Perjanjian (politik): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Illchy (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(32 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
Dalam bidang [[politik]], '''Traktatperjanjian''' atau '''perjanjian internasionaltraktat''' ({{lang-en|treaty}}, {{lang-fr|traité}}) adalah sebuah [[perjanjian]]persetujuan yang dibuat di bawah [[hukum internasional]] oleh beberapa pihak yang utamanya adalah [[negara]], walaupun ada juga perjanjian yang melibatkan [[organisasi internasional]]. TraktatPerjanjian merupakan salah satu sumber hukum internasional. Hal-hal yang terkait dengan perjanjian internasional diatur dalam [[Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian]] tahun 1969, dan sebagian dari isinya kini dianggap melambangkan [[kebiasaan internasional]] sehingga menjadi norma hukum internasional yang mengikat. Pada dasarnya praktik perjanjian internasional diatur oleh asas ''[[pacta sunt servanda]]'', yang berarti perjanjian tersebut mengikat semua pihak yang berjanji untuk melaksanakan kewajibannya dengan [[iktikad baik]].
[[Berkas:Traktat brzeski 1918.jpg|thumb|right|250px|[[Perjanjian Brest-Litovsk]] (1918) dalam [[bahasa Jerman]], [[bahasa Hongaria|Hongaria]], [[bahasa Bulgaria|Bulgaria]], [[bahasa Turki Utsmaniyah|Turki Utsmaniyah]], dan [[bahasa Rusia|Rusia]]. Perjanjian ini mengakhiri keterlibatan [[Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia|Rusia]] dalam [[Perang Dunia I]].]]
'''Traktat''' atau '''perjanjian internasional''' ({{lang-en|treaty}}, {{lang-fr|traité}}) adalah sebuah [[perjanjian]] yang dibuat di bawah [[hukum internasional]] oleh beberapa pihak yang utamanya adalah [[negara]], walaupun ada juga perjanjian yang melibatkan [[organisasi internasional]]. Traktat merupakan salah satu sumber hukum internasional. Hal-hal yang terkait dengan perjanjian internasional diatur dalam [[Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian]] tahun 1969, dan sebagian dari isinya kini dianggap melambangkan [[kebiasaan internasional]] sehingga menjadi norma hukum internasional yang mengikat. Pada dasarnya praktik perjanjian internasional diatur oleh asas ''[[pacta sunt servanda]]'', yang berarti perjanjian tersebut mengikat semua pihak yang berjanji untuk melaksanakan kewajibannya dengan [[iktikad baik]].
 
Negara-negara sudah membuat perjanjian sejak zaman kuno, contohnya adalah perjanjian antara [[negara- kota]] [[Lagash]] dan [[Umma]] pada tahun 2100 SM serta [[Perjanjian Kadesh]] antara [[Mesir Kuno|Kerajaan Mesir]] dengan [[bangsa Het]]. Terdapat berbagai jenis perjanjian, seperti perjanjian bilateral yang melibatkan dua negara dan perjanjian multilateral yang diikuti oleh lebih dari dua negara. Untuk membuat suatu perjanjian, diperlukan proses perundingan, penerimaan, dan otentikasi naskah perjanjian. Setelah itu negara dapat menyatakan iktikadnya untuk terikat dengan suatu perjanjian melalui penandatanganan, [[ratifikasi]], dan aksesi. Negara-negara juga dapat membuat [[pensyaratan]], yaitu pernyataan sepihak yang bertujuan meniadakan atau mengubah dampak hukum dari ketentuan tertentu dalam suatu perjanjian, asalkan pensyaratan tersebut diperbolehkan oleh perjanjian yang bersangkutan dan juga tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut.
 
Aturan mengenai penafsiran perjanjian tercantum dalam Pasal 31 dan 32 Konvensi Wina 1969. Kedua pasal ini kini dianggap melambangkan kebiasaan internasional. Pada dasarnya perjanjian ditafsirkan sesuai dengan pengertian yang lazim diberikan terhadap suatu istilah sesuai dengan konteks dan berdasarkan maksud dan tujuan dari perjanjiannya. ApabilaPenafsir juga diperbolehkan menggunakan cara penafsiran tambahan dalam Pasal 32 Konvensi Wina 1969 untuk memastikan hasil dari penafsiran yang dilakukan sesuai dengan Pasal 31, atau apabila makna yang diperoleh dari penafsiran initersebut "rancu atau kabur" atau "mustahil atau tidak masuk akal",. penafsirSalah dapat menggunakansatu cara penafsiran tambahan dalam Pasal 32 Konvensi Wina 1969, salah satunyaadalah dengan melihat dokumen persiapan perjanjian atau ''[[travaux préparatoires]]''.
 
Suatu perjanjian dapat diamendemen sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat. Pihak yang ingin keluar dari sebuah perjanjian dapat melakukannya sesuai dengan kesepakatan yang tercantum pada perjanjian tersebut. Apabila tidak ada ketentuannya sama sekali, pengakhiran atau penarikan dari suatu perjanjian hanya dapat dilakukan jika pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut sedari awal memiliki iktikad untuk menerima kemungkinan pengakhiran atau penarikan, atau jika hak untuk melakukan hal tersebut tersirat dalam perjanjiannya. Suatu perjanjian dapat dianggap tidak absah akibat hal-hal tertentu, misalnya jika perjanjian tersebut dibuat dari korupsi dengan perwakilan negara lain, dengan paksaan, atau apabila isinya melanggar ''[[jus cogens]]'' atau norma wajib yang tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan apapun (misalnya pelarangan perbudakan dan penyiksaan). Status traktat dalam hukum nasional sendiri bergantung pada sistem hukum di setiap negara.
 
== Sejarah ==
[[FileBerkas:Treaty of Kadesh.jpg|200px|thumbjmpl|rightka|[[Perjanjian Kadesh]] dalam [[bahasa Het]]. Lauh ini disimpan di [[Museum Arkeologi Istanbul]], [[Turki]].]]
Keberadaan perjanjian internasional dapat ditilik kembali hingga ribuan tahun yang lalu. Sekitar tahun 2100 SM, penguasa [[Lagash]] dan [[Umma]] di [[Sumeria]] kuno merumuskan sebuah perjanjian perbatasan yang terpatri di sebuah prasasti.{{sfn|Shaw|2017|pp=10}} Sekitar seribu tahun kemudian, [[Firaun]] [[Ramses II]] dari [[Mesir Kuno|Mesir]] dan Raja [[Bangsa Het|Het]] [[Hattusili III]] menyepakati [[Perjanjian damai Mesir-Het|Perjanjian Kadesh]] yang mengakhiri perang di antara mereka.{{sfn|Shaw|2017|pp=10-11}}{{sfn|Dörr|2012a|p=1}} Namun, pada zaman kuno, cakupan perjanjian semacam ini terbatas secara geografis dan budaya, dan belum ada konsep mengenai komunitas internasional yang terdiri dari negara-negara berkedudukan setara dengan hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum internasional.{{sfn|Shaw|2017|pp=12}}
 
