Benteng Baluwerti: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Fachrian Muzaqi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
RaFaDa20631 (bicara | kontrib)
Tag: gambar rusak
(30 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox Historicmilitary buildinginstallation
| name = Benteng Baluwerti / Margi Hinggil
| image=Jokteng Lor Wetan.jpg
| ensign =
| name=Benteng Baluwerti<br>ꦧꦺꦠꦺꦁ​ꦧꦭꦸꦮꦂꦠꦶ
| ensign_size =
| caption=Jokteng Lor Wetan setelah revitalisasi pada tahun 2020
| native_name = ꦧꦺꦠꦺꦁꦧꦭꦸꦮꦂꦠꦶ
| map_type=
| partof = [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat]]
| map_size=
| location = Mengelilingi wilayah kemantren [[Kraton, Yogyakarta]]
| latitude=
| nearest_town =
| longitude=
| country = Indonesia
| location_town=[[Yogyakarta]]
| image = Jokteng Lor Wetan.jpg
| location_country={{flag|Indonesia}}
| alt =
| architect= [[Hamengkubuwana II]]
| caption = Jokteng Lor Wetan setelah revitalisasi pada tahun 2020
| client=
| image2 =
| engineer=
| alt2 =
| construction_start_date=[[1785]]
| caption2 =
| completion_date=[[1787]]
| type = [[Benteng]] pertahanan
| date_demolished=
| coordinates = {{coord|-7.8137278|110.3629074|display=inline,title}}
| cost=
| gridref =
| structural_system=
| image_map =
| style= [[Benteng]]
| image_mapsize =
| size=
| image_map_alt =
| image_map_caption =
| pushpin_map =
| pushpin_mapsize =
| pushpin_map_alt =
| pushpin_map_caption =
| pushpin_relief =
| pushpin_image =
| pushpin_label =
| pushpin_label_position =
| pushpin_mark =
| pushpin_marksize =
| ownership = [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]]
| operator =
| controlledby =
| open_to_public = Tertutup, bangunan berstatus [[cagar budaya]]
| site_other_label =
| site_other =
| site_area = {{convert|14000|m2|sqmi|abbr=on}}
| code =
| built = {{start year|1785}}
| used =
| builder =
| materials = [[Batu bata]] plesteran
| height = {{convert|3,5|m|ft|abbr=on}}
| length = <!-- for border fences or other DMZs -->
| fate =
| condition = Tersisa 2 plengkung dan empat pojok beteng. Proses revitalisasi sedang berjalan.
| battles = 1812: [[Geger Sepehi]]
| events =
| current_commander =
| past_commanders =
| garrison =
| occupants =
| designations =
| website =
| footnotes =
}}
'''Benteng Baluwerti''' ({{lang-jv|ꦧꦺꦠꦺꦁ​ꦧꦭꦸꦮꦂꦠꦶꦧꦺꦠꦺꦁꦧꦭꦸꦮꦂꦠꦶ|Bètèng Baluwarti}}), juga disebut sebagai '''Benteng''' '''Margi Hinggil''', merupakan sebuah dinding yang mengelilingi kawasan [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat]]. Dinding ini didirikan atas prakarsa Sultan Hamengku Buwono[[Hamengkubuwana II]] ketika masih menjadi putra mahkota pada tahun 1785-1787. Bangunan ini kemudian diperkuat lagi sekitar 1809 ketika dia telah menjabat sebagai Sultan.
 
Benteng ini dinamai dengan ''baluwerti'', yang kelak diserap dalam kata bahasa Indonesia sebagai ''[[wikt:baluarti|baluarti]]'' "benteng", yang makna awalnya adalah "jatuhnya peluru laksana hujan". Benteng Baluwerti berfungsi untuk melindungi Keraton dari ancaman luar.<ref>{{Cite web|url=http://kratonpedia.com/article-detail/2011/8/31/149/Benteng.Baluwerti.html|title=Benteng Baluwerti|last=|first=|date=|website=KRATONPEDIA.com: Portal Informasi Budaya Kaum Muda Indonesia|access-date=2019-08-10}}</ref><ref name=":0">{{Cite journal|last=Yuniarso|first=A.|year=2012|title=Dua Benteng di Tengah Kota, Bersandingan Sepenembakan Meriam|url=|journal=Majalah Kabare|volume=Desember 2012|issue=|pages=18-21|doi=}}</ref>
 
