Suku Citak: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
k Etnik |
||
(38 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Bedakan|Suku Karo|Suku Kao}}
{{Infobox ethnic group
|group = Citak
|native_name=
|image =
|caption =
|
|popplace = [[Papua Selatan]] ([[Indonesia]])
|langs = [[Bahasa Citak|Citak]], [[Bahasa
|rels = [[
|related = [[Suku Asmat|Asmat]]
}}
'''Suku Citak
== Sejarah ==
Suku Citak merupakan suku bangsa yang mendiami hulu Sungai Brazza dan dibatasi di sebelah timur oleh hulu [[Sungai Digul]], sedangkan di sebelah barat dibatasi oleh [[Sungai Pulau]] dan [[Sungai Wildeman]].<ref name="Antoni 2010 pp. 411–422"/> Di sebelah baratnya berdiam suku bangsa Asmat, sebelah selatannya orang Awyu. Bahasa mereka ada persamaan dengan bahasa Asmat, sehingga sebagian ahli cenderung menggolongkan mereka sebagai salah satu subsuku bahasa Asmat. ▼
Pada awalnya, suku Citak berkehidupan semi-nomaden, dan tinggal di kampung-kampung kecil yang tersebar disekitar [[Sungai Brazza]]. Setelah adanya paksaan dari pemerintahan [[Hindia Belanda]] mereka mulai hidup permanen di kampung-kampung yang lebih besar, hal ini dimaksudkan agar pemerintah Hindia Belanda lebih mudah untuk mengontrol mereka.<ref name="Melalatoa 1995 p. 212 "/>
Desa-desa mereka adalah Daikut, Samnak, Sipanap,<ref name=":0"/> Senggo, Kunasuma, Basmam, Tiau, Amazu, Binerbis, Bidneu, Vamu/Vomu, Ipem, Binam, Vakam, Bi-namzein/Mbinamzain, Womin, Sagamu, Buruba, Abau/Abau, Komasma, Vou, Imembi, Patipi, Piramanak, Burbis, Binam, Sagis, Emenepe, Tokemau, Dja-wok, Asserep.<ref name="Antoni 2010 pp. 411–422"/> Suku ini masuk dalam Kecamatan [[Citak Mitak, Mappi|Citak Mitak]] (Kampung Senggo), [[Kabupaten Mappi]], Provinsi [[Papua Selatan]], Indonesia. Jumlah populasinya sekitar 8.000 jiwa.<ref name=":0">{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=w_FCDAAAQBAJ&pg=PA95&lpg=PA95&dq=suku+busami&source=bl&ots=yQCaItv-6R&sig=JfcfFwQo2c1zMLwkdGw-idqRFig&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiJ4bmN57nTAhWHMY8KHW71Bx4Q6AEIWTAK#v=onepage&q=suku%20busami&f=false|title=Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia|last=Hidayah|first=Dr Zulyani|date=2015-01-01|publisher=Yayasan Pustaka Obor Indonesia|isbn=9789794619292|language=id}}</ref>▼
==
▲
Awalnya Suku Citak berkehidupan semi-nomaden, dan tinggal di kampung-kampung kecil yang tersebar. Setelah ada paksaan dari pemerintahan Hindia Belanda mereka mulai hidup permanen di kampung yang lebih besar. Makanan pokok suku Citak adalah sagu yang dilengkapi dengan ikan dan daging. Sagu dan Ikan merupakan hasil dari kaum perempuan sedangkan daging merupakan hasil buruan kaum lelaki menggunakan perahu dengan panjang 4 meter, lebih kecil dari perahu untuk keluarga yang memiliki panjang 10 meter.<ref name="Melalatoa 1995 p. 212 ">{{cite book | last=Melalatoa | first=M.J. | title=Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia: A-K | publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI | series=Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia | year=1995 | url=https://books.google.com/books?id=sU4OAQAAMAAJ | pages=212| language=id | access-date=2022-10-25 | page=}}</ref>▼
▲Desa-desa mereka adalah Daikut, Samnak, Sipanap,<ref name=":0"/> Senggo, Kunasuma,
▲Awalnya suku Citak menggunakan sistem kekerabatan [[matrilineal]] dengan adat menetap menikah matrilokal. Selain itu suku Citak juga tidak mengenal sistem klan. Walaupun kemudian perlahan berubah disaat masuknya misionaris barat.<ref name="Melalatoa 1995 p. 212 ">{{cite book | last=Melalatoa | first=M.J. | title=Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia: A-K | publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI | series=Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia | year=1995 | url=https://books.google.com/books?id=sU4OAQAAMAAJ | pages=212| language=id | access-date=2022-10-25 | page=}}</ref>
