Trilaksana: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Faredoka memindahkan halaman Tiga Karakteristik ke Tilakkhaṇa dengan menimpa pengalihan lama |
|||
(74 revisi perantara oleh 29 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Buddhisme|dhamma}}
'''Tiga Karakteristik''' ([[bahasa Pali|Pali]]: ''Tilakkhaṇa''; [[bahasa Sanskerta|Sanskerta]]: ''Trilakṣaṇa''), dikenal juga sebagai '''Tiga Corak Umum''' atau '''Tiga Corak Universal''', merupakan konsep [[Buddhisme]] mengenai tiga ciri umum kenyataan eksistensi, yaitu [[Anicca|ketidakkekalan]], [[Dukkha|penderitaan]], dan [[Anatta|tanpa-Aku]] (tanpa-inti atau tanpa-roh). Ketiga ciri tersebut berlaku pada semua fenomena yang dikondisikan. Ciri ketiga, yaitu [[Anatta|tanpa-Aku]], juga menjadi ciri dari semua fenomena yang tidak dikondisikan.<ref>{{Cite web|last=Anggara|first=Indra|title=AN 3.136: Uppādāsutta|url=https://suttacentral.net/an3.136/id/anggara|website=SuttaCentral|access-date=2022-09-18}}</ref>
==Dasar teks ==
{{Verse translation|Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṁ anuppādā vā tathāgatānaṁ, ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe saṅkhārā aniccā. Taṁ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe saṅkhārā aniccā’ti.
Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṁ anuppādā vā tathāgatānaṁ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe saṅkhārā dukkhā. Taṁ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe saṅkhārā dukkhā’ti.
Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṁ anuppādā vā tathāgatānaṁ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe dhammā anattā. Taṁ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe dhammā anattā’”ti.|Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena terkondisi adalah tidak kekal.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah tidak kekal.’
* '''Ketidak-kekalan''' ([[Pali]]: ''Anicca'' ;[[Sansekerta]]: ''anitya''); ini menunjukkan bahwa semua kondisi akan hilang atau tidak kekal, tetapi juga menunjukkan semua kondisi pada situasi yang terus berputar (bayangkan sebuah daun tumbuh dari sebuah pohon, daun itu akan rontok dari pohon dan digantikan dengan daun yang baru)▼
Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena terkondisi adalah penderitaan.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah penderitaan.’
* '''Penderitaan''' ([[Pali]]: ''Dukkha'' ; [[Sansekerta]]: ''duhkha''); sering pula diterjemahkan sebagai "ketidak-puasan". arti filosofisnya lebih menyerupai "kegelisahan", selayaknya berada dalam keadaan terganggu. Dengan demikian, "penderitaan" merupakan artian yang terlalu sempit untuk "konotasi emosional yang negatif" (Jeffrey Po),<ref>{{en}} Jeffrey Po, [http://www.4ui.com/eart/172eart1.htm “Is Buddhism a Pessimistic Way of Life?”] </ref>▼
Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’}}
* '''Tanpa Inti''' ([[Pali]]: ''Anatta'' ; [[Sansekerta]]: ''anatman''); atau ke Tidak-akuan, impersonal, atau Tanpa-Ego, adalah antipola dari konsep "Diri" atau Ego. Dalam tradisi Hindu ada kebenaran yang mengikat segala fenomena atau zat pengikat segala hal ihwal ([[Sanskrit]]: "Atman"). ''Anatta'' merupakan suatu ciri umum yang dimiliki oleh segenap perakitan fisik dan komponen psikologis. Karena semua perakitan ini secara tersendiri tunduk kepada perubahan terus menerus dan tetap, tanpa ada kontrol dari diri pengamat. Pengenalan anatta adalah apabila pengamat dapat melihat bahwa sesungguhnya segala hal-ihwal tidak memiliki inti pusat (atau inti sari - [[Pali]]: ''suññata''). Karena kekosongan makna ini maka sikap yang manusia yang logis adalah tidak berpamrih.▼
{{center|'''Uppādā Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.136'''}}
Dalam filosofi Buddhis, [[Sang Buddha]] menyimpulkan bahwa semua fenomena materi ([[Pali]]: ''rūpa'') dan semua fenomena batin ([[Pali]]: ''nāma''), atau [[Khandha|Pañcakkhandha]], ditandai oleh tiga ciri umum ini.