Seiring berjalannya waktu, mulai muncul perkembangan-perkembangan penting dalam hubungan antarnegara. Pakar hukum internasional asal [[Belanda]] [[Hugo Grotius]] menerbitkan karyanya yang membahas hukum traktat, ''[[De jure belli ac pacis]]'', pada tahun 1625. Ia menjabarkan teori mengenai traktat berdasarkan konsep [[keadilan kodrati]]. Ia juga membahas konsep ''[[clausula rebus sic stantibus]]'' (traktat menjadi batal akibat perubahan keadaan yang mendasar) dan [[iktikad baik]].{{sfn|Dörr|2012a|p=3}} Kemudian, [[Perdamaian Westfalen]] tahun 1648 (yang mengakhiri [[Perang Tiga Puluh Tahun]]) dikenal karena mengakui konsep bahwa setiap negara memiliki [[kedaulatan]] untuk memerintah rakyatnya dan negara lain tidak boleh ikut campur dalam urusan dalam negeri setiap negara, walaupun pakar hukum Stéphane Beaulac berpendapat bahwa konsep kedaulatan sudah ada sebelumnya dan bukan pertama kali dicetuskan oleh perjanjian perdamaian ini.{{sfn|Beaulac|2004|pp=181-183}} Namun, pada masa ini, perjanjian-perjanjian internasional hanya bersifat kontraktual dan tidak menetapkan aturan-aturan dasar yang berlaku untuk semua.{{sfn|Dörr|2012a|p=3}}
 
Pada abad ke-19, seusai [[Kongres Wina]] tahun 1814/1815 yang mengakhiri [[Peperangan era Napoleon|Peperangan Era Napoleon]], benua [[Eropa]] mengalami masa-masa stabil yang memungkinkan negara-negara Eropa memusatkan perhatian mereka pada aspek-aspek dasar hubungan internasional, contohnya adalah aturan mengenai [[hukum perang]] dalam [[Konvensi Jenewa Pertama|Konvensi Jenewa 1864]]. Pakar hukum internasional juga mulai membedakan perjanjian yang menetapkan aturan umum dengan perjanjian yang hanya bersifat kontraktual. Pada masa ini pula mulai muncul berbagai konsep dalam hukum traktat seperti "perjanjian terbuka" (perjanjian yang dapat ditandatangani oleh negara yang awalnya tidak mengikuti perjanjian tersebut) dan [[pensyaratan]] (peniadaanpernyataan sepihak untuk meniadakan atau pengubahanmengubah dampak hukum dari ketentuan tertentu dalam suatu perjanjian).{{sfn|Dörr|2012a|p=3}} Pada tahun 1917, diperkirakan terdapat sekitar sepuluh ribu perjanjian yang berlaku, sehingga abad ke-19 merupakan abad ketika hukum traktat mengalami perkembangan pesat.{{sfn|Dörr|2012a|p=4}}
 
Upaya untuk merumuskan hukum internasional tertulis dalam bentuk traktat semakin gencar seusai [[Perang Dunia I]]. Pada periode 19 Mei 1920 hingga 1 Januari 1935, terdapat hampir 3.600 "traktat atau janji internasional" yang terdaftar di Sekretariat [[Liga Bangsa-Bangsa|Liga Bangsa-bangsa]].{{sfn|Dörr|2012a|p=4}} Namun, pada masa itu hukum mengenai traktat masih belum terang, dan istilah "traktat" sendiri memiliki makna yang tidak terlalu jelas. Pada tahun 1925, [[Institut Hukum Internasional Amerika]] memulai proyek kodifikasi hukum internasional, yang berujung pada penetapan Konvensi Havana mengenai Traktat oleh Konferensi Internasional Keenam Negara-negara Amerika tahun 1928. Dokumen ini sendiri masih belum sempurna karena tidak terdapat definisi istilah "traktat", dan asas-asas yang terkandung di dalamnya masih sepenggal-sepenggal dan tidak banyak bersumbangsih terhadap perkembangan hukum traktat. Sementara itu, Komite Ahli Liga Bangsa-bangsaBangsa mengenai Kodifikasi Hukum Internasional pada tahun 1926 menganggap kodifikasi hukum traktat sebagai salah satu tema yang dapat dipertimbangkan. Namun, begitu laporan ini diterima oleh Dewan Liga Bangsa-bangsaBangsa, tema ini dianggap tidak terlalu mendesak.{{sfn|Dörr|2012a|p=5}}
 
Kejelasan bagi hukum traktat baru mencapai titik terang pada tahun 1969 dengan ditetapkannya [[Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian]]. Rancangan perjanjian ini dirumuskan oleh [[Komisi Hukum Internasional]] (lembaga yang dibentuk [[Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa|Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa]]) dari tahun 1949 hingga 1966 dan memerlukan 292 pertemuan serta 17 laporan dari 4 [[Pelapor Khusus]]. Konvensi ini dimaksudkan untuk menetapkan hukum traktat dengan cakupan yang meyeluruh. Dengan ini, seperti yang dikemukakan oleh pakar hukum Oliver Dörr, "dibutuhkan lebih dari 3000 tahun pembuatan traktat hingga hukum traktat akhirnya dikodifikasi."{{sfn|Dörr|2012a|p=6}}
 
== Kerangka hukum ==
{{wikisource|Vienna Convention on the Law of Treaties|Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (1969)|lang=en}}
{{wikisource|Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or Between International Organizations (1986)|Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian antara Negara dengan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional (1986)|lang=en}}
Menurut Pasal 38(1) [[Statuta Mahkamah Internasional]], traktat adalah salah satu [[sumber hukum internasional|sumber utama hukum internasional]].{{sfn|Shaw|2017|pp=52}} Hal-hal yang berhubungan dengan perjanjian antarnegara diatur dalam [[Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian]] yang ditandatangani pada tahun 1969 dan mulai berlaku pada tahun 1980.{{sfn|Shaw|2017|pp=685}} Pada tahun 2019, perjanjian ini juga telah diratifikasi oleh 116 negara.{{sfn|United Nations Treaty Collection}} Sebagian dari isi perjanjian ini kini dianggap melambangkan [[kebiasaan internasional]], contohnya adalah aturan mengenai penafsiran dan perubahan keadaan yang mendasar. Prinsip dasar dalam hukum perjanjian adalah ''[[pacta sunt servanda]]'', yang berarti perjanjian mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian, sehingga mereka harus melaksanakannya dengan iktikad baik.{{sfn|Shaw|2017|pp=685}}{{sfn|Klabbers|1996|pp=39}} Asas ini ditegaskan kembali dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969.{{sfn|Shaw|2017|pp=685}}
 