== Sejarah ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een koets passeert een hoektoren van de muren rond de kraton Yogyakarta TMnr 10002076.jpg|ki|jmpl|Salah satu bagian pojok beteng pada masa lalu.]]
Benteng Baluwerti dibangun atas prakarsa [[Hamengkubuwana II|Pangeran Adipati Anom]], putra mahkota Sultan Hamengku Buwono I, sebagai reaksi atas berdirinya benteng Kumpeni di sebelah utara Keraton. Benteng Kumpeni yang dibangun antara tahun 1765 hingga 1787 itu, dikenal dengan nama Benteng Rustenburg, kini [[Benteng Vredeburg]]. Pembangunan Benteng Baluwerti ditandai dengan ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi "''Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara''" yang bermakna tahun 1785 [[Masehi]]. Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Daendels, pada bulan November 1809, Pangeran Adipati Anom yang telah naik takhta menjadi Sri Sultan [[Hamengku Buwono II]], menyempurnakan bangunan ini. Meriam-meriam yang dipasang pada benteng Baluwerti diyakini merupakan lucutan senjata-senjata [[Vereenigde Oostindische Compagnie|VOC]] dari awal 1785.<ref>{{Cite book|title=Kisah para leluhur dan yang diluhurkan dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru|last=Poespaningrat|first=P.|publisher=PT BP [[Kedaulatan Rakyat]]|year=2008|isbn=|location=Yogyakarta|page=}}</ref><ref name=":0" />
Benteng Baluwerti dibangun atas prakarsa [[Hamengkubuwana II|Pangeran Adipati Anom]], putra mahkota [[Hamengkubuwana I]], sebagai reaksi atas berdirinya benteng Kumpeni di sebelah utara Keraton. Benteng Kumpeni yang dibangun antara tahun 1765 hingga 1787 itu, dikenal dengan nama Benteng Rustenburg, kini [[Benteng Vredeburg]]. Pembangunan Benteng Baluwerti ditandai dengan ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi "''Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara''" yang bermakna tahun 1785 [[Masehi]]. Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Daendels, pada bulan November 1809, Pangeran Adipati Anom yang telah naik takhta menjadi Sri Sultan Hamengkubuwana II, menyempurnakan bangunan ini. Meriam-meriam yang dipasang pada benteng Baluwerti diyakini merupakan lucutan senjata-senjata [[Vereenigde Oostindische Compagnie|VOC]] dari awal 1785.<ref>{{Cite book|title=Kisah para leluhur dan yang diluhurkan dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru|last=Poespaningrat|first=P.|publisher=PT BP [[Kedaulatan Rakyat]]|year=2008|isbn=|location=Yogyakarta|page=}}</ref>
 
Kata ''baluwerti'' diserap dari kata [[bahasa Portugis]], ''{{Lang|pt|baluarte}}'', yang berarti "benteng". Proyek benteng tersebut memang dibangun segera setelah selesainya pembangunan [[Taman Sari Yogyakarta|Taman Sari]] yang diyakini juga dibangun dengan jasa arsitek dari Portugis.{{Sfn|Suharmaji|2020|p=51}}
 
=== Keruntuhan dan revitalisasi 2020–sekarang ===
Hingga tahun 2024, Benteng Baluwerti berubah menjadi jajaran permukiman penduduk. Terdapat tiga peristiwa penting yang menyebabkan benteng ini satu persatu menghilang, yaitu [[Geger Sepehi|Geger Sepoy]], [[gempa bumi Jawa 1867]], dan [[Pendudukan Jepang di Hindia-Belanda|masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda]]. Geger Sepoy menyebabkan ''bastion'' di timur laut runtuh. Gempa bumi Jawa 1867 menyebabkan banyak [[abdi dalem]] [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat]] kehilangan tempat tinggal. Sultan [[Hamengkubuwana VI]] mengizinkan setiap abdi dalem untuk menempati tempat-tempat terbuka di sisi benteng untuk dijadikan rumah tinggal. Pada masa pendudukan Jepang, rakyat Yogyakarta merasa ketakutan karena perilaku tentara Jepang yang dianggap kejam. Mereka meminta perlindungan kepada [[Hamengkubuwana IX]] agar dibuatkan permukiman penduduk di sisi dalam benteng.{{Sfn|Suharmaji|2020|p=53-54}}
 
