Filsafat linguistik: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k ejaan, replaced: praktek → praktik
Kevinchanz94 (bicara | kontrib)
k bahasa dan kata-kata lebih dirapikan
 
(21 revisi perantara oleh 15 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{rapikan|date=2011}}
'''Filsafat Bahasalinguistik''' adalah ilmu gabungan antara [[linguistik]] dan [[filsafat]]. Ilmu ini menyelidikimempelajari lebih mendalam tentang kodrat dan kedudukan [[bahasa]] sebagai kegiatan manusia serta dasar-dasar konseptual dan teoretis linguistik. Filsafat bahasa dibagi menjadi [[filsafat bahasa ideal]] dan [[filsafat bahasa sehari-hari]].
 
Filsafat bahasa ialahmerupakan teori tentang bahasa yang berhasil dikemukakan oleh para filsuf, sementara mereka itu dalam perjalanan memahami pengetahuan konseptual. Filsafat bahasa ialah buah dari usaha para [[filsuf]] memahami ''conceptualkeilmuan knowledge''yang bersifat konseptual melalui pemahaman terhadap bahasa.
 
Dalam rangkaupaya mencari pemahaman ini, para filsuf telah juga mencobajmencoba mendalami hal-hal lain, misalnya fisika, matematika, seni, sejarah, dan lain-lain. Cara bagaimana pengetahuan itu diekspresikan dan dikomunikasikan di dalam bahasa, di dalam fisika, matematika dan lain-lain itu diyakini oleh para filsuf berhubungan erat dengan hakikat pengetahuan atau dengan pengetahuan konseptual itu sendiri. Jadi, dengan meneliti berbagai cabang ilmu itu, termasuk bahasa, para filsuf berharap dapat membuat filsafat tentang pengetahuan manusia pada umumnya.
 
Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah bahwa linguistik bertujuan mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi, para sarjana bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah tujuan akhir kegiatannya,. sedangkanSedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat pengetahuan konseptual.

Dalam usahanyausaha mencari hakikat pengetahuan konseptualpencarian itutersebut, para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai objek sementarapengantar agaryang pada akhirnya dapat diperolehdidapatlah kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu.
 
== Perhatian Para Filsuf terhadap bahasa ==
Masalah kebahasaan yang sering dibahas oleh para filsuf biasanya berkisar pada hubungan antara simbol dan arti. Pembahasan merekatersebut agaksedikit sukarsulit untuk disistematikakandipetakan. SecaraNamun secara garis besar, pemikiran itutersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
 
=== Metafisika ===
Metafisika ialah bagian filsafat yang berusaha memformulasikan fakta yang paling umum dan paling luas, termasuk penyebutan kategori-kategori yang paling pokok atas pengelompokan hal dan benda dan gambaran saling hubungan merekadiantara keduanya. Di dalam metafisika ini, maka dapatlah filsuf-filsuf seperti [[Plato]] dan [[Aristoteles]] mencoba memahami bahasa. Sebagai misal, dalam bukunya ''Republik'' Plato berkata, “Manakah sejumlah orang menyebut kata yang sama, kita berasumsi bahwa mereka itu juga memikirkan ide yang sama”. Jadi kalau orang-orang menggunakan kata yang sama seperti ''rumah'' dan ''pohon'', maka Plato beranggapan bahwa di dalam masyarakat memang ada kesatuan ide seperti ''[[rumah]]'' dan ''poho''n itu. Kalau tidak begitu, maka tidak mungkinlah beberapa orang yang berlainan menggunakan kata-kata yang sama itu.
 
Di dalam buku ''Metaphysics'', Aristoteles menulis “... Kita boleh bertanya apakah kata-kata seperti ''berjalan, duduk, sehat'' itu ada. Bukankah yang ada itu ialah pekerjaan ‘''berjalan, duduk, atau sakit''’. Kegiatan itu dianggap lebih nyata karena ada sesuatu yang pasti yang mendasarinya, yaitu benda atau orang....” Dalam hal ini, Aristoteles mulai dengan kenyataan bahwa orang tidak menggunakan kata kerja kecuali berhubungan dengan subjek yang dalam hidupnya memang menjalankan pekerjaan-pekerjaan seperti berjalan, duduk, dan sakit. Dari kenyataan ini, Aristoteles berkesimpulan bahwa benda itu mempunyai keberadaan yang lebih bebas dari kata kerja, benda itu lebih pokok daripada kegiatan.
 
