Filsafat linguistik: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Fuadi Zikri (bicara | kontrib) k Fuadi Zikri memindahkan halaman Filsafat bahasa ke Filsafat ilmu bahasa: Judul tidak relevan dengan artikel yang sama di Wiki Bahasa Inggris |
k bahasa dan kata-kata lebih dirapikan |
||
(9 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{rapikan|date=2011}}
'''Filsafat
Filsafat bahasa
Dalam upaya mencari pemahaman ini, para filsuf telah
Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah bahwa linguistik bertujuan mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi, para sarjana bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah tujuan akhir kegiatannya. Sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat pengetahuan konseptual.
Dalam usaha pencarian tersebut, para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai objek pengantar yang pada akhirnya didapatlah kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu. == Perhatian Para Filsuf terhadap bahasa ==
Baris 12 ⟶ 14:
=== Metafisika ===
Metafisika ialah bagian filsafat yang berusaha memformulasikan fakta yang paling umum dan paling luas, termasuk penyebutan kategori-kategori yang paling pokok atas pengelompokan hal dan benda dan gambaran saling hubungan
Di dalam buku ''Metaphysics'', Aristoteles menulis “... Kita boleh bertanya apakah kata-kata seperti ''berjalan, duduk, sehat'' itu ada. Bukankah yang ada itu ialah pekerjaan ‘''berjalan, duduk, atau sakit''’. Kegiatan itu dianggap lebih nyata karena ada sesuatu yang pasti yang mendasarinya, yaitu benda atau orang....” Dalam hal ini, Aristoteles mulai dengan kenyataan bahwa orang tidak menggunakan kata kerja kecuali berhubungan dengan subjek yang dalam hidupnya memang menjalankan pekerjaan-pekerjaan seperti berjalan, duduk, dan sakit. Dari kenyataan ini, Aristoteles berkesimpulan bahwa benda itu mempunyai keberadaan yang lebih bebas dari kata kerja, benda itu lebih pokok daripada kegiatan.
Pada akhir abad 19, seorang Filsuf [[Jerman]], Meinong, berkata bahwa setiap tutur yang bermakna di dalam kalimat tentulah mempunyai ''referent'' (acuan). Kalau tidak, maka tutur itu tidak akan bermakna, sehingga tentulah istilah itu ada benda acuannya. Kalau benda acuan itu tidak dapat dilihat di sekitar kita, maka tentulah benda itu ada dengan cara keberadaan yang lain.
Pada abad dua puluh ini, ada aliran filsafat yang disebut ''logica atomism''. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain ialah [[Bertrand Russell|Bertrand Russel]] dan [[Ludwig Wittgenstein]]. Berkenaan dengan hal ini, Russel berkata antara lain: ”...di dalam simbolisme yang benar dan logis, antara fakta dan simbol yang melambangi fakta itu tentulah terdapat struktur yang beridentitas jelas. Kekompleksitasan simbol tentu menyerupai kekompleksitasan fakta yang dilambangkannya.”
Dalam hal ini, Russel mengisyaratkan bagaimana sebaiknya bahasa itu. Bahasa yang benar dan logis seharusnya dapat merepresentasikan apa saja yang ada di dalam alam sekitar kita secara jelas.
