Albertus Soegijapranata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
+artikel lisan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
→‎Dalam budaya populer: dobel info ama yg atas
 
(7 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 7:
|native_name_lang =
|title = [[Keuskupan Agung Semarang|Uskup Agung Semarang]]
|image = Albertus Soegijapranata, from "Mgr. A.Albertus Soegijapranata S.J., Apostolisch Vicaris van Semarang, ontving prof. mr., Bestanddeelnr 127-6-2".jpgjpeg
|image_size =
|alt =
|caption =Soegijapranata padaFoto tahunresmi 1946Soegijapranata
|church =
|archdiocese = Semarang
Baris 71:
 
== Kehidupan awal ==
[[Berkas:Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.jpg|jmpl|Albertus Soegijapranata berdiri paling kiri]]
[[Berkas:Albertus Soegijapranata Muda.jpg|al=Albertus Soegijapranata Muda|jmpl|Pater Albertus Soegijapranata di masa mudanya]]
Soegija dilahirkan pada 25 November 1896 di [[Surakarta]]. Ia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang ''abdi dalem'' di [[kasunanan Surakarta|Keraton Kasunanan Surakarta]], dan ibu Soepiah. Keluarga tersebut merupakan keluarga Muslim [[abangan]], dan kakek Soegija, Soepa, seorang [[kyai]].{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}}{{sfn|Gonggong|2012|p=10}}{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Namanya Soegija diambil dari kata ''sugih'' dalam [[bahasa Jawa]], yang berarti "kaya".{{sfn|Gonggong|2012|p=11}} Keluarga itu lalu berpindah ke Ngabean, [[Yogyakarta]]. Di sana, Karijosoedarmo bertugas sebagai ''abdi dalem'' di [[Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat]] untuk Sultan [[Hamengkubuwono VII]], sementara istrinya merupakan pedagang ikan;{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} keluarga Soegija miskin, dan sering kurang makan.{{sfn|Moeryantini|1975|p=13}} Soegija anak yang berani, suka berkelahi, pintar bermain [[sepak bola]], dan dikenal karena kecerdasannya sejak kecil.{{sfn|Gonggong|2012|p=19}} Saat masih kecil, Soegija [[saum|berpuasa]] bersama ayahnya, sesuai hukum [[Islam]].{{sfn|Gonggong|2012|p=11}}
 
{{multiple image
| align = left
| total_width = 300
| direction = horizontal
| image1 = Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.jpg
[[Berkas:Mgr.| Albertuscaption1 Soegijapranata, SJ.jpg|jmpl| = Albertus Soegijapranata berdiri paling kiri]]
| image2 = Albertus Soegijapranata Muda.jpg
| alt2 = Albertus Soegijapranata Muda
| caption2 = Pater Albertus Soegijapranata di masa mudanya
}}
 
Soegija mulai menempuh pendidikannya di sebuah Sekolah ''Angka Loro'' di wilayah Kraton. Di sana, ia belajar membaca dan menulis. Ia kemudian dipindahkan ke suatu sekolah di Wirogunan, Yogyakarta, dekat [[Pakualaman]]. Pada tahun ketiga ia mulai menempuh pendidikan di sebuah Hollands Inlands School di Lempuyangan.{{sfn|Subanar|2003|p=27}} Di luar sekolah ia belajar [[gamelan]] dan [[tembang|menembang]] bersama orang tuanya.{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} Sekitar 1909 Soegija diminta oleh Pater [[Frans van Lith]] untuk bergabung dengan sebuah sekolah [[Yesuit]] di [[Muntilan]], 30 kilometer barat laut Yogyakarta. Biarpun awalnya kedua orang tuanya khawatir bahwa Soegija akan menjadi seperti anak Eropa, mereka merestui.{{sfn|Subanar|2003|pp=28–29}}
Baris 86 ⟶ 95:
 
