Siti Munjiyah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Inertia6084 (bicara | kontrib)
k (GR) File renamed: File:Hoofdbestuur Sopo Tresno Tahun 1919-1922.pngFile:Hoofdbestuur Sapa Tresna.png Criterion 3 (obvious error) · telah ditemukan data terbaru jika foto ini dibuat sekitar tahun 1915-1916
 
(29 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 55:
'''Siti Munjiyah''' ([[Ejaan Van Ophuijsen]]: '''Siti Moendjijah'''; lahir di [[Kauman, Yogyakarta|Kampung Kauman]], [[Yogyakarta]] pada 1896 dan meninggal di [[Tasikmalaya]], [[Jawa Barat]] pada 1955) adalah tokoh Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ke-16–20. Dia adalah anak keenam dari Haji Hasyim Ismail, sedangkan keluarganya dikenal dengan sebutan “Bani Hasyim Kauman”, yang menjadi pendukung gerakan [[Muhammadiyah]].
 
Munjiyah merupakan salah satu wanita generasi awal di [[Hindia Belanda]] yang mempunyai latar belakang pendidikan yang baik. Pendidikan yang diterimanya meliputi [[Madrasah diniyah|Madrasah Diniyah Ibtidaiyah]], [[SopoSapa TresnoTresna]], dan Al-Qismul Arqo. Pendidikan tersebut memunculkan suatu kesadaran kritis dalam dirinya bahwa adat dalam kehidupan masyarakat saat itu menghambat pola kemajuan wanita.
 
PerannyaPartisipasinya dalam skala nasional adalah menjadi peserta [[Kongres Perempuan Indonesia|Kongres Wanita Indonesia Pertama]] bersama dengan Siti Hayinah Mawardi, yang diadakandiselenggarakan di [[Ndalem Jayadipuran]] pada 22–25 Desember 1928. Dia mengemukakan pendapat tentang derajat wanita dalam acara penyampaian pidato. Pidato yang disampaikannya merupakan respon atasdari gerakan [[feminisme liberal]] yang berkembang saat itu. Dia mengelompokkan derajat dan kemuliaan kaum wanita menjadi tiga bagian, yaitu tinggi budinya, banyak ilmunya, dan baik kelakuannya. Tampilnya dalam forum tersebut membuka pandangan baru bagi para wanita untuk dapat berperan di dalam masyarakat dan menyingkirkan sekat-sekat tradisional.
 
== Latar belakang ==
Baris 94:
Munjiyah dan para wanita-wanita itu mendapatkan pendidikan agama langsung melalui kursus-kursus dan pengajian yang diadakan oleh Dahlan di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah. Mereka ditempa menjadi calon pemimpin melalui bimbingan dan asuhan yang diberikan oleh Dahlan. Kursus-kursus dan pengajian agama tersebut menjadi cikal bakal sekolah-sekolah Muhammadiyah di kemudian hari.{{sfnp|Setyowati|Mu'arif|2014|p=82–83|ps=}}
 
=== SopoSapa TresnoTresna ===
[[Berkas:Hoofdbestuur SopoSapa Tresno Tahun 1919-1922Tresna.png|jmpl|250x250px|Hoofdbestuur SopoSapa TresnoTresna tahun 1919–19221915-1916. Kudung menjadi ciri khas dari para anggota gerakan Aisyiyah di kemudian hari.]]
 
Setahun setelah menyekolahkan para wanita di sekolah umum dan agama, Dahlan dan istrinya lantas mendirikan perkumpulan kaum wanita yang berawal dari kursus membaca [[Al-Qur'an]] dengan nama SopoSapa TresnoTresna.{{sfnp|Mulyati|2021||p=146|ps=}} Perkumpulan inilah yang kelak diubah namanya menjadi Aisyiyah pada 19 Mei 1917 dan menjadi organisasi otonom (ortom)<ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Organisasi Otonom|url=http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-48-cam-organisasi-otonom.html|website=Pimpinan Pusat Muhammadiyah|archive-url=https://web.archive.org/web/20200401213531/http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-48-cam-organisasi-otonom.html|archive-date=2020-04-01|dead-url=yes|access-date=8 April 2020}}</ref> yang diberi hak mengatur organisasinya secara mandiri.{{sfnp|Nashir, dkk|2010||p=120|ps=}} SopoSapa TresnoTresna ([[bahasa Jawa]]) berarti "siapakah yang berkasih sayang". Saat itu, perkumpulan ini belum menjadi suatu organisasi, tetapi hanya gerakan pengajian saja.{{sfnp|Sudja|1989||p=39|ps=}}
 
Pengajian yang dilaksanakan di SopoSapa TresnoTresna terus berlangsung sampai namanya diubah menjadi Aisyiyah.{{sfnp|Nashir, dkk|2010||p=122|ps=}} Selain pengajian, program pertama perkumpulan tersebut adalah mengusahakan agar setiap wanita peserta pengajian memakai kudung dari kain sorban berwarna putih. Perkumpulan ini lantas mengembangkan Pengajian Wal-Ashri dan Muballighin{{efn|Muballighin merupakan embrio dari Fakultas Ilmu Agama Jurusan Dakwah (FIAD) yang menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada 1980-an ({{harvnb|Mulkhan|2013|pp=8}}).}} yang diselenggarakan setiap hari Senin sore.{{sfnp|Mulkhan|2013||p=8|ps=}}
 