Pada akhir abad 19, seorang Filsuf [[Jerman]], Meinong, berkata bahwa setiap tutur yang bermakna di dalam kalimat tentulah mempunyai ''referent'' (acuan). Kalau tidak, maka tutur itu tidak akan bermakna, sehingga tentulah istilah itu ada benda acuannya. Kalau benda acuan itu tidak dapat dilihat di sekitar kita, maka tentulah benda itu ada dengan cara keberadaan yang lain.
 
Pada abad dua puluh ini, ada aliran filsafat yang disebut ''logica atomism''. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain ialah [[Bertrand Russell|Bertrand Russel]] dan [[Ludwig Wittgenstein]]. Berkenaan dengan hal ini, Russel berkata antara lain : ”...di dalam simbolisme yang benar dan logis, antara fakta dan simbol yang melambangi fakta itu tentulah terdapat struktur yang beridentitas jelas. Kekompleksitasan simbol tentu menyerupai kekompleksitasan fakta yang dilambanginyadilambangkannya.”
 
Dalam hal ini, Russel mengisyaratkan bagaimana sebaiknya bahasa itu. Bahasa yang benar dan logis seharusnya dapat melambangi secara jelasmerepresentasikan apa saja yang ada di dalam alam sekitar kita secara jelas.
 
=== Logika ===
Baris 26 ⟶ 28:
 
=== Epistemologi ===
Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan menaruh perhatian kepada bahasa dalam beberapa aspek, terutama dalam masalah pengetahuan ''a priori'', yakni pengetahuan yang dianggap sudah diketahui tanpa didasarkan pada pengalaman yang sudah dialami secara nyata. Sebagai misal ialah pengetahuan manusia dalam hal [[matematika]]. Pengetahuan matematika ini memusingkan para filsuf. Bagaimana kita tahumengetahui bahwa 7 ditambah 8 selalu ada 15? Salah satu jawabnya bahwa makna masing-masing istilah yang terpakai di dalam perhitungan matematika itu memang sudah kita anggapdianggap benar, tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Hal inilah yang mendatangkan tanda tanya pada diri para filsuf. Bagaimana istilah itu dapat mempunyai makna dan bagaimana ''statement'' itu juga dapat mempunyai makna dengan hanya mendasarkan bahwa istilah yang terpakai itu punya makna.
 
=== Reformasi Bahasa ===
Baris 35 ⟶ 37:
Jadi, dalam hal ini, ada dua pandangan yang berbeda terhadap bahasa ini. ''Pertama'', pandangan yang mengatakan bahwa bahasa itu masih dapat berfungsi untuk menjadi sarana pengantar filsafat. Akan tetapi, dalam pengalaman pemakaian ini tidak baik, karena si pemakai sendirilah yang salah. Si pemakai menyimpang dari cara pemakaian bahasa yang baik dan yang benar, tanpa memberikan makna apa-apa terhadap penyimpangan yang mereka lakukan. Dalam kelompok ini terdapatlah misalnya orang-orang seperti Locke dan Ludwig Wittgenstein. Locke tidak menyukai jargon ''scholastik''. Wittgenstein berkata bahwa kebanyakan masalah yang timbul dalam pembicaraan filsafat berasal dari kenyataan bahwa para filsuf menggunakan terminologi (istilah) secara menyimpang, berlainan dengan makna yang sebenarnya.
 