== Jalan menuju imamat ==
[[Berkas:Velp (NB) Rijksmonument 514139 Mariëndaal (De Binckhof) keuken.jpg|jmpl|kiri|Soegija menyelesaikan periode novisiat di Mariëndaal, di [[Grave]], [[Belanda]].]]
Pada 1919 Soegija dan siswa lain pergi ke [[Uden]], Belanda, untuk meneruskan pendidikan mereka; mereka berangkat dari [[Pelabuhan Tanjung Priok (disambiguasi)|Tanjung Priok]] di [[Jakarta|Batavia]]. Di Uden Soegija menghabiskan satu tahun untuk mendalami bahasa Latin dan Yunani, sesuatu yang diperlukan untuk menjadi romo di Hindia Belanda. Ia dan rekan kelasnya juga harus beradaptasi dengan budaya Belanda.{{sfn|Subanar|2003|pp=61–64}} Pada tanggal 27 September 1920 Soegija memulai periode novisiat untuk bergabung dengan Serikat Yesus; rekan-rekannya baru mulai pada tahun berikutnya.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}} Selama menjalani novisiatnya di Mariëndaal di [[Grave]], Soegija dipisah dari dunia luar dan menghabiskan waktunya dengan meditasi. Ia menyelesaikan novisiat pada 22 September 1922 dan dijadikan anggota Yesuit; Soegija bersumpah agar tetap miskin, murni, dan taat.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}}
 
Setelah bergabung dengan Serikat Yesus Soegija menghabiskan satu tahun di Mariëndaal sebagai yuniorat. Mulai pada 1923 ia belajar filsafat di Kolese Berchmann di [[Oudenbosch]].{{sfn|Subanar|2003|p=69}} Dalam periode ini ia lebih mendalami ajaran Thomas Aquinas. Ia juga mulai menulis tentang agama Katolik. Dalam sebuah surat tertanggal 11 Agustus 1923 ia menulis bahwa orang Jawa belum dapat membedakan antara orang Katolik dan Protestan, dan bahwa cara yang terbaik untuk menambahkan jumlah orang Katolik ialah dengan perilaku dan bukti nyata, bukan hanya janji. Ia juga menerjemahkan hasil Kongres Ekaristi ke-27, yang diadakan di [[Amsterdam]] pada 1924, untuk majalah [[bahasa Jawa|berbahasa Jawa]] ''Swaratama''; ada pula tulisan yang dimuat dalam ''St. Claverbond, Berichten uit Java''.{{sfn|Subanar|2003|pp=70–71}} Soegija lulus dari Berchmann pada 1926, lalu bersiap untuk kembali ke Hindia Belanda.{{sfn|Subanar|2003|p=69}}
Baris 121 ⟶ 130:
 
=== Revolusi Nasional ===
[[Berkas:Albertus Soegijapranata, from "Mgr. A. Soegijapranata S.J., Apostolisch Vicaris van Semarang, ontving prof. mr., Bestanddeelnr 127-6-2".jpg|jmpl|ki|Soegijapranata pada tahun 1946]]
Setelah [[serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki]] dan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]] pada bulan Agustus 1945,{{sfn|Adi|2011|p=32}} orang-orang Jepang mulai mengundurkan diri dari negara Indonesia. Untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, Soegijapranata memerintahkan agar sebuah [[bendera Indonesia]] dikibarkan di depan Pastoran Gedangan.{{sfn|Subanar|2003|p=146}} Ia dan klerus lain juga merawat misionaris Belanda yang baru dibebaskan; orang-orang ini banyak yang terluka dan sangat kurang gizi, sehingga ada yang harus dirawat di rumah sakit. Beberapa orang ditahan lagi oleh pihak Indonesia, tetapi pemerintah masih mengizinkan agar tahanan itu dirawat orang-orang Katolik. Sementara, beberapa gedung gereja dibakar dan klerus dibunuh karena perselisihan antar-agama.{{sfn|Subanar|2003|p=147}}{{sfn|Subanar|2005|p=72}} Pemerintah juga mengambil alih beberapa bangunan milik Gereja, dan dari bangunan yang pernah disita Jepang tidak semuanya dikembalikan.{{sfn|Subanar|2005|p=74}}