Dalam rangka menyukseskan [[Sumbu Filosofis Yogyakarta]] sebagai [[Daftar Situs Warisan Dunia di Indonesia|Situs Warisan Dunia]], Keraton dan Dinas Kebudayaan (''Kundha Kabudayan'') DIY memulai merevitalisasi benteng. Bagian pertama yang dibangun kembali adalah Pojok Beteng Lor Wetan, yang runtuh semenjak peristiwa Geger Sepoy dan dilakukan sepanjang tahun 2020 bertepatan dengan awal [[pandemi Covid-19 di Indonesia]].<ref>{{Cite web|last=Media|first=Harian Jogja Digital|title=Ganti Rugi Revitalisasi Jokteng Wetang Tuntas, Lahan Harus Segera Dikosongkan|url=https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2020/02/27/510/1032936/ganti-rugi-revitalisasi-jokteng-wetang-tuntas-lahan-harus-segera-dikosongkan|website=Harianjogja.com|language=en|access-date=2024-06-19}}</ref> Pada 27 Juli 2020, pojok beteng ini berhasil direstorasi.<ref>{{Cite web|title=Revitalisasi Jokteng Lor Wetan Selesai, Ini Wajah Barunya|url=https://www.gudeg.net/read/15978/revitalisasi--jokteng-lor-wetan-selesai-ini-wajah-barunya.html|website=www.gudeg.net|language=id|access-date=2024-06-19}}</ref> Selanjutnya, selama kurun waktu 2022–2023, dibangun tembok benteng (Margi Hinggil) dengan bentuk yang serupa dengan tembok asli, dimulai dari timur Plengkung Wijilan hingga Pojok Beteng Lor Wetan, kemudian ke arah Plengkung Madyasura. Proses revitalisasi benteng bagian ini selesai pada akhir 2023.<ref>{{Cite web|last=RIATMOKO|first=FERGANATA INDRA|date=2024-01-16|title=Pemugaran Benteng Margi Hinggil Ditargetkan Selesai 2025|url=https://www.kompas.id/baca/foto/2024/01/16/pemugaran-benteng-margi-hinggil-ditargetkan-selesai-2025|website=kompas.id|language=id|access-date=2024-06-19}}</ref> Pada tahun 2024, semua rumah, tempat ibadah, dan tempat kegiatan usaha yang berdiri di atas bekas benteng, dibongkar total, dan proyek dilanjutkan pada ruas Plengkung Madyasura hingga Pojok Beteng Kidul Wetan. Masyarakat yang tinggal turun-temurun di bekas benteng mendapatkan uang mirip ganti rugi yang disebut ''bebungah''.<ref>{{Cite web|last=Pangaribowo|first=W.S.|last2=Putri|first2=G.S.|date=2024-05-27|title=Revitalisasi Benteng Keraton, Disbud DIY Targetkan Tahun Ini Selesai Beri "Bebungah"|url=https://yogyakarta.kompas.com/read/2024/05/27/155658078/revitalisasi-benteng-keraton-disbud-diy-targetkan-tahun-ini-selesai-beri|website=kompas.com|access-date=2024-06-19}}</ref>
 
== Bentuk bangunan ==
 
Benteng ini awalnya dibangun menggunakan jajaran gelondongan kayu, kemudian diubah menjadi permanen dengan tembok bata plesteran dengan campuran pasir, batu gamping, dan tumbukan bata merah. setebal {{Convert|5,5|cm|in}} dengan longkangan selebar {{Convert|2,4|m|ft}} dan diurug menggunakan tanah hasil menggali ''jagang'' mencapai setinggi {{Convert|3,7|m|in}} di atas lapisan tanah awal. Tinggi benteng sisi luar dinaikkan lagi sebesar {{Convert|1,5|m|ft}}.{{Sfn|Suharmaji|2020|p=53}}
Benteng Baluwerti berbentuk [[persegi]] mengelilingi kompleks keraton seluas lebih kurang 14.000 m². Tembok benteng setinggi 3,5 meter dan lebar antara 3-4 meter yang membentuk anjungan. Tebalnya tembok benteng memungkinkan orang atau kereta kuda dapat melintas di atasnya. Sisa anjungan pada tembok Benteng Baluwerti masih bisa disaksikan pada sisi selatan sebelah timur. Anjungan ini dilengkapi dengan meriam serta lubang yang dapat memungkinkan para prajurit keraton dapat tiarap dengan nyaman dan leluasa. Di sisi luarnya, terdapat sebuah selokan (''jagang'') yang memiliki jembatan gantung di tiap gerbang masuk "wilayah keraton" (''jeron beteng)'', serta ditanami pohon [[gayam]] di pinggirnya.
 
Tembok asli benteng sampai saat ini masih utuh pada sisi selatan sebelah timur (timur Plengkung Nirbaya). Tembok ini dilengkapi dengan meriam serta lubang yang dapat memungkinkan para [[bregada|prajurit keraton]] dapat tiarap dengan nyaman dan leluasa. Di sisi luarnya, terdapat sebuah selokan (''jagang'') yang mengitari benteng dan dilengkapi dengan jembatan angkat, serta ditanami pohon [[gayam]] sebagai perindang.{{Sfn|Yuniarso|2012|p=19-20}}
== ''Bastion'' ("Pojok Beteng") ==
Setiap sudut benteng ini memiliki ''bastion'' yang dilengkapi dengan meriam dan lubang kecil untuk mengintai musuh. Saat ini ''bastion'' lebih dikenal di kalangan masyarakat Yogyakarta sebagai "Pojok Beteng", disingkat "Jokteng". Pojok beteng ini memiliki arsitektur yang sama di keempat sudutnya.
 