Melalui perkumpulan itulah kaum wanita di Kauman, termasuk Munjiyah, mendapatkan pendidikan berorganisasi dan aktif bergerak di bidang sosial-keagamaan.{{sfnp|Mulyati|2021||p=146|ps=}} Sembari menjalani pendidikan di Madrasah Diniyah, dia dan para wanita lain juga dididik menjadi pemimpin yang memiliki sikap terbuka.{{sfnp|Suratmin|1990||p=44|ps=}}
 
Pembentukan amal usaha yang dilakukan oleh Munjiyah dan para wanita lain di dalam SopoSapa TresnoTresna tidak tergantung kepada kelompok atau organisasi lain, termasuk Muhammadiyah sebagai organisasi induknya.{{sfnp|Mulyati|2021||p=146|ps=}} Salah satu kegiatan utama perkumpulan tersebut adalah membantu kerja [[Penolong Kesengsaraan Oemoem]] (PKO), serta mengasuh beberapa orang anak yatim atau anak-anak yang tidak mampu meneruskan sekolah. Hal inilah yang menjadi modal dasar bagi Aisyiyah, sehingga mampu memiliki dan mengelola berbagai jenis usaha layanan publik, terutama bidang kesehatan dan pendidikan.{{sfnp|Noer|1988||p=90|ps=}}
 
=== Al-Qismul Arqo (Madrasah Mualimat) ===
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah dan mendapatkan pendidikan berorganisasi di SopoSapa TresnoTresna, Munjiyah menjalani pendidikan di Al-Qismul Arqo{{efn|Pada 1920, Ahmad Dahlan dan para dermawan yang berada di Kauman mendirikan sebuah asrama untuk menampung para murid di Al-Qismul Arqo yang terus bertambah. Gedung baru disiapkan di Kauman, tepatnya di depan rumah H. Syuja’. Setelah menempati gedung baru dan menggunakan sistem klasik, kelas Al-Qismul Arqo mulai diklasifikasi secara berjenjang dari kelas satu sampai kelas tiga. Jenjang kelas satu menampung murid sebanyak 20 orang, kelas dua sebanyak 10 orang, dan kelas tiga sebanyak 6 orang. Nama Al-Qismul Arqo lantas diganti dengan nama Pondok Muhammadiyah dan kurikulum umum, seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda, turut diberikan di sekolah ini ({{harvnb|Setyowati|Mu'arif|2014|pp=84–85}}). Pada perkembangan selanjutnya, sekolah tersebut berganti nama lagi sebanyak tiga kali, yaitu Hoogere Muhammadiyah School (Sekolah Tinggi Muhammadiyah), Kweekschool Islam, dan Kweekschool Muhammadiyah atau Kweekschool Istri ({{harvnb|Hamzah|1962|pp=69}}). Adapun murid-murid wanita dari Kweekschool Istri mulai dipisahkan dengan murid-murid laki-laki dari Kweekschool Muhammadiyah sejak tahun 1929. Pada 1932, pemerintah Belanda mengeluarkan ''Wilde Schoolen Ordonantie'' (Ordonansi Sekolah Liar 1932). Ordonansi tersebut mengatur keberadaan sekolah liar (sekolah yang diselenggarakan oleh kaum pribumi, yang gurunya tidak mau bekerja di sekolah milik pemerintah Belanda) dengan melarang pemakaian nama persamaan sekolah Belanda, termasuk Muhammadiyah dan Taman Siswa. Hal inilah yang membuat Kweekschool Muhammadiyah dan Kweekschool Istri akhirnya namanya diubah menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Madrasah Mualimat Muhammadiyah ({{harvnb|Suminto|1985|pp=59}}).}} yang diselenggarakan di emperan rumah Ahmad Dahlan sejak tahun 1918. Salah satu faktor yang menyebabkan dirinya masuk ke dalam sekolah tersebut adalah kebutuhan ''muballighin'' (laki-laki penyiar agama Islam) dan ''muballighat'' (wanita penyiar agama Islam) untuk menyebarkan paham Muhammadiyah ke luar Kauman.{{sfnp|Mulyati|2021||p=147|ps=}} Mu’arif dan Setyowati menjelaskan bahwa Munjiyah termasuk salah satu wanita yang dipersiapkan sebagai juru dakwah Muhammadiyah, sehingga dia dimasukkan ke dalam kelas itu oleh Dahlan.{{sfnp|Setyowati|Mu'arif|2014|p=83|ps=}}
 
Al-Qismul Arqo lebih banyak mendalami pendidikan agama Islam dan menjalankannya dengan sistem sekolah modern, sedangkan kegiatan pembelajarannya dilakukan dengan duduk di lantai dan menggunakan bekas kotak [[minyak tanah]] sebagai meja tulisnya.{{sfnp|Mulyati|2021||p=147|ps=}} Tokoh yang memelopori pendirian sekolah tingkat lanjut ini adalah [[Muhammad Sangidu]] (ayah Siti Umniyah).{{sfnp|Darban|2000||p=44|ps=}}
Baris 113:
 
