Siti Munjiyah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Inertia6084 (bicara | kontrib) k (GR) File renamed: File:Hoofdbestuur Sopo Tresno Tahun 1919-1922.png → File:Hoofdbestuur Sapa Tresna.png Criterion 3 (obvious error) · telah ditemukan data terbaru jika foto ini dibuat sekitar tahun 1915-1916 |
|||
(33 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 55:
'''Siti Munjiyah''' ([[Ejaan Van Ophuijsen]]: '''Siti Moendjijah'''; lahir di [[Kauman, Yogyakarta|Kampung Kauman]], [[Yogyakarta]] pada 1896 dan meninggal di [[Tasikmalaya]], [[Jawa Barat]] pada 1955) adalah tokoh Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ke-16–20. Dia adalah anak keenam dari Haji Hasyim Ismail, sedangkan keluarganya dikenal dengan sebutan “Bani Hasyim Kauman”, yang menjadi pendukung gerakan [[Muhammadiyah]].
Munjiyah merupakan salah satu wanita generasi awal di [[Hindia Belanda]] yang mempunyai latar belakang pendidikan yang baik. Pendidikan yang diterimanya meliputi [[Madrasah diniyah|Madrasah Diniyah Ibtidaiyah]], [[
== Latar belakang ==
Baris 94:
Munjiyah dan para wanita-wanita itu mendapatkan pendidikan agama langsung melalui kursus-kursus dan pengajian yang diadakan oleh Dahlan di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah. Mereka ditempa menjadi calon pemimpin melalui bimbingan dan asuhan yang diberikan oleh Dahlan. Kursus-kursus dan pengajian agama tersebut menjadi cikal bakal sekolah-sekolah Muhammadiyah di kemudian hari.{{sfnp|Setyowati|Mu'arif|2014|p=82–83|ps=}}
===
[[Berkas:Hoofdbestuur
Setahun setelah menyekolahkan para wanita di sekolah umum dan agama, Dahlan dan istrinya lantas mendirikan perkumpulan kaum wanita yang berawal dari kursus membaca [[Al-Qur'an]] dengan nama
Pengajian yang dilaksanakan di
Melalui perkumpulan itulah kaum wanita di Kauman, termasuk Munjiyah, mendapatkan pendidikan berorganisasi dan aktif bergerak di bidang sosial-keagamaan.{{sfnp|Mulyati|2021||p=146|ps=}} Sembari menjalani pendidikan di Madrasah Diniyah, dia dan para wanita lain juga dididik menjadi pemimpin yang memiliki sikap terbuka.{{sfnp|Suratmin|1990||p=44|ps=}}
Pembentukan amal usaha yang dilakukan oleh Munjiyah dan para wanita lain di dalam
=== Al-Qismul Arqo (Madrasah Mualimat) ===
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah dan mendapatkan pendidikan berorganisasi di
Al-Qismul Arqo lebih banyak mendalami pendidikan agama Islam dan menjalankannya dengan sistem sekolah modern, sedangkan kegiatan pembelajarannya dilakukan dengan duduk di lantai dan menggunakan bekas kotak [[minyak tanah]] sebagai meja tulisnya.{{sfnp|Mulyati|2021||p=147|ps=}} Tokoh yang memelopori pendirian sekolah tingkat lanjut ini adalah [[Muhammad Sangidu]] (ayah Siti Umniyah).{{sfnp|Darban|2000||p=44|ps=}}
Baris 113:
Pesan tersebut membuat Munjiyah memiliki pembawaan yang sederhana dan berpengalaman sebagai ''muballighat'' di Aisyiyah. Dia juga dikenal di kalangan organisasi-organisasi wanita lain sebagai dai wanita yang berpandangan inklusif serta toleran.{{sfnp|Setyowati|Mu'arif|2014|p=92–92|ps=}}
== Amal usaha keagamaan ==
