Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kanzcech (bicara | kontrib)
Herryz (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
(8 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 43:
}}
 
'''[[Pangeran]] Diponegoro'''Diponegoro atau '''Raden Ontowiryo''' adalah Putra dari Sultan Hamengkubuwono III ({{lahirmati|[[Ngayogyakarta Hadiningrat]]|11|11|1785|[[Makassar]], [[Hindia Belanda]]|8|1|1855}}) adalah salahputra tertua dari [[Hamengkubuwana III|Sultan Hamengkubuwana III]] dan seorang [[pahlawan nasional Indonesia|pahlawan nasional]] [[Republik Indonesia]], yang memimpin [[Perang Diponegoro]] atau Perang Jawa selama periode tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah [[Hindia Belanda]].<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)|isbn=978-602-481-900-2|pages=157|url-status=live}}</ref>
 
Sejarah mencatat, Perang Diponegoro atau Perang Jawa dikenal sebagai perang yang menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Hindia Belanda, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta Guldengulden. Sebagai konversi 1 gulden merupakan uang yang setara dengan satu gram emas sebagai persamaan, dan saat itu total pendapatan pemerintah Hindia Belanda per tahunnya adalah 2 juta gulden maka perang ini menghabiskan 10 tahun APBN Belanda dalam 5 tahun.
Sebagai konfersi 1 gulden merupakan uang yang setara dengan satu gram emas sebagai persamaan, dan saat itu tottal pendapatan pemerintah Hindia Belanda per tahunnya adalah 2 juta Gulden maka perang ini menghabiskan 10 tahun APBN blanda dalam 5 tahun.
 
Perang Jawa berakhir setelah para pemimpinnya menyerahkan diri atau ditangkap oleh Belanda. Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Magelang atas perintah Jenderal De Kock. Ia kemudian diasingkan ke Manado dan Makassar hingga akhir hayatnya.
== Asal usul ==
 
== Kehidupan awal ==
Diponegoro lahir di [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (''garwa ampeyan''), bernama [[R.A. Mangkarawati]], dari [[Pacitan]] dan ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar [[Hamengkubuwana III]].<ref name=":0">{{Cite web|url=https://historia.id/politik/articles/memenuhi-ramalan-pangeran-diponegoro-DW1RP|title=Memenuhi Ramalan Pangeran Diponegoro|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-03-20|archive-date=2022-08-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20220827135752/https://historia.id/politik/articles/memenuhi-ramalan-pangeran-diponegoro-DW1RP|dead-url=yes}}</ref> Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.<ref>{{Cite news|url=https://tirto.id/intrik-keraton-dan-misteri-kematian-sultan-hamengkubuwana-iv-cAS4|title=Intrik Keraton dan Misteri Kematian Sultan Hamengkubuwana IV|last=Raditya|first=Iswara N|newspaper=tirto.id|language=id-ID|access-date=2017-12-06}}</ref>
 
KetikaPangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang dewasacerdas, Pangeranbanyak Diponegoromembaca, menolakdan keinginanahli sangdi ayahbidang untukhukum menjadiIslam-Jawa.<ref rajaname=":0" /> Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan residenmembaur Inggrisdengan yangrakyat. bernamaSang Pangeran juga lebih memilih tinggal di [[JohnTegalrejo, CrawfurdYogyakarta|Tegalrejo]], bahkanberdekatan sampaidengan duatempat kalitinggal eyang Iabuyut sendiriputrinya, beralasanyakni bahwaGusti posisiKangjeng ibunyaRatu yangTegalrejo, bukanpermaisuri sebagaidari istriSultan [[permaisuriHamengkubuwana I]], membuatdaripada dirinyatinggal merasadi tidak[[keraton]] layaksejak untukkecil mendudukiDiponegoro jabatansudah tersebut,sanggat selaindekat itudengan diarakyat jugadan tidakpara mausantri, menjadidalam sultan[[Babad karenaDiponegoro]] melihatdi posisijelaskan ayahnyakalau sebagaisemasa sultankecil tetapiDiponegoro kurangdi independenajarkan karenamenanam mendapatkanpadi tekanandan dikegiatan sana-sinirakyat darilainnya Inggrisoleh danneneknya Belandadi karenategal saatrejo ituyang daulatmenjadikan keratonDiponegoro sudahmuda tidaksangat didekat pegangdengan srirakyat sultandan tetapimengerti penderitaan rakyat jawa di pegangbawah tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda.<ref name=":9">{{Cite web|urllast=https://tagar.id/pangeran|first=|date=2017-diponegoro12-komandan-perang-jawa23|title=Pangeran Diponegoro Komandan Perang Jawa|lasturl=|first=|date=2017https://tagar.id/pangeran-12diponegoro-23komandan-perang-jawa|website=Tagar.id|language=id|access-date=2020-03-21}}</ref>
 
