Sastra profetik: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Regina Jawa (bicara | kontrib) Membuat artikel baru Tag: VisualEditor pranala ke halaman disambiguasi |
Regina Jawa (bicara | kontrib) Menyunting artikel |
||
(7 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Sastra profetik''' adalah perluasan dari [[sastra religius]], di mana dalam sastra ini tidak hanya hubungan manusia dengan Tuhan yang diutamakan, tetapi juga hubungan manusia dengan sesamanya. Sastra profetik memiliki karakter [[transendental]] dan [[sufistik]], karena berangkat dari nilai-nilai [[ketauhidan]]<ref name=":0">{{Cite web|last=operator|title=Sastra Profetik Perspektif Kuntowijoyo {{!}} Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa - Kemendikbudristek|url=http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/888/sastra-profetik-perspektif-kuntowijoyo|website=badanbahasa.kemdikbud.go.id|language=id|access-date=2024-07-07}}</ref>.
== Sejarah dan perkembangan ==
Sastra profetik mulai dikenal dalam tradisi [[kesusastraan Islam]] sejak awal perkembangan Islam. Pada masa [[Nabi Muhammad SAW]], wahyu yang diterima beliau berupa ayat-ayat [[Al-Quran]] dianggap sebagai karya sastra tertinggi yang mengandung nilai-nilai profetik. Ayat-ayat tersebut tidak hanya berfungsi sebagai petunjuk hidup beragama tetapi juga sebagai inspirasi untuk karya-karya sastra yang menekankan [[moral]], [[etika]], dan [[spiritualitas]]<ref name=":0" />. [[Sufisme]], atau [[tasawuf]], memainkan peran penting dalam perkembangan sastra profetik karena sering kali menggunakan [[puisi]] dan [[prosa]] untuk mengekspresikan pengalaman-pengalaman [[mistis]] di dalamnya.<ref name=":2" />
Beberapa tokoh penting dalam sastra sufistik antara lain [[Jalaluddin Rumi]], yang terkenal dengan karya-karya puisinya seperti "[[Masnavi]]". Karya-karya Rumi menggambarkan perjalanan spiritual menuju Tuhan dan hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa. Selain Rumi, ada juga [[Ibn Arabi]]
Sastra profetik berkembang di berbagai wilayah di dunia Islam, masing-masing dengan karakteristik dan [[corak]] yang unik. Di [[Persia]], karya-karya sastra profetik sering kali berbentuk [[puisi sufistik]]. Di wilayah [[Arab]], sastra ini lebih banyak ditemukan dalam bentuk prosa dan puisi yang menekankan ajaran-ajaran moral dan etika. Sementara itu, di Nusantara, sastra profetik berkembang melalui karya-karya ulama dan penyair lokal yang menggabungkan ajaran Islam dengan budaya [[lokal]].
Pada abad ke-20, sastra profetik mengalami kebangkitan kembali dengan munculnya para penulis yang mencoba menggabungkan nilai-nilai religius dengan konteks sosial dan politik yang lebih luas. Salah satu tokoh penting dalam perkembangan ini adalah [[Mohammad Iqbal]], seorang penyair dan [[filosof]] dari [[India]] yang dikenal dengan karya-karyanya yang menggabungkan pemikiran sufistik dengan semangat [[nasionalisme]] dan [[modernitas]]<ref name=":0" />. Iqbal menggunakan puisi-puisinya untuk menginspirasi perubahan sosial dan politik, serta mengajak umat Islam untuk kembali kepada nilai-nilai spiritual yang murni.
== Sastra profetik di Indonesia ==
Di Indonesia, sastra profetik mulai dikenal pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Beberapa penulis Indonesia seperti [[Kuntowijoyo]], [[Emha Ainun Nadjib]], dan [[Abdul Hadi WM]] dikenal dengan karya-karya sastra profetik mereka. [[Kuntowijoyo]], misalnya, dalam esainya "[[Maklumat Sastra Profetik]]", menyatakan bahwa sastra profetik harus mengandung tiga nilai utama: [[humanisasi]], [[liberasi]], dan [[transendensi]]<ref name=":3" />. Karya-karya Kuntowijoyo menggabungkan nilai-nilai religius dengan kritik sosial dan upaya untuk menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.
Gagasan sastra profetik berawal dari konsep ilmu sosial profetik yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo pada acara [[Temu Budaya]] di [[Taman Ismail Marzuki]] (TIM) [[Jakarta]] pada tahun 1986. Sebelumnya, pada acara “Temu Sastra 6-8 Desember 1982” di tempat yang sama, Kuntowijoyo telah mengemukakan ide tentang perlunya sastra transendental. Gagasan-gagasan ini dapat dijadikan acuan baik untuk ilmu sosial profetik maupun sastra profetik.▼
Kuntowijoyo mengusulkan perlunya ilmu sosial profetik karena ilmu sosial yang ada mengalami [[stagnasi]], hanya menjelaskan fenomena sosial tanpa berusaha mentransformasikannya. Menurut Kuntowijoyo, kita kini mengalami [[dehumanisasi]] akibat masyarakat [[industri]] yang menjadikan kita bagian dari masyarakat [[abstrak]] tanpa wajah kemanusiaan<ref name=":3">{{Cite book|last=author|first=Kuntowijoyo|date=2019|title=Maklumat Sastra Profetik|location=Yogyakarta|publisher=DIVA Press|isbn=978-602-391-750-1|url-status=live}}</ref>.
▲Gagasan sastra profetik berawal dari konsep ilmu sosial profetik yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo pada acara Temu Budaya di [[Taman Ismail Marzuki]] (TIM) [[Jakarta]] pada tahun 1986. Sebelumnya, pada acara “Temu Sastra 6-8 Desember 1982” di tempat yang sama, Kuntowijoyo telah mengemukakan ide tentang perlunya sastra transendental. Gagasan-gagasan ini dapat dijadikan acuan baik untuk ilmu sosial profetik maupun sastra profetik.
▲Kuntowijoyo mengusulkan perlunya ilmu sosial profetik karena ilmu sosial yang ada mengalami [[stagnasi]], hanya menjelaskan fenomena sosial tanpa berusaha mentransformasikannya. Menurut Kuntowijoyo, kita kini mengalami [[dehumanisasi]] akibat masyarakat [[industri]] yang menjadikan kita bagian dari masyarakat [[abstrak]] tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami [[objektivasi]] di tengah mesin politik dan ekonomi. Ilmu dan teknologi telah memperkuat kecenderungan [[reduksionistik]] yang melihat manusia secara [[parsial]].
== Kaidah sastra profetik ==
Dalam upayanya untuk memberi arah pada realitas, Kuntowijoyo menyatakan bahwa sastra profetik memiliki kaidah-kaidah yang menjadi dasar
Sastra profetik bertujuan untuk melampaui keterbatasan akal manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Untuk itu, sastra profetik mengacu pada pemahaman dan penafsiran kitab-kitab suci atas realitas dan memilih epistemologi [[strukturalisme]] transendental karena dua alasan. Pertama, kitab-kitab suci bersifat transendental karena merupakan wahyu dari Yang Maha Transenden dan Abadi, sehingga melampaui zaman dan tetap relevan sebagai petunjuk bagi orang beriman. Kedua, kitab-kitab suci adalah struktur yang [[koheren]] secara internal dan [[konsisten]] secara eksternal, artinya setiap bagian membentuk kesatuan yang utuh dan tidak bertentangan satu sama lain. Kitab-kitab suci yang berbeda juga dianggap sejajar dan tidak lebih tinggi satu dari yang lain<ref name=":1" />.▼
==== Kaidah Kedua: Sastra sebagai Ibadah ====
▲Sastra profetik bertujuan untuk melampaui keterbatasan akal manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Untuk itu, sastra profetik mengacu pada pemahaman dan penafsiran kitab-kitab suci atas realitas dan memilih epistemologi [[strukturalisme]] transendental karena dua alasan. Pertama, kitab-kitab suci bersifat transendental karena merupakan wahyu dari Yang Maha Transenden dan Abadi, sehingga melampaui zaman dan tetap relevan sebagai petunjuk bagi orang beriman. Kedua, kitab-kitab suci adalah struktur yang [[koheren]] secara internal dan [[konsisten]] secara eksternal, artinya setiap bagian membentuk kesatuan yang utuh dan tidak bertentangan satu sama lain. Kitab-kitab suci yang berbeda juga dianggap sejajar dan tidak lebih tinggi satu dari yang lain.
Al-Qur'an dan Islam sebagai struktur mencerminkan keutuhan, seperti yang dijelaskan oleh [[Jean Piaget]] dalam
Dari Tuhan ke manusia bukanlah suatu loncatan, karena ajaran agama menuntut adanya hubungan dengan Tuhan (''hablun minallah'') dan hubungan dengan manusia (''hablun minannas'') (Q.S. 3:112). Keterkaitan ini adalah salah satu ciri strukturalisme, di mana kesadaran ketuhanan harus memiliki kesinambungan dengan kesadaran kemanusiaan, dan sebaliknya.<ref name=":1" />▼
▲Al-Qur'an dan Islam sebagai struktur mencerminkan keutuhan, seperti yang dijelaskan oleh [[Jean Piaget]] dalam *[[Structuralism]]*. Dalam Islam, keutuhan ini disebut [[kaffah]] (Q.S. 2:208). Keutuhan Islam tidak dapat dipisahkan menjadi unsur-unsur rukun ([[syahadat]], [[shalat]], [[zakat]], [[puasa]], dan [[haji]]) saja, tetapi juga mencakup seluruh aspek mu'amalah. Seorang penulis yang menjalankan ibadah seperti shalat, zakat, dan haji dengan baik tidak dapat dikatakan kaffah jika karya sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah.