Selain mempunyai ikatan keluarga yang cukup dekat dengan Siti Walidah, Munjiyah mempunyai kesamaan paham dengannya dan menjadi pendukung dari gerakan Aisyiyah.{{sfnp|Mulyati|2021||p=148|ps=}} Dukungan Munjiyah berupa sistem organisasi, amal usaha, dan etos amaliah
▲Selain mempunyai ikatan keluarga yang cukup dekat dengan Siti Walidah, Munjiyah mempunyai kesamaan paham dengannya dan menjadi pendukung dari gerakan Aisyiyah.{{sfnp|Mulyati|2021||p=148|ps=}} Dukungan Munjiyah berupa sistem organisasi, amal usaha, dan etos amaliah telah mendorong Aisyiyah berproses secara intensif di lingkungan masyarakat, khususnya Kauman.{{sfnp|Febriansyah, dkk|2013||p=85–86|ps=}}
[[Ahmad Adaby Darban]] (sejarawan Muhammadiyah) mencatat bahwa dengan dilantiknya Sangidu menjadi penghulu keraton, para penghulu lain yang berada di bawah kepemimpinannya, termasuk ayah Munjiyah, menjadi semakin terbuka kepada Muhammadiyah dan Aisyiyah. Kedua organisasi tersebut mulai diperbolehkan masuk ke Bangsal Pengulon, yang sebelumnya menjadi tempat tabu bagi masyarakat awam.{{sfnp|Darban|2000||p=41|ps=}} Melalui ayahnya, Munjiyah turut mempermudah Siti Walidah dalam memperkenalkan pemahaman Islam modern di Kauman.{{sfnp|Mulyati|2021||p=148|ps=}}
Baris 125 ⟶ 122:
Djazman turut menambahkan bahwa anak dan cucu dari Haji Hasyim Ismail, termasuk Siti Munjiyah, memang banyak yang berkiprah di organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Namun, kiprah tersebut bukan dikarenakan mereka keturunan dari Haji Hasyim Ismail, melainkan lebih disebabkan oleh kemampuan atau kapasitas yang dimilikinya. Anshoriy menegaskan bahwa para anggota Muhammadiyah maupun Aisyiyah memang tidak mengakui perannistimewa dari para ulama yangusecara genealogis turut terhubung dengan kedua organisasi itu, tetapi gerakan tersebut secara jelas meletakkan elit ahli syariat sama pentingnya dengan ulama. Semakin tinggi pengetahuan syariat seseorang, besar pula peluangnya untuk memangku jabatan strategis di dalam gerakan ini.
Tradisi Muhamadiyah yang memang tidak mengenal garis keturunan menjadi salah satu kelebihan tersendiri dari para anggota Muhammadiyah keturunan Haji Hasyim Ismail dalam ikut membesarkan perserikatan yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 22 Agustus 1914 tersebut.
Siti Munjiyah bersama dengan anak pertama dari K.H. Sangidu (Siti Umniyah) tercatat sebagai salah satu tokoh yang berhasil memajukan ortom ini. NA kemudian dipimpin oleh Siti Umniyah selama sekitar <u>+</u> 10 tahun dan tampuk kepemimpinan beralih kepada Zoechrijah pada 1929.
Baris 140 ⟶ 137:
Aisyiyah berhasil menjadi sebuah gerakan sosial wanita yang bergerak langsung secara riil di tingkat akar rumput ketika dipimpin oleh Siti Munjiyah. Aisyiyah cenderung memfungsikan kembali peran agama sebagai rujukan dalam bertindak. Tentu saja, peran dan fungsi agama ini ditujukan untuk kepentingan dan pemberdayaan kaum miskin dan anak-anak yatim. Organisasi wanita seperti Aisyiyah diperlukan masyarakat umum bagi penyelenggaraan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan kewanitaan.