== Anicca ==
{{main|Anicca}}{{rapikan}}
▲
Semua gejala (hal-hal dan pengalaman) adalah berubah-ubah, goyah, dan tidak tetap. Segalanya kita dapat alami melalui pikiran kita yang terdiri dari komponen, dan bergantung pada sisi kanan kondisi-kondisi untuk keberadaannya. Segalanya merupakan perubahan terus menerus tanpa henti, dan demikian kondisi-kondisi dan hal tersebut secara senantiasa berubah. Hal-Hal secara konstan berdiri; mendapat, dan berhenti untuk; menjadi. Tidak ada apapun yang tidak berakhir.▼
▲
Nilai yang penting di sini adalah gejala itu muncul dan berhenti menurut kondisi-kondisi kompleks dan tidak menurut sikap dan imajinasi kita. Selama kita sudah membatasi kemampuan untuk mempengaruhi perubahan kepada lingkungan dan kemelekatan kita, pengalaman memberitahukan kita bahwa usaha kita yang lemah adalah bukan jaminan bahwa hasil dari usaha kita adalah untuk kegemaran/kesukaan kita. Lebih sering daripada tidak bahwa, hasil yang kita dapat lebih rendah daripada hasil yang kita harapkan.▼
▲Nilai yang penting di sini adalah gejala itu muncul dan berhenti menurut kondisi-kondisi kompleks dan tidak menurut sikap dan imajinasi kita. Selama kita sudah membatasi kemampuan untuk
Dalam tradisi Mahayana, sebuah penekanan ditambahkan: seseorang sebaiknya senantiasa bermeditasi akan ketidak-kekalan dan sifat sementara akan susunan dan fenomena, tetapi ia harus siaga supaya tidak meluaskan pengertian ini kepada alam Nirwana, dimana ketidak-kekalan tidak berpengaruh. Dalam pandangan demikian, sifat kenyataan yang sesungguhnya menjadi terbebas dari noda akan pikiran yang mendua, dan oleh karena itu tidak dinamai sebagai 'satu' atau 'yang lain' (contoh 'kekal' atau 'tidak kekal').
Baris 26 ⟶ 29:
Dzongsar Jamyang Khyentse Rinpoche menegaskan dalam empat segel tradisi Mahayana, Nirwana harus dilihat sebagai "melampaui kesungguhan". Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa "Dalam banyak filosofi atau keperayaan, hasil akhir adalah sesuatu yang dapat anda pegang dan pertahankan. Hasil akhir adalah satu-satu-ny ahal yang benar-benar nyata. Tetapi nirwana tidak dibuat, jadi ia bukan sesuatu yang dapat anda pegang. Hal ini menunjuk kepada "melampaui kesungguhan".
Kita
== Dukkha ==
{{main|Dukkha}}{{rapikan}}
▲
{{cquote|''Apapun yang tidak kekal adalah subjek untuk berganti, apapun subjek yang akan berganti merupakan subjek yang menderita''▼
▲{{cquote|''Apapun yang tidak kekal adalah subjek untuk berganti, apapun subjek yang akan berganti merupakan subjek yang menderita''|4=Sang Buddha|5=}}
Berusaha untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, kita mungkin mengalami stress ataupun penderitaan – ''dukkha''. Mendapatkan apa yang kita inginkan, kita mungkin menemukan rasa senang dan bahagia. Kemudian, rasa tersebut akan habis dan hilang, kita akan bosan dengan hal tersebut. Bosan merupakan bentuk dari ketidakpuasan (atau penderitaan) dan untuk lepas dari hal tersebut, untuk lepas dari rasa bosan kita akan memaksa diri kita dengan bentuk kesenangan yang baru. Terkadang kita masih tidak rela untuk melepaskan objek yang kita sudah tidak tertarik, kita mulai untuk mengumpulkan dan melekat pada barang dengan sifat menyerakahi daripada membaginya dengan orang lain yang mungkin lebih berguna untuknya daripada untuk kita.
Jika kita belum bosan, mungkin terjadi - mungkin akan terjadi pergantian di dalam keinginan. Peralatan perak mungkin sudah tidak lagi mengkilap atau berkarat atau baju baru mungkin sudah tidak muat. Mungkin barang tersebut juga telah rusak sehingga menyebabkan kesedihan. Pada beberapa kasus mungkin hilang atau dicuri. Dan pada keadaan yang lain, kita menjadi takut kehilangan seperti itu terjadi lagi. Suami dan istri sangat khawatir kehilangan pasangan mereka walaupun pasangan mereka sangatlah setia. Sayangnya hal tersebut menyebabkan kekhawatiran dan ketakutan sehingga kita melakukan hal yang tidak masuk akal, menyebabkan ketidakpercayaan dan pemutusan hubungan yang sangat kita cintai.
Ketika kita ingin berubah seperti ingin menjadi [[dewasa]] ketika masih remaja, kita tidak suka dengan kata ''menua''. Ketika kita berusaha untuk menjadi kaya, kita takut dengan penghematan. Kita sangatlah pemilih
Pada alam Nirwana – Aliran Mahayana – dapat ditemukan kebenaran dan kebahagiaan yang abadi. Nirwana juga merupakan lawan dari persyaratan, sifat fana, dan penderitaan (
== Anatta ==
{{main|Anatta}}{{rapikan}}
▲
Didalam Filosofi orang [[India]], konsep dari suatu Diri disebut [[Atman (Hindu)|atman]] (itu adalah, " jiwa" atau diri metafisis), yang mengacu pada suatu inti sari tak berubah-ubah/permanen yang dipahami berdasarkan atas keberadaan. Konsep ini dan konsep Brahman (''Vedantic Monistic Ideal'') yang dihormati sebagai suatu atman terakhir untuk semua mahluk, dan yang sangat dibutuhkan oleh orang India sebagai metafisika tendensi, logika, dan ilmu pengetahuan; untuk semua hal-hal yang nyata pada suatu dasar dan kenyataan, yang serupa dengan suatu format bersifat persaudaraan.▼
[[Sang Buddha]] menolak semua konsep atman, menekankan tidak ada ketetapan, tetapi perubahan/tidak tetap. Ia mengajar bahwa semua konsep dari suatu diri pribadi adalah substansiil salah, dan dibentuk di dalam dunia ketidak-tahuan. Di dalam sejumlah besar sutra Mahayana (contoh: Sutra Mahaparinirvana, Sutra Tathagatagarbha, Sutra Srimala, dan lainnya), Sang Buddha diperkenalkan sebagai pemberi penjelasan akan pengajaran ini dengan mengatakan bahwa, selama [[Skanda]] (faktor penyusun tubuh fisik dan pikiran) bukan merupakan diri, akan tetapi terdapat sesuatu yang abadi, tidak berubah, sifat kebuddhaan yang bahagia pada seluruh mahluk hidup, yang merupakan sesuatu yang tidak tercipta dan jati-diri Buddha ("Buddha-dhatu") atau "Diri Sejati" akan Sang Buddha sendiri. "Tathagatagarbha" / Sifat Buddha tidak menggambarkan suatu diri yang besar; akan tetapi, merupakan ungkapan bahasa yang positif akan "sunyata" (kehampaan) dan mewakili kemampuan untuk mewujudkan kebuddhaan melalui pelaksanaan ajaran-ajaran Agama Buddha; tujuan pengajaran akan tathagatagarbha (Sifat Buddha) adalah lebih kearah soteriologi daripada secara teoritis.<ref>{{en}} {{cite web|url=http://zencomp.com/greatwisdom/ebud/ebdha191.htm|title=Heng-Ching Shih, "The Significance Of 'Tathagatagarbha' -- A Positive Expression Of 'Sunyata.'"|accessdate=15-08-2009}}</ref>▼
▲
Tubuh suci (atman) ini tidaklah mungkin untuk dibentuk seperti tubuh duniawi, tidak kekal, menderita "ego", yang mana berlawanan. Pada sisi lain, Esensi-Buddha atau Jati-diri Buddha juga seringkali dijelaskan sebagai kemampuan untuk mencapai kebuddhaan ("Buddhahood" - ''Bodhicitta''), daripada gejala yang telah ada yakni pemahaman akan saya atau diri sendiri.▼
▲[[Sang Buddha]] menolak semua konsep atman, menekankan tidak ada ketetapan, tetapi perubahan/tidak tetap. Ia mengajar bahwa semua konsep dari suatu diri pribadi adalah substansiil salah, dan dibentuk di dalam dunia ketidak-tahuan. Di dalam sejumlah besar sutra Mahayana (contoh: [[Mahaparinibbana Sutra|Sutra Mahaparinirvana]], [[Tathagatagarbha Sutra|Sutra Tathagatagarbha]], [[Srimala Sutra|Sutra Srimala]], dan lainnya), [[Sang Buddha]] diperkenalkan sebagai pemberi penjelasan akan pengajaran ini dengan mengatakan bahwa, selama [[Skanda]] (faktor penyusun tubuh fisik dan pikiran) bukan merupakan diri, akan tetapi terdapat sesuatu yang abadi, tidak berubah, sifat kebuddhaan yang bahagia pada seluruh mahluk hidup, yang merupakan sesuatu yang tidak tercipta dan jati-diri Buddha ("Buddha-dhatu") atau "Diri Sejati" akan Sang Buddha sendiri. "Tathagatagarbha" / Sifat Buddha tidak menggambarkan suatu diri yang besar; akan tetapi, merupakan ungkapan bahasa yang positif akan "sunyata" (kehampaan) dan mewakili kemampuan untuk mewujudkan kebuddhaan melalui pelaksanaan ajaran-ajaran Agama Buddha; tujuan pengajaran akan tathagatagarbha (Sifat Buddha) adalah lebih kearah soteriologi daripada secara
▲Tubuh suci (atman) ini tidaklah mungkin untuk dibentuk seperti tubuh duniawi, tidak kekal, menderita "ego", yang mana berlawanan. Pada sisi lain, Esensi-Buddha atau Jati-diri Buddha juga
Konsep Anatta di diskusikan dalam "Pertanyaan Raja Milinda", yang dirangkum pada periode "Hellenistik" Kerajaan Indo-Yunani abad ke 2 dan ke 1 SM. Pada naskah ini, bhikkhu Nagasena menunjukkan pengertian akan "tanpa-inti" yang sesungguhnya dengan mengumpamakan mahluk hidup sebagai sebuah kereta perang dan menantang raja Yunani "Milinda (Menaher) untuk menemukan inti dari kereta tersebut. Nagasena menyatakan sebagaimana sebuah kereta perang yang terbuat dari berbagai benda, tidak satupun daripadanya merupakan inti dari kereta perang sesungguhnya, tanpa bagian lain, sama seperti tidak adanya bagian dari seseorang yang merupakan suatu entitas sejati; kita dapat dibagi menjadi lima faktor pendukung - tubuh, perasaan, cerapan, bentukan mental dan kesadaran - kesadaran menjadi yang paling dekat dengan pengertian sejati akan "diri", tetapi senantiasa berubah dengan pemikiran baru sebagaimana disebutkan oleh pandangan ini.▼
▲Konsep Anatta di diskusikan dalam [[Milinda Panha|"Pertanyaan Raja Milinda"]], yang dirangkum pada periode "
Menurut beberapa pemikir baik Barat atau Timur, ajaran mengenai "tanpa-inti", dapat diartikan bahwa Agama Buddha merupakan suatu bentuk dari nihilisme atau sesuatu sejenis. Akan tetapi, seorang pemikir seperti Nagarjuna yang telah menjelaskan dengan seksama, Agama Buddha bukan semata-mata menolak pandangan akan keberadaan atau arti, tetapi kepada pembedaan keras dan gegabah antara keberadaan dan ketidak-beradaan, atau lebih antara ada atau tidak ada. Gejala tidaklah berdiri sendiri dari sebab dan kondisi dan tidak berada sebagai suatu hal yang diasingkan sebagaimana kita mengganggapnya demikian. Kurangnya kesejatian, ketidak-berubahan, Diri yang sejati pada mahluk hidup dan benda-benda tidak berarti bahwa mereka tidak mengalami pertumbuhan dan hancur pada taraf tertentu. Tetapi pada tingkat analisa yang lebih lanjut, seseorang tidak dapat mengenali sebuah obyek dari sebab dan kondisinya atau bahkan mengenali antara obyek dan subyek (sebuah pemikiran yang baru oleh para ilmuwan negara barat). Agama Buddha oleh karenanya memiliki banyak kesamaan dengan teori pengalaman (empirisme) negara Barat, faham pragmatis, anti-fondamentalisme, dan bahkan pra-strukturalisme dibandingkan dengan nihilisme.▼
▲Menurut beberapa pemikir baik Barat atau Timur, ajaran mengenai "tanpa-inti", dapat diartikan bahwa [[Agama Buddha]] merupakan suatu bentuk dari nihilisme atau sesuatu sejenis. Akan tetapi, seorang pemikir seperti [[Nagarjuna]] yang telah menjelaskan dengan
Di dalam Nikaya, Sang Buddha dan para pengikutnya seringkali mempertanyakan atau menyatakan "Sesuatu yang tidak sejati, dapat berubah, dapat menderita, yang sesuai untuk dipertimbangkan demikian: 'Inilah saya, ini milik saya, ini adalah diri saya'?" Pertanyaan yang diajukan oleh Sang Buddha kepada pendengarnya apakah gejala persenyawaan sesuai untuk dianggap sebagai diri, yang mana para pendengar setuju bahwa tidaklah berharga untuk dianggap demikian. Dan dalam melepaskan keterikatan akan gejala persenyawaan, orang yang demikian meninggalkan kegembiraan, keinginan dan pendambaan akan gejala persenyawaan dan tidak terikat akan perubahannya. Ketika terbebaskan sepenuhnya dari keterikatan, pendambaan atau keinginan akan lima kelompok, orang yang demikian mengalami, kemudian melampaui penyebab utama dari penderitaan.▼
▲Di dalam [[Nikaya]], [[Sang Buddha]] dan para pengikutnya
Dengan demikian, kebijaksanaan yang mendalam atau [[Prajna|prajñā]] akan tanpa-inti membangkitkan pelenyapan akan penderitaan, dan bukan merupakan debat intelektual akan ada tidaknya diri.