▲Dari Tuhan ke manusia bukanlah suatu loncatan, karena ajaran agama menuntut adanya hubungan dengan Tuhan (hablun minallah) dan hubungan dengan manusia (hablun minannas) (Q.S. 3:112). Keterkaitan ini adalah salah satu ciri strukturalisme, di mana kesadaran ketuhanan harus memiliki kesinambungan dengan kesadaran kemanusiaan, dan sebaliknya.
Meskipun sastra profetik memiliki tiga [[kaidah ini]], Kuntowijoyo menekankan bahwa sastra profetik tetap bersifat [[demokratis]] dan tidak [[otoriter]]. Sastra profetik tidak memaksakan satu [[premis]], [[tema]], [[teknik]], atau [[gaya]] tertentu, baik yang bersifat pribadi maupun baku. Keinginan sastra profetik hanyalah dalam ranah [[etika]] dan [[sukarela]], tidak memaksa.
== Etika profetik ==
[[Humanisasi]] sangat diperlukan karena masyarakat kita menunjukkan tanda-tanda menuju [[dehumanisasi]]. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa dehumanisasi mencakup [[objektivikasi]] manusia (secara [[teologis]], [[budaya]], [[massa]], [[negara]]), [[agresivitas]] ([[kolektif]], [[individual]], [[kriminal]]), kesepian ([[privatisasi]], [[individualisasi]]), dan [[keterasingan spiritual]]. Dalam dehumanisasi, perilaku manusia lebih dikuasai oleh bawah sadar daripada kesadaran. Tanpa kita sadari, dehumanisasi telah menggerogoti masyarakat Indonesia, yang menghasilkan manusia mesin, masyarakat massa, dan budaya massa.<ref name=":3" />
[[Liberasi]] dapat diidentifikasi dari kekuatan [[eksternal]] dan kekuatan [[internal]]. Dalam [[Maklumat Sastra Profetik]], Kuntowijoyo lebih menyoroti penindasan dan ketidakadilan internal di Indonesia, seperti penindasan politik atas kebebasan seni sebelum tahun 1965, penindasan negara atas rakyatnya oleh rezim Orde Baru, ketidakadilan ekonomi, dan ketidakadilan gender. Meski tidak membahas secara mendalam tentang kekuatan eksternal seperti [[kolonialisme]] dan kapitalisme, fokus pada ketidakadilan internal tetap menjadi inti dari liberasi menurut Kuntowijoyo.<ref name=":3" />
[[Transendensi]] tidak hanya berarti kesadaran ketuhanan melalui agama, tetapi juga kesadaran terhadap makna yang melampaui batas kemanusiaan. Namun, Kuntowijoyo meyakini bahwa transendensi yang [[efektif]] bagi kemanusiaan berada di tangan orang beragama<ref name=":3" />. Menurut tokoh-tokoh seperti [[
== Ciri-ciri sastra profetik ==
Sastra profetik berfokus pada hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya<ref name=":1" />. Sastra ini melibatkan nilai-nilai ketauhidan yang mengutamakan kesadaran akan keberadaan Tuhan dalam kehidupan manusia. Pengalaman yang disampaikan dalam sastra profetik sering kali bersifat [[transendental]], yaitu melampaui kehidupan sehari-hari dan melibatkan unsur-unsur [[mistis]] seperti [[ekstase]] dan persatuan mistikal dengan Yang Maha Transenden.
Karakter sufistik dalam sastra profetik terlihat dari cara penulis menyampaikan pengalaman [[spiritual]] dan [[emosional]]<ref name=":0" />. Sastra ini sering menggambarkan kerinduan, pencarian [[makna hidup]], dan [[persatuan mistikal]] dengan Tuhan. Pengalaman-pengalaman ini biasanya disajikan dengan cara yang [[puitis]] dan [[simbolis]], yang mengajak pembaca untuk merenungkan makna kehidupan dan spiritualitas.
Sastra profetik membawa semangat kenabian yang berperan dalam perubahan sejarah kemanusiaan<ref name=":3" />. Sastra ini menginspirasi pembaca untuk berperan aktif dalam menciptakan perubahan positif dalam masyarakat. Penulis sastra profetik sering menyampaikan pesan-pesan [[moral]] dan [[etis]] yang kuat, yang bertujuan untuk memperbaiki [[kondisi sosial]] dan [[kemanusiaan]].
== Referensi ==
<references />
[[Kategori:Sastra Indonesia]]
|