Siti Munjiyah menekankan bahwa wanita harus memiliki peranan aktif menjadi agen dalam
Kemandirian yang disertai dengan ketulusan kultural merupakan ciri lain yang berhasil dibangun oleh Siti Munjiyah dalam organisasi Aisyiyah, yang memungkinkan gerakan wanita Islam yang berawal di sekitar Kauman ini mampu bertahan dan tetap memberikan pencerahan bagi peradaban bangsa. Para wanita pelaku gerakan-gerakan sosial di dalam Aisyiyah, terutama di tingkat akar rumput, masih tetap setia dengan kesederhanaan Nyai Ahmad Dahlan yang tidak menempatkan penampilan sebagai prioritas di tengah arus modernisasi gaya hidup seiring dengan menguatnya konsumerisme maupun sifat hedonisme. Hal inilah yang menjadi modal dasar bagi organisasi Aisyiyah hingga mampu menjadi gerakan wanita yang mendobrak kebekuan feodalisme dan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat pada masa itu, sekaligus melakukan
=== Peserta Kongres Wanita Indonesia Pertama ===
[[Berkas:Ndalem Jayadipuran atau Ndalem Dipowinatan.jpg|jmpl|250x250px|Pendopo Ndalem Jayadipuran, tempat pelaksanaan Kongres Wanita Indonesia Pertama. Bangunan ini sekarang digunakan
[[Berkas:Conggres_aisiyah.jpg|jmpl|250x250px|Aisyiyah diwakili Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tergabung dalam Komite Kongres Wanita Indonesia Pertama tahun 1928.]]
Baris 158 ⟶ 155:
Dalam kongres ini terdapat sejumlah pidato tentang nasionalisme dan kecaman terhadap poligami, tetapi mosi yang diterima oleh kongres agak terbatas. Hal inilah yang sempat menimbulkan pertentangan paham antara golongan nasionalis dan Kristen di satu pihak dengan golongan Islam di pihak yang lain, tetapi umumnya terdapat persamaan kemauan untuk memajukan kaum wanita Indonesia. Wacana kontroversial mengenai poligami lantas diatasi dengan mengirimkan mosi ke dewan agama dan meminta penjelasan tertulis kepadanya apabila terjadi penolakan.
Dalam pidato pembukaan Kongres Wanita Indonesia Pertama, R.A. Sukonto menjelaskan bahwa kongres itu semula berawal dari usulan perkumpulan wanita “kanan” dan “kiri” untuk mengajak bersatu.
Pendirian komite kongres yang dicetuskan oleh R.A. Sukonto ini di sisi lain tidak mengherankan jika sebelumnya mendapatkan tantangan dan kritikan yang tajam dari berbagai pihak. Salah satu kritikan tersebut dilontarkan oleh kaum kolot yang masih merendahkan kaum wanita, antara lain:
Baris 167 ⟶ 164:
* Kaum wanita Indonesia belum matang dan belum bisa berdamai satu sama lain.
▲R.A. Sukonto secara tegas mengingatkan kepada para peserta kongres bahwa seorang wanita yang ingin mencapai cita-citanya harus membantah semua celaan. Para wanita jangan sampai dianggap rendah, apalagi olehiorang-orang yang masih kolot pemikirannya. Maksud perkataannya itu tidak untuk melepaskan kaum wanita dari dapur, tetapi mereka juga harus turut memikirkan tindakan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Bagi dirinya, kongres yang berlangsung dirasa penting untuk mengumpulkan organisasi-organisasi wanita Indonesia guna berdamai dan memikirkan berbagai pokok permasalahan.
Pada acara penyampaian-pidato, Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tampil sebagai perwakilan dari Aisyiyah. Munjiyah memberikan pidato dengan judul “Derajat Perempuan”, sedangkan Mawardi menyampaikan tentang “Persatuan Manusia”. Aisyiyah sendiri secara terbuka mengemukakan bahwa menginginkan kongres tersebut untuk melakukan kerja sama dengan organisasi wanita lain. Soewondo menambahkan bahwa Aisyiyah juga mengharapkan pertemuan tersebut menjadi suatu wadah bagi para wanita untuk mengemukakan pendapat dan gagasan tentang perjuangan.
