Jurnalis amplop: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Mengganti kategori Jurnalisme di Indonesia dengan Kewartawanan di Indonesia
 
(12 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 2:
{{rapikan}}
 
'''Jurnalis amplop''' adalah sebuah istilah yang sering digunakan bagi para jurnalis karena tujuanmengarah pada pemberian 'amplop' kepada para jurnalis yakni, demi 'menjinakkan' mereka<ref>{{Cite journal|last=Nurjanah|first=Adhianty|last2=Widyasari|first2=Wulan|last3=Yulianti|first3=Frizki Yulianti|date=2015-06-01|title=WARTAWAN DAN BUDAYA AMPLOP (BUDAYA AMPLOP PADA WARTAWAN PENDIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN MEDIA RELATIONS)|url=http://dx.doi.org/10.21831/informasi.v45i1.7766|journal=INFORMASI|volume=45|issue=1|pages=15|doi=10.21831/informasi.v45i1.7766|issn=2502-3837}}</ref>. Tetapi bagi sebagian besar orang, menganggap bahwa pemberian amplop ini dilakukan sebagai bentuk untuk menjaga relasi dengan para wartawan. Itulah sebabnya, pemberian amplop pada jurnalis hingga kini masih 'membudaya' dan berlangsung secara terus-menerus. Amplop yang diberikan, kini menjadi salah satu alasan pengkategorian jurnalis. Sebagian merasa bahwa tindakan yang dilakukan sangat menghancurkan martabat serta harga diri dari seorang jurnalis. Tetapi sebagian yang lainnya merasa bahwa amplop yang diberikan hanyalah bentuk silaturahmi biasa dan tidak perlu dihubungkan dengan proses pembuatan berita.
 
Masih banyak terjadi polemik atas kehadiran jurnalis amplop bagi para wartawan, salah satunya dengan menganggap bahwa jurnalis amplop ini merupakan bentuk kekerasan kepada pers<ref>Nurjanah, A., Widyasari, W., & Yulianti, F. (2015). Public relations & media relations (kritik budaya amplop pada media relations institusi pendidikan di Yogyakarta). Jurnal Komunikasi, 7(1), 41-56.</ref>. Pernyataan bahwa terjadinya kekerasan non fisik kepada pers yakni pada saat seorang wartawan tidak lagi independen dalam membuat suatu berita hanya karena pemberian 'amplop' oleh ''public relations''. Ditemukan bahwa sebagian besar praktisi ''Public Relations'' beranggapan bahwa solusi terbaik dalam menjaga hubungan agar tetap baik dengan rekan-rekan wartawan yaitu dengan 'memberikan' berbagai hal. Dari sini salah satunya yakni dengan pemberian 'amplop’ kepada wartawan. Sebenarnya selain amplop, fasilitas lain juga dapat diberikan, misalnya seperti kendaraan, voucher, dan lainnya yang dirasa akan menguntungkan pihak wartawan. Tetapi dari seluruh kegiatan ini, yang paling banyak diberikan kepada wartawan yakni dalam bentuk uang tunai atau lewat amplop.
 
== Bentuk Jurnalis Amplop ==
Jurnalis amplop merupakanadalah sebutan dari wartawan yang menerima suap dari narasumber, tindakannyatindakan ini mencemarkan kualitas pers di Indonesia. Pemberian amplop kepada jurnalis sering kali dilakukan untuk menjalin silaturahmihubungan yang positif dengan wartawan, akansisi tetapinegatif terdapatjuga sisiberada negatifdidalamnya karena mengandung kecurigaan yang terselubung. Meskipun diakui oleh wartawan bahwa pemberian amplop kepada wartawan bukanlah hal yang baru malahdan sulit dilepaskan dari dunia jurnalistik karena memang sudah membudaya. Akhirnya pemberian amplop kepada wartawan ini terjadi seperti biasa yang berlangsung secara terus menerus. <ref>Nurnisya, Yulianti, Frizki., Widyasari, Wulan., & Nurjanah, Adhianty. (2015). Wartawan dan budaya amplop (budaya amplop pada wartawan pendidikan dalam kaitannya dengan media relations). ''Jurnal INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi, 45''(1), 15-24. </ref> Pemberian amplop kepada wartawan pada akhirnya juga menimbulkan dualisme di kalangan wartawan sendiri. Sebagian merasa hal tersebut merendahkan profesi wartawan, namun tidak sedikit yang menganggap amplop tersebut hanyalah bentuk silaturahmi dari instansi dan tentu tidak akan mengganggu proses netralitas pemberitaan didalam medianyamedia.
 