Baluwerti pada dasarnya memiliki bentuk persegi panjang, tetapi di bagian timur lebih panjang. Tembok sisi selatan memiliki panjang {{Convert|1200|m|mi}}, tembok sisi barat {{Convert|940|m|mi}}, dan sisi timur {{Convert|1140|m|mi}}. Perpanjangan ini dilakukan karena benteng ini harus melindungi istana kediaman Putra Mahkota, yang diberi nama Istana Sawojajar. Istana tersebut digunakan hingga masa pemerintahan [[Hamengkubuwana V]]; kemudian pindah ke [[Universitas Widya Mataram|Ndalem Mangkubumen]] di sebelah barat area Keraton pada masa pemerintahan [[Hamengkubuwana VI]].{{Sfn|Suharmaji|2020|p=52}}
Pojok beteng tersebut juga memiliki penamaan berdasarkan arah mata anginnya, yaitu Pojok Beteng Kulon, Pojok Beteng Wetan, Pojok Beteng Lor, dan Pojok Beteng Lor Wetan.
 
== ''Bastion'' (Pojok Beteng) ==
Lokasi Pojok Beteng Kulon (sisi barat daya) adalah di dekat persimpangan yang menghubungkan Jalan Bantul, Jalan Sugeng Jeroni, Jalan [[Wahid Hasyim|K.H. Wahid Hasjim]], dan Jalan [[M.T. Haryono]]. Pojok beteng ini masih utuh dan dahulu memiliki sebuah jalan masuk menuju ''jeron beteng'' (Jalan Nagan Kulon) di sampingnya. Tetapi per 30 Juli 2019, jalan masuk menuju benteng tersebut ditutup sebagai dampak revitalisasi Benteng Baluwerti.<ref>{{Cite news|url=https://jogja.tribunnews.com/2019/07/31/ruas-jalan-pojok-beteng-kulon-ditutup-ini-beberapa-jalur-alternatif-yang-bisa-dilalui|title=Ruas Jalan Pojok Beteng Kulon Ditutup, Ini Beberapa Jalur Alternatif yang Bisa Dilalui|work=[[Tribunnews|Tribunnews.com]]|language=id|access-date=2019-08-10|first=Andreas|last=Desca}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://krjogja.com/web/news/read/106077/Jalan_di_Jokteng_Kulon_Ditutup_Beteng_Disambung_Lagi|title=Jalan di Jokteng Kulon Ditutup, Beteng Disambung Lagi|website=krjogja.com|language=en|access-date=2019-08-10}}</ref>
Setiap sudut benteng ini memiliki ''bastion'' yang dilengkapi dengan meriam dan lubang kecil untuk mengintai musuh. Saat ini ''bastion'' lebih dikenal di kalangan masyarakat Yogyakarta sebagai "Pojok Beteng", disingkat "Jokteng". Pojok beteng ini memiliki bentuk arsitektur yang sama di keempat sudutnya.{{Sfn|Yuniarso|2012|p=20}}
 
Pojok beteng tersebut juga memiliki penamaan berdasarkan arah mata anginnya, yaitu Pojok Beteng Kidul Kulon, Pojok Beteng Kidul Wetan, Pojok Beteng Lor Kulon, dan Pojok Beteng Lor Wetan.
Lokasi Pojok Beteng Wetan (sisi tenggara) adalah di dekat persimpangan yang menghubungkan Jalan Parangtritis, Jalan [[Sutoyo Siswomiharjo|Mayjend Sutoyo]], Jalan [[Sugiyono|Kolonel Sugiyono]], dan Jalan [[Katamso Darmokusumo|Brigjend Katamso]], atau tepatnya ke arah barat dari [[Museum Perjuangan Yogyakarta|Museum Perjuangan]].<ref name=":1">{{Cite web|url=http://yogyakarta.panduanwisata.id/wisata-sejarah-2/pojok-beteng-beteng-pertahanan-keraton-yogyakarta/|title=Pojok Beteng, Beteng Pertahanan Keraton Yogyakarta|last=ipank|website=Wisata Yogyakarta|language=id|access-date=2019-08-10}}</ref>
 
=== Pojok Beteng Kidul Kulon ===
Lokasi Pojok Beteng Lor (sisi barat laut) adalah di dekat bekas emplasemen [[Stasiun Ngabean]], tepatnya di pertigaan Jalan [[Wahid Hasjim|K.H. Wahid Hasjim]] dan Jalan [[Agus Salim|K.H. Agus Salim]] (arah Kauman).<ref name=":1" />
Lokasi Pojok Beteng Kidul Kulon (sisi barat daya) adalah di dekat persimpangan yang menghubungkan Jalan Bantul, Jalan Sugeng Jeroni, Jalan [[Wahid Hasyim|K.H. Wahid Hasjim]], dan Jalan [[M.T. Haryono]]. Pojok beteng ini masih utuh dan dahulu memiliki sebuah jalan masuk menuju ''jeron beteng'' (Jalan Nagan Kulon) di sampingnya. Akan tetapi, per 30 Juli 2019, jalan masuk menuju benteng tersebut ditutup sebagai dampak revitalisasi Benteng Baluwerti.<ref>{{Cite news|url=https://jogja.tribunnews.com/2019/07/31/ruas-jalan-pojok-beteng-kulon-ditutup-ini-beberapa-jalur-alternatif-yang-bisa-dilalui|title=Ruas Jalan Pojok Beteng Kulon Ditutup, Ini Beberapa Jalur Alternatif yang Bisa Dilalui|work=[[Tribunnews|Tribunnews.com]]|language=id|access-date=2019-08-10|first=Andreas|last=Desca}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://krjogja.com/web/news/read/106077/Jalan_di_Jokteng_Kulon_Ditutup_Beteng_Disambung_Lagi|title=Jalan di Jokteng Kulon Ditutup, Beteng Disambung Lagi|website=krjogja.com|language=en|access-date=2019-08-10}}</ref>
 
=== Pojok Beteng Kidul Wetan ===
Satu pojok beteng lagi (Lor Wetan, sisi timur laut), berlokasi di pertigaan Jalan [[Ibu Ruswo]] (arah Alun-alun Utara) dan Jalan Brigjend Katamso, kini hanya menyisakan puing-puingnya karena dihancurkan saat terjadi peristiwa [[Geger Sepehi|Geger Sepoy]] pada masa pendudukan Inggris di Hindia Belanda di bawah Gubernur Jenderal [[Thomas Stamford Raffles|Raffles]] pada tahun 1812<ref>{{Cite web|url=https://merahputih.com/post/read/menelisik-sejarah-pojok-benteng-yogyakarta|title=Menelisik Sejarah Pojok Benteng Yogyakarta|last=Flo|first=Eddy|date=2016-03-21|website=MerahPutih|access-date=2019-08-10}}</ref>. Tahun 2020, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) merevitalisasi pojok beteng lor wetan dengan membangun kembali replika dari bangunan tersebut persis pada tempat asalnya. Pembangunan kembali bagian dari beteng ini sebagai bagian dari keistimewaan DIY, serta mendukung komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh [[UNESCO]]. <ref>{{Cite web|url=https://www.gudeg.net/read/15978/revitalisasi--jokteng-lor-wetan-selesai-ini-wajah-barunya.html|title=Revitalisasi Jokteng Lor Wetan Selesai, Ini Wajah Barunya|last=|first=Rahman|date=2020-07-27|website=gudeg.net|access-date=2022-09-26}}</ref>
Meskipin bernama Pojok Beteng Wetan atau Kidul Wetan secara resmi, letak dari bastion ini berada di tenggara, bukan di timur. Pojok Beteng Kidul Wetan terletak di dekat persimpangan yang menghubungkan Jalan Parangtritis, Jalan [[Sutoyo Siswomiharjo|Mayjend Sutoyo]], Jalan [[Sugiyono|Kolonel Sugiyono]], dan Jalan [[Katamso Darmokusumo|Brigjend Katamso]], atau tepatnya ke arah barat dari [[Museum Perjuangan Yogyakarta|Museum Perjuangan]].<ref name=":1">{{Cite web|url=http://yogyakarta.panduanwisata.id/wisata-sejarah-2/pojok-beteng-beteng-pertahanan-keraton-yogyakarta/|title=Pojok Beteng, Beteng Pertahanan Keraton Yogyakarta|last=ipank|website=Wisata Yogyakarta|language=id|access-date=2019-08-10}}</ref>
 
=== Pojok Beteng Lor Kulon ===
Sama seperti Pojok Beteng Wetan, lokasi Pojok Beteng Lor atau Lor Kulon secara resmi juga sedikit berbeda dari penamaannya (utara), yakni di barat laut. Lokasinya berada di dekat bekas emplasemen [[Stasiun Ngabean]], tepatnya di pertigaan Jalan [[Wahid Hasjim|K.H. Wahid Hasjim]] dan Jalan [[Agus Salim|K.H. Agus Salim]] (arah Kauman).<ref name=":1" />
 
=== Pojok Beteng Lor Wetan ===
Pojok Beteng Lor Wetan atau sisi timur laut, berlokasi di pertigaan Jalan [[Ibu Ruswo]] (arah Alun-alun Utara) dan Jalan Brigjend Katamso, sampai tahun 2020 hanya menyisakan puing-puingnya karena dihancurkan saat terjadi peristiwa [[Geger Sepehi|Geger Sepoy]] pada masa pendudukan Inggris di Hindia Belanda di bawah Gubernur Jenderal [[Thomas Stamford Raffles|Raffles]] pada tahun 1812.<ref>{{Cite web|url=https://merahputih.com/post/read/menelisik-sejarah-pojok-benteng-yogyakarta|title=Menelisik Sejarah Pojok Benteng Yogyakarta|last=Flo|first=Eddy|date=2016-03-21|website=MerahPutih|access-date=2019-08-10}}</ref>
 
