keluarga Katolik mendapatkan pendidikan dan bahwa keluarga mereka makmur. Ia menekankan bahwa siswa harus menjadi bukan hanya orang Katolik yang baik, tetapi juga orang Indonesia yang baik;{{sfn|Gonggong|2012|pp=97–98}} ia juga menerangkan bahwa siswa harus belajar di mana-mana, bukan hanya di sekolah.{{sfn|Gonggong|2012|p=101}} Gereja juga terus mengembangkan sarana pendidikan, dari sekolah dasar hingga universitas.{{sfn|Gonggong|2012|p=102}} Soegijapranata juga mulai mereformasi Gereja di vikariat apostoliknya, sehingga menjadi lebih Indonesia. Ia mengadvokasi penggunaan bahasa Indonesia dan daerah dalam misa; ini diizinkan mulai tahun 1956. Ia juga mendukung penggunaan musik gamelan saat misa, dan menyetujui penggunaan [[wayang]] untuk mengajar cerita [[Al Kitab]] ke anak-anak.{{sfn|Gonggong|2012|pp=104–105}}
 
Dengan [[Perang Dingin]] yang semakin meningkat, terjadi perslisihanperselisihan besar antara Gereja di Indonesia dan [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI). Soegijapranata beranggapan bahwa PKI mendapatkan lebih banyak pendukung dari kalangan miskin karena menawarkan hak buruh melalui serikat pekerjanya. Untuk melawan ini, ia bekerja sama dengan orang Katolik lain untuk mendirikan kelompok pekerja yang dibuka untuk orang Katolik dan non-Katolik. Dengan memberdayakan buruh, Soegijapranata berharap agar PKI akan kehilangan kekuatannya. Salah satu kelompok yang didirikan ialah Buruh Pancasila, yang dibentuk pada tanggal 19&nbsp;Juni 1954;{{sfn|Gonggong|2012|pp=99–100}} organsisasiorganisasi tersebut juga merupakan salah satu cara Soegijapranata untuk mempromosikan falsafat [[Pancasila]].{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Tahun berikutnya, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), yang mengakui bakti Soegijapranata untuk orang miskin, menentukan agar Soegijapranata menjadi pemimpin program bakti sosial di seluruh Nusantara.{{sfn|Gonggong|2012|pp=99–100}} Pada tanggal 2&nbsp;November 1955 Soegijapranata dan beberapa uskup lain mengeluarkan sebuah surat pastoral yang mencela paham komunisme, [[Marxisme]], dan [[materialisme]]; mereka juga minta agar pemerintah memperlakukan setiap warga negara dengan adil dan bijaksana.{{sfn|Gonggong|2012|p=112}}
 
Ada pula gangguan di dalam hierarki Gereja. Hubungan antara Indonesia dan Belanda masih buruk, dan adanya konflik mengenai penguasaan [[Papua bagian barat]] - daerah itu secara historis dikuasai Belanda, tetapi diklaim oleh Indonesia. Soegijapranata dengan tegas mendukung penguasaan Indonesia atas daerah tersebut. Dalam sebuah surat Soegijapranata menulis bahwa orang Indonesia terus sengsara dan bahwa Katholieke Nationale Partij di Belanda adalah penyebab hubungan buruk antara dua negara itu. Papua bagian barat digabung dengan Indonesia pada tahun 1963.{{sfn|Gonggong|2012|pp=114–116}} Ada pula gangguan pada tahun 1957 setelah Presiden Soekarno menyatakan bahwa dirinya merupakan presiden seumur hidup dan menentukan [[Sejarah Indonesia (1959-1966)|sistem Demokrasi Terpimpin]]. Faksi yang dipimpin Soegijapranata mendukung pemerintah, sementara faksi yang dipimpin Kasimo menentangnya. Soekarno lalu minta agar Soegijapranata bergabung dengan Dewan Nasional, sebuah permintaan yang ditolak Soegijapranata. Namun, ia tetap mengirim dua orang agar orang Katolik tetap diwakili.{{efn|Partai Katolik, yang menolak sistem pemerintahan baru, tidak mengirim wakil {{harv|Gonggong|2012|pp=117–118}}.}} Ini, serta dukungan Soegijapranata untuk [[Dekret Presiden 5 Juli 1959]] yang menentukan kembalinya ke [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945]], membuat Uskup Jakarta [[Adrianus Djajasepoetra]] menyatakan bahwa Soegijapranata seorang penjilat. Namun, Soegijapranata sangat tegas menolak gagasan [[Nasakom]], yang mendasarkan pemerintahan Indonesia pada komunisme.{{sfn|Gonggong|2012|pp=117–118}}
Baris 154 ⟶ 163:
Setelah dirawat di Rumah Sakit Elisabeth Candi pada tahun 1963, Soegijapranata dilarang melaksanakan tugasnya. [[Justinus Darmojuwono]], seorang mantan tahanan Jepang dan [[vikaris jenderal]] Semarang sejak tanggal 1&nbsp;Agustus 1962, menjalani tugas uskup. Pada tanggal 30&nbsp;Mei 1963 Soegijapranata meninggalkan Indonesia dan kembali ke Eropa untuk menghadiri pemilihan [[Paus Paulus&nbsp;VI]]. Ia lalu pergi ke [[Nijmegen]] dan dirawat di Rumah Sakit Canisius Hospital dari tanggal 29&nbsp;Juni hingga 6&nbsp;Juli; perawatan ini tidak berhasil. Soegijapranata meninggal dunia pada tanggal 22&nbsp;Juli 1963 di sebuah susteran di desa [[Steyl]], Belanda; ia mengalami [[serangan jantung]] tidak lama sebelum meninggal.{{sfn|Moeryantini|1975|pp=29–31}}{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}}
[[Berkas:Jenazah Mgr. Soegija.jpeg|225px|jmpl|ka|Jenazah Mgr. Albertus Soegijapranata saat disemayamkan]]
Karena Soekarno tidak ingin Soegijapranata dikebumikan di Belanda, jenazah Soegijapranata diterbangkan ke Indonesia setelah doa yang dipimpin Kardinal [[Bernardus Johannes Alfrink]].{{sfn|Gonggong|2012|p=124}} Soegijapranata dinyatakan seorang [[Daftar pahlawan nasional Indonesia|Pahlawan Nasional Indonesia]] pada tanggal 26&nbsp;Juli 1963 melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, saat jenasahnya masih dalam perjalanan ke Indonesia.{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}} Pesawat yang membawa Soegijapranata tiba di [[Bandar Udara Kemayoran]] di Jakarta pada tanggal 28&nbsp;Juli. Pada hari berikutnya jenasahnya diterbangkan ke Semarang dan, pada tanggal 30 Juli dikebumikan di [[Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal]].{{sfn|Gonggong|2012|pp=124–125}} Darmojuwono dipilih pada bulan Desember 1963 sebagai Uskup Agung Semarang yang baru; ia dikonsekrasi pada tanggal 6&nbsp;April 1964 oleh Uskup Agung Ottavio De Liva.{{sfn|Subanar|2005|p=146}}
 
== Warisan ==
[[Berkas:Makam Mgr. A. Soegijapranata 1966.jpg|al=Makam Mgr. A. Soegijapranata 1966|jmpl|Makam Mgr. A. Soegijapranata Tahun 1966]]
[[Berkas:Grave of Soegijapranata.JPG|jmpl|Makam Soegijapranata di Giri Tunggal]]
Soegijapranata dibanggakan oleh orang Jawa yang beragama Katolik;{{sfn|Prior|2011|p=69}} mereka memuji kekuatannya selama pendudukan Jepang dan revolusi nasional.{{sfn|Moeryantini|1975|p=7}} Penulis Anhar Gonggong menyatakan bahwa Soegijapranata bukan hanya seorang uskup, melainkan pemimpin Indonesia yang "teruji sebagai pemimpin yang baik dan memang layak dijadikan pahlawan nasional."{{efn|Asli: "''... was tested as a good leader and deserved the hero status.''"}}{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}} Sejarawan Indonesia Anton Haryono menyatakan bahwa kenaikan Soegijapranata menjadi uskup sangat "monumental", mengingat bahwa ia baru ditahbiskan sembilan tahun sebelumnya, dan tetap diangkat meskipun ada pastor lain yang lebih berpengalaman.{{sfn|Gonggong|2012|p=127}} Henricia Moeryantini, seorang suster dalam Ordo Carolus Borromeus, menulis bahwa di bawah Soegijapranata Gereja Katolik berperan di tingkat nasional, dan bahwa Soegijapranata terlalu peduli akan keperluan masyarakat sehingga tidak bisa menjadi bagaikan orang luar saat revolusi.{{sfn|Moeryantini|1975|p=125}}
Baris 444 ⟶ 452:
[[Kategori:Yesuit Indonesia]]
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh JawaKatolik Indonesia]]
[[Kategori:Daftar pahlawan nasional Indonesia yang beragama Katolik]]
[[Kategori:Uskup Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh dari Surakarta]]
[[Kategori:Tokoh yang berpindah agama dari Islam ke Katolik]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Kematian akibat serangan jantung]]