Konvensi Wina 1969 secara teoretis tidak mencakup perjanjian antara negara dengan organisasi internasional atau perjanjian antar organisasi internasional. Aturan untuk perjanjian semacam ini terkandung dalam [[Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian antara Negara dengan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional]] yang ditandatangani tahun 1986.{{sfn|Shaw|2017|pp=685, 722}}{{sfn|Aust|2007|p=400}} Isinya menyerupai Konvensi Wina tahun 1969 secara ''[[mutatis mutandis]]'' (dengan perubahan penting yang telah dilakukan).{{sfn|Shaw|2017|pp=722}}{{sfn|Gaja|1988|pp=253-254}} Konvensi ini masih belum berlaku karena jumlah negara yang me[[ratifikasi]]nya masih belum cukup.{{sfn|Aust|2007|p=400}} Kemungkinan hal ini disebabkan oleh isi konvensi ini yang hampir sama dengan Konvensi Wina 1969.{{sfn|Aust|2007|p=401}} Selain itu, tidak banyak negara yang membuat perjanjian dengan organisasi internasional.{{sfn|Aust|2007|p=402}} Walaupun begitu, berkat keserupaan ini, aturan yang terkandung di dalamnya masih dianggap sebagai hukum internasional.{{sfn|Aust|2007|p=400}} Pada praktiknya, organisasi internasional acap kali mengacu kepada Konvensi Wina 1969 karena isinya dianggap melambangkan kebiasaan internasional.{{sfn|Aust|2007|p=402}}
Baris 31 ⟶ 30:
Menurut Pasal 2(1)(a) Konvensi Wina 1969, "traktat" adalah "perjanjian internasional yang disepakati antara negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik itu yang terkandung dalam satu atau dua atau lebih dokumen dan apapun penyebutannya."{{sfn|Aust|2007|p=16}}{{sfn|Schmalenbach|2012|pp=29-30}}{{sfn|Aust|2010|p=50-51}} Berdasarkan definisi ini, "traktat" hanya bisa dirumuskan oleh dua negara atau lebih. Perjanjian antara perusahaan dengan negara tidak dianggap sebagai traktat, dan begitu pula perjanjian antara suatu negara dengan suku tertentu (seperti [[Perjanjian Waitangi]] antara [[Imperium Britania]] dengan suku-suku [[Suku Māori|Maori]]).{{sfn|Aust|2007|p=18}} Walaupun traktat biasanya terdiri dari satu dokumen, definisi ini memungkinkan traktat yang terdiri dari pertukaran nota antar diplomat.{{sfn|Aust|2007|p=22}}{{sfn|Klabbers|1996|pp=45-46}} Sementara itu, definisi yang terkandung dalam Pasal 2(1)(a) Konvensi Wina 1986 hampir sama dengan Konvensi Wina 1969, kecuali untuk cakupan ''ratione personae''-nya yang juga mencakup perjanjian yang disepakati antara negara dan organisasi internasional atau antar organisasi internasional.{{sfn|Gautier|2011|p=58}}
 
Salah satu unsur penting dalam definisi ini adalah "diatur oleh hukum internasional", yang berarti bahwa suatu dokumen hanya akan dianggap sebagai traktat apabila negara-negara beriktikad bahwa dokumen tersebut membebankan kewajiban di bawah hukum internasional.{{sfn|Aust|2007|p=20}} Nama yang digunakan untuk menyebut suatu traktat tidak memengaruhi status hukumnya, baik itu "konvensi", "persetujuan" (''accord''), "kovenan", "protokol", "statuta", "''modus vivendi''",{{efn|Jarang perjanjian yang diberi nama seperti ini, dan umumnya istilah ini digunakan untuk perjanjian sementara. Lihat {{harvnb|Aust|2007|p=31}}}} ataupun "pakta".{{sfn|Schmalenbach|2012|p=32}}{{sfn|Klabbers|1996|pp=42}}{{efn|Untuk kesepakatan yang tidak mengikat secara hukum, terdapat berbagai macam istilah yang digunakan, seperti "''[[soft law]]''", "perjanjian ''de facto''", "komitmen politik", atau "kesepahaman informal". Lihat {{harvnb|Schmalenbach|2012|p=43}} dan {{harvnb|Aust|2007|p=21}}}} Sebagai contoh, [[Mahkamah Internasional]] dalam perkara ''[[sengketa Aegea|Aegean Sea Continental Shelf]]'' pada tahun 1978 mempertimbangkan komunike bersama yang dikeluarkan oleh [[Perdana Menteri Yunani]] dan [[Perdana Menteri Turki|Turki]]. Setelah menganalisis isi dan latar belakang perumusan komunike ini, Mahkamah Internasional menyimpulkan bahwa Turki dan Yunani sama-sama tidak bermaksud menjadikan komunike ini sebagai suatu perjanjian internasional.{{sfn|Aust|2007|p=20}} Sementara itu, [[Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa|Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa]] dianggap sebagai traktat karena piagam tersebut membebankan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional, sementara Piagam Kemitraan dan Persahabatan Rusia-Amerika Serikat tahun 1992 tidak memenuhi syarat ini dan tidak dianggap sebagai traktat.{{sfn|Aust|2007|p=24}}
 
Dalam praktik [[hubungan internasional]], negara-negara juga sering membuat [[nota kesepahaman]] ({{lang-en|memorandum of understanding}}, disingkat MoU).{{sfn|Aust|2007|p=32}} Traktat biasanya menggunakan istilah yang menunjukkan kewajiban hukum, seperti "mulai berlaku" (''enter into force''), "mengusahakan" (''undertake''), "hak" (''rights''), dan "kewajiban" (''obligations''). Di sisi lain, nota kesepahaman menggunakan istilah-istilah yang tidak terkesan mengikat, seperti "akan" (''will'').{{sfn|Aust|2007|p=33}} Nota kesepahaman juga bisa dirahasiakan dari umum dan isinya lebih mudah untuk diubah.{{sfn|Aust|2007|p=43-47}} Kendati demikian, nota kesepakatan juga bisa dianggap sebagai traktat apabila isinya memenuhi syarat yang tercantum dalam Pasal 2(1)(a) Konvensi Wina.{{sfn|Aust|2007|p=33}}
Baris 46 ⟶ 45:
 
== Perundingan, adopsi, dan otentikasi ==
[[Berkas:Bill Clinton, Yitzhak Rabin, Yasser Arafat at the White House 1993-09-13.jpg|thumbjmpl|rightka|250px|[[Perdana Menteri Israel]] [[Yitzhak Rabin]], [[Presiden Amerika Serikat]] [[Bill Clinton]], dan [[Ketua Organisasi Pembebasan Palestina]] [[Yasser Arafat]] pada saat upacara penandatanganan [[Persetujuan Oslo]] tanggal 13 September 1993.]]
Berdasarkan Pasal 7 Konvensi Wina 1969, proses perundingan (''negotiation''), adopsi naskah (''adoption''), dan otentikasi (''authentication'') dokumen asli dilaksanakan oleh utusan negara yang harus memiliki [[Surat Kuasa Penuh]] (''full power'').{{sfn|Aust|2007|p=75}}{{sfn|Pratomo|2016|p=108}} Definisi "Surat Kuasa Penuh" menurut Pasal 2(1)(c) Konvensi Wina 1969 adalah "dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang dari suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa orang untuk mewakili negara dalam merundingkan, menetapkan, atau mengotentikasi naskah suatu perjanjian, untuk menyatakan iktikad negara untuk terikat dengan suatu perjanjian, atau untuk melaksanakan perbuatan lain sehubungan dengan suatu perjanjian."{{sfn|Aust|2007|p=77}} Utusan yang tidak memerlukan Surat Kuasa Penuh disebutkan dalam Pasal 7(2) Konvensi Wina 1969, seperti kepala negara, kepala pemerintahan, dan menteri luar negeri.{{sfn|Aust|2007|p=78-79}}{{sfn|Pratomo|2016|p=108}} Pada praktiknya negara-negara memberikan Surat Kuasa Penuh yang berlaku umum kepada perwakilan permanen di suatu organisasi internasional agar mereka tidak harus selalu harus mengeluarkan Surat Kuasa untuk setiap perundingan.{{sfn|Aust|2007|p=79}} Surat Kuasa Penuh sendiri tidak sama dengan kredensial atau surat kepercayaan, yaitu surat yang diberikan oleh utusan yang menghadiri suatu konferensi internasional kepada negara atau organisasi internasional yang menjadi tuan rumah konferensi tersebut. Kredensial ini dikeluarkan oleh negara sang utusan untuk memberikan wewenang kepadanya sebagai perwakilan negara. Surat Kuasa Penuh dan kredensial bisa digabung dalam satu dokumen.{{sfn|Aust|2007|p=76}} Pasal 8 Konvensi Wina 1969 kemudian mengatur bahwa jika seseorang tidak memenuhi syarat yang tercantum dalam Pasal 7, semua tindakannya dianggap tidak mempunyai dampak hukum kecuali jika negara yang bersangkutan memastikan bahwa tindakan yang diambil mewakili tindakan negara tersebut.{{sfn|Aust|2007|p=83}}
 
Baris 55 ⟶ 54:
== Penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi ==
<!--
[[Berkas:Croatia-EU Accession Treaty Signature Page 5.png|thumb|right|250px|Tanda tangan [[Perdana Menteri HongariaHungaria]] [[Viktor Orbán]], [[Perdana Menteri Malta]] [[Lawrence Gonzi]], [[Perdana Menteri Belanda]] [[Mark Rutte]], dan [[Kanselir Austria]] [[Werner Faymann]] di Perjanjian Aksesi Kroasia-Uni Eropa tahun 2011.]]-->
[[Berkas:Estonia became a full member of OECD after Estonian Ambassador to France Sven Jürgenson presented Estonia’s accession treaty to the French Foreign Ministry for storage, 9th November 2010 (5245734239).jpg|thumbjmpl|kananka|250px|Duta Besar Estonia untuk Prancis, Sven Jürgenson, menyerahkan perjanjian aksesi [[Estonia]] kepada Kementerian Luar Negeri Prancis untuk disimpan, 9 November 2010. Dengan perjanjian aksesi ini, Estonia secara resmi bergabung dengan [[Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi]].]]
Negara dan subjek hukum internasional lainnya (seperti organisasi internasional) dapat menyatakan iktikad mereka untuk terikat dengan suatu traktat.{{sfn|Aust|2007|p=94}} Pasal 11 Konvensi Wina 1969 menjabarkan beberapa cara yang dapat ditempuh, yaitu penandatanganan (''signature''); pertukaran dokumen yang menjadi traktat; ratifikasi (atau pengesahan), penerimaan (''acceptance''), atau penyetujuan (''approval''); aksesi (''accession''); atau dengan cara lain yang disepakati.{{sfn|Aust|2007|p=95-96}}{{sfn|Szurek|2011|pp=188-189}} Pada umumnya suatu perjanjian internasional akan menentukan prosedur mana yang perlu diikuti.{{sfn|Pratomo|2016|p=110}}
 
Pasal 12 Konvensi Wina 1969 memungkinkan penggunaan prosedur penandatanganan asalkan hal tersebut diatur oleh traktat yang bersangkutan atau disepakati oleh negara-negara yang terlibat dalam perundingan.{{sfn|Aust|2007|p=96}}{{sfn|Pratomo|2016|p=110}} Sebagai contoh, pada tahun 1990, [[Irak]] mencoba mengklaim bahwa mereka masih belum mengesahkan perjanjian perbatasan dengan [[Kuwait]] pada tahun 1963 dan hanya sekadar menandatanganinya, sehingga perjanjian tersebut tidak berlaku. Namun, [[Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa|Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa]] tidak menerima argumen ini karena perjanjian tersebut tidak mengharuskan ratifikasi dan telah terdaftar di [[Perserikatan Bangsa-Bangsa|Perserikatan Bangsa-bangsa]].{{sfn|Aust|2007|p=96}} Pada praktiknya, banyak perjanjian yang masih memerlukan ratifikasi meskipun perjanjian tersebut sudah ditandatangani.{{sfn|Aust|2007|p=104}}
 
Pertukaran dokumen diatur dalam Pasal 13 Konvensi Wina 1969. Prosedur ini biasanya dilakukan melalui pertukaran nota diplomat. Pada praktiknya, nota yang bersangkutan seringkalisering kali menyatakan bahwa pertukaran dokumen yang menjadi traktat ini baru akan berlaku apabila masing-masing pihak telah memberitahukan pihak yang lain bahwa prosedur konstitusionalnya telah diselesaikan. Hal ini mirip dengan ratifikasi.{{sfn|Aust|2007|p=102}}
 