Orang-orang dari kelompok kedua berpendapat bahwa bahasa yang kitakerap pakaidipakai sehari-hari ini memang kurang kuat, kurang cermat, kurang memenuhi syarat, kurang sesuai untuk dipakai sebagai sarana pengantar filsafat. Bahasa kitamanusia itu samar, tidak eksplisit (tidak lugas), mengandung keraguan (ambigu), kurang mandiri atau suka tergantung pada konteks (''context dependent'') dan sering menimbulkan salah paham. Di dalam kelompok ini terdapatlah orang-orang seperti Leibniz, Russel, dan Carnap yang menginginkan timbulnya suatu bahasa buatan manusia yang lebih sesuai untuk filsafat. [[Bahasa buatan]] manusia itu perlu diusahakan agar kelemahan-kelemahan yang ada di dalam bahasa alamiah dapat dikoreksi.
 
== Aturan-aturan terpokok suatu bahasa ==
Bahasa yang digunakan dalam uraian kefilsafatan terdiri dari seperangkat istilah dan seperangkat pernyataan yang dibentuk dari istilah-istilah tertentu ditambah dengan istilah-istilah lain dalam maknanya yang lazim, yang diambilkan dari bahasa yang digunakan oleh sang filsuf (misalnya bahasa Inggris). Suatu bahasa yang lengkap terdiri dari seprangkat istilah dan tiga perangkat aturan.
 
Perangkat aturan pertama bersifat [[Semantik|''semantik''.]] Aturan-aturan ini menerangkan hubungan antara ungkapan-ungkapan bahasa dengan hal-hal yang ditunjukkan. Aturan-aturan tersebut dapat dibagi lebih lanjut sebagai berikut :
* Aturan-aturan pembentukan. Aturan-aturan ini menerangkan kapankah seperangkat tanda menunjukkan suatu pertanyaan. Misalnya, ada aturan : “Bila ada ungkapan yang terdiri dari suatu kata benda, kata kerja ‘adalah’, dan suatu [[kata sifat]], maka hasilnya akan berupa suatu pernyataan.”
* Aturan-aturan yang melukiskan apakah yang ditunjuk oleh macam-macam tanda tertentu. Aturan-aturan ini mengatakan bahwa kata-kata benda menunjukkan orang, tempat, atau barang, dan bahwa sebutan menunjukkan ciri-ciri.
* Aturan-aturan yang melukiskan bilamanakah suatu pernyataan dikatakan mengandung ‘kebenaran’. Aturan-aturan ini dapat memberikan batasan pengertian mengenai hubungan kebenaran. Misalnya, pernyataan sederhana seperti “Saya merasa dingin,” dikatakan benar jika, dan hanya jika, saya sungguh-sungguh merasa dingin.
Baris 49 ⟶ 51:
Perangkat aturan ketiga bersifat ''sintaksis''. Aturan-aturan ini menerangkan cara-cara menyimpulkan ungkapan-ungkapan berdasarkan ungkapan-ungkapan yang lain dengan jalan perubahan bentuk. Misalnya, jika (1) ‘p’ dan (2) ‘p’ meliputi ‘q’, maka (3) dapatlah disimpulkan ‘q’. Yang tersangkut dalam hal ini ialah aturan-aturan logika, definisi bukti, dan sebagainya.
 
== StandarisasiStandardisasi (Pembakuaan) ==
'''1. Arti standardisasi'''
 
Baris 73 ⟶ 75:
Bahasa yang terpakai di pusat kebudayaan biasanya terpilih menjadi bahasa standar ini. Pusat kerajaan biasanya menggunakan bahasa standar. Mungkin saja di pusat kebudayaan inilah yang amat memerlukan bahasa yang sopan dan yang dapat dipakai untuk mengantarkan segala pesan secara jelas. Di pusat kerajaan berbagai orang dari berbagai masyarakat bertemu membicarakan berbagai masalah. Pembicaraan itupun biasanya dijalankan dalam suasana resmi dan penuh dengan rasa sopan santun.
 
Itulah sebabnya, maka sekarang ini ragam bahasa yang dipakai di pusat negeri biasanya terpakai sebagai ragam bahasa baku. IbukotaIbu kota negara seperti Jakarta, London, Bangkok, Bandar Seri Begawan, dan lain-lain menjadi tempat di mana bahasa baku berkembang. Di Jawa, untuk bahasa Jawa, bahasa yang dipakai di pusat kesultanan di Yogyakarta dan Surakarta pun menjadi bahasa standar.
 
