Kapitayan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Membalikkan revisi 20325348 oleh Dimas supriatno (bicara) Tag: Pembatalan |
k Mengembalikan suntingan oleh 103.147.8.57 (bicara) ke revisi terakhir oleh Ariandi Lie Tag: Pengembalian |
||
(36 revisi perantara oleh 15 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{takakurat}}
{{klaim sepihak}}
{{riset asli}}
{{taknetral}}
{{kontradiktif}}
{{italic title}}
{{about|[[agama Jawanik]] yang bersifat monoteistik|agama Jawanik yang bersifat non-monoteistik|Kejawen}}
{{Infobox religion
| name = {{lang|jv|Kapitayan}}
| native_name = {{lang|jv|ꦏꦥꦶꦠꦪꦤ꧀}}
| icon =
| icon_width =
| icon_alt =
| image = HYANG.gif
| imagewidth = 200px
| alt =
| caption =
| abbreviation =
| type = [[Agama asli Nusantara]]
([[Suku Jawa]])
| main_classification =
| orientation =
| scripture =
| theology = [[Monoteisme]]
| polity =
| governance = Majelis Nasional Agama Jawa
| structure =
| leader_title =
| leader_name =
| fellowships_type =
| fellowships =
| division_type =
| division =
| associations =
| full_communion =
| area = [[Jawa Tengah]] & [[Jawa Timur]]
| language ={{plainlist|
* [[Bahasa Jawa Kuno]] (biasa digunakan pada ritual keagamaan)
* [[Bahasa Jawa]] (terutama [[Bahasa Bagongan]])}}
| liturgy =
| headquarters = [[Jawa Tengah]]
| territory =
| possessions =
| founder =
| founded_date =
| founded_place =
| independence =
| reunion =
| recognition = Diakui sejak 2017, sebagai Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.<ref>{{Cite news|date=10 April 2018|title=Penghayat Kepercayaan: Setelah Putusan MK dan Kolom KTP|url=https://www.voaindonesia.com/amp/penghayat-kepercayaan-setelah-putusan-mk-dan-kolom-ktp/4340417.html#:~:text=Penghayat%20kepercayaan%20kepada%20Tuhan%20Yang%20Maha%20Esa,%20akan%20menerima%20Kartu%20Tanda%20Penduduk%20yang%20mencantumkan%20kolom%20kepercayaan.|work=voaindonesia.com|access-date=25 Juli 2023}}</ref>
| separated_from =
| branched_from =
| merger =
| absorbed =
| separations =
| defunct =
| congregations_type =
| congregations =
| members = [[Suku Jawa]]
| number_of_followers =
| ministers_type = | ministers = | missionaries =
| hospitals = | nursing_homes = | aid = | primary_schools = | secondary_schools = | tax_status = | tertiary =
| other_names = | publications = | website = | website_title1 = | slogan = | logo =
| module =
| footnotes = }}
{{Agama di Jawa}}
{{Agama asli di Nusantara}}
'''''Kapitayan''''' (dari {{lang-jv|ꦏꦥꦶꦠꦪꦤ꧀}}) adalah salah satu agama kuno di [[pulau Jawa]], khususnya bagi [[Suku Jawa]]. Kapitayan merupakan salah satu bentuk [[monoteisme]] asli Jawa yang dianut dan dijalankan oleh sebagaian masyarakat Jawa secara turun-temurun.<ref>Sunyoto (2017). p. 13.</ref> Agama ini juga kerap mengidentifikasikannya sebagai "agama kuno Jawa", "agama monoteis Jawa", "agama monoteis leluhur", "agama asli Jawa", yang mana berbeda dari [[Kejawen]] ([[agama Jawanik]] lainnya yang bersifat non-monoteistik).