Ratifikasi sendiri didefinisikan dalam Pasal 2(1)(b) Konvensi Wina 1969 sebagai tindakan suatu negara dalam taraf internasional yang menetapkan persetujuannya untuk terikat kepada suatu traktat. Ratifikasi dapat dilakukan melalui pertukaran piagam ratifikasi (yang dibuat oleh eksekutif) dengan piagam ratifikasi negara lain (untuk perjanjian bilateral), atau penyerahan piagam ratifikasi tersebut kepada lembaga penyimpan yang berwenang (untuk perjanjian multilateral). Prosedur ratifikasi diperlukan karena negara yang telah menandatangani atau mengadopsi perjanjian tersebut mungkin butuh waktu agar bisa menyatakan terikat dengannya.{{sfn|Aust|2007|p=103}} Hal ini mungkin karena dalam [[hukum tata negara|hukum ketatanegaraan]] sebuah negara, traktat tersebut perlu dijadikan undang-undang agar bisa menjadi hukum,{{sfn|Aust|2007|p=103}} atau mungkin juga karena ratifikasi tersebut memerlukan persetujuan dari parlemen di tingkat nasional.{{sfn|Aust|2007|p=104}} Seusai proses ratifikasi, traktat yang bersangkutan tidak serta merta langsung mengikat negara yang mengikuti prosedur tersebut, karena seringkalisering kali perjanjian internasional membutuhkan jumlah minimal negara yang meratifikasi sebelum perjanjian tersebut mulai berlaku.{{sfn|Aust|2007|p=105, 162-168}}
 
Sementara itu, menurut Pasal 14(2) Konvensi Wina 1969, "penerimaan" dan "penyetujuan" memiliki syarat yang serupa dengan ratifikasi. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang berarti antara penandatanganan yang masih membutuhkan ratifikasi, penerimaan, ataupun penyetujuan. Biasanya perjanjian-perjanjian multilateral saat ini memiliki pasal yang menyatakan "bergantung pada ratifikasi, penerimaan, atau penyetujuan" (''subject to ratification, acceptance or approval''). Pada dasarnya Konvensi Wina 1969 memungkinkan prosedur penerimaan dan penyetujuan karena ratifikasi seringkalisering kali memerlukan persetujuan dari parlemen. Ada pula perjanjian yang hanya memungkinkan penerimaan. Contohnya adalah perjanjian yang ditetapkan di bawah naungan [[Organisasi Pangan dan Pertanian]].{{sfn|Aust|2007|p=109-110}}
 
Berbagai perjanjian multilateral juga memungkinkan prosedur aksesi, terutama perjanjian yang sudah tidak dapat lagi ditandatangani (misalnya karena tenggat waktunya sudah lewat).{{sfn|Aust|2007|p=110-111}} Akan tetapi, Pasal 15 Konvensi Wina 1969 mengatur bahwa aksesi hanya diperbolehkan jika prosedur tersebut dimungkinkan oleh perjanjiannya atau apabila negara-negara pihak pada perjanjian tersebut memperbolehkannya.{{sfn|Aust|2010|p=61}} Pada dasarnya, melalui prosedur aksesi, suatu negara dapat bergabung dengan suatu perjanjian dengan menyerahkan dokumen aksesi kepada negara penyimpan.{{sfn|Aust|2007|p=111}} Sementara itu, untuk "cara lain yang disepakati", contohnya adalah "[[Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir|Teks yang mendirikan Komisi Persiapan Perjanjian Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir]]" tahun 1996 yang ditetapkan melalui sebuah resolusi yang dikeluarkan oleh negara-negara yang telah menandatangani [[Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir|Perjanjian Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir]] dan langsung berlaku untuk negara-negara tersebut.{{sfn|Aust|2007|p=113}}
 
== Pensyaratan ==
{{anchor|Pensyaratan}}
Menurut Pasal 2(1)(d) Konvensi Wina 1969, "pensyaratan" atau "reservasi" (''reservation'') adalah "pernyataan sepihak, apapun istilah atau sebutan yang dapat diberikan, yang dibuat oleh suatu negara ketika menandatangani, mengesahkan, menerima, menyetujui, atau melakukan aksesi terhadap suatu perjanjian yang bertujuan untuk meniadakan atau mengubah dampak hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu yang terkandung dalam perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara tersebut."{{sfn|Aust|2007|p=131}} Pensyaratan pada dasarnya hanya bisa dilakukan terhadap perjanjian multilateral, karena melakukan pensyaratan terhadap perjanjian bilateral sama saja dengan meminta pihak lain untuk mengubah isi perjanjian.{{sfn|Aust|2007|p=131-132}} Tujuan pensyaratan adalah agar semakin banyak negara yang mau menandatangani dan mengesahkan suatu perjanjian multilateral.{{sfn|Moloney|2004|pp=155-156}}
 
Baris 86:
Pasal 31 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa "Suatu perjanjian ditafsirkan dengan iktikad baik sesuai dengan pengertian yang lazim diberikan terhadap istilah-istilah dari perjanjian sesuai konteksnya dan berdasarkan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut."{{sfn|Aust|2007|p=233}}{{sfn|Dörr|2012b|p=559}} Pasal ini disebut "aturan umum penafsiran" (''general rule of interpretation'', dalam bentuk tunggal, yang berarti hanya ada satu aturan).{{sfn|Aust|2007|p=233}}{{sfn|Dörr|2012b|p=561}} Pada dasarnya ada tiga hal yang harus dipertimbangkan, yaitu teks, konteks, serta maksud dan tujuan.{{sfn|Aust|2007|p=234}} Kendati demikian, aturan ini pada dasarnya berfokus pada pendekatan tekstual.{{sfn|Dörr|2012b|p=579-580}} Pasal ini juga merupakan penggabungan tiga asas menjadi satu, yaitu asas iktikad baik (yang berasal dari aturan ''pacta sunt servanda'' dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969), asas bahwa penafsiran harus mengacu kepada makna teks yang lazim diberikan dan bukan makna khusus, serta asas bahwa makna yang lazim diberikan juga harus mempertimbangkan konteks serta maksud dan tujuan dari suatu perjanjian.{{sfn|Dörr|2012b|p=580}} "Makna yang lazim diberikan" sendiri bukan berarti bahwa makna tersebut harus sesuai dengan pemahaman awam, tetapi pemahaman yang lazim di antara orang yang cukup tahu soal istilah yang bersangkutan.{{sfn|Dörr|2012b|p=542}}
 