Pangeran Diponegoro adalah seorang yang menggemari kuda dan saat di Tegalrejo sebelum perang memiliki lebih dari 60 orang Jawa untuk memelihara kudanya. Bak-bak air besar dari tembok untuk memberi minum kudanya masih terlihat sampai kini (2021). Kandang kuda dan istal Pangeran begitu luas sampai Sentot muda, yang datang untuk hidup di Tegalrejo saat berumur 6 tahun setelah kakak perempuannya, Raden Ayu Maduretno menikah dengan Pangeran, lebih mementingkan belajar naik kuda daripada menjadi santri. Saat mulai pecahnya Perang Jawa, kuda kekar hitam tunggangan Dipnegoro, Kiai Gitayu (Gentayu) dan ketangkasannya diadi tasatas pelana dicatat oleh komandan kavaleri Belanda. Saat perang, keahlian Pangeran menunggang kuda sangat membantu dirinya untuk selamat ketika sering bisa menghindari pengejaran di medan yang sulit, terutama waktu menyeberang Kali Progo, dimana Pangeran mengetahui semua area dangkal yang bisa dipakai untuk mengarungi sungai lebar itu tanpa dihanyutkan air.<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)|isbn=978-602-481-900-2|pages=162|url-status=live}}</ref>
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa.<ref name=":0" /> Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di [[Tegalrejo, Yogyakarta|Tegalrejo]], berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan [[Hamengkubuwana I]], daripada tinggal di [[keraton]] sejak kecil Diponegoro sudah sanggat dekat dengan rakyat dan para santri, dalam [[Babad Diponegoro]] di jelaskan kalau semasa kecil Diponegoro di ajarkan menanam padi dan kegiatan rakyat lainnya oleh neneknya di tegal rejo yang menjadikan Diponegoro muda sangat dekat dengan rakyat dan mengerti penderitaan rakyat jawa di bawah tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda.<ref name=":9" />
 
== Nama dan gelar kepangeranan ==
Pangeran Diponegoro adalah seorang yang menggemari kuda dan saat di Tegalrejo sebelum perang memiliki lebih dari 60 orang Jawa untuk memelihara kudanya. Bak-bak air besar dari tembok untuk memberi minum kudanya masih terlihat sampai kini (2021). Kandang kuda dan istal Pangeran begitu luas sampai Sentot muda, yang datang untuk hidup di Tegalrejo saat berumur 6 tahun setelah kakak perempuannya, Raden Ayu Maduretno menikah dengan Pangeran, lebih mementingkan belajar naik kuda daripada menjadi santri. Saat mulai pecahnya Perang Jawa, kuda kekar hitam tunggangan Dipnegoro, Kiai Gitayu (Gentayu) dan ketangkasannya dia tas pelana dicatat oleh komandan kavaleri Belanda. Saat perang, keahlian Pangeran menunggang kuda sangat membantu dirinya untuk selamat ketika sering bisa menghindari pengejaran di medan yang sulit, terutama waktu menyeberang Kali Progo, dimana Pangeran mengetahui semua area dangkal yang bisa dipakai untuk mengarungi sungai lebar itu tanpa dihanyutkan air.<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)|isbn=978-602-481-900-2|pages=162|url-status=live}}</ref>
Pangeran Diponegoro lahir dengan nama asli Raden Mas Muntahar. Ia menerima nama dewasa dan gelar Bendara Raden Mas Antawirya pada 3 September 1805 di usia 20 tahun.{{Sfn|Carey|2017|p=18}} DiPada usia 20itu tahun itupula Diponegoro memulai perjalanan spiritual ke Pantai Selatan. Selama perjalanan itu ia mengganti namanya menjadi Syekh Ngabdurahim yang diambil dari bahasa Arab Shaykh 'Abd al-Rahim yang kemungkinan diusulkan oleh penasihat spiritualnya di Tegalrejo. Nama samaran ini digunakannya agar tidak dikenali orang dan sebagai tanda bahwa ia ingin menjadi santri.{{Sfn|Carey|2017|p=56}}
 