Berdasarkan dokumen yang diterbitkan oleh PP. Aisyiyah serta penelitian yang dilakukan oleh Blackburn, dapat diketahui bahwa Siti Munjiyah mengelompokkan derajat dan kemuliaan dari kaum wanita
Siti
=== Kritik kesetaraan gender ===
Munjiyah merupakan salah satu tokoh yang memiliki kemampuan berorasi di antara sekian banyak wanita anggota Aisyiyah. Pengalamannya hadir ke berbagai acara penting bersama K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin membawa dampak kepada kepribadiannya. Dia sering
Sebagaimana disebutkan dalam artikel di ''Suara Muhammadiyah'', dia awalnya mendapatkan kesempatan berorasi di atas ''voordracht'' (mimbar) dalam suatu acara yang diadakan oleh Sarekat Islam di Kediri pada 20 November 1921 karena memakai pakaian
Pakaian yang dikenakannya tertutup rapat seperti kain ihram dan dikombinasikan dengan
<blockquote>''Saya ini
Tampilnya di atas mimbar tersebut dianggap sebagai langkah maju waktu itu. Pasalnya, tidak semua wanita memiliki keberanian dan kesempatan untuk bisa tampil berorasi di depan publik. Hal tersebut juga menjadi pesan Aisyiyah bahwa
▲''Saya ini bukaniorang haji, tetapirsaya mengenakan pakaianncara hajirwanita. Saya-juga tidaksmalu berpakaiandseperti oranghhaji, karena-ini merupakan salah satu perintahpagamaaIslam.'' Tidak ''hanya kaumilaki-laki yang wajibimemajukan agamaaIslam, tetapiokaum wanita juga memiliki hak-hak yanggsama pula untuk memajukan,agama,Islam'' (Hayati, 1985:5).
Blackburn menengarai bahwa
Sementara itu, dalam Kongres Wanita Indonesia Pertama, pidato yang disampaikannya merupakan respon atas gerakan feminisme liberal yang berkembang saat itu. Namun, pidato itu rupanya mendapatkan banyak kritik dari para peserta kongres dari perwakilan lain. Kendati demikian, kemampuannya dalam berorasi membuatnya mampu meredam berbagai kritik yang datang kepadanya, ditambah dengan kehadiran anggota SPW yang tak lain adalah kader Aisyiyah yang turut menyemangatinya
▲Tampilnya di atas mimbar tersebut dianggap sebagai langkah maju waktu itu. Pasalnya, tidak semua wanita memiliki keberanian dan kesempatan untuk bisa tampil berorasi di depan publik. Hal tersebut juga menjadi pesan Aisyiyah bahwa paraawanita mempunyai kesempataniyang sama pula denganklaki-laki. Blackburnndalam bukunya yang berjudul ''Kongres PerempuannPertama: SuatuoTinjauan-Ulang'', mengatakan bahwa gaya berpidato dari Siti-Munjiyah memiliki kesamaan dengan khotbah dalammIslam. Namun, lebih lanjut menurut Blackburn, hal itu tidaklah mengherankan karena mengingat pekerjaanosehari-harinya memang,seorang juru khotbah yanggberpengalaman diPkalangan Aisyiyah (Blackburn, 2007:44).
▲Blackburn menengarai bahwa pidatooyang dikemukakan oleh Siti-Munjiyah memang penuh dengankkalimat-kalimat yang,berlebihan dan berulang-ulang, tetapi cenderung retoris dan didaktis seperti suatu percakapan yang penuhhdengan selera humor, khususnya apabila menyinggungmmasalah mengenai keterbelakangan sikap dari orangOBarat terhadap wanita pada masallalu. Selain itu, dia juga selalu mengutippretorika dalam Islam (yanguberujung kepada kata-kataldalam,bahasa Arab). Hal ini disebabkan karenaqdia pernah menempuh pendidikan yang setara dengan ''Hollandsch Inlandsche School (''sekolah modern), yang menjadikannya mengerti cara berbicara di hadapan para hadirin campuran (Blackburn, 2007:45–46). Mu’arif dan Setyowati (2014:86–88) turut memperjelas bahwa Siti Munjiyah sebenarnya selalu menahanudiri membaca kutipan-kutipannArab yangksering menyelingi-tulisan atau,pidatonya, tetapi hal tersebut sukar dilakukan mengingat bahwa terdapat berbagai perbedaan pandangan di kalangan para wanita saat itu.