Hanya dengan memahami (bukan dengan pengertian pemikiran semata-mata, tetapi membuatnya menjadi pengalaman nyata) tiga corak umum keberadaan yang dikembangkan oleh seseorang yakni [[Prajna|prajñā]], yang merupakan penawar dari kebodohan yang merupakan akar dari seluruh penderitaan.
== Penafsiran oleh berbagai aliran ==
{{rapikan}}
Beberapa tradisi Agama Buddha menerangkan bahwa Anatta menjelaskan segalanya, dan tidak terbatas pada kepribadian, atau jiwa. Tradisi-tradisi ini menerangkan bahwa Nirwana juga memiliki kualitas yang sama dengan Anatta, akan tetapi [[Nirwana]] (menurut definisi) adalah lenyapnya Dukkha dan Anicca.
[[Nagarjuna]] mengatakan:
{{cquote|Tidak ada sedikit perbedaan pun antara Samsara dan Nirwana|4=[[Mulamadhyamakakarika]] (XXV:19)|5=}}
Ayat ini menunjukkan kita kepada penekanan penting antara dukkha dan nirwana, melalui suatu perdebatan berlandaskan pada anatta. Penekanan terperinci dapat dilihat sebagai suatu petunjuk kepada (dan mungkin sebagai sumber pengembangan akan) vajrayana.
:Jalur sutra ini melarang kita untuk mengenali seluruh dunia (baik internal maupun eksternal) sebagai samsara - perputaran tanpa henti akan penderitaan yang seorang-pun ingin menjadi bagian. Pelatihan kita adalah ''meninggalkan'' pantai samsara.
Di lain pihak, kita diberitahukan bahwa aktivitas tanpa kondisi yang tercerahkan sesungguhnya tidaklah berbeda dari samsara.
:Sedangkan mazhab [[Vajrayana]] melarang kita untuk mengenali seisi dunia sebagai nirwana - suatu kegiatan aktivitas yang mencerahkan tanpa henti yang diharapkan oleh semua orang untuk menjadi bagian. Pelatihan kita adalah ''tiba'' pada pantai nirwana.
Pada tingkat ini, perbedaan antara Sutra dan Vajrayana hanyalah merupakan pandangan (''berangkat'' - ''tiba''), tetapi pelaku pada dasarnya tetap terlibat dalam perkembangan transformatif akan pandangan duniawi-nya, dan dalam konteks ini, pelatihan-pelatihan ini tetapi mendasari perubahan [[psikologis]], perkembangan dasar akan [[Samatha]] atau pelatihan konsentrasi.
Akan tetapi, dalam [[Tantra]] terdapat pelatihan tertentu yang tidak semata-mata menyangkut perubahan psikologis; hal ini bergantung pada ide mendasar bahwa memungkinkan untuk merangsang konsentrasi tingkat tinggi melalui metode psikologis sebagai hasil dari latihan khusus. Tujuan ini tetaplah sama (untuk mencapai pandangan yang membebaskan), tetapi metode ini mencakup sebuah "jalan singkat" untuk pelatihan [[Samatha]].
== Referensi ==
Baris 60 ⟶ 87:
== Lihat pula ==
* [[Buddhisme]]
{{Buddhisme-topik}}
[[Kategori:Buddhisme]]
|