== Fungsi Bahasa ==
Pada kenyataannya, fungsi yang harus disandang oleh bahasa tidak hanya satu macam. Karena hal inilah maka sukar bagi para filosof untuk mematoki bahasa sebagai alat komunikasi yang akurat, satu simbol melambangi satu makna, satu makna dilambangi satu simbol.
 
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa beserta variasi-variasinya antara lain ialah sebagai berikut :
 
'''1. Register sebagai Penyampai Maksud'''
Baris 94 ⟶ 96:
'''3. Tingkat Tutur sebagai Penyampai Rasa Hormat'''
 
Di dalam masyarakat, orang yang satu harus berhubungan dengan orang yang lain. Orang lain ini barangkali ayahnya sendiri, adiknya, tetangganya, teman sekelasnya, kenalan baru, atau orang lain yang kebetulan berpapasan di jalan. Di dalam relasi ini, orang dituntut menentukan sikapnya, yaitu akan menganggap lawan tutur sebagai orang yang perlu dihormati atau tidak. Orang lain itu perlu dipastikan dalam jaringan hubungannya dengan si penutur. Kalau diaseseorang adalah orang yang seharusnya kita hormatidihormati, maka harus kitadihormati hormatilahsebagaimana diamestinya. Kalau orang itu tidak kita hormatidihormati, maka akan marahlah dia, atau akan marahlah orang lain kepada kitalawan bicaranya.
 
Bahasa biasanya mempunyai cara-cara untuk menyatakan rasa hormat atau tidak hormat kepada orang lain. Ada masyarakat yang menganggap sudah cukup untuk menyampaikan rasa hormat itu dengan cara berelasi yang berjarak, tetapi ada masyarakat lain yang menyatakan relasi hormat itu dengan kode bahasa yang khusus. Yang pertama bertutur bahasa secara biasa, sedangkan yang kedua memerlukan istilah ''honorific'' (hormat) untuk menyampaikan perasaan hormat itu.
Baris 100 ⟶ 102:
'''4. Idiolek sebagai Penanda Identitas Diri'''
 
Setiap pribadi, karena keadaan fisik dan kejiwaan bahasa yang unik, bahasa mempunyai idioleknya sendiri-sendiri. Walaupun aturan sintaksis, morfologi, dan fonologi itu seragam, tetapi setiap orang mempunyai gaya bicaranya masing-masing. Setiap orang mempunyai kecenderungannya sendiri-sendiri di dalam memilih dan menggunakan berbagai cara mengucapkan bunyi. Setiap orang mempunyai keanehan-keanehannya sendiri di dalam cara membentuk kata dan kalimat, cara menaati sopan santun bahasa dan memilih ragam dan tingkat tutur, cara mengacu kepada orang yang dipercakapkannya, cara mengorganisasi wacananya, cara menyalurkan isi kejiwaannya. Tentu saja setiap pribadi itu sangat dipengaruhi oleh idiolek-idiolek lain yang menjadi idolanya. Idiolek itu mencoba meniru idiolek-idiolek yang lain. Akan tetapi, bagaimana punbagaimanapun dia itu ialah pribadi yang unik sehingga pada akhirnya idiolek itu pun berwujud lain dari yang lainnya. Mungkin kelainan itu terletak misalnya hanya pada warna suara dan salah satu kebiasaan ucapan bunyi /r/ nya, atau cara menghubungkan kalimat pengandaian, atau di dalam mengatur cara menyampaikan permintaan. Atau, perbedaan antara individu itu mungkin menyangkut perbedaan dalam kebiasaan memakai beberapa segi kebahasaan sekaligus. Bagaimanapun, di dalam kenyataannya, setiap pribadi di muka bumi ini biasanya mempunyai cara bertutur yang sedikit berlain-lainan antara yang satu dengan yang lainnya.
 