▲Sementara itu, dalam Kongres Wanita Indonesia Pertama, pidato yang disampaikannya merupakan respon atas gerakan feminisme liberal yang berkembang saat itu. Namun, pidato itu rupanya mendapatkan banyak kritik dari para peserta kongres dari perwakilan lain. Kendati demikian, kemampuannya dalam berorasi membuatnya mampu meredam berbagai kritik yang datang kepadanya, ditambah dengan kehadiran anggota SPW yang tak lain adalah kader Aisyiyah yang turut menyemangatinya (''Congresnummer: CongressPerempoean Indonesia jangyPertama 22''–''255December 1928 diiMataram'':10–12).
== Akhir kehidupan ==▼
▲Siti Munjiyah mengkritisi pemikiran Barat dan feminisme bahwa wanita dariikalangan non-Islam terlihatytertekan karenautidak mempunyai hak-hakidalamiperkawinan. Secara halus, dia mengemukakan bahwaapemikiran Barat dan tradisiiKristen memang.diskriminatif kepada wanita. Tidakllupa, dia mengingatkan kepada teman-temannya agarrmemilah-milah sesuatu yangobaik danuburuk dalamtmelihat kemajuan wanitaaBarat. MenurutdBlackburn (2007:xi), pidato yang disampaikan oleh Siti Munjiyah-adalah contoh yanggmenarik dalam melakukanlsesuatu yangodibelanya dengan memadukanyhal-hal terbaikkdalam tradisi Barat8maupun-Islam.
Beberapa literatur dan rujukan dari Aisyiyah menyebutkan bahwa Munjiyah mengembuskan napas terakhirnya pada 1955 akibat [[kanker payudara]]. Dirinya saat itu sedang berada di [[Kota Tasikmalaya]] untuk menghadiri konferensi yang diselenggarakan oleh Aisyiyah. Badiyah Dahlan yang mengetahui Munjiyah merasa kesakitan langsung membawanya ke rumah sakit dan meminta agar konferensi tersebut dibubarkan. Namun, nyawa temannya itu tidak tertolong lagi, meskipun telah mendapatkan perawatan yang intensif. Jenazah Munjiyah lantas dibawa kembali ke Yogyakarta dan disemayamkan di Permakaman Kauman yang berada di belakang [[Masjid Gedhe Kauman]].{{sfnp|Suratmin, dkk|1991||p=29|ps=}}▼
▲Siti Munjiyah terus berkomitmen untukimemajukan kaumpwanita diitanah-air setelah kongres. Adapun pelaksanaan Kongres Wanita Indonesia Pertama itu lantas ditetapkan sebagaii“Hari-Ibu”. Hasil dari kongres tersebut menyepakati suatu pembentukannPerikatan PerkumpulaniPerempuan-Indonesia (PPPI), yangtkelak berubahenamanya menjadilKongres WanitaoIndonesia (KOWANI). Organisasi-organisasi wanita yang tergabung di dalamnya menuntut hak-hak kaum wanita setaraydengan laki-laki, termasuk Aisyiyahi(''Congresnummer: CongressPerempoean-Indonesia janguPertama 22''–''25 Decembery1928 diyMataram'':12).
== Aktivitas organisasi ==
Siti Munjiyah memiliki kepiawaian dalam berpidato. Bakatnya dalam berpidato mengingatkan kita pada sosok Haji Fachrodin, kakak kandung Siti Munjiyah. Haji fachrodin dikenal sebagai “singa mimbar” karena mampu berorasi membakar semangat orang banyak. Begitu juga dengan Siti Munjiyah, dia sosok orator perempuan yang mampu menguasai khalayak umum. Dengan bakatnya ini, Munjiyah mampu tampil sebagai perwakilan Aisyiyah dalam forum-forum perkumpulan wanita lain di luar Muhammadiyah.
Siti Munjiyah termasuk santri wanita yang mendapat kepercayaan untuk mengikuti K.H. Ahmad Dahlan menghadiri undangan-undangan tabligh. Kepercayaan tersebut bukannya tanpa dasar sama sekali. Sebab, Siti Munjiyah memiliki karakter tegas. Kemauannya sangat kuat. Dia termasuk wanita yang tak kenal takut. Membayangkan karakter Siti Munjiyah memang mengingatkan kita pada sosok dua kakak kandungnya, Haji Syuja’ dan Haji Fachrodin. Haji Syuja’ dikenal tegas dan memiliki kemauan kuat dalam mewujudkan cita-cita pembaruan Muhammadiyah. Begitu juga Haji Fachrodin, dia tokoh muda yang memiliki pemikiran cerdas di jalur politik maupun jalur Persyarikatan Muhammadiyah.