== Etimologi dan terminologi ==
Secara etimologi, kata "''{{lang|kaw|Kapitayan}}''" merupakan istilah yang berasal dari [[bahasa Jawa Kuno]], yang memiliki kata dasar "''{{lang|kaw|Taya}}''" ([[Aksara Jawa Kuno|Caraka Kuno]]: [[File:Aksara Kawi ta.svg|15px]][[File:Aksara Kawi ya.svg|15px]]) yang berarti "tak terbayangkan", "tak terlihat" atau "mutlak" secara harfiah,<ref name="Old Javanese">{{citation|last=Zoetmulder|first=P.J.|title=Old Javanese-English Dictionary|year=1982|publisher=[[Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies|Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde]]}}</ref> dalam [[bahasa Sunda]] juga terdapat kata ''taya'' (singkatan dari ''teu aya'') yang memiliki arti "tidak ada" atau "tiada",<ref>{{Cite book|last=Satjadibrata|first=R.|date=1944|url=https://books.google.co.id/books?id=7nhhEAAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=kamus+sunda&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjvs8LrjIX6AhWqSGwGHU6XCA8Q6wF6BAgJEAE#v=onepage&q=taya&f=false|title=Kamus Sunda-Indonesia|location=Bandung|publisher=Dunia Pustaka Jaya|isbn=978-623-7295-22-8|pages=342|url-status=live}}</ref> dengan demikian itu berarti bahwa ''Taya'' tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan, atau tidak dapat digapai oleh [[panca indra]] duniawi manusia.<ref name=":2">Sunyoto (2017). p. 14.</ref>
Kapitayan dapat digambarkan sebagai ajaran yang memuja atau menyembah ''{{lang|kaw|Taya}}'' ({{Script/Java|ꦠꦪ}}) atau ''{{lang|kaw|Sang [[Hyang]] Taya}}'' ({{Script/Java|ꦱꦁꦲꦾꦁꦠꦪ}}) yang merujuk kepada entitas yang tak terbayangkan dan tak terlihat, yang terkadang juga disebut sebagai ''Suwung'' (ꦱꦸꦮꦸꦁ), ''Awang'' (ꦲꦮꦁ), or ''Uwung'' (ꦲꦸꦮꦸꦁ).
Kata ''Awang-uwung'' (ꦲꦮꦁꦲꦸꦮꦸꦁ) mengacu pada keberadaan nyata tetapi tidak terjangkau, sehingga dapat diketahui dan disembah oleh makhluk duniawi termasuk manusia, dan ''{{lang|kaw|Sang [[Hyang]] Taya}}'' digambarkan sebagai entitas bersifat ketuhanan dan supranatural yang berkategori ''{{lang|kaw|Tu}}'' (ꦠꦸ) ataupun ''{{lang|kaw|To}}'' (ꦠꦺꦴ).<ref name=":2">Sunyoto (2017). p. 14.</ref>
== Prinsip keagamaan ==
Baris 9 ⟶ 80:
Tuhan dalam agama kapitayan disebut Sang Hyang Taya. ''Taya'' berarti "''suwung''" (kosong). Tuhan Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan. Sang Hyang Taya diartikan sebagai "''tan keno kinaya ngapa''", tidak dapat dilihat, dipikirkan, atau dibayangkan, alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, supaya bisa disembah Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna "daya gaib" yang bersifat adikodrati. Tu atau To adalah tunggal dalam Dzat. Satu Pribadi. Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. Tu yang bersifat Kebaikan disebut Tu-han disebut dengan nama Sanghyang Wenang. Tu yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya bersifat gaib tidak dapat didekati dengan pancaindera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.<ref name=":3">{{Cite journal|last=Sunyoto|first=Agus|date=2017|title=NU dan Faham Keislaman Nusantara|journal=Mozaic : Islam Nusantara|volume=3|issue=1|pages=15-30}}</ref>{{rp|17}}
Kekuatan Sang Hyang Taya yang kemudian mewakili di berbagai tempat, seperti di batu, monumen, pohon, dan di banyak tempat lain.<ref>Galbinst (2019).
=== Teologi ===
Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sanghyang Taya yang disebut Tu atau To itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama Tu atau To. Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu, tu-gu, tu-tuk, tu-nda, tu-lang, tu-nggul, tu-ak, tu-k, tu-ban, tu-mbak, tunggak, tu-lup,tu-ngkub, tu-rumbukan, un-tu, pin-tu, tu-tud, to-peng, to-san, to-pong, to-parem, to-wok, to-ya. Sisa-sisa sarana pemujaan inilah yang dalam arkeologi dikenal sebagai Menhir, Dolmen, Punden Berundak, Nekara, Sarkofagus, dan lain lain. Dalam melakukan bhakti memuja Sanghyang Taya melalui sarana-sarana inilah, orang menyediakan sesaji berupa [[tumpeng]], tu-mbal, tu-mbu, tu-kung, tu-d kepada Sanghyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib.<ref name=":3" />{{rp|17}}
Baris 22 ⟶ 93:
Nilai-nilai keagamaan Kapitayan inilah yang kemudian diadopsi oleh para Walisongo dalam menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah. Karena konsep tauhid dalam Kapitayan pada dasarnya sama dengan konsep tauhid dalam Islam: istilah “''Tan keno kinaya ngapa''” dalam Kapitayan (“tidak dapat dilihat, tidak dapat dipikirkan, tidak dapat dibayangkan, