Sejarah Aceh: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
|||
(258 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Aceh''' ({{lang-nl|'''Atchin''' atau '''Acheh'''}}, {{lang-en|'''Achin'''}}, {{lang-fr|'''Achen''' atau '''Acheh'''}}, {{lang-ar|'''Asyi'''}}, {{lang-pt|'''Achen''' atau '''Achem'''}}, {{lang-zh|'''A-tsi''' atau '''Ache'''}})<ref>{{en}} {{cite book|first=Leo|last=Suryadinata|coauthors=International Zheng He Society|title=Admiral Zheng He & Southeast Asia|publisher=Institute of Southeast Asian Studies|year=2005|isbn=9812303294, 9789812303295|page=168|chapter=}}</ref><ref>{{id}}{{cite book|first=|last=Banda Aceh (Indonesia)|coauthors=|title=Kota Banda Aceh hampir 1000 tahun|publisher=Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh|year=1998|isbn=|page=|chapter=}}</ref> yang sekarang dikenal sebagai provinsi [[Aceh]] diperkirakan memiliki ''[[substrat]]'' (lapis bawah) dari [[rumpun bahasa Mon-Khmer]] <ref>{{en}} {{cite book|first=|last=Summer Institute of Linguistics|coauthors=|editor=|title=Mon-Khmer studies Vol.35|publisher=University Press of Hawaii|year=2005|isbn=|pages=40|page=|chapter=}}</ref> dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan [[bahasa Aneuk Jame]] sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan [[bahasa Gayo]] untuk bagian tenggara menggunakan [[bahasa Alas]] seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan [[bahasa Tamiang]] demikian dengan kelompok etnis Kluet yang berada bagian selatan menggunakan [[bahasa Kluet]] sedangkan di [[Simeulue]] menggunakan [[bahasa Simeulue]] akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya [[Singkil, Aceh Singkil|Singkil]] yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan [[bahasa Singkil]]. sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari ''Hikayat Aceh'', ''Hikayat Rajah Aceh'' dan ''Hikayat Prang Sabi'' yang berasal dari [[sejarah narasi]] yang kemudian umumnya ditulis dalam [[naskah|naskah-naskah]] [[aksara]] [[Jawi|Jawi (Jawoe)]]. Namun sebagaimana kelemahan dari [[sejarah narasi]] yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah ''[[Hikayat Prang Sabi]]'' ([[bahasa Aceh|Aceh]]: Hikayat Perang Sabil) mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun [[1710]] yang berada di perpustakaan [[Universitas Leiden]] di negeri [[Belanda]].<ref>{{id}}{{cite book|first=Ibrahim|last=Alfian|coauthors=|editor=|title=Sastra perang: sebuah pembicaraan mengenai Hikayat Perang Sabil|publisher=Balai Pustaka|year=1992|isbn=9794074225, 9789794074220|page=248|chapter=}}</ref>
Ada yang percaya bahwa asal usul orang Aceh adalah "[[Suku Mante|suku Mantir]]" (atau dalam bahasa Aceh: ''Mantee'')<ref name="De Atjehers">{{nl}}{{cite book|first=Christiaan Snouck|last=Hurgronje|coauthors=|editor=|title=De Atjehers|publisher=Landsdrukkerij, Batavia|year=1893|isbn=|pages=|page=|chapter=}}</ref> yang dikaitkan dengan "Mantra" di Malaka dan orang berbahasa Mon-Khmer.<ref>{{en}} {{cite book|first=Barbara A.|last=West|coauthors=|title=Facts on File library of world history, Encyclopedia of the peoples of Asia and Oceania, Vol. 2|publisher=Facts On File, University of California|year=2009|isbn=0816071098, 9780816071098|page=1002|chapter=}}</ref> Menurut sumber [[sejarah narasi]] lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.<ref>{{id}}{{cite book|first=H. M.|last= Zainuddin|coauthors=|editor=|title=Tarich Atjeh dan Nusantara|publisher=Pustaka Iskandar Muda|year=1961|isbn=|page=|chapter=}}
</ref>
== Budaya ==