Dengan karakter Siti Munjiyah yang tegas, kemauan kuat, dan tak kenal takut, K.H. Ahmad Dahlan memang memberikan kepercayaan lebih kepadanya. Ini terbukti ketika pada tanggal 20 November 1921, Hoofdbestuur Muhammadiyah mendapat undangan dari Sarekat Islam (SI) cabang Kediri (Jawa Timur). K.H. Ahmad Dahlan didampingi Haji Fachrodin dan Siti Munjiyah memenuhi undangan tersebut. Siti Munjiyah mendapat kesempatan untuk menyampaikan ceramah keagamaan dalam rapat SI cabang setempat. Dalam kesempatan tersebut, Siti Munjiyah selaku satu-satunya utusan Hoofdbestuur Muhammadiyah perempuan naik di atas tempat voordracht (mimbar). Dengan pembawaan yang tenang, dia menerangkan akan dirinya yang mengenakai pakaian tertutup rapat dengan kerudung khas songket Kauman. Dia menjelaskan bahwa dirinya bukan orang haji, tetapi memakai pakaian cara haji prempuan. Diterangkan secara jelas bahwa dirinya tidak malu berpakaian layaknya orang haji sebab itu merupakan perintah agama Islam.
Siti Munjiyah tidak hanya bicara soal jilbab dan kerudung, tetapi lebih jauh dia berani menerangkan kedudukan kaum perempuan dalam agama Islam. Menurutnya, agama Islam bukan saja diperuntukkan bagi orang lelaki, tetapi orang perempuan pun wajib menjalankannya. Bukan hanya kaum lelaki yang wajib memajukan agama Islam, tetapi kaum perempuan juga memiliki hak yang sama untuk memajukan agama Islam. Karakter Siti Munjiyah yang bersemangat dalam menyampaikan pidato mampu menyihir para hadirin sekalipun dia adalah seorang perempuan. Pada waktu itu, perempuan masih dianggap hanya mampu mengurusi kehidupan rumah tangga dan melayani sang suami. Namun Munjiyah telah mengawali sebuah gerakan baru bahwa kaum perempuan memiliki kedudukan setara dengan kaum lelaki dalam memajukan agama Islam.
Selama beberapa periode, Siti Munjiyah menjabat sebagai ketua (voorzitter) Bahagian Aisyiyah. Sejak Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar (1932), pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Siti Munjiyah dipercaya sebagai voorzitter (ketua). Selaku secretaris (juru tulis) dipercayakan kepada Siti Zarkiyah. Selaku penningmeester (bendahari) dipercayakan kepada Siti Wakirah. Kemudian, pada empat kongres berikutnya (1933-1936), dia kembali dipercaya menjabat sebagai ketua Aisyiyah.
Nama Siti Munjiyah tidak hanya terkenal di kalangan aktivis Aisyiyah. Di luar organisasi Aisyiyah, dia dikenal oleh para aktivis pergerakan wanita nasional. Sebab, dia pernah menjadi wakil ketua Kongres Perempuan pertama (1928) yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1928. Dengan pengalaman menjadi wakil ketua panitia Kongres Perempuan ini, Siti Munjiyah memiliki banyak kenalan aktivis pergerakan wanita di tanah air.
▲== Akhir kehidupan ==
Siti Munjiyah tidak hanya piawai dalam berpidato, tetapi dia seorang ulama perempuan yang sangat inklusif dan toleran. Dia terbiasa diundang dalam perkumpulan-perkumpulan wanita lintas agama. Dalam menyampaikan pidato, Munjiyah hampir tidak pernah menyinggung ataupun menjelek-jelekkan agama lain. Karakter semacam ini memang amat jarang di Aisyiyah. Ketika Aisyiyah mendapat undangan dari organisasi wanita lain, maka Siti Munjiyah yang datang mewakili. Namanya memang cukup dikenal di kalangan organisasi wanita lain, seperti Wanito Taman Siswo, Wanito Utomo, Jong Java, dan sebagainya.