Kalau hal ini dibalik, dapatlah dikatakan bahwa idiolek yang berlain-lainan itu sebetulnya dimiliki oleh pribadi yang berlain-lainan pula. Dengan kata lain, idiolek yang berlain-lainan itu dapatlah dipakai untuk mengidentifikasi pribadi orang yang berlain-lainan pula.
Dengan kata lain, sesuatu variasi bahasa itu dapat dipakai untuk menjadi tandanya seseorang individu. Kalau individu itu sabar, maka akan tercerminlah kesabaran itu di dalam idioleknya. Kalau individu itu peramah, maka akan tercerminlah keramahan itu di dalam idioleknya. Kalau individu seorang yang pemberani, maka akan tercermin di dalam cara bicaranyalah sifat keberanian itu, dst.
 
Baris 114 ⟶ 116:
Mengapa dialek atau bahasa yang sama dapat menimbulkan rasa solidaritas? Sebabnya ialah karena dialek atau bahasa yang sama itu adalah milik penutur bersama. Bukan saja milik mereka bersama, tetapi hasil kreasi mereka bersama. Anggota masyarakat bukan saja secara bersama menggunakan dialek atau bahasa itu, melainkan juga menghasilkan inovasi-inovasi secara bersama dan melupakan hal yang tak perlu secara bersama. Siapakah yang menjadikan dialek itu berbeda dengan dialek yang lain kalau bukan seluruh anggota masyarakat dalam kawasan dialek atau bahasa itu. Dialek itu timbul dan tenggelam karena ulah bersama seluruh anggota kelompok masyarakat, dan gunanya memang hanya dinikmati oleh seluruh anggota kelompok masyarakat itu. Dari satu segi, dialek atau bahasa dapat dipersamakan dengan anak kandung, dan anggota masyarakat sebagai suami-isteri. Dialek atau bahasa itu ialah “hasil karya” orang-orang yang menjadi anggota kelompok masyarakat. Maka dari itu, dialek atau bahasa itu dapat menjadi pengikat rasa solidaritas orang-orang dalam kelompok itu. Rasa solidaritas ini tampak kuat pada waktu kelompok itu menghadapi orang luar.
 
'''6. StandarisasiStandardisasi sebagai Penopang Rasa Kemandirian'''
 
Berhubungan erat dengan fungsinya sebagai pemupuk rasa solidaritas, bahasa juga dapat dipakai sebagai alat penunjang rasa kemandirian bangsa. Suatu bangsa biasanya mempunyai bahasa sendiri untuk mengekspresikan dirinya tanpa didikte oleh bangsa lain. Bahasa yang tersendiri ini diperlakukan, karena bangsa itu biasanya memiliki segi-segi kehidupan yang khusus, yang tak dimiliki oleh bangsa lain. Bangsa itu mungkin mempunyai sistem pemerintahannya sendiri; mungkin mempunyai adat-istiadat yang berbeda dengan bangsa lain yang mana pun; mungkin mempunyai agama dan kehidupan kesenian yang khas; mungkin mempunyai cara-cara menyelesaikan perkara secara lain, dst. Kesemuanya itu ada lambang-lambangnya sendiri. Karena inilah, maka biasanya bahasa yang dimilikinya lain dari bahasa yang lainnya.
Baris 141 ⟶ 143:
Dengan mengamati bahasa yang digunakan oleh masyarakat, biasanya dapatlah kita gambarkan seberapa perkembangan peradaban masyarakat pemilik bangsa itu.
 
== ReferensiBacaan lanjut ==
* Harimurti Kridalaksana (2008). '''Kamus Linguistik''' (edisi ke-Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-3570-8.
* Alih bahasa : Soejono Soemargono,Louis O. Kattsoff,. (2004). '''Pengantar filsafat'''. Tiara Wacana. Yogya. ISBN 979-8120-01-9.
* Poedjosoedarmo, S. (2001). '''Filsafat bahasa'''. Muhammadiyah University Press. Surakarta. ISBN : 979-636-024-1.
{{Authority control}}
 
[[Kategori:Filsafat bahasa| ]]
 
[[pt:Filosofia linguística]]