Pengelompokan budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau disebut pula sebagai suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara lain melalui [[bahasa purba]] yakni;<ref name="De Atjehers"/><ref>{{nl}}{{cite book|first=Gerardus Willebrordus Joannes|last=Drewes|coauthors=Petrus Voorhoeve|editor=|title=Adat Atjèh Verhandelingen, Land- en Volkendunde Koninklijk Instituut voor Taal , land- en volkenkunde, Vol.24|publisher=Leiden: KITLV Press|year=1958|isbn=|pages=|page=47|chapter=}}</ref><ref>{{en}} {{cite book|first=Gerardus Willebrordus Joannes|last=Drewes|coauthors=|editor=Gerardus Willebrordus Joannes Drewes|translate=Gerardus Willebrordus Joannes Drewes|title=Hikajat Potjut Muhamat: An Achehnese Epic|publisher=The Hague : Martinus Nijhoff|year=1979|isbn=|pages=2-27|page=|chapter=}}</ref>
* Kaum Lhee Reutoh (kaum/sukee tiga ratus) yang berasal dari budaya [[Suku Mante|Mantee]] sebagai penduduk asli.
* Kaum Imeuem Peuet (kaum/sukee imam empat) yang berasal dari Negeri Arab/Timur Tengah yang beragama Islam dari Ajaran Nabi Muhammad SAW.
* Kaum Tok Batee (kaum/sukee yang mencukupi batu) yang datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab.
* Kaum Ja Sandang (kaum/sukee penyandang) yaitu para imigran India yang umumnya telah memeluk agama Islam.
== Sejarah awal ==
[[Berkas:Locator kab aceh besar.png|jmpl|205px|Lokasi [[Aceh Besar]]]]
Dalam sumber buku kronik kerajaan Liang <ref>({{zh|t=宋書|s=宋书|p=Sòng Shū}})Song-shu an old text compiled by Xu Yuan</ref> dan kerajaan Sui <ref>({{zh|c=北史|p=Běishǐ}}) Bei-shi which covers the period from A.D. 386 to 618, written by Li Yan-shou during the period A.D. 627-659</ref> di Tiongkok pernah disebutkan sekitar tahun [[506]] sampai [[581]] Masehi terdapat [[kerajaan Poli]] yang wilayah kekuasaannya meliputi [[Aceh Besar]] <ref>{{fr}}{{cite book|first=C. Guillot, Marie-France|last=Dupoizat|coauthors=|title=Histoire De Barus (Sumatra). Le Site De Lobu Tua. Vol. I: Etudes Et Documents|publisher=Association Archipel, MSH PARIS|year=1998|isbn=9782910513276, 2910513270|pages=|chapter=}}</ref><ref>{{en}} {{cite book|first=John|last=Crawfurd, F.R.S.|coauthors=|title=History of the Indian Archipelago Vol 3|publisher=A. Constable and Co|year=1820|isbn=|pages='''154'''|chapter=}}</ref> sedangkan dalam ''Nāgarakṛtāgama'' di sebut sebagai [[Kerajaan Lamuri]] <ref name="Hendrik Kern, Nāgarakṛtāgama">{{nl}}{{cite book|first=Hendrik|last=Kern|coauthors=|title=H. Kern: deel. De Nāgarakṛtāgama, slot. Spraakkunst van het Oudjavaansch|publisher=M. Nijhoff|year=1918|isbn=}}</ref> yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan Lamkrek, Lam Urik, Rami, Ramni sedangkan dan dalam sumber sejarah Tiongkok lainnya disebut pula dengan nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan pelabuhan laut bernama [[Ilamuridesam]] sebagaimana juga pernah disingahi dan ditulis oleh Marco Polo ([[1292]]) asal Venesia dalam buku perjalanan pulang dari Tiongkok menuju ke Persia (Iran)<ref>{{en}} {{cite book|first=|last=Marco Polo|coauthors=|editor=Sir Henry Yule|title=The book of Ser Marco Polo: concerning the kingdoms and marvels of the East, Vol. 2|publisher=Murray|year=1871|isbn=|page=|chapter=}}</ref><ref>{{fr}}[http://www.polonews.info/documenti_originali/Tang%20-%20Yuan%20(907%20-%201368%20d.C.)/pelliot_notes_d.pdf Paul Pelliot, ''Notes on Marco Polo: ouvrage posthume'', Paris: Imprimerie Nationale, 1959-1963]</ref> saat itu masih berada di bawah pengaruh kedaulatan kerajaan [[Sriwijaya]] di bawah wangsa (dinasti) [[Syailendra]] dengan raja pertamanya [[Balaputradewa]], yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan yang kuat dan daerah kekuasaannya meluas, meliputi Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan pulau Jawa yang kemudian membangun [[Borobudur]].<ref>{{en}} {{cite book|first=A. Hamish|last=Ion|coauthors=Elizabeth Jane Errington|editor=Sir Henry Yule|title=Great powers and little wars: the limits of power|publisher=Greenwood Publishing Group|year=1993|isbn=0275939650, 9780275939656|page=|chapter=}}</ref>