Praktik  jurnalis amplop sudah menjadi fenomena dan budaya tersendiri dalam pers Indonesia. Praktik ini merujuk pada segala sesuatu dari narasumber misal makanan, tiket gratis, uang dan lain-lain yang diberikan pada jurnalis yang kemudian jurnalis yang melakukan praktik ini sering disebut jurnalis amplop. Jurnalis amplop sering dilakukan oleh institusi pemerintahan, swasta, pendidikan dan umum. Pada umumnya suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat, hal itu dilakukan agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan tertentu ataupun agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum. bentukBentuk-bentuk hadiah jurnalis amplop yaitu <ref>{{Cite journal|last=Lewi Pramesti|first=Olivia|date=2014-08-18|title=Penerapan Kode Etik di Kalangan Jurnalis|url=http://dx.doi.org/10.24002/jik.v11i1.386|journal=Jurnal ILMU KOMUNIKASI|volume=11|issue=1|doi=10.24002/jik.v11i1.386|issn=2548-8643}} </ref> :
 
# Secara langsung memberi uangUang dengan amplop.
# MemberikanBingkisan melalui bingkisan sepertiberupa tunjangan hari raya atau souvenir, kegiatan ''press tour'', undangan makan bersama, tiket gratis dan pemberian pulsa.
# Pemberian dari narasumber tanpa bayaran seperti tiket gratis menonton pertandingan, undangan makan, parcel dan amplop saat jumpa pers.
# Pemberian berupa saham, tas brandedbermerek, kenaikan pangkat, dan jabatan.
 
== Jurnalisme AmplopSejarah di Indonesia ==
Istilah jurnalisme amplop dalam kehidupan pers di Indonesia sudah ada sejak tahun 2005. Pada mulanya, jurnalisme amplop dikenal sebagai ‘wartawan amplop’ yaitu jurnalis yang menerima berbagai pemberian dalam bentuk apapun dari narasumber. Praktik penerimaan amplop identik dengan etika jurnalistik yang akan memengaruhi jurnalis itu sendiri dalam menulis dan melaporkan berita. Pemberian fasilitas berupa uang atau barang kepada jurnalis sudah terjadi pada tahun 1940-an. Pers di Indonesia pada awal kemerdekaan masih bersifat pers perjuangan. Memasuki era orde baru, praktik suap di kalangan jurnalis semakin terlihat dari banyaknya jurnalis yang menerima amplop. Pada tahun 1989, terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh EH Kartanegara kepada 82 wartawan untuk melihat perilaku wartawan terhadap amplop. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa 76 wartawan mengaku telah menerima amplop. Seiring berjalannya waktu, wartawan semakin berani meminta amplop kepada narasumber secara terang-terangan<ref>Moebin, A. A. (2020). Strategi komunikasi AJI Bojonegoro dalam mencegah praktik jurnalisme amplop. ''Jurnal Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Sosial Keagamaan'', ''20''(1), 57-80. <nowiki>https://ejournal.uinsatu.ac.id/index.php/dinamika/article/view/3272/1355</nowiki></ref>
 
Baris 22:
 