Setelah ayahnya naik takhta sebagai Hamengkubuwana III, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara pada Juli 1812. Gelar Pangeran Dipanegara atau Diponegoro ini sebenarnya gelar yang lumrah diberikan kepada pangeran Jawa. Setidaknya salah seorang putra [[Pakubuwana I]] yang memberontak pada masa Perang Suksesi Jawa Kedua dan suami kedua dari putri [[Hamengkubuwana I]] yang meninggal pada 1787 pernah menyandang gelar tersebut. Gelar ini juga disandang adik [[Pakubuwana IV]] yang meninggal pada 1811. Mengingat hanya satu pangeran yang boleh menyandang gelar tertentu pada satu waktu dan gelar tersebut sudah lama tidak dipakai di Kraton Yogya sejak 1787, maka HB III menganugerahkan gelar itu pada anak tertuanya sekaligus putra kesayangannya. Diponegoro sendiri pada akhirnya mewariskan gelar tersebut ke anak sulungnya, Diponegoro II, sewaktu perjalanan ke pengasingan. Diponegoro memberikan analisis terkait makna namanya tersebut kepada pengawalnya di pengasingan, Julius Knoerle.{{Sfn|Carey|2017|p=186-187}}{{Sfn|Carey|2008|p=369-370}}
Pangeran Diponegoro mulai menaruh perhatian pada masalah keraton ketika dirinya ditunjuk menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan [[Hamengkubuwana V]] (1822) yang saat itu baru berusia 3 tahun. Karena baru berusia 3 tahun, pemerintahan keraton sehari-hari dikendalikan oleh Patih [[Danureja IV]] dan Residen Belanda. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.<ref name=":9" />
 
{{Cquote|quotetext="'Dipo' [dari bahasa Sankrit 'dipa'] berarti seseorang yang menyebarkan pencerahan atau yang memiliki hidup dan kekuatan [...] 'negoro' berarti suatu daerah [...] maka 'Diponegoro' berarti seseorang yang memberi pencerahan, kekuatan dan kemakmuran kepada suatu daerah (negara)" (Knoerle, 'Journal', 10).|author=Carey 2017:187}}
== Nama dan gelar kepangeranan ==
Nama Islamnya adalah Abdul Hamid atau Ngabdulkamit.<ref name=":5" /> Dalam Babad Dipanegara disebutkan bahwa Diponegoro mendengar suara gaib yang memanggilnya dengan Ngabdulkamit. Nama Ngabdulkamit ini disandang oleh Diponegoro dan digabungkan dengan gelar Sultan Erucokro (Ratu Adil) selama Perang Jawa untuk menampilkan sosok dirinya sebagai Ratu Adil dan pemimpin agama.{{Sfn|Carey|2017|p=68-69}} SelamaGelarnya pengasingannyaselama diPerang Manado,Jawa Diponegoroadalah ingin''Sultan dipanggilAbdul sebagaiHamid "PangeranErucokro Ngabdulkamit".Kabirul DalamMukminin refleksiSayyidin Paneteg Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah Jawa'' yang ditulisberarti diSultan MakassarAbdul Hamid (Ngabdulkamit), iaRatu menyebutAdil dirinya(''Erucokro''), Pemimpin sebagaiAgama ('fakir'Sayyidin''), NgabdulkamitPenata Agama ''Panatagama'') dan Khalifah Rasulullah (''Kalifatu Rosulillah'') di tanah Jawa (''ing Tanah Jawa'').{{Sfn|Carey|2017|p=68-69286}}
Raden Mas Muntahar menerima nama dewasa dan gelar Raden Antawirya pada 3 September 1805 di usia 20 tahun.{{Sfn|Carey|2017|p=18}} Di usia 20 tahun itu Diponegoro memulai perjalanan spiritual ke Pantai Selatan. Selama perjalanan itu ia mengganti namanya menjadi Syekh Ngabdurahim yang diambil dari bahasa Arab Shaykh 'Abd al-Rahim yang kemungkinan diusulkan oleh penasihat spiritualnya di Tegalrejo. Nama samaran ini digunakannya agar tidak dikenali orang dan sebagai tanda bahwa ia ingin menjadi santri.{{Sfn|Carey|2017|p=56}}
 