[[Berkas:Southeast Asia trade route map XIIcentury.jpg|jmpl|kiri|250px|Rute perdagangan di Asia Timur-Selatan pada abad kedua belas.]]
Ketika kerajaan Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya dan kemakmurannya yang memainkan peran penentu dengan menetapkan pola perdagangan terdiri atas tiga lapisan yakni pelabuhan dan pergudangan utama pada [[Palembang]] sedangkan pelabuhan dan pergudangan sub-regional seperti Ilamuridesam ([[Kerajaan Lamuri|Lamuri]]), Takuapa ([[Kedah]]), [[Jambi]] dan [[Lampung]] selanjutnya diikuti [[Banyuasin II, Banyuasin|Sungsang]] serta beberapa pelabuhah kecil lainnya menggunakan alur sungai [[Musi]] di mana dalam [[hegemoni]] alur perdagangan ini kerajaan mendapatkan upeti berkemakmuran ternyata mengundang kedatangnya ekspedisi armada dari raja [[Rajendra Chola]] dari [[Cholamandala|Chola]] India selatan pada tahun 1025 dengan melakukan serangan kepada seluruh pelabuhan-pelabuhan di Sriwijaya termasuk Ilamuridesam ([[Kerajaan Lamuri|Lamuri]]) dan Takuapa ([[Kedah]]) yang dihancurkan menjadi sunyi seperti yang diriwayatkan dalam prasasti Tanjore [[1030]] di India yang mengatakan bahwa dalam mengirimkan sejumlah kapal yang sangat besar ke tengah-tengah laut lepas yang bergelombang sekaligus menghancurkan armada gajahnya yang besar dari kerajaan melayu Sriwijaya dan merampas harta benda yang sangat banyak berikut pintu gerbang ratna mutu manikam terhias sangat permai, pintu gerbang batu-batu besar permata dan akhirnya Raja Sriwijaya yang bernama ''Sanggrama Wijayatunggawarman'' dapat ditawan kemudian dilepas setelah mengaku takluk,<ref>{{en}} {{cite book|first=Eugen|last=Hultzsch|coauthors=Hosakote Krishna Sastri, V. Venkayya|editor=|title=South Indian inscriptions, Vol.3|publisher=Director General, Archaeological Survey of India|year=1991|isbn=|asin=|page=|chapter=1-2|series= }}</ref> tak lama kemudian armada [[Cholamandala|Chola]] kembali kenegerinya sedangkan sejumlah lainnya menetap dan menjadi bagian dari penduduk, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa penyerangan tersebut lebih ditujukan untuk mengamankan atau pengambil alihan jalur perdagangan pada selat Malaka yang pada waktu itu sudah merupakan jalur perdagangan internasional yang penting daripada melakukan sebuah pendudukan dikala kekuatan militer dan diplomasi Sriwijaya sedang melemah<ref name="Muljana">Slamet Muljana. 2006. ''Sriwijaya''. Yogyakarta: LKIS</ref> karena lebih tertuju pada perkembangan perdagangan.<ref>{{en}} {{cite book|first=Kallidaikurichi Aiyah|last=Nilakanta Sastri|coauthors=|editor=|title=The CōĻas|publisher=University of Madras|year=1955|series= Madras University historical series ; no. 9|isbn=|asin=B0006CNQCG|pages='''211–220'''|chapter= }}</ref> sejak kekalahan ini kewibawaan kerajaan Sriwijaya mulai menurun dengan dratis yang memberikan peluang bagi kerajaan-kerajaan yang dahulu berada di bawah kedaulatan Sriwijaya yang mulai memperbesar dan memperoleh kembali kedaulatan penuh. Walaupun demikian keberadaan Sriwijaya baru berakhir pada tahun [[1377]].