Pesan tersebut membuat Munjiyah memiliki pembawaan yang sederhana dan berpengalaman sebagai ''muballighat'' di Aisyiyah. Dia juga dikenal di kalangan organisasi-organisasi wanita lain sebagai dai wanita yang berpandangan inklusif serta toleran.{{sfnp|Setyowati|Mu'arif|2014|p=92–92|ps=}}
== Amal usaha keagamaan ==
Selain mempunyai ikatan keluarga yang cukup dekat dengan Siti Walidah, Munjiyah mempunyai kesamaan paham dengannya dan menjadi pendukung dari gerakan Aisyiyah.{{sfnp|Mulyati|2021||p=148|ps=}} Dukungan Munjiyah berupa sistem organisasi, amal usaha, dan etos amaliah telah mendorong Aisyiyah berproses secara intensif di lingkungan masyarakat, khususnya Kauman.{{sfnp|Febriansyah, dkk|2013||p=85–86|ps=}}
 
=== Pembaruan keagamaan ===
[[Berkas:Para Wanita Penggerak Aisyiyah Tahun 1928.png|jmpl|250x250px|Para wanita penggerak Aisyiyah tahun 1928.]]
Selain mempunyai ikatan keluarga yang cukup dekat dengan Siti Walidah, Munjiyah mempunyai kesamaan paham dengannya dan menjadi pendukung dari gerakan Aisyiyah.{{sfnp|Mulyati|2021||p=148|ps=}} Dukungan Munjiyah berupa sistem organisasi, amal usaha, dan etos amaliah telah mendorong Aisyiyah berproses secara intensif di lingkungan masyarakat, khususnya Kauman.{{sfnp|Febriansyah, dkk|2013||p=85–86|ps=}}
 
[[Ahmad Adaby Darban]] (sejarawan Muhammadiyah) mencatat bahwa dengan dilantiknya Sangidu menjadi penghulu keraton, para penghulu lain yang berada di bawah kepemimpinannya, termasuk ayah Munjiyah, menjadi semakin terbuka kepada Muhammadiyah dan Aisyiyah. Kedua organisasi tersebut mulai diperbolehkan masuk ke Bangsal Pengulon, yang sebelumnya menjadi tempat tabu bagi masyarakat awam.{{sfnp|Darban|2000||p=41|ps=}} Melalui ayahnya, Munjiyah turut mempermudah Siti Walidah dalam memperkenalkan pemahaman Islam modern di Kauman.{{sfnp|Mulyati|2021||p=148|ps=}}
Baris 125 ⟶ 122:
Djazman turut menambahkan bahwa anak dan cucu dari Haji Hasyim Ismail, termasuk Siti Munjiyah, memang banyak yang berkiprah di organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Namun, kiprah tersebut bukan dikarenakan mereka keturunan dari Haji Hasyim Ismail, melainkan lebih disebabkan oleh kemampuan atau kapasitas yang dimilikinya. Anshoriy menegaskan bahwa para anggota Muhammadiyah maupun Aisyiyah memang tidak mengakui perannistimewa dari para ulama yangusecara genealogis turut terhubung dengan kedua organisasi itu, tetapi gerakan tersebut secara jelas meletakkan elit ahli syariat sama pentingnya dengan ulama. Semakin tinggi pengetahuan syariat seseorang, besar pula peluangnya untuk memangku jabatan strategis di dalam gerakan ini.
 
Tradisi Muhamadiyah yang memang tidak mengenal garis keturunan menjadi salah satu kelebihan tersendiri dari para anggota Muhammadiyah keturunan Haji Hasyim Ismail dalam ikut membesarkan perserikatan yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 22 Agustus 1914 tersebut.  Harus diakui bahwa beberapa ortom yang telah berdiri di Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari keturunan Haji Hasyim Ismail. Salah satu ortom yang ada di Muhammadiyah adalah Siswo Proyo Wanito (SPW). Menurut Siti Chamamah Soeratno, SPW merupakan embrio atau cikal bakal dari Nasyiyatul Aisyiyah (NA). SPW adalah perkumpulan anak-anak wanita atau remaja putri di Kauman yang mulai dibangun sejak tahun 1919 dan berubah namanya menjadi NA pada 1931.
 
Siti Munjiyah bersama dengan anak pertama dari K.H. Sangidu (Siti Umniyah) tercatat sebagai salah satu tokoh yang berhasil memajukan ortom ini. NA kemudian dipimpin oleh Siti Umniyah selama sekitar <u>+</u> 10 tahun dan tampuk kepemimpinan beralih kepada Zoechrijah pada 1929.
Baris 140 ⟶ 137:
 
 
Aisyiyah berhasil menjadi sebuah gerakan sosial wanita yang bergerak langsung secara riil di tingkat akar rumput ketika dipimpin oleh Siti Munjiyah. Aisyiyah cenderung memfungsikan kembali peran agama sebagai rujukan dalam bertindak. Tentu saja, peran dan fungsi agama ini ditujukan untuk kepentingan dan pemberdayaan kaum miskin dan anak-anak yatim. Organisasi wanita seperti Aisyiyah diperlukan masyarakat umum bagi penyelenggaraan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan kewanitaan.  Hal ini dikarenakan organisasi Aisyiyah didirikan dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan secara umum dan wawasan kepada masyarakat luas, khususnya para wanita, agar mereka menjadi lebih cerdas.
 