Penafsiran yang didasarkan pada Pasal 31 Konvensi Wina 1969 dimulai dengan mencari makna yang lazim dari suatu teks. Biasanya pengadilan-pengadilan internasional menggunakan kamus untuk mencari makna ini, walaupun kamus seringkalisering kali mencatat semua makna yang ada dan bukan hanya makna yang lazim.{{sfn|Dörr|2012b|p=581}} Setelah itu, penafsir harus melihat konteksnya, dan hal ini diatur dalam Pasal 31(2) Konvensi Wina 1969.{{sfn|Dörr|2012b|p=588}} Seluruh isi dari perjanjian dapat dianggap sebagai konteks, termasuk mukadimah, lampiran, protokol, dan judulnya. Keberadaan koma bahkan bisa menentukan makna suatu pasal.{{sfn|Dörr|2012b|p=582}} Selain itu, terdapat dua dokumen di luar traktat yang dapat dianggap sebagai konteks, yaitu perjanjian dan instrumen yang berhubungan dengan proses penyimpulan suatu perjanjian.{{sfn|Dörr|2012b|p=588-590}} Pasal 31(3) juga menyebutkan dokumen lain yang dapat dipertimbangkan bersamaan dengan konteks, yaitu: 1) perjanjian yang dibuat sesudahnya terkait dengan penafsiran traktat atau penerapannya, 2) praktik setelahnya yang menghasilkan kesepakatan dalam menafsirkan traktatnya, dan 3) aturan-aturan hukum internasional lain yang mungkin dapat diberlakukan.{{sfn|Dörr|2012b|p=592-612}} Sementara itu, "maksud dan tujuan" dari suatu perjanjian bisa dinyatakan secara gamblang dalam mukadimah atau pasalnya (misalnya Pasal 1 Piagam PBB).{{sfn|Dörr|2012b|p=585}} Namun, "maksud dan tujuan" tidak bisa dipakai untuk mengubah makna yang lazim diberikan kepada suatu istilah.{{sfn|Dörr|2012b|p=586-587}}
 
ApabilaPasal 32 Konvensi Wina 1969 juga memperbolehkan penggunaan cara penafsiran tambahan (''supplementary means of interpretation'') untuk memastikan hasil dari penafsiran yang telah dilakukan sesuai dengan Pasal 31, atau apabila penafsiran tersebut menghasilkan makna yang "rancu atau kabur" (''ambiguous or obscure'') atau "mustahil atau tidak masuk akal" (''manifestly absurd or unreasonable''). Namun, Pasaltujuan 32utama Konvensidari Winacara 1969penafsiran mengaturtambahan bahwaini penafsiradalah dapatuntuk menggunakanmenerangkan caramakna penafsiranyang tambahan,didapat salahdari satunyaPasal dengan31, melihatdan dokumenPasal persiapan32 perjanjiantidak atauboleh ''[[travauxdijadikan préparatoires]]''sebagai titik awal.{{sfn|Aust|2007|p=244-245}} MenurutSelain itu, menurut pakar hukum [[Swedia]]internasional UlfMakane LinderfalkMoïse Mbengue, Pasalpenggunaan 32istilah lebih''supplementary'' diutamakan(tambahan) daripadadan Pasal 31''may'' apabila syarat-syarat(dapat) dalam Pasal 32 telahmenunjukkan terpenuhi.{{sfn|Linderfalk|2015|p=184}}bahwa metode Namun,ini tujuanhanya utamabersifat darimelengkapi carasaja, penafsirandan tambahanpenafsir inimemiliki adalahkebebasan untuk menerangkanmemilih maknaapakah yangakan didapatmenggunakan darimetode Pasalini 31, dan Pasal 32atau tidak boleh dijadikan sebagai titik awal.{{sfn|AustMbengue|20072016|p=244-245399}} Dokumen persiapan perjanjian (''Travaux[[travaux préparatoires]]'') sendiri adalah satu contoh yang disebutkan secara gamblang oleh Pasal 32.{{sfn|Aust|2007|p=248}} Terdapat beberapa cara penafsiran tambahan lain yang dapat dipakai untuk membantu proses penafsiran, contohnya adalah ''[[argumentum a contrario]]'' (penafsiran yang didasarkan pada penalaran bahwa penulis perjanjian akan membuat perumusan secara gamblang jika itu memang makna yang diinginkan oleh mereka).{{sfn|Aust|2007|p=248}}{{sfn|Yusuf|Peat|2017|p=13, 18}}
 
Sementara itu, perjanjian multilateral seringkalisering kali dirumuskan dalam beberapa bahasa. Pasal 33 Konvensi Wina 1969 mengatur bahwa semua versi resmi dari suatu perjanjian dianggap berkedudukan sama, bahkan jika ada perbedaan makna di antara versi-versi tersebut, kecuali jika negara-negara pihak dalam perjanjian tersebut membuat ketentuan yang lain (misalnya menjadikan salah satu bahasa sebagai versi yang paling otoritatif).{{sfn|Aust|2007|p=253}}{{sfn|Dörr|2012b|p=581-582}} Aturan dalam pasal ini juga dianggap melambangkan kebiasaan internasional.{{sfn|Dörr|2012b|p=562-563}}
 
=== Metode lain ===
Baris 108:
Namun, beberapa perjanjian tidak memiliki ketentuan mengenai pengakhiran ataupun penarikan diri, contohnya adalah [[Konvensi Genosida]].{{sfn|Aust|2007|p=289}} Dalam keadaan seperti ini, Pasal 56(1) Konvensi Wina 1969 melarang pengakhiran atau penarikan dari suatu perjanjian kecuali jika pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut sejak awal mempunyai iktikad untuk menerima kemungkinan pengakhiran atau penarikan, atau jika hak pengakhiran atau penarikan tersirat dalam perjanjiannya.{{sfn|Aust|2007|p=289-290}} Sebagai contoh, pada Agustus 1997, [[Korea Utara]] mencoba menarik diri dari [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik]] ({{lang-en|International Covenant on Civil and Political Rights}}, disingkat ICCPR), sebuah perjanjian hak asasi manusia. Perjanjian ini sama sekali tidak menyebutkan soal kemungkinan untuk menarik diri.{{sfn|Aust|2007|p=291}} [[Badan traktat]] untuk perjanjian ini, [[Komite Hak Asasi Manusia]], menegaskan dalam ''General Comment No. 26'' bahwa sedari awal pihak-pihak yang terlibat dalam ICCPR memang tidak mengakui kemungkinan penarikan, sehingga negara-negara anggota ICCPR tidak dapat menyatakan keluar dari perjanjian ini. Selain itu, Komite Hak Asasi Manusia menambahkan bahwa ICCPR merupakan perjanjian yang berisikan hak-hak universal yang berlaku untuk semua, sehingga perjanjian ini tidak bersifat sementara layaknya perjanjian-perjanjian lain yang memungkinkan negara untuk menarik diri.{{sfn|De Schutter|2010|p=56-57}} Sementara itu, Pasal 59(1) Konvensi Wina 1969 mengatur mekanisme pengakhiran dan penangguhan melalui perjanjian yang baru. Hal ini diperbolehkan asalkan perjanjian yang baru memang dimaksudkan untuk mengatur hal yang sama dengan perjanjian yang lama, atau jika isi perjanjian yang baru bertentangan dengan isi perjanjian lama dan keduanya tidak bisa diterapkan pada saat yang sama.{{sfn|Aust|2007|p=292}}
 