== Samudera Pasai ==
{{utama|Kesultanan Samudera Pasai}}
kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik Al Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik Al Zahir
=== Era Malik Al Saleh ===
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh [[Meurah Silu]] (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama [[Malik al-Saleh]] yang meninggal pada tahun 1297. Di mana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu Malik al-Saleh. Menurut [[Hikayat Raja-raja Pasai]], kerajaan ini juga pernah diserang oleh tentara [[siam]] pada zaman pemerintahan Sultan Maliku'l-Nassar, dan serangan tersebut berhasil dihalau saat Sultan Maliku'l-Mahmud tiba dan berhasil membunuh pimpinan Pasukan Siam, Talak Sejang.<ref>Phillip L. Thomas (1978). Thai Involvement in Pasai. Journal of the Siam Society 1971-1980</ref>
=== Politik Samudera Pasai bertentangan dengan Politik Gajah Mada ===
[[Gajah Mada]] yang diangkat sebagai [[patih]] di [[Kerajaan Kahuripan|Kahuripan]] ([[1319]]-[[1321]]) oleh [[Jayanagara]] dari [[Majapahit]]. Dan pada tahun [[1331]], naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit yang diangkat oleh Ratu [[Tribhuwana Wijayatunggadewi]].
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh usantara berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit". Menurut [[Hikayat Raja-raja Pasai]] diberitakan serangan Majapahit ke Pasai pada zaman pemerintahan Sultan Ahmad Perumudal Perumal. Kemungkinan serangan oleh Majapahit terjadi tahun 1350 atau 1361 bersamaan dengan serangan ke Jambi & Palembang,<ref>John Norman Miksic, Goh Geok Yian. Ancient Southeast Asia. Taylor & Francis.h 500</ref> Gajah Mada Mati di Manyak Pahet (Sebuah Kampung mengganti nama Gajah Mada yang Gagal Ekspedisinya ke Aceh)kampung tersebut berada di Kabupaten Aceh Tamiang Gajah Mada di Gagalkan Oleh Pasukan Kerajaan Samudera Pasai. Pada abad ke-14, Sriwijaya telah digantikan oleh kerajaan [[Dharmasraya]] di Sumatra. Hal ini dikarenakan Sriwijaya telah melemah setelah serangan Kerajaan Chola dari India pada 1025, menjadikan Dharmasraya sebagai tujuan [[Ekspedisi Pamalayu]] oleh Singasari di Pulau Sumatra pada tahun 1275 berdasarakan [[Prasasti Padang Roco]] dan Serat [[Pararaton]].
== Kesultanan Aceh ==
{{Utama|Kesultanan Aceh}}
=== Era Sultan Iskandar Muda ===
[[Aceh]] merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal [[Prancis]] yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman [[Sultan Iskandar Muda|Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam]], kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat [[Minangkabau]], [[Sumatra Timur]], hingga Perak di semenanjung Malaysia.