==
▲
== Budaya ==
Peninggalan dari suku ini yang disimpan di [[Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat]] disimpan di dalam koleksi ''Yupmakcain''. Menurut direktur musem tersebut, Eric Sarkol, nama tersebut diberikan oleh pendahulunya Yufentius Biakai. Menurut Biakai, nama ''Yupmakcain'' merupakan nama [[emik dan etik|emik]] dari daerah utara Binam dan Mbinamzain. Beberapa contoh cabang seni suku ini berupa seni drama dan seni rupa, bagian dari upacara adat. Mirip dengan [[suku Asmat]], beberapa seni ukiran berupa pahatan perisai dengan pilihan warna yang mirip dengan gaya seni Barat-Daya lainnya seperti [[suku Asmat]] dan [[Suku Auyu]].<ref name="Melalatoa 1995 p. 212 ">{{cite book | last=Melalatoa | first=M.J. | title=Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia: A-K | publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI | series=Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia | year=1995 | url=https://books.google.com/books?id=sU4OAQAAMAAJ | pages=212| language=id | access-date=2022-10-25 | page=}}</ref>▼
▲Peninggalan dari suku
==Legenda Agu Ibit==▼
Menurut Pido seorang ''zauwaibit'' (pemimpin perang) yang berasal dari Senggo Lama, awalnya suku ini tinggal di rumah pohon tetapi kemudian berubah karena berbahaya bagi anak kecil yang mudah jatuh. Legenda leluhur suku ini adalah ''Agu Ibit'' yang dinarasikan Pido kepada Josef Haas tahun 1981 (yang di translasikan berdasarkan rekaman oleh Alexander de Antoni, Stefanus Supprobo dan Cornelis di Senggo, 2007): ▼
==Tradisi==
Agu Ibit melangkah keluar dari air ke darat. Setelah semalaman di sungai, dia kemudian duduk diatas pohon ''Ki'', kemudian dia juga telah duduk diatas pohon ''Tinak''. Setelah buang air besar ia kemudian buang air kecil di pagi hari. Ia kemudian melompat dari pohon ke pohon, lalu di atas pohon ia menghadap ke barat. Kemudian kamu memakai ikat pinggang dari kerang dan kalung dari gigi anjing. Dia kemudian bangun dengan kaki yang kaku dan membuka tangan di atas pohon ''Ki''. "Oh pohon ''Ki'' berikanlah cuaca yang baik, sehingga lengan tangan bisa bergerak bebas", dengan suara yang ceria, "Saya sedang mencari sesuatu untuk dimakan, Hujan jangan turun, saya mau berburu tikus besar, kasuari, dan ikan di sungai. Jika ada perempuan disana, saya ingin memukul sagu." Fo....fo. Kemudian perempuan lain berkata, "Saya tinggal di siang ini untuk menyusui bayi." Siang ini sangat terik, ingin pergi jauh. Agu Ibit memberi cuaca yang baik. Di atas pohon ''Ki'', di atas pohon ''Kuru'', di atas pohon ''Badam'', di atas pohon ''Utua'', pohon kayu, pohon ''Pambam'', daun ''Tinak'', daun pohon, pohon Sagu. Daun pohon sagu, tatapan matamu bercahaya. Agu Ibit, Agu Ibit, Tanambitda (''matahari laki-kaki'' nama lain Agu Ibit), Tanambitda, matamu bercahaya sepanjang hari. Sekarang kamu akan pergi berangkat dari timur ke barat, hingga menghilang.<ref name="Antoni 2010 pp. 411–422">{{cite journal | last=Antoni | first=Alexander de | title=“Call Us Kau, Not Citak.” Constitutive Factors for the Ethnic Consciousness of an Asmat Subgroup | journal=Anthropos | publisher=Nomos Verlag | volume=105 | issue=2 | year=2010 | issn=0257-9774 | doi=10.5771/0257-9774-2010-2-411 | pages=411–422}}</ref>▼
▲Menurut Pido seorang ''zauwaibit'' (pemimpin perang) yang berasal dari Senggo Lama, awalnya suku ini tinggal di [[rumah pohon]] tetapi kemudian berubah karena berbahaya bagi anak kecil yang mudah jatuh. Legenda leluhur suku ini adalah ''Agu Ibit'' yang dinarasikan Pido kepada Josef Haas tahun 1981 (yang
<Blockquote>
▲
== Referensi ==
<References/>
[[Kategori:Suku bangsa di Papua Selatan|
[[Kategori:Kelompok etnik di Indonesia|Citak]]
|