Tahun 2020, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dinas Kebudayaan (''Kundha Kabudayan'') merevitalisasi pojok beteng lor wetan dengan membangun kembali replika dari bangunan tersebut persis pada tempat asalnya. Pembangunan kembali bagian dari beteng ini sebagai bagian dari keistimewaan DIY, serta mendukung [[Sumbu Filosofis Yogyakarta]] sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh [[UNESCO]].<ref>{{Cite web|url=https://www.gudeg.net/read/15978/revitalisasi--jokteng-lor-wetan-selesai-ini-wajah-barunya.html|title=Revitalisasi Jokteng Lor Wetan Selesai, Ini Wajah Barunya|last=|first=Rahman|date=2020-07-27|website=gudeg.net|access-date=2022-09-26}}</ref>
 
== Plengkung ==
[[Berkas:Becak Plengkung Gading.jpg|jmpl|Plengkung Nirbaya, salah satu plengkung beteng yang masih tersisa]]
Agar pergerakan dan mobilitas warga, prajurit keraton, dan [[abdi dalem]] lainnya lebih leluasa, setiap sisi benteng memiliki struktur [[Pelengkung|''plengkung'']]. Dinamakan ''plengkung'' karena struktur lubang-lubang pada bangunan ini memiliki penampang bulat, mirip dengan viaduk. Pada bagian dalam plengkung terdapat sebuah kap lampu berbahan bakar minyak tanah/gas, tetapi sudah tak lagi digunakan. Untuk alasan visibilitas pengendara pada malam hari, lampu LED dipasang di sisi luarnya. Setiap plengkung ini dahulu memiliki jembatan gantung, yang diangkat pada jam 20.00 hingga dibuka lagi jam 05.00 dan biasanya ditandai dengan suara [[trompet]] dan [[tambur]] (drum) oleh prajurit-prajurit Keraton.<ref name=":0" /> Nama-nama plengkung tersebut adalah Tarunasura, Jagasura, Jagabaya, Madyasura, dan Nirbaya. Saat ini hanya ada dua plengkung yang benar-benar utuh.
Agar pergerakan dan mobilitas warga, prajurit keraton, dan [[abdi dalem]] lainnya lebih leluasa, setiap sisi benteng memiliki struktur [[Pelengkung|''plengkung'']]. Dinamakan ''plengkung'' karena struktur lubang-lubang pada bangunan ini memiliki penampang bulat, mirip dengan viaduk. Setiap plengkung ini dahulu memiliki jembatan gantung, yang diangkat pada jam 20.00 hingga dibuka lagi jam 05.00 dan biasanya ditandai dengan suara [[trompet]] dan [[tambur]] (drum) oleh prajurit-prajurit Keraton. Nama-nama plengkung tersebut adalah Tarunasura, Jagasura, Jagabaya, Madyasura, dan Nirbaya. Saat ini hanya ada dua plengkung yang benar-benar utuh.{{Sfn|Yuniarso|2012|p=19-20}} Plengkung-plengkung lainnya diubah menjadi gapura atas perintah [[Hamengkubuwana VIII]].{{Sfn|Suharmaji|2020|p=54-55}}
 
Pada bagian dalam plengkung terdapat sebuah kap lampu berbahan bakar minyak tanah/gas, tetapi sudah tak lagi digunakan. Untuk meningkatkan visibilitas pengendara pada malam hari, plengkung-plengkung dilengkapi dengan lampu hias warna-warni.<ref>{{Cite web|last=Solopos.com|first=Redaksi|date=2013-01-01WIB19:48:01+00:00|title=Malam Hari, Plengkung Wijilan dan Gading Berwarna-warni|url=https://jogja.solopos.com/malam-hari-plengkung-wijilan-dan-gading-berwarna-warni-363708|website=Solopos.com|language=id|access-date=2024-06-19}}</ref>
Plengkung Tarunasura, lebih dikenal sebagai Plengkung Wijilan, merupakan plengkung yang lokasinya berada di sayap timur Alun-alun Utara. Tepatnya melewati Jalan Ibu Ruswo lalu berbelok ke arah kanan jika kendaraan bergerak dari Alun-alun. Plengkung ini dapat disebut sebagai "pintu gerbang" menuju pusat rumah makan [[gudeg]] yang kini menjadi masakan legendaris Yogyakarta. Secara etimologis, ''tarunaśura'' berarti "pemuda pemberani" dalam bahasa Jawa kuno. Hal ini diyakini bahwa dahulu plengkung ini dijaga oleh prajurit-prajurit taruna (muda).
 
=== Plengkung Tarunasura ===
Plengkung Jagasura, lebih dikenal sebagai Plengkung Ngasem, merupakan plengkung yang lokasinya berada di sayap barat Alun-alun Utara. Jika kendaraan berjalan dari arah alun-alun, belok kiri ketika menemui perempatan Kauman. Secara etimologis, ''jagaśura'' berarti "pasukan penjaga yang pemberani". Hal ini mengingat adanya "ruang pribadi Sultan", yaitu [[Taman Sari Yogyakarta|Taman Sari]] yang dapat diakses melalui Jalan Ngasem, sehingga harus dijaga ketat oleh prajurit keraton.
[[File:Plengkung Wijilan 2024.jpg|Tampak depan Plengkung Wijilan, 2024|thumb]]
Plengkung Tarunasura, lebih dikenal sebagai Plengkung Wijilan, merupakan plengkung yang lokasinya berada di sayap timur Alun-alun Utara. Tepatnya melewati Jalan Ibu Ruswo lalu berbelok ke arah kanan jika kendaraan bergerak dari Alun-alun. Plengkung ini dikenal karena merupkan "pintu gerbang" menuju pusat rumah makan [[gudeg]]. Secara etimologis, ''tarunaśura'' berarti "pemuda pemberani" dalam bahasa Jawa kuno. Hal ini diyakini bahwa dahulu plengkung ini dijaga oleh prajurit-prajurit taruna (muda).<ref>{{Cite web|last=Susanto|first=Heri|title=Benarkah Seumur Hidup Sultan Jogja Dilarang Melintasi Plengkung Gading?|url=https://www.detik.com/jateng/budaya/d-6135919/benarkah-seumur-hidup-sultan-jogja-dilarang-melintasi-plengkung-gading|website=detikjateng|language=id-ID|access-date=2024-06-19}}</ref>
 
=== Plengkung Jagasura ===
Plengkung Jagabaya, lebih dikenal sebagai Plengkung Tamansari, adalah plengkung di sisi barat benteng. Lokasinya berada di perempatan yang menghubungkan Jalan Kadipaten, Jalan [[Wahid Hasjim|K.H. Wahid Hasyim]], dan Jalan [[Siswondo Parman|Letjend. S. Parman]]. Plengkung ini kini digantikan dengan sebuah gapura. Kata ''jagabaya'' berarti "menjaga dari marabahaya", menggambarkan tugas dan fungsi pasukan pengamanan Sultan, mengingat Taman Sari masih berstatus sebagai "ruang pribadi" Sultan.
Plengkung Jagasura, lebih dikenal sebagai Plengkung Ngasem, merupakan plengkung yang lokasinya berada di sayap barat Alun-alun Utara. Jika kendaraan berjalan dari arah alun-alun, belok kiri ketika menemui perempatan Kauman. Secara etimologis, ''jagaśura'' berarti "pasukan penjaga yang pemberani". Hal ini mengingat adanya "ruang pribadi Sultan", yaitu [[Taman Sari Yogyakarta|Taman Sari]] yang dapat diakses melalui Jalan Ngasem, sehingga harus dijaga ketat oleh prajurit keraton.<ref name=":0">{{Cite web|last=JogjaSuper|date=2018-02-09|title=Sejarah dan Spot Foto Plengkung Gading|url=https://www.jogjasuper.co.id/plengkung-gading-jogja/|website=Paket Wisata Jogja|language=id|access-date=2024-06-19}}</ref>
 
=== Plengkung Jagabaya ===
Plengkung Madyasura, lebih dikenal sebagai Plengkung Gondomanan di sisi timur benteng. Lokasinya berada di pertigaan yang menghubungkan Jalan Brigjend Katamso dengan Jalan Mantrigawen. Plengkung ini juga disebut sebagai "Plengkung Buntet (tersumbat)", karena plengkung ini ditutup penuh pada saat peristiwa Geger Sepoy yang memporakporandakan sisi timur benteng Keraton.<ref name=":0" /> Sejak pemerintahan [[Hamengkubuwana VIII]], plengkung ini berubah wujud menjadi gapura.
Plengkung Jagabaya, lebih dikenal sebagai Plengkung Tamansari, adalah plengkung di sisi barat benteng. Lokasinya berada di perempatan yang menghubungkan Jalan Kadipaten, Jalan [[Wahid Hasjim|K.H. Wahid Hasyim]], dan Jalan [[Siswondo Parman|Letjend. S. Parman]]. Plengkung ini kini digantikan dengan sebuah gapura. Kata ''jagabaya'' berarti "menjaga dari marabahaya", menggambarkan tugas dan fungsi pasukan pengamanan Sultan, mengingat Taman Sari masih berstatus sebagai "ruang pribadi" Sultan.<ref name=":0" />
 