[[Aceh]] merupakan salah satu bangsa di pulau [[Sumatra]] yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa terkuat di [[Selat Malaka]], yang meliputi wilayah [[Sumatra]] dan [[Semenanjung Melayu]], ketika di bawah kekuasaan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari [[Kesultanan Pahang]]. Putri ini dikenal dengan nama [[Putroe Phang]]. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun [[Gunongan]] untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
=== Aceh melawan Portugis ===
Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka [[Kesultanan Malaka]] yang muncul di bawah [[Parameswara]] (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis di bawah pimpinan [[Afonso d Albuquerque|Afonso DAlbuquerque]] dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit di bawah pimpinan [[Sultan Ali Mughayat Syah]] (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis untuk menguasai aceh dapat ditangkis. Disisi lain Aceh juga melakukan berbagai serangan untuk menggulingkan Portugis di Malaka, yang meghambat ekspansi Portugis di asia tenggara.
=== Hubungan dengan Barat ===
==== Inggris ====
Pada [[abad ke-16]], Ratu Inggris, [[Elizabeth I dari Inggris|Elizabeth I]], mengirimkan utusannya bernama [[James Lancester|Sir James Lancester]] kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
{{cquote|Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah [[Sumatra]] dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam.}}
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja [[James I dari Inggris]] dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
==== Belanda ====
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran [[Maurits dari Nassau|Maurits]]
===
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap
===
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan
=== Pasca-Sultan Iskandar Thani ===
Kerajaan Aceh sepeninggal [[Sultan Iskandar Thani]] mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum [[Ulama Wujudiyah]]. Padahal, [[Seri Ratu Safiatudin Seri Ta
== Datangnya pihak kolonial ==
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan [[Portugal]], lalu sejak [[abad ke-18]] dengan [[Britania Raya]] (Inggris) dan [[Belanda]]. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di [[Kedah]] dan [[Pulau Pinang]] di [[Semenanjung Melayu]] kepada Britania Raya.
Pada tahun [[1824]], [[
== Perang Aceh ==
{{artikel|Perang Aceh}}
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
# Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada di bawah kekuasaan Aceh.
# Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Di mana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
# Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
# Dibukanya [[Terusan Suez]] oleh [[Ferdinand de Lesseps]] menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
# Dibuatnya Perjanjian Sumatra 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatra. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
# Akibat perjanjian Sumatra 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, [[Kerajaan Italia|Italia]], Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
# Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia [[Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen]] dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Belanda menyatakan [[perang]] terhadap Aceh pada [[26 Maret]] [[1873]] setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal [[Johan Harmen Rudolf Köhler]] dikirimkan pada tahun, namun ekspedisi tersebut berhasil dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan [[Panglima Polem]] dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. dan bahkan Köhler sendiripun tewas tertembak di depan Mesjid Raya Baiturrahman pada tanggal 10 April 1873.
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal [[Jan van Swieten]] berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal [[26 Januari]] [[1874]], digantikan oleh [[Muhammad Daud Syah dari Aceh|Tuanku Muhammad Dawood]] yang dinobatkan sebagai sultan Aceh di mesjid Indrapuri. Pada [[13 Oktober]] [[1880]], pemerintah kolonial setelah berhasil menguasai istana, menyatakan pada dunia bahwa Aceh telah ditaklukan dan perang telah berakhir. namun pernyataan pemerintah belanda ternyata salah besar, perang Aceh terus berlanjut secara gerilya dengan semangat fisabilillah terus berkobar diseluruh Aceh. perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1942 menjelang Jepang datang.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di [[Singapura]] yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar [[Napoleon III dari Prancis]]. Aceh juga mengirim [[Habib Abdurrahman azh-Zhahir]] untuk meminta bantuan kepada [[Kesultanan Utsmaniyah]]. Namun [[Turki Utsmani]] kala itu sedang menghadapi invasi rusia yang mencaplok kawasanya seperti uzbekistan dan lain-lain. Sedangkan [[Amerika Serikat]] menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali [[Perang Aceh (1883-1892)|berkobar]] pada tahun [[1883]]. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania Raya yang sedang ditawan disalah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, [[August Willem Philip Weitzel]], kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya [[Teuku Umar]]. Teuku Umar diberikan gelar ''panglima perang besar'' dan pada [[1 Januari]] [[1894]] bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut NyaK Dhien, istri Teuku Umar tampil menjadi komandan perang gerilya.