Siti Munjiyah menekankan bahwa wanita harus memiliki peranan aktif menjadi agen dalam pembangunapembangunan mengingat imengingat-kuantitas dari para wanita lebihubaik dibandingkan dengan kaum laki-laki ketika menjabat sebagai ketua umum. SelainiSelain tuitu, wanita juga berperan dalam membentuk karakter sebuah bangsa. Maju atau mundurnya karakter sebuah bangsa tergantung dari kondisi kaum wanitanya. Wanita memberikan pengaruh dalam meningkatkan kadar kesusilaan umat manusia karena dari kaum wanitalah manusia, menerima pendidikan pertama, terutama dalam pembinaan mental dan moral – di tangan para wanita, seorang anak belajar berpikir dan berbicara. Kiranya, dapat disadari bahwa salah satu prasyarat bagi keberhasilan usahai ersebut adalah keteladanan dari seorang wanita.
 
Kemandirian yang disertai dengan ketulusan kultural merupakan ciri lain yang berhasil dibangun oleh Siti Munjiyah dalam organisasi Aisyiyah, yang memungkinkan gerakan wanita Islam yang berawal di sekitar Kauman ini mampu bertahan dan tetap memberikan pencerahan bagi peradaban bangsa. Para wanita pelaku gerakan-gerakan sosial di dalam Aisyiyah, terutama di tingkat akar rumput, masih tetap setia dengan kesederhanaan Nyai Ahmad Dahlan yang tidak menempatkan penampilan sebagai prioritas di tengah arus modernisasi gaya hidup seiring dengan menguatnya konsumerisme maupun sifat hedonisme. Hal inilah yang menjadi modal dasar bagi organisasi Aisyiyah hingga mampu menjadi gerakan wanita yang mendobrak kebekuan feodalisme dan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat pada masa itu, sekaligus melakukan. advokasi pemberdayaan kaum wanita.
 
=== Peserta Kongres Wanita Indonesia Pertama ===
[[Berkas:Ndalem Jayadipuran atau Ndalem Dipowinatan.jpg|jmpl|250x250px|Pendopo Ndalem Jayadipuran, tempat pelaksanaan Kongres Wanita Indonesia Pertama. Bangunan ini sekarang digunakan olehsebagai kantor Balai Pelestarian NilaiKebudayaan (BPK) Budayawilayah YogyakartaX.]]
[[Berkas:Conggres_aisiyah.jpg|jmpl|250x250px|Aisyiyah diwakili Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tergabung dalam Komite Kongres Wanita Indonesia Pertama tahun 1928.]]
 
Baris 158 ⟶ 155:
Dalam kongres ini terdapat sejumlah pidato tentang nasionalisme dan kecaman terhadap poligami, tetapi mosi yang diterima oleh kongres agak terbatas. Hal inilah yang sempat menimbulkan pertentangan paham antara golongan nasionalis dan Kristen di satu pihak dengan golongan Islam di pihak yang lain, tetapi umumnya terdapat persamaan kemauan untuk memajukan kaum wanita Indonesia. Wacana kontroversial mengenai poligami lantas diatasi dengan mengirimkan mosi ke dewan agama dan meminta penjelasan tertulis kepadanya apabila terjadi penolakan.
 
Dalam pidato pembukaan Kongres Wanita Indonesia Pertama, R.A. Sukonto menjelaskan bahwa kongres itu semula berawal dari usulan perkumpulan wanita “kanan” dan “kiri” untuk mengajak bersatu.  Dia baru bisa menyampaikannya dalam kongres tersebut karena mengalami beberapa kerepotan. Berdasarkan penilaiannya, kemampuanikaum wanita Indonesia masih kurang jika dibandingkan dengan kaum wanita di negara-negara lain, walaupun perkumpulan wanita di Indonesia sudah banyak. Hal inilah yang mendorongnya bersama dengan R.A. Sutartinah (Nyi Hajar Dewantara) dan Ny. Suyatin Kartowiyono mengadakan suatu kongres.
 
Pendirian komite kongres yang dicetuskan oleh R.A. Sukonto ini di sisi lain tidak mengherankan jika sebelumnya mendapatkan tantangan dan kritikan yang tajam dari berbagai pihak. Salah satu kritikan tersebut dilontarkan oleh kaum kolot yang masih merendahkan kaum wanita, antara lain:
Baris 167 ⟶ 164:
* Kaum wanita Indonesia belum matang dan belum bisa berdamai satu sama lain.
 
Sukonto secara tegas mengingatkan kepada para peserta kongres bahwa seorang wanita yang ingin mencapai cita-citanya harus membantah semua celaan. Para wanita jangan sampai dianggap rendah, apalagi olehiorangoleh orang-orang yang masih kolot pemikirannya.  Maksud perkataannya itu tidak untuk melepaskan kaum wanita dari dapur, tetapi mereka juga harus turut memikirkan tindakan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Bagi dirinya, kongres yang berlangsung dirasa penting untuk mengumpulkan organisasi-organisasi wanita Indonesia guna berdamai dan memikirkan berbagai pokok permasalahan.
 
 
Sukonto secara tegas mengingatkan kepada para peserta kongres bahwa seorang wanita yang ingin mencapai cita-citanya harus membantah semua celaan. Para wanita jangan sampai dianggap rendah, apalagi olehiorang-orang yang masih kolot pemikirannya. Maksud perkataannya itu tidak untuk melepaskan kaum wanita dari dapur, tetapi mereka juga harus turut memikirkan tindakan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Bagi dirinya, kongres yang berlangsung dirasa penting untuk mengumpulkan organisasi-organisasi wanita Indonesia guna berdamai dan memikirkan berbagai pokok permasalahan.
 
Pada acara penyampaian-pidato, Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tampil sebagai perwakilan dari Aisyiyah. Munjiyah memberikan pidato dengan judul “Derajat Perempuan”, sedangkan Mawardi menyampaikan tentang “Persatuan Manusia”. Aisyiyah sendiri secara terbuka mengemukakan bahwa menginginkan kongres tersebut untuk melakukan kerja sama dengan organisasi wanita lain. Soewondo menambahkan bahwa Aisyiyah juga mengharapkan pertemuan tersebut menjadi suatu wadah bagi para wanita untuk mengemukakan pendapat dan gagasan tentang perjuangan.
Baris 175 ⟶ 170:
Munjiyah dalam pidatonya mengungkapkan bahwa derap langkah perjuangan dari bangsa Indonesia, khususnya kaum wanita, telah menggema di hati. Menurut dirinya, Kongres Wanita Indonesia Pertama sangat penting artinya karena mayoritas para utusan sudah meluangkan waktunya agar dapat hadir dalam kongres tanpa meninggalkan urusan pekerjaan maupun rumah. Mereka dapat menghadiri rapat tersebut untuk membahas beberapa keperluan kehidupan bersama. Kongres itu sudah memberikan keuntungan secara langsung karena menambah teman organisasi wanita dalam melakukan perjuangan. Namun, Munjiyah mengungkapkan bahwa persiapan dalam kongres itu masih memiliki kekurangan.
 
Berdasarkan dokumen yang diterbitkan oleh PP. Aisyiyah serta penelitian yang dilakukan oleh Blackburn, dapat diketahui bahwa Siti Munjiyah mengelompokkan derajat dan kemuliaan dari kaum wanita menjadi tiga bagian, yaitu budinya yang tinggi, ilmunya yang banyak, dan kelakuannya yang baik. Menurut pengamatan yang dilakukannya sendiri, waktu itu sudah banyak kaum wanita yang pintar. Namun, mereka tidak bisa memanfaatkannya karena kelakuan dan budinya dirasakan masih kurang. Hal tersebut memang harus dipertanyakan apakah sifat mereka sudah sesuai dengan kodratnya.  Pendapat dan pandangan tersebut adalah lontaran pemikirannya yang dikemukakan atas sumbangan pemikiran organisasi Aisyiyah, yang harus direnungkan seperlunya oleh pemimpin-pemimpin organisasi wanita lain yang hadir dalam kongres itu.
 
Siti Munjiyah juga menyampaikan perbedaan antara wanita dan laki-laki berdasarkan hukum dari Islam. Dia menjelaskan bahwa para peserta kongres tidak harus memeluk agama Islam, semuanya diserahkan kepada pribadi masing-masing. Hukum dalam Islam memang membedakan antara wanita dan laki-laki. Namun, perbedaan tersebut tidak berarti bahwa kaum laki-laki lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kaum-wanita. Laki-laki dan wanita Islam masing-masing-berhak maju secara bebas dengan batas-batas tertentu karena sejak lahir mereka telah mempunyai kodrat masing-masing yang berbeda-beda.
Baris 186 ⟶ 181:
Sebagaimana disebutkan dalam artikel di ''Suara Muhammadiyah'', dia awalnya mendapatkan kesempatan berorasi di atas ''voordracht'' (mimbar) dalam suatu acara yang diadakan oleh Sarekat Islam di Kediri pada 20 November 1921 karena memakai pakaian yang belum terkenal di kalangan umat Islam waktu itu. Orang-orang mengira bahwa pakaian yang dikenakannya adalah pakaian haji. Ketika berorasi, dia memanfaatkannya untuk menjelaskan pakaian tersebut kepada para hadirin.
 
Pakaian yang dikenakannya tertutup rapat seperti kain ihram dan dikombinasikan dengan kerudunggkhaskerudung songkettKaumankhas songket Kauman. TidakkhanyaTidak hanya itu, dia jugaamenjelaskanjuga mengenaiikedudukanmenjelaskan mengenai kedudukan kaum wanita dalamgagamadalam agama,Islam. Menurut dirinya, perintahidalamperintah agamaaIslamdalam agama Islam tidak hanya diperuntukkan bagi laki-lakissajalaki saja, tetapi wanita juga harus melaksanakannya.
 
<blockquote>''Saya ini bukan orang haji, tetapi saya mengenakan pakaian cara haji wanita. Saya juga tidak malu berpakaian seperti orang haji, karena ini merupakan salah satu perintah agama Islam. Tidak'' ''hanya kaum laki-laki yang wajib memajukan agama Islam, tetapi kaum wanita juga memiliki hak-hak yang sama pula untuk memajukan agama Islam''.</blockquote>
 
Tampilnya di atas mimbar tersebut dianggap sebagai langkah maju waktu itu. Pasalnya, tidak semua wanita memiliki keberanian dan kesempatan untuk bisa tampil berorasi di depan publik. Hal tersebut juga menjadi pesan Aisyiyah bahwa para wanita mempunyai kesempatan yang sama pula dengan laki-laki. Blackburn dalam bukunya yang berjudul ''Kongres Perempuan Pertama: Suatu Tinjauan Ulang'' mengatakan bahwa gaya berpidato dari Munjiyah memiliki kesamaan dengan khotbah dalam Islam. Namun, lebih lanjut menurut Blackburn, hal itu tidaklah mengherankan karena mengingat pekerjaan sehari-harinya memang seorang juru khotbah berpengalaman di kalangan Aisyiyah.
 
Blackburn menengarai bahwa pidatooyangpidato yang dikemukakan oleh Siti-Munjiyah memang penuh dengankkalimatdengan kalimat-kalimat yang, berlebihan dan berulang-ulang, tetapi cenderung retoris dan didaktis seperti suatu percakapan yang penuhhdenganpenuh dengan selera humor, khususnya apabilajika menyinggungmmasalahmenyinggung masalah mengenai keterbelakangan sikap dari orangOBaratorang Barat terhadap wanita pada masallalumasa lalu. Selain itu, dia juga selalu mengutippretorikamengutip retorika dalam Islam (yanguberujungyang berujung kepada kata-kataldalam,kata dalam bahasa Arab). Hal ini disebabkan karenaqdiakarena dia pernah menempuh pendidikan yang setara dengan ''Hollandsch Inlandsche School (''sekolah modern), yang menjadikannya mengerti cara berbicara di hadapan para hadirin campuran (Blackburn, 2007:45–46). Mu’arif dan Setyowati (2014:86–88) turut memperjelas bahwa Siti Munjiyah sebenarnya selalu menahanudirimenahan diri membaca kutipan-kutipannArabkutipan yangkseringArab yang sering menyelingi- tulisan atau, pidatonya, tetapi hal tersebut sukar dilakukan mengingat bahwa terdapat berbagai perbedaan pandangan di kalangan para wanita saat itu.
 
Sementara itu, dalam Kongres Wanita Indonesia Pertama, pidato yang disampaikannya merupakan respon atas gerakan feminisme liberal yang berkembang saat itu. Namun, pidato itu rupanya mendapatkan banyak kritik dari para peserta kongres dari perwakilan lain. Kendati demikian, kemampuannya dalam berorasi membuatnya mampu meredam berbagai kritik yang datang kepadanya, ditambah dengan kehadiran anggota SPW yang tak lain adalah kader Aisyiyah yang turut menyemangatinya (''Congresnummer: CongressPerempoean Indonesia jangyPertama 22''–''255December 1928 diiMataram'':10–12).
 
Siti Munjiyah mengkritisi pemikiran Barat dan feminisme bahwa wanita dariikalangandari kalangan non-Islam terlihatytertekanterlihat tertekan karena karenautidaktidak mempunyai hak-hakidalamiperkawinanhak dalam perkawinan. Secara halus, dia mengemukakan bahwaapemikiranbahwa pemikiran Barat dan tradisiiKristentradisi Kristen memang.diskriminatif kepada wanita. TidakllupaTidak lupa, dia mengingatkan kepada teman-temannya agarrmemilahagar memilah-milah sesuatu yangobaikyang danuburukbaik dalamtmelihatdan buruk dalam melihat kemajuan wanitaaBaratwanita Barat. MenurutdBlackburnMenurut (2007:xi)Blackburn, pidato yang disampaikan oleh SitiMunjiyah Munjiyah-adalah contoh yanggmenarik dalam melakukanlsesuatumelakukan yangodibelanyasesuatu yang dibelanya dengan memadukanyhalmemadukan hal-hal terbaikkdalamterbaik dalam tradisi Barat8maupun-Barat maupun Islam.
 
Siti Munjiyah terus berkomitmen untukimemajukanuntuk kaumpwanitamemajukan kaum wanita di tanah diitanah-air setelah kongres. Adapun pelaksanaan Kongres Wanita Indonesia Pertamakongres itu lantas ditetapkan sebagaii“Hari-sebagai “Hari Ibu”. Hasil dari kongres tersebut menyepakati suatu pembentukannPerikatanpembentukan Perikatan Perkumpulan Perempuan PerkumpulaniPerempuan-Indonesia (PPPI), yangtkelakyang berubahenamanyakelak menjadilKongresberubah WanitaoIndonesianamanya menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Organisasi-organisasi wanita yang tergabung di dalamnya menuntut hak-hak kaum wanita setaraydengansetara dengan laki-laki, termasuk Aisyiyahi(''Congresnummer: CongressPerempoean-Indonesia janguPertama 22''–''25 Decembery1928 diyMataram'':12)Aisyiyah.
 