Selama pengasingannya di Manado, Diponegoro ingin dipanggil sebagai "Pangeran Ngabdulkamit". Dalam refleksi yang ditulis di Makassar, ia menyebut dirinya sebagai 'fakir' Ngabdulkamit. Pemilihan nama Ngabdulkamit ini mungkin berhubungan dengan [[Abdul Hamid I]], Sultan Turki Utsmani yang menyatakan diri sebagai [[Khalifah|'khalifah']] atau pemimpin umat Islam di seluruh dunia.{{Sfn|Carey|2017|p=68-69}} Setelah Perang Diponegoro, di mana banyak keluarga dan kerabat Diponegoro yang dicap sebagai pemberontak dan diasingkan oleh pemerintah Belanda, gelar kepangeranan Diponegoro dilarang diberikan kepada seluruh anggota keluarga keraton-keraton Jawa tengah bagian selatan.{{Sfn|Carey|2014|p=413}}{{Sfn|Carey|2008|p=747}}
Nama Islamnya adalah Abdul Hamid atau Ngabdulkamit.<ref name=":5" /> Dalam Babad Dipanegara disebutkan bahwa Diponegoro mendengar suara gaib yang memanggilnya dengan Ngabdulkamit. Nama Ngabdulkamit ini disandang oleh Diponegoro dan digabungkan dengan gelar Sultan Erucokro (Ratu Adil) selama Perang Jawa untuk menampilkan sosok dirinya sebagai Ratu Adil dan pemimpin agama. Selama pengasingannya di Manado, Diponegoro ingin dipanggil sebagai "Pangeran Ngabdulkamit". Dalam refleksi yang ditulis di Makassar, ia menyebut dirinya sebagai 'fakir' Ngabdulkamit.{{Sfn|Carey|2017|p=68-69}}
 
Setelah ayahnya naik takhta, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara.
== Kehidupan pribadi ==
Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran Diponegoro adalah pribadi yang menyukai sirih dan rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan tangan, mengoleksi emas, dan berkebun. Bahkan, di tempat persemediannya di [[Selorejo, Girimarto, Wonogiri|Selarejo]] dan Selarong, kebun yang dimilikinya ditanami bunga, sayur-sayuran, buah-buahan, ikan, kura-kura, burung tekukur, buaya hingga harimau.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://historia.id/kuno/articles/tujuh-kebiasaan-pangeran-diponegoro-yang-belum-diketahui-banyak-orang-DwR8O|title=Tujuh Kebiasaan Pangeran Diponegoro yang Belum Diketahui Banyak Orang|last=|first=|date=|website=Historia.id|language=id|access-date=2020-03-20}}</ref>
Baris 79 ⟶ 80:
 
Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan bercanda. Terkadang, dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang dianggapnya pengecut.<ref name=":1" />
 
== Kehidupan sebagai pangeran ==
Meski menjalani sebagian hidupnya di Tegalrejo, Diponegoro tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang pangeran Kesultanan Yogyakarta. Ia tetap menghadiri Grebeg Maulud dan Grebed Puasa, dua upacara besar dalam tradisi Islam-Jawa.
 
Ia dikenal sebagai salah satu penasihat pribadi ayahnya selama ayahnya menjadi Putra Mahkota hingga diangkat sebagai Sultan HB III. HB III mendiskusikan banyak urusan dengan Diponegoro. Salah satunya saat mereka memutuskan mengangkat Danurejo IV untuk menggantikan Danurejo III yang sudah lanjut usia.{{Sfn|Carey|2017|p=196}} Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah dan Residen Inggris yang bernama [[John Crawfurd]] untuk menjadi sultan bahkan sampai dua kali. Padahal, sebagai anak laki-laki tertua ayahnya dan pangeran yang kompeten, Diponegoro layak menduduki posisi sultan. Ia sendiri beralasan bahwa posisi ibunya yang hanya ''garwa ampeyan'' (selir), bukan [[permaisuri]], membuat dirinya merasa tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut. Selain itu, dia juga tidak mau menjadi sultan karena melihat posisi ayahnya sebagai sultan tetapi kurang independen karena mendapatkan tekanan di sana-sini dari Inggris dan Belanda yang memengaruhi banyak kebijakan keraton.<ref name=":9" />
 
Saat HB III wafat, adik laki-laki Diponegoro yang masih berusia 10 tahun diangkat sebagai [[Hamengkubuwana IV]]. Diponegoro sangat memperhatikan dan mengawasi pendidikan sultan muda itu. Ia sering datang dari Tegalrejo untuk menceritakan kisah-kisah kepahlawanan ''<nowiki/>'Fatih al-Muluk''' (Kemenangan Raja-Raja). Diponegoro juga merekomendasi banyak teks bacaan{{Sfn|Carey|2017|p=204-205}} untuk adiknya. Meski demikian, HB IV bukanlah seseorang yang rajin belajar. Ia lebih suka kesenian dan berkuda ketimbang literatur Jawa.
 