▲Beberapa literatur dan rujukan dari Aisyiyah menyebutkan bahwa Munjiyah mengembuskan napas terakhirnya pada 1955 akibat [[kanker payudara]]. Dirinya saat itu sedang berada di [[Kota Tasikmalaya]] untuk menghadiri konferensi yang diselenggarakan oleh Aisyiyah. Badiyah Dahlan yang mengetahui Munjiyah merasa kesakitan langsung membawanya ke rumah sakit dan meminta agar konferensi tersebut dibubarkan. Namun, nyawa temannya itu tidak tertolong lagi, meskipun telah mendapatkan perawatan yang intensif. Jenazah Munjiyah lantas dibawa kembali ke Yogyakarta dan disemayamkan di Permakaman Kauman yang berada di belakang [[Masjid Gedhe Kauman]].{{sfnp|Suratmin, dkk|1991||p=29|ps=}}
== Lihat pula ==
Baris 269 ⟶ 272:
'''Jurnal'''
* {{Cite journal|last=Mulyati|first=|year=Juni 2021|title=Amal Usaha Siti Munjiyah dalam Organisasi Aisyiyah di Yogyakarta Tahun 1914–1955|url=https://jurnalwalasuji.kemdikbud.go.id/index.php/walasuji/article/view/163|journal=Walasuji|volume=12|issue=1|pages=|doi=|issn=2502-2229|ref={{sfnref|Mulyati|2021}}|access-date=2021-09-13|archive-date=2021-10-19|archive-url=https://web.archive.org/web/20211019204543/https://jurnalwalasuji.kemdikbud.go.id/index.php/walasuji/article/view/163|dead-url=yes}}
* {{Cite journal|last=Nura'ini|first=Dyah Siti|year=Desember 2013|title=Corak Pemikiran dan Gerakan Aktivis Perempuan (Melacak Pandangan Keagamaan Aisyiyah Periode 1917–1945)|url=https://journals.ums.ac.id/index.php/profetika/article/view/2012|journal=Profetika|volume=14|issue=2|pages=|doi=|issn=2541-4534|ref={{sfnref|Nura'ini|2013}}}}
* {{Cite journal|last=Rohman|first=Fandy Aprianto|year=Agustus 2019|title=K.H. Sangidu, Penghulu Penemu Nama Muhammadiyah|url=https://patrawidya.kemdikbud.go.id/index.php/patrawidya/article/view/155|journal=Patra Widya|volume=20|issue=2|pages=|doi=|issn=2598-4209|ref={{sfnref|Rohman|2019}}|access-date=2020-04-06|archive-date=2021-01-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20210113125838/https://patrawidya.kemdikbud.go.id/index.php/patrawidya/article/view/155|dead-url=yes}}
* {{Cite journal|last=Seniwati|first=|last2=Lestari|first2=Tuti Dwi|year=Desember 2019|title=Sikap Hidup Wanita Muslim Kauman: Kajian Peranan Aisyiyah dalam Kebangkitan Wanita di Yogyakarta Tahun 1914–1928|url=https://jurnalwalasuji.kemdikbud.go.id/index.php/walasuji/article/view/11|journal=Walasuji|volume=10|issue=2|pages=|doi=|issn=2502-2229|ref={{sfnref|Seniwati|Lestari|2019}}|access-date=2020-04-06|archive-date=2020-12-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20201216190043/https://jurnalwalasuji.kemdikbud.go.id/index.php/walasuji/article/view/11|dead-url=yes}}
{{refend}}
== Pranala luar ==
{{commons category|Siti Munjiyah}}
* [https://krjogja.com/web/news/read/86697/Angkat_Kembali_Spirit_Kongres_Perempuan_Pertama Angkat Kembali Spirit Kongres Perempuan Pertama] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20181223125831/http://www.krjogja.com/web/news/read/86697/Angkat_Kembali_Spirit_Kongres_Perempuan_Pertama |date=2018-12-23 }}
{{start box}}
|