Pada tahun [[1892]] dan [[1893]], pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. [[Christiaan Snouck Hurgronje]], seorang ahli [[Islam]] dari [[Universitas Leiden]] yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para [[ulama]], bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (''De Atjehers''). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasihat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:
# Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
# Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
# Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
# Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
# Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun [[1898]], [[Joannes Benedictus van Heutsz]] dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasihatnya, dan bersama letnannya, [[Hendrikus Colijn]] (kelak menjadi [[Perdana Menteri Belanda]]), merebut sebagian besar Aceh.
Sultan Muhammad Daudsyah akhirnya terpaksa meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun [[1903]] setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda (Belanda menggunakan strategi licik dengan menekan/menangkap keluarga sultan/pejuang Aceh untuk melemahkan perjuangan mereka). setelah penyerahan diri sultan, perjuangan mempertahankan kedaulatan Aceh dilanjutkan oleh Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman setelah mendapat mandat sebagai wali nanggroe dari sultan Muhammad Daudsyah sebelum menyerahkan diri. [[1904]].
Strategis licik penculikan anggota keluarga Pejuang/teuntara Aceh, Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Raden, saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke [[Kota Lhokseumawe|Lhokseumawe]] (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik licik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan [[G.C.E. van Daalen (1863-1930)|Van Daalen]] yang menggantikan Van Heutz. Seperti [[Perang Aceh (1904)|pembunuhan di Kuta Reh]] (14 Juni 1904) di mana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki, 1149 perempuan dan anak-anak.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, walaupun kondisi fisik telah sangat lemah bahkan matapun telah buta. Cut Nyak Dhien akhirnya dapat ditangkap setelah pengawal kepercayaannya melakukan perjanjian rahasia dengan belanda. Cut nyak Dhien kemudian diasingkan dan meninggal/dikemumikan di [[Kabupaten Sumedang|Sumedang]], [[Jawa Barat]].
== Surat tanda penyerahan ==
Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah, yang isinya: Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
== Bangkitnya nasionalisme ==
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. [[Sarekat Islam]], sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di [[Surakarta]] pada tahun [[1912]], tiba di Aceh pada sekitar tahun [[1917]]. Ini kemudian diikuti organisasi sosial [[Muhammadiyah]] pada tahun [[1923]]. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di [[Kutaraja]] (kini bernama [[Banda Aceh]]) pada tahun [[1929]]. Kemudian pada tahun [[1939]], [[Partai Indonesia Raya]] (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.
== Perang Dunia II ==
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat ''Volksraad'' (parlemen) dibentuk, [[Teuku Nyak Arif]] terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai residen Aceh oleh gubernur [[Sumatra]] pertama, [[Teuku Muhammad Hasan|Mr. Teuku Muhammad Hasan]]).
Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara [[Jepang]] saat mereka mendarat di Aceh pada [[12 Maret]] [[1942]], karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para ''[[Ulèë Balang|uleebalang]]'' untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan ''uleebalang''. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun [[1942]], yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di [[Pandrah, Bireuen|Pandrah]] dan [[Jeunieb, Bireuen|Jeunieb]], pada tahun [[1944]].
== Masa Republik Indonesia ==
=== Kedudukan Aceh di dalam Republik Indonesia Serikat ===
41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum [[Hubertus Johannes van Mook]] menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS ([[Republik Indonesia Serikat]]).
dan Aceh tidak termasuk salah satu negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yang terdiri dari:
# Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan [[Perjanjian Renville]].
# Negara Indonesia Timur.
# Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
# Negara Jawa Timur
# Negara Madura
# Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
# Negara Sumatera Selatan
# Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
# Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Aceh sebagai salah satu daerah yang oleh Soekarno dianggap status quo, kemudian dimasukkan ke dalam Republik Indonesia dengan cara meleburkankan ke dalam provinsi sumatera utara. Sehingga Aceh termasuk juga ke dalam sistem Republik Indonesia Serikat.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.