=== Perwalian Hamengkubuwana V ===
Setelah Hamengkubuwana IV meninggal mendadak pada Desember 1822, ibunda HB IV, Ratu Ageng, dan janda HB IV, Ratu Kencono memohon Pejabat Residen Belanda, De Salis, untuk segera mengukuhkan Putra Mahkota yang baru berusia dua tahun untuk naik takhta sebagai [[Hamengkubuwana V]] sekaligus meminta Paku Alam I tidak lagi menjadi wali raja.
 
Setelah mendapat dukungan dari Gubernur Jenderal [[Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen|van der Capellen]], De Salis merekomendasikan dewan perwalian yang berisi empat orang, yakni Ratu Ageng, Ratu Kencono, Pangeran Diponegoro, dan Pangeran Mangkubumi. Ratu Ageng dan Ratu Kencono bertanggungjawab untuk mengasuh sultan. Sementara dua pangeran ditunjuk untuk pengelolaan keraton hingga sultan cukup umur. Dua pangeran wali juga menerima pembayaran pajak pasar dan pajak gerbang cukai senilai 100 ribu dolar Spanyol setiap tahunnya secara langsung tanpa melalui Patih [[Danurejo IV (III)|Danurejo IV]]. Patih hanya diperbolehkan mengendalikan pemerintahan jika kedua pangeran itu lalai dalam tugasnya.{{Sfn|Carey|2017|p=256}}
 
Tak lama setelah HB V diangkat, terjadi penghapusan sewa tanah oleh orang Eropa sehingga keraton sebagai pemilik tanah harus memberikan ganti rugi kepada para penyewa. Diponegoro dan Mangkubumi yang mengemban tugas mengelola keuangan keraton bertindak atas nama sultan untuk bernegosiasi terkait skema ganti rugi. Residen Nahuys meminta kompensasi yang sangat tinggi yang ditolak oleh kedua pangeran itu sehingga akhirnya menawarkan harga 26 ribu dolar Spanyol. Ratu Ageng memerintahkan Danurejo IV untuk menerima tawaran itu tanpa persetujuan Diponegoro dan Mangkubumi. Kompensasi yang sangat besar itu berimbas pada keuangan keraton yang menipis hingga keraton perlu meminjam uang ke Kapitan Cina dan Diponegoro dipaksa menyetujuinya. Dalam banyak urusan keraton, termasuk urusan keuangan, Ratu Ageng dan Danurejo IV cenderung mengikuti permintaan Belanda karena takut terjadi apa-apa pada HB V yang masih anak-anak. Sementara Diponegoro dipaksa memberi cap persetujuan saja dan semua hal penting diputuskan tanpa kehadirannya.{{Sfn|Carey|2017|p=267-271}} Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.<ref name=":9" /> Pada akhirnya, Diponegoro dan Mangkubumi memilih mundur sebagai wali karena tidak setuju dengan pengelolaan keuangan yang merugikan keraton dan hanya menguntungkan Belanda dan kroni-kroninya, termasuk Danurejo IV. Urusan-urusan dalam keraton kemudian diputuskan oleh Residen Smissaert dan Asisten Residen Chevallier, Ratu Ageng, Danurejo IV, komandan pengawal sultan Wironegoro, dan penerjemah Karesidenan Johannes Godlieb Dietreé.{{Sfn|Carey|2017|p=270-271}}
 
== Perang Diponegoro (1825–1830) ==
Baris 103 ⟶ 118:
 
=== Para panglima Diponegoro ===
Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan Pangeran Diponegoro adalah [[Kiai Madja]], [[Pakubuwana VI]], dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya.<ref name=":3" /> Pangeran Diponegoro juga dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan di wilayah [[Kulonprogo]] dan Bagelen. Selain itu, ada beberapa ulama pendukung, yakni Kiai Imam Rafi'l (Bagelen), Kiai Imam Nawawi (Ngluning Purwokerto), Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan kiai-kiai lainnya.<ref name=":12" />
 