== Akhir kehidupan ==
 
Beberapa literatur dan rujukan dari Aisyiyah menyebutkan bahwa Munjiyah mengembuskan napas terakhirnya pada 1955 akibat [[kanker payudara]]. Dirinya saat itu sedang berada di [[Kota Tasikmalaya]] untuk menghadiri konferensi yang diselenggarakan oleh Aisyiyah. Badiyah Dahlan yang mengetahui Munjiyah merasa kesakitan langsung membawanya ke rumah sakit dan meminta agar konferensi tersebut dibubarkan. Namun, nyawa temannya itu tidak tertolong lagi, meskipun telah mendapatkan perawatan yang intensif. Jenazah Munjiyah lantas dibawa kembali ke Yogyakarta dan disemayamkan di Permakaman Kauman yang berada di belakang [[Masjid Gedhe Kauman]].{{sfnp|Suratmin, dkk|1991||p=29|ps=}}
 
== Aktivitas organisasi ==
Siti Munjiyah memiliki kepiawaian dalam berpidato. Bakatnya dalam berpidato mengingatkan kita pada sosok Haji Fachrodin, kakak kandung Siti Munjiyah. Haji fachrodin dikenal sebagai “singa mimbar” karena mampu berorasi membakar semangat orang banyak. Begitu juga dengan Siti Munjiyah, dia sosok orator perempuan yang mampu menguasai khalayak umum. Dengan bakatnya ini, Munjiyah mampu tampil sebagai perwakilan Aisyiyah dalam forum-forum perkumpulan wanita lain di luar Muhammadiyah.
 
Siti Munjiyah termasuk santri wanita yang mendapat kepercayaan untuk mengikuti K.H. Ahmad Dahlan menghadiri undangan-undangan tabligh. Kepercayaan tersebut bukannya tanpa dasar sama sekali. Sebab, Siti Munjiyah memiliki karakter tegas. Kemauannya sangat kuat. Dia termasuk wanita yang tak kenal takut. Membayangkan karakter Siti Munjiyah memang mengingatkan kita pada sosok dua kakak kandungnya, Haji Syuja’ dan Haji Fachrodin. Haji Syuja’ dikenal tegas dan memiliki kemauan kuat dalam mewujudkan cita-cita pembaruan Muhammadiyah. Begitu juga Haji Fachrodin, dia tokoh muda yang memiliki pemikiran cerdas di jalur politik maupun jalur Persyarikatan Muhammadiyah.
 
Dengan karakter Siti Munjiyah yang tegas, kemauan kuat, dan tak kenal takut, K.H. Ahmad Dahlan memang memberikan kepercayaan lebih kepadanya. Ini terbukti ketika pada tanggal 20 November 1921, Hoofdbestuur Muhammadiyah mendapat undangan dari Sarekat Islam (SI) cabang Kediri (Jawa Timur). K.H. Ahmad Dahlan didampingi Haji Fachrodin dan Siti Munjiyah memenuhi undangan tersebut. Siti Munjiyah mendapat kesempatan untuk menyampaikan ceramah keagamaan dalam rapat SI cabang setempat. Dalam kesempatan tersebut, Siti Munjiyah selaku satu-satunya utusan Hoofdbestuur Muhammadiyah perempuan naik di atas tempat voordracht (mimbar). Dengan pembawaan yang tenang, dia menerangkan akan dirinya yang mengenakai pakaian tertutup rapat dengan kerudung khas songket Kauman. Dia menjelaskan bahwa dirinya bukan orang haji, tetapi memakai pakaian cara haji prempuan. Diterangkan secara jelas bahwa dirinya tidak malu berpakaian layaknya orang haji sebab itu merupakan perintah agama Islam.
 
Siti Munjiyah tidak hanya bicara soal jilbab dan kerudung, tetapi lebih jauh dia berani menerangkan kedudukan kaum perempuan dalam agama Islam. Menurutnya, agama Islam bukan saja diperuntukkan bagi orang lelaki, tetapi orang perempuan pun wajib menjalankannya. Bukan hanya kaum lelaki yang wajib memajukan agama Islam, tetapi kaum perempuan juga memiliki hak yang sama untuk memajukan agama Islam. Karakter Siti Munjiyah yang bersemangat dalam menyampaikan pidato mampu menyihir para hadirin sekalipun dia adalah seorang perempuan. Pada waktu itu, perempuan masih dianggap hanya mampu mengurusi kehidupan rumah tangga dan melayani sang suami. Namun Munjiyah telah mengawali sebuah gerakan baru bahwa kaum perempuan memiliki kedudukan setara dengan kaum lelaki dalam memajukan agama Islam.
== Akhir kehidupan ==
 