== Dampak dan Kaitannya dengan Kode Etik Jurnalistik ==
Dari Kasuskasus-kasus diatasdi atas tentu tidak terlepas karenadari Pertumbuhanpertumbuhan media yang pesat setelah era reformasi yang telah menyebabkan munculnya tantangan baru dan berbagai masalah bagi dunia pers di Indonesia. Tidak semua media patuh dan memenuhi standar yang ditetapkan oleh Dewan Pers sebagai badan pengawas. Begitu pula dalam menjalankan tugas jurnalistik, tingkat pelanggaran media terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) cenderung tinggi. Seperti contoh Praktik "wartawan amplop" sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan wartawan, baik di media cetak maupun media elektronik. Mereka menerima "amplop" yang berisi sejumlah uang dari narasumber.<ref>Dwicahyani, M. N. (2018). PELAKSANAAN PASAL 4 KODE ETIK JURNALISTIK WARTAWAN INDONESIA TERHADAP PRAKTEK “PENERIMAAN AMPLOP” OLEH WARTAWAN DALAM LINGKUP PWI JATIM. NOVUM: JURNAL HUKUM, 5(3), 76-83.</ref>. Posisi tersebut membuat wartawan sulit untuk mempertahankan kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia serta Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Padahal wartawan memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip-prinsip etika yang terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah ditandatangani Dewan Pers bersama 29 organisasi wartawan pada 2006.
 
Dalam menjalankan tugas jurnalistik, tingkat pelanggaran media terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) cenderung tinggi. Seperti contoh praktik "wartawan amplop" sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan wartawan, baik di media cetak maupun media elektronik. Mereka menerima "amplop" yang berisi sejumlah uang dari narasumber.<ref>Dwicahyani, M. N. (2018). PELAKSANAAN PASAL 4 KODE ETIK JURNALISTIK WARTAWAN INDONESIA TERHADAP PRAKTEK “PENERIMAAN AMPLOP” OLEH WARTAWAN DALAM LINGKUP PWI JATIM. NOVUM: JURNAL HUKUM, 5(3), 76-83.</ref> Posisi tersebut membuat wartawan sulit untuk mempertahankan kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia serta Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Padahal wartawan memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip-prinsip etika yang terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah ditandatangani Dewan Pers bersama 29 organisasi wartawan pada 2006.
Salah satu ayat yang dirumuskan dalam KEJ pasal 6 berbunyi, ”Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.” Penafsiran dari pasal tersebut juga dijelaskan dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sebagai berikut:<ref>BAYA, A. C. (2018). Strategi Menghadapi Wartawan Abal-Abal. IJIC: Indonesian Journal of Islamic Communication, 1(1), 125-141.</ref>
 
Salah satu ayat yang dirumuskan dalam KEJ pasal 6 berbunyi, ''”Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.”'' Penafsiran dari pasal tersebut juga dijelaskan dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sebagai berikut:<ref>BAYA, A. C. (2018). Strategi Menghadapi Wartawan Abal-Abal. IJIC: Indonesian Journal of Islamic Communication, 1(1), 125-141.</ref>
 
# Penyalahgunaan profesi adalah segala tindakan yang menggunakan informasi yang diperoleh saat bertugas untuk keuntungan pribadi sebelum informasi tersebut menjadi diketahui oleh publik umum.
# Suap adalah segala bentuk pemberian dalam bentuk uang, barang, atau fasilitas dari pihak lain yang dapat mempengaruhi kemandirian dan independensi wartawan.
 
Maraknya fenomena ini memiliki dampak yangdapat merusak citra positif wartawan Indonesia dan dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi jurnalistik, terutama wartawan. Fenomena ini juga menyebabkan kekacauan dalam masyarakat dan kalangan wartawan, serta mempengaruhimemengaruhi kesadaran hukum di antara wartawan dan masyarakat. Selain itu, terdapat Pasal 1 dan Pasal 2. Pasal 1 juga menjelaskan terkait independensi yang seharusnya dimiliki oleh jurnalis di mana Pasal 1 tersebut berbunyi, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Adapun penafsiran dari Pasal 1 yang juga dijelaskan dalam Kode Etik Jurnalistik, yaitu:<ref>Metrotimes. (2016). Kode Etik Jurnalistik. Diakses pada 22 Mei 2023, dari <nowiki>https://metrotimes.news/kode-etik/</nowiki> </ref>
 
# Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
# Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
# BeimbangBerimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
# Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
 
Baris 48 ⟶ 50:
{{reflist}}
 
[[Kategori:JurnalismeKewartawanan di Indonesia]]