Belanda di bawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. [[Willem Drees]], [[Menteri Hubungan Kerajaan dan Jajahan Belanda|Menteri Seberang Lautan]] Mr. [[Maan Sassen]] dan ketua Delegasi RIS [[Mohammad Hatta]] membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal [[27 Desember]] [[1949]]. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, [[Sri Sultan Hamengkubuwono IX]] dan Wakil Tinggi Mahkota [[Antonius Hermanus Johannes Lovink]] dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)
=== Kembali ke Negara Kesatuan ===
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatra Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
=== Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh ===
3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, [[Daud Beureueh]] di Aceh memaklumatkan [[Negara Islam Indonesia]] di bawah Imam [[Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo]] pada tanggal [[20 September]] [[1953]].
Isi Maklumat NII di Aceh adalah:
{{cquote|Dengan lahirnja peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
# Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
# Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
# Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
# Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
# Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
# Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia<br />
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.<br />
MUHARRAM 1373<br />
Atjeh Darussalam<br />
September 1953}}
=== Daud Beureueh menyerah ===
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas [[Gunung Geber]] di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
=== Hasan Di Tiro mendeklarasi Negara Aceh Sumatra ===
14 tahun kemudian setelah Daud Beureueh pada masa [[Hasan Tiro]] pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kembali (re-proklamasi) kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:".<ref>(The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, p 15-17).</ref>
{{cquote|"Kepada rakyat di seluruh dunia:
Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa.
Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat.
Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra,
4 Desember 1976"}}
== Akhir konflik ==
{{seealso|Operasi militer Indonesia di Aceh (2003-2004)}}
Pada [[26 Desember]] [[2004]], sebuah [[Gempa Bumi Samudra Hindia 2004|gempa bumi besar]] menyebabkan [[tsunami]] yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk [[Banda Aceh]], dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Di samping itu telah muncul
Pada [[15 Agustus]] [[2005]], Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia akhirnya sepakat untuk menandatangani persetujuan damai (MoU) dan sekaligus mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun. Kesepakatan yang diberikan adalah otonomi khusus kepada provinsi Aceh dibawah Pemerintah Republik Indonesia dan GAM dibubarkan dan dilucuti.
== Rujukan ==
{{reflist|2}}
== Bacaan lain ==
* {{cite book|last1=Ibrahim|first1=Muhammad|last2=Arifin|first2=Muhammad|last3=Sulaiman|first3=Nasruddin|last4=Sufi|first4=Rusdi|last5=Ahmad|first5=Zakaria|last6=Ambary|first6=Hasan Mu'arif|last7=Alfian|first7=Ibrahim|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/7508/1/SEJARAH%20DAERAH%20PROPINSI%20DAERAH%20ISTIMEWA%20ACEH.pdf|title=Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|location=Jakarta|year=1991|oclc=27323558|ref=harv}}
== Pranala luar ==
* [http://acehbooks.org Aceh Books], pusat pengunduhan materi tentang Aceh (termasuk sejarah Aceh)
* {{id}} International Crisis Group: [http://www.crisisgroup.org/home/index.cfm?id=4295&l=5 Sejarah Aceh dan Syariat Islam] [http://www.crisisgroup.org/library/documents/asia/indonesia/indonesian_translations/17_indonesian_s_islamic_law___criminal_justice__indonesian_version.pdf pdf]
* [http://acehtourism.info/id/sejarah-aceh/ sejarah aceh]
* [http://atjehhistory.com Atjeh History] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150425185233/http://atjehhistory.com/ |date=2015-04-25 }}
== Lihat pula ==
* [[Daftar provinsi di Indonesia sepanjang masa]]
{{Sejarah provinsi Indonesia}}
{{Sejarah Asia}}
[[Kategori:Sejarah
[[Kategori:Sejarah Indonesia menurut provinsi|Aceh]]
|