Terdapat pula hal-hal lain yang memungkinkan pengakhiran, penangguhan, atau penarikan. Pasal 60 Konvensi Wina 1969 memungkinkan pengakhiran atau penangguhan suatu perjanjian apabila salah satu pihak telah melanggar isi dari perjanjian tersebut. Untuk perjanjian bilateral, pengakhiran atau penangguhan ini dapat dilakukan terhadap keikutsertaan pelanggar ataupun perjanjiannya secara keseluruhan. Apabila perjanjiannya adalah perjanjian multilateral, pihak-pihak lain harus membuat kesepakatan secara bulat untuk menangguhkan atau mengakhiri perjanjiannya ataupun keterlibatan pelanggar dengan perjanjian tersebut.{{sfn|Aust|2007|p=293-295}} Pelanggaran sendiri tidak hanya memberikan hak pengakhiran ataupun penarikan; jika pelanggaran menimbulkan kerugian, negara yang dirugikan punya hak untuk mengambil tindakan balasan atau menuntut kompensasi di pengadilan internasional.{{sfn|Aust|2007|p=293}} Pasal 61 Konvensi Wina 1969 memperbolehkan pengakhiran atau penarikan apabila kewajiban dari suatu perjanjian sudah tidak mungkin lagi dilaksanakan karena objek yang penting untuk pelaksanaan tersebut sudah hilang atau hancur.{{sfn|Aust|2007|p=296}} Contoh yang disebutkan oleh Komisi Hukum Internasional dalam hal ini adalah tenggelamnya suatu pulau atau mengeringnya suatu sungai.{{sfn|Aust|2007|p=297}} Sementara itu, Pasal 62 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa perubahan keadaan yang mendasar (''[[rebus sic stantibus]]'') hanya dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri atau menarik diri dari suatu perjanjian apabila keadaan tersebut memang melandasi iktikad negara untuk terikat dengan perjanjian, dan jika dampak dari perubahannya besar sehingga mengubah kewajiban yang masih harus ditunaikan. Contohnya dapat dilihat dalam perkara ''Racke'' di Mahkamah Eropa. Mahkamah ini membenarkan Keputusan [[Dewan Uni Eropa|Dewan Menteri]] tahun 1991 yang mengakhiri Perjanjian Kerja Sama Komunitas Eropa-Yugoslavia 1980 akibat [[Disintegrasi Yugoslavia|Perpecahan Yugoslavia]] yang dianggap sebagai perubahan keadaan yang mendasar.{{sfn|Aust|2007|p=299}} Secara keseluruhan, Mahkamah Internasional dalam perkara ''[[Bendungan Gabčíkovo-Nagymaros|Gabčíkovo–Nagymaros]]'' mengakui bahwa Pasal 60-62 Konvensi Wina 1969 melambangkan kebiasaan internasional.{{sfn|Aust|2007|p=293}}
 
== Suksesi perjanjian ==
{{main|Suksesi negara}}
Ketika suatu negara baru terbentuk setelah memisahkan diri dari negara lain atau sebagai pengganti dari suatu negara yang telah dibubarkan, muncul pertanyaan apakah perjanjian-perjanjian yang pernah diratifikasi oleh negara pendahulu juga mengikat negara yang baru terbentuk tersebut. Hal ini tidak diatur dalam Konvensi Wina 1969.{{sfn|Zimmermann|2006}}{{sfn|Aust|2007|p=367-368}} Konvensi yang berisi tentang pewarisan perjanjian adalah [[Konvensi Wina tentang Suksesi Negara dalam Hubungan dengan Perjanjian Internasional]] tahun 1978, tetapi perjanjian ini baru mulai berlaku pada tahun 1996 dan jumlah negara yang meratifikasinya tidaklah banyak; pada akhir tahun 2006, jumlah negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut hanya 21. Hal ini dikarenakan sebagian besar negara menganggap perjanjian ini tidak relevan untuk mereka, terutama karena era [[dekolonisasi]] sudah berakhir.{{sfn|Aust|2007|p=368}} Walaupun begitu, dalam sejarah, terdapat beberapa contoh suksesi perjanjian oleh negara pewaris, seperti pembubaran [[Uni Soviet]] dan pewarisan perjanjian-perjanjiannya oleh [[Federasi Rusia]]. Sementara itu, negara-negara yang memisahkan diri dari negara lain (terutama dalam konteks dekolonisasi) seringkalisering kali mengikuti asas ''[[tabula rasa]]'' yang berarti bahwa negara tersebut harus meratifikasi kembali perjanjian-perjanjian yang ingin diikutinya.{{sfn|Zimmermann|2006}}
 
Menurut pakar hukum internasional Anthony Aust, terdapat beberapa kebiasaan internasional yang terkait dengan suksesi perjanjian. Pada dasarnya negara baru tidak langsung mewarisi perjanjian yang subjeknya berkaitan dengan hubungan politik negara pendahulu dengan negara lain, contohnya adalah perjanjian persekutuan. Negara yang baru terbentuk akan mewarisi perjanjian yang berkaitan dengan status wilayah atau navigasi sungai, contohnya adalah negara-negara bekas Yugoslavia yang mewarisi keterlibatan Yugoslavia dalam [[Perjanjian Negara Austria]] tahun 1955. Jika suatu negara menjadi bagian dari negara lain (seperti [[Jerman Timur]] yang [[reunifikasi Jerman|bersatu dengan]] [[Jerman Barat]] pada tahun 1990), perjanjian yang sebelumnya diikuti oleh negara yang bergabung tidak akan diwarisi oleh negara yang menerima penggabungan tersebut, kecuali jika peristiwa yang terjadi adalah penyatuan yang sesungguhnya di antara dua negara (seperti [[penyatuan Yaman|penyatuan]] [[Republik Yaman]] dengan [[Republik Demokratik Rakyat Yaman]] pada tahun 1990). Negara baru biasanya tidak langsung mewarisi perjanjian multilateral dan mereka bebas untuk memilih apakah akan mewarisinya atau tidak.{{sfn|Aust|2007|p=369-371}}
Baris 124:
 
== Penyimpanan, pendaftaran, dan publikasi ==
[[ImageBerkas:Original Geneva Conventions.jpg|thumbjmpl|Naskah asli [[Konvensi Jenewa Pertama]] dari tahun 1864.]]
Perjanjian bilateral biasanya memiliki dua versi asli yang ditandatangani oleh kedua negara, dan masing-masing negara menyimpan salah satu dari kedua dokumen tersebut. Kadang-kadang ada juga perjanjian bilateral yang hanya memiliki satu versi asli, dan dalam keadaan seperti ini kedua negara akan menentukan negara mana yang akan menyimpan perjanjian ini, atau mereka juga dapat meminta agar negara ketiga atau organisasi internasional menyimpan perjanjian tersebut.{{sfn|Aust|2007|p=324}} Sementara itu, untuk perjanjian multilateral, biasanya satu pihak akan ditunjuk sebagai penyimpannya, baik itu salah satu negara, organisasi internasional, ataupun petugas administratif utama dari organisasi tersebut.{{sfn|Aust|2007|p=325}} Sebagai contoh, Piagam PBB kini disimpan di arsip [[pemerintah Amerika Serikat]].{{sfn|Aust|2007|p=326}} Negara yang menjadi penyimpan diwajibkan oleh Pasal 76(2) Konvensi Wina 1969 untuk bertindak secara imparsial dan membedakan antara kepentingan nasional dengan peranannya sebagai penyimpan.{{sfn|Aust|2007|p=329}} Fungsi-fungsi utama dari penyimpan dijabarkan dalam Pasal 77(1) Konvensi Wina 1969, contohnya adalah mempersiapkan salinan naskah asli yang tersertifikasi, menerima penandatanganan suatu perjanjian, memeriksa apakah penandatanganan dokumen sudah sesuai dengan prosedur, serta mendaftarkan perjanjian di Sekretariat PBB.{{sfn|Aust|2007|p=332}}
 
Baris 151:
=== Bab buku ===
* {{citation|first1=Oliver|last1=Dörr|editor-first1=Oliver|editor-last1=Dörr|editor-first2=Kirsten|editor-last2=Schmalenbach|year=2012a|chapter=Introduction: On the Role of Treaties in the Development of International Law|title=Vienna Convention on the Law of Treaties: A Commentary|publisher=Springer|location=Heidelberg , New York|isbn=9783662551608|edition=2|url=https://books.google.be/books?id=oCFHDwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=nl&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false}}
* {{citation|first1=Oliver|last1=Dörr|editor-first1=Oliver|editor-last1=Dörr|editor-first2=Kirsten|editor-last2=Schmalenbach|year=2012b|chapter=Section 23: Application of Treaties|title=Vienna Convention on the Law of Treaties: A Commentary|publisher=Springer|location=Heidelberg , New York|isbn=9783662551608|edition=2|url=https://books.google.be/books?id=oCFHDwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=nl&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false}}
* {{citation|first1=Philippe|last1=Gautier|editor-first1=Olivier|editor-last1=Corten|editor-first2=Pierre|editor-last2=Klein|year=2011|chapter=Article 2 Convention of 1986|title=The Vienna Conventions on the Law of Treaties: A Commentary|publisher=Oxford University Press|location=Oxford|isbn=9780199546640|url=https://books.google.be/books?id=ysWc5juXAkcC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false}}
* {{citation|first1=Frank|last1=Hoffmeister|editor-first1=Oliver|editor-last1=Dörr|editor-first2=Kirsten|editor-last2=Schmalenbach|year=2012|chapter=Article 10: Authentication of the Text|title=Vienna Convention on the Law of Treaties: A Commentary|publisher=Springer|location=Heidelberg , New York|isbn=9783662551608|edition=2|url=https://books.google.be/books?id=oCFHDwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=nl&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false}}
Baris 162:
* {{Citation|last=Brölmann|first=Catherine|year=2005|title=Law-Making Treaties: Form and Function in International Law|url=https://heinonline.org/HOL/Print?collection=journals&handle=hein.journals/nordic74&id=389|journal=Nordic Journal of International Law|volume=74|pages=383}}
* {{Citation|last=Gaja|first=Giorgio|year=1988|title=A 'New' Vienna Convention on Treaties between States and International Organizations or Between International Organizations: A Critical Commentary|url=https://academic.oup.com/bybil/article-lookup/doi/10.1093/bybil/58.1.253|journal=British Yearbook of International Law|volume=58|issue=1|pages=253}}
* {{Citation|last=Linderfalk|first=Ulf|year=2015|title=Is Treaty Interpretation an Art or a Science? International Law and Rational Decision Making|url=http://www.ejil.org/pdfs/26/1/2564.pdf|journal=European Journal of International Law |volume=26|issue=1|pages=169}}
* {{Citation|last=Marceau|first=Gabrielle|year=2018|title=Evolutive Interpretation by the WTO Adjudicator|url=https://academic.oup.com/jiel/article/21/4/791/5211415|journal=Journal of International Economic Law|volume=21|issue=4|pages=791}}
* {{Citation|last=Mbengue|first=Makane Moïse|year=2016|title=Rules of Interpretation (Article 32 of the Vienna Convention on the Law of Treaties)|url=https://academic.oup.com/icsidreview/article-abstract/31/2/388/2198158?redirectedFrom=fulltext|journal=ICSID Review|volume=31|issue=2|pages=388}}
* {{Citation|last=Moloney|first=Roslyn|year=2004|title=Incompatible Reservations to Human Rights Treaties: Severability and the Problem of State Consent|url=https://heinonline.org/HOL/Page?handle=hein.journals/meljil5&id=161&collection=journals&index=journals/meljil|journal=Melbourne Journal of International Law |volume=5|issue=1|pages=155}}
* {{Citation|last=Will|first=Martin|year=2015|title=Völkerrecht und nationales Recht: Dogmatische Grundlagen und konkrete Ausgestaltung am Beispiel der deutschen Verfassungsordnung|url=https://www.degruyter.com/view/j/jura.2015.37.issue-11/jura-2015-0234/jura-2015-0234.xml|journal=Juristische Ausbildung|volume=11|pages=1164}}
Baris 169:
|url=https://heinonline.org/HOL/LandingPage?handle=hein.journals/cajccl3&div=5&id=&page=|journal=Canadian Journal of Comparative and Contemporary Law|volume=3|pages=1}}
 
=== EnsiklopediaSumber daring ===
* {{Citation|title=1. Vienna Convention on the Law of Treaties|url=https://treaties.un.org/pages/ViewDetailsIII.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XXIII-1&chapter=23&Temp=mtdsg3&clang=_en|journal=United Nations Treaty Collection|accessdate=13 September 2019|ref={{sfnref|United Nations Treaty Collection}}}}
* {{Citation|last=Zimmermann|first=Andreas|year=2006|title=State Succession in Treaties|url=https://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e1109?prd=EPIL|accessdate=13 September 2019|journal=Max Planck Encyclopedia of Public International Law}}
 
{{artikel pilihan}}
 
[[Kategori:Traktat| ]]