Baris 26 ⟶ 28:
=== Epistemologi ===
Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan menaruh perhatian kepada bahasa dalam beberapa aspek, terutama dalam masalah pengetahuan ''a priori'', yakni pengetahuan yang dianggap sudah diketahui tanpa didasarkan pada pengalaman yang sudah dialami secara nyata. Sebagai misal ialah pengetahuan manusia dalam hal [[matematika]]. Pengetahuan matematika ini memusingkan para filsuf. Bagaimana
=== Reformasi Bahasa ===
Baris 35 ⟶ 37:
Jadi, dalam hal ini, ada dua pandangan yang berbeda terhadap bahasa ini. ''Pertama'', pandangan yang mengatakan bahwa bahasa itu masih dapat berfungsi untuk menjadi sarana pengantar filsafat. Akan tetapi, dalam pengalaman pemakaian ini tidak baik, karena si pemakai sendirilah yang salah. Si pemakai menyimpang dari cara pemakaian bahasa yang baik dan yang benar, tanpa memberikan makna apa-apa terhadap penyimpangan yang mereka lakukan. Dalam kelompok ini terdapatlah misalnya orang-orang seperti Locke dan Ludwig Wittgenstein. Locke tidak menyukai jargon ''scholastik''. Wittgenstein berkata bahwa kebanyakan masalah yang timbul dalam pembicaraan filsafat berasal dari kenyataan bahwa para filsuf menggunakan terminologi (istilah) secara menyimpang, berlainan dengan makna yang sebenarnya.
Orang-orang dari kelompok kedua berpendapat bahwa bahasa yang
== Aturan-aturan terpokok suatu bahasa ==
Bahasa yang digunakan dalam uraian kefilsafatan terdiri dari seperangkat istilah dan seperangkat pernyataan yang dibentuk dari istilah-istilah tertentu ditambah dengan istilah-istilah lain dalam maknanya yang lazim, yang diambilkan dari bahasa yang digunakan oleh sang filsuf (misalnya bahasa Inggris). Suatu bahasa yang lengkap terdiri dari seprangkat istilah dan tiga perangkat aturan.
Perangkat aturan pertama bersifat [[Semantik|''semantik''.]] Aturan-aturan ini menerangkan hubungan antara ungkapan-ungkapan bahasa dengan hal-hal yang ditunjukkan. Aturan-aturan tersebut dapat dibagi lebih lanjut sebagai berikut:
* Aturan-aturan pembentukan. Aturan-aturan ini menerangkan kapankah seperangkat tanda menunjukkan suatu pertanyaan. Misalnya, ada aturan: “Bila ada ungkapan yang terdiri dari suatu kata benda, kata kerja ‘adalah’, dan suatu [[kata sifat]], maka hasilnya akan berupa suatu pernyataan.”
* Aturan-aturan yang melukiskan apakah yang ditunjuk oleh macam-macam tanda tertentu. Aturan-aturan ini mengatakan bahwa kata-kata benda menunjukkan orang, tempat, atau barang, dan bahwa sebutan menunjukkan ciri-ciri.
* Aturan-aturan yang melukiskan bilamanakah suatu pernyataan dikatakan mengandung ‘kebenaran’. Aturan-aturan ini dapat memberikan batasan pengertian mengenai hubungan kebenaran. Misalnya, pernyataan sederhana seperti “Saya merasa dingin,” dikatakan benar jika, dan hanya jika, saya sungguh-sungguh merasa dingin.
Baris 94 ⟶ 96:
'''3. Tingkat Tutur sebagai Penyampai Rasa Hormat'''
Di dalam masyarakat, orang yang satu harus berhubungan dengan orang yang lain. Orang lain ini barangkali ayahnya sendiri, adiknya, tetangganya, teman sekelasnya, kenalan baru, atau orang lain yang kebetulan berpapasan di jalan. Di dalam relasi ini, orang dituntut menentukan sikapnya, yaitu akan menganggap lawan tutur sebagai orang yang perlu dihormati atau tidak. Orang lain itu perlu dipastikan dalam jaringan hubungannya dengan si penutur. Kalau
Bahasa biasanya mempunyai cara-cara untuk menyatakan rasa hormat atau tidak hormat kepada orang lain. Ada masyarakat yang menganggap sudah cukup untuk menyampaikan rasa hormat itu dengan cara berelasi yang berjarak, tetapi ada masyarakat lain yang menyatakan relasi hormat itu dengan kode bahasa yang khusus. Yang pertama bertutur bahasa secara biasa, sedangkan yang kedua memerlukan istilah ''honorific'' (hormat) untuk menyampaikan perasaan hormat itu.
|