Selama beberapa periode, Siti Munjiyah menjabat sebagai ketua (voorzitter) Bahagian Aisyiyah. Sejak Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar (1932), pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Siti Munjiyah dipercaya sebagai voorzitter (ketua). Selaku secretaris (juru tulis) dipercayakan kepada Siti Zarkiyah. Selaku penningmeester (bendahari) dipercayakan kepada Siti Wakirah. Kemudian, pada empat kongres berikutnya (1933-1936), dia kembali dipercaya menjabat sebagai ketua Aisyiyah.
Beberapa literatur dan rujukan dari Aisyiyah menyebutkan bahwa Munjiyah mengembuskan napas terakhirnya pada 1955 akibat [[kanker payudara]]. Dirinya saat itu sedang berada di [[Kota Tasikmalaya]] untuk menghadiri konferensi yang diselenggarakan oleh Aisyiyah. Badiyah Dahlan yang mengetahui Munjiyah merasa kesakitan langsung membawanya ke rumah sakit dan meminta agar konferensi tersebut dibubarkan. Namun, nyawa temannya itu tidak tertolong lagi, meskipun telah mendapatkan perawatan yang intensif. Jenazah Munjiyah lantas dibawa kembali ke Yogyakarta dan disemayamkan di Permakaman Kauman yang berada di belakang [[Masjid Gedhe Kauman]].{{sfnp|Suratmin, dkk|1991||p=29|ps=}}
 
Nama Siti Munjiyah tidak hanya terkenal di kalangan aktivis Aisyiyah. Di luar organisasi Aisyiyah, dia dikenal oleh para aktivis pergerakan wanita nasional. Sebab, dia pernah menjadi wakil ketua Kongres Perempuan pertama (1928) yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1928. Dengan pengalaman menjadi wakil ketua panitia Kongres Perempuan ini, Siti Munjiyah memiliki banyak kenalan aktivis pergerakan wanita di tanah air.
 
Siti Munjiyah tidak hanya piawai dalam berpidato, tetapi dia seorang ulama perempuan yang sangat inklusif dan toleran. Dia terbiasa diundang dalam perkumpulan-perkumpulan wanita lintas agama. Dalam menyampaikan pidato, Munjiyah hampir tidak pernah menyinggung ataupun menjelek-jelekkan agama lain. Karakter semacam ini memang amat jarang di Aisyiyah. Ketika Aisyiyah mendapat undangan dari organisasi wanita lain, maka Siti Munjiyah yang datang mewakili. Namanya memang cukup dikenal di kalangan organisasi wanita lain, seperti Wanito Taman Siswo, Wanito Utomo, Jong Java, dan sebagainya.
 
== Lihat pula ==
Baris 267 ⟶ 272:
'''Jurnal'''
 
* {{Cite journal|last=Mulyati|first=|year=Juni 2021|title=Amal Usaha Siti Munjiyah dalam Organisasi Aisyiyah di Yogyakarta Tahun 1914–1955|url=https://jurnalwalasuji.kemdikbud.go.id/index.php/walasuji/article/view/163|journal=Walasuji|volume=12|issue=1|pages=|doi=|issn=2502-2229|ref={{sfnref|Mulyati|2021}}|access-date=2021-09-13|archive-date=2021-10-19|archive-url=https://web.archive.org/web/20211019204543/https://jurnalwalasuji.kemdikbud.go.id/index.php/walasuji/article/view/163|dead-url=yes}}
* {{Cite journal|last=Nura'ini|first=Dyah Siti|year=Desember 2013|title=Corak Pemikiran dan Gerakan Aktivis Perempuan (Melacak Pandangan Keagamaan Aisyiyah Periode 1917–1945)|url=https://journals.ums.ac.id/index.php/profetika/article/view/2012|journal=Profetika|volume=14|issue=2|pages=|doi=|issn=2541-4534|ref={{sfnref|Nura'ini|2013}}}}
* {{Cite journal|last=Rohman|first=Fandy Aprianto|year=Agustus 2019|title=K.H. Sangidu, Penghulu Penemu Nama Muhammadiyah|url=https://patrawidya.kemdikbud.go.id/index.php/patrawidya/article/view/155|journal=Patra Widya|volume=20|issue=2|pages=|doi=|issn=2598-4209|ref={{sfnref|Rohman|2019}}|access-date=2020-04-06|archive-date=2021-01-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20210113125838/https://patrawidya.kemdikbud.go.id/index.php/patrawidya/article/view/155|dead-url=yes}}
* {{Cite journal|last=Seniwati|first=|last2=Lestari|first2=Tuti Dwi|year=Desember 2019|title=Sikap Hidup Wanita Muslim Kauman: Kajian Peranan Aisyiyah dalam Kebangkitan Wanita di Yogyakarta Tahun 1914–1928|url=https://jurnalwalasuji.kemdikbud.go.id/index.php/walasuji/article/view/11|journal=Walasuji|volume=10|issue=2|pages=|doi=|issn=2502-2229|ref={{sfnref|Seniwati|Lestari|2019}}|access-date=2020-04-06|archive-date=2020-12-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20201216190043/https://jurnalwalasuji.kemdikbud.go.id/index.php/walasuji/article/view/11|dead-url=yes}}
{{refend}}
 
== Pranala luar ==
{{commons category|Siti Munjiyah}}
* [https://krjogja.com/web/news/read/86697/Angkat_Kembali_Spirit_Kongres_Perempuan_Pertama Angkat Kembali Spirit Kongres Perempuan Pertama] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20181223125831/http://www.krjogja.com/web/news/read/86697/Angkat_Kembali_Spirit_Kongres_Perempuan_Pertama |date=2018-12-23 }}
 
{{start box}}