==== Kiai Maja ====
Baris 194 ⟶ 209:
Sewaktu di Unggaran dalam perjalanannya ke Batavia menuju tempat pengasingan dengan dikawal oleh perwira Belanda, Pangeran Diponegoro berbicara cukup panjang dengan Kapten Roeps (dalam bahasa Jawa) tentang berbagai hal mengenai negosiasi yang baru terjadi dan mengatakan bahwa mendapat kesan kalau dalam negosiasi itu dia tidak dapat mencapai kesepakatan dengan Jenderal De Kock, mereka akan mengizinkan dia kembali ke pegunungan (Banyumas) tanpa dihalang-halangi. Ini merujuk pada janji yang konon diberikan secara lisan kepada Pangeran Diponegoro dalam negosiasi damai awal di Remokamal (Banyumas) pada 16 Februari 1830 oleh Kolonel Jan-Baptist Cleerens, perwira Belanda yang bertangung jawab atas negosiasi tersebut. Cleerens seakan berjanji kepada Pangeran Diponegoro bahwa Sang Pangeran akan diizinkan untuk kembali ke Pegunungan Banyumas seandainya negosiasi dengan Jenderal De Kock di Magelang tidak membuahkan hasil yang memuaskan baginya. Jaminan ini diabaikan oleh Jenderal De Kock ketika dia menahan Pangeran Diponegoro, tetapi Pangeran Diponegoro kemudian secara tidak langsung mengingatkan Cleerens melalui sepucuk surat yang dikirimkannya dari Makasar pada 14 Desember 1835.<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia|isbn=978-602-481-901-9|pages=51, 52|url-status=live}}</ref>
 
Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro diasingkanditempatkan ke Gedung Karesidenan [[Kota Semarang|Semarang]], di [[Ungaran (kota)|Ungaran]], lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawanditahan di Stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan ke [[Manado]] bersama istri keenamnya bersama Tumenggung Dipasena dan istrinya serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di [[Benteng Nieuw Amsterdam]]. Tahun 1834, Diponegro dipindahkan ke [[Makassar]] hingga wafatnya di [[Benteng Rotterdam]] tanggal 8 Januari 1855.<ref name=":3" />
 
Pangeran Hendrik yang ayahnya kelak menjadi Raja Willem II (1840-49) menulis dalam buku hariannya saat bertemu dengan Pangeran Diponegoro saat dalam penggasingannya di Benteng Rotterdam, pada 7 Maret 1837. Didalamnya dia mengkritik cara pihak Belanda, khususnya Jenderal De Kock, memperlakukan Diponegoro karena memiliki dampak politik yang sangat buruk di daerah Hindia Belanda:<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)|isbn=978-602-481-900-2|pages=256-266|url-status=live}}</ref>
Baris 299 ⟶ 314:
* {{cite book|last=Sagimun|first=M.D.|title=Pangeran Diponegoro: Pahlawan Nasional|location=Jakarta|publisher=Proyek Biografi Pahlawan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|date=1976}}
* {{cite book|last=Yamin|first=M.|title=Sedjarah Peperangan Diponegoro: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia|location=Jakarta|publisher=Pembangunan|date=1950}}
* {{Cite book|last=Carey|first=Peter B.R|date=2008|url=http://dx.doi.org/10.1163/9789067183031|title=The power of prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855|location=Leiden|publisher=KITLV Press|isbn=9789067183031|edition=2|ref=harv|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2017|title=Takdir: riwayat Pangeran Diponogoro, 1785-1855|location=Jakarta|publisher=Kompas Media Nusantara|isbn=9786232411821|editor-last=Mulyawan|editor-first=Karim|translator-last=Murdianto|translator-first=Th. Bambang|ref=harv|translator-last2=Laksono|translator-first2=P.M.|url-status=live}}
 
Baris 305 ⟶ 321:
 
== Pranala luar ==
 
* {{id}} [http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/08/metro/1071372.htm Sebelum Dibuang ke Manado, Pangeran Diponegoro Ditahan di Museum Sejarah], Kompas
 
{{Pahlawan Indonesia}}
flint {{Authority control}}
 
{{DEFAULTSORT:Diponegoro}}