=== Plengkung Madyasura ===
Plengkung Nirbaya, lebih dikenal dengan nama Plengkung Gading, berlokasi di perempatan yang menghubungkan Jalan Gading, Jalan M.T. Haryono, Jalan Mayjend Sutoyo, dan Jalan [[D.I. Pandjaitan]]. Jalan D.I. Pandjaitan ini terus mengarah ke selatan hingga [[Panggung Krapyak]]. Pada masa lalu, khusus untuk Sultan yang bertakhta, tidak diperbolehkan keluar masuk plengkung ini seumur hidupnya. Hal ini karena plengkung ini adalah jalan akses bagi jenazah Sultan yang telah mangkat menuju [[Pemakaman Imogiri]].<ref>{{Cite web|url=https://krjogja.com/web/news/read/3144/Lima_Plengkung_Kraton_yang_Sarat_Sejarah|title=Lima Plengkung Kraton yang Sarat Sejarah|website=krjogja.com|language=en|access-date=2019-08-10}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://krjogja.com/web/news/read/26484/Simpan_Banyak_Cerita_Plengkung_Wijilan_Jadi_Legenda|title=Simpan Banyak Cerita, Plengkung Wijilan Jadi Legenda|website=krjogja.com|language=en|access-date=2019-08-10}}</ref>
Plengkung Madyasura, lebih dikenal sebagai Plengkung Gondomanan di sisi timur benteng. Lokasinya berada di pertigaan yang menghubungkan Jalan Brigjend Katamso dengan Jalan Mantrigawen. Plengkung ini juga disebut sebagai "Plengkung Buntet (tersumbat)", karena plengkung ini ditutup penuh pada saat peristiwa Geger Sepoy yang memporakporandakan sisi timur benteng Keraton. Sejak pemerintahan [[Hamengkubuwana VIII]], plengkung ini berubah wujud menjadi gapura.{{Sfn|Yuniarso|2012|p=20}}
 
=== Plengkung Nirbaya ===
Plengkung Nirbaya, lebih dikenal dengan nama Plengkung Gading, berlokasi di perempatan yang menghubungkan Jalan Gading, Jalan M.T. Haryono, Jalan Mayjend Sutoyo, dan Jalan [[D.I. Pandjaitan]]. Jalan D.I. Pandjaitan ini terus mengarah ke selatan hingga [[Panggung Krapyak]]. Pada masa lalu, khusus untuk Sultan yang bertakhta, tidak diperbolehkan keluar masuk plengkung ini seumur hidupnya. Hal ini karena plengkung ini adalah jalan akses bagi jenazah Sultan yang telah mangkat menuju [[Pemakaman Imogiri]]. Namun sebaliknya, masyarakat sekitar plengkung yang wafat tidak boleh melewati plengkung ini ketika akan dimakamkan dan harus mencari jalan lain, meskipun jarak rumahnya sangat dekat dengan plengkung ini.<ref>{{Cite web|url=https://krjogja.com/web/news/read/3144/Lima_Plengkung_Kraton_yang_Sarat_Sejarah|title=Lima Plengkung Kraton yang Sarat Sejarah|website=krjogja.com|language=en|access-date=2019-08-10}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://krjogja.com/web/news/read/26484/Simpan_Banyak_Cerita_Plengkung_Wijilan_Jadi_Legenda|title=Simpan Banyak Cerita, Plengkung Wijilan Jadi Legenda|website=krjogja.com|language=en|access-date=2019-08-10}}</ref>
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
== Daftar pustaka ==
{{topik Yogyakarta}}
{{commonscat}}
* {{Cite book|last=Suharmadji|first=L.|date=2020|url=https://www.google.co.id/books/edition/GEGER_SEPOY_Sejarah_Kelam_Perseteruan_In/S2Q9EAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=baluwerti+baluarte&pg=PA51&printsec=frontcover|title=Geger Sepoy: sejarah kelam perseteruan Inggris dengan Keraton Yogyakarta, 1812-1815|location=Yogyakarta|publisher=Araska|isbn=9786237537588|ref=harv|url-status=live}}
* {{Cite journal|last=Yuniarso|first=A.|year=2012|title=Dua Benteng di Tengah Kota, Bersandingan Sepenembakan Meriam|url=https://issuu.com/agusyuniarso/docs/cerita_benteng_nusantara__kabare_ma|journal=Majalah Kabare|volume=Desember 2012|issue=|pages=18-21|doi=|ref=harv}}
 
[[Kategori:Bangunan cagar budaya di Indonesia]]
[[Kategori:Cagar budaya peringkat nasional]]
[[Kategori:Cagar budaya di Indonesia]]
[[Kategori:Bangunan bersejarah di Yogyakarta]]
[[Kategori:Tempat wisata di Yogyakarta]]
[[Kategori:Cagar budaya Indonesia di Yogyakarta]]
[[Kategori:Kraton, Yogyakarta]]
[[Kategori:Benteng di Indonesia]]
 
 
{{bangunan-indonesia-stub}}
{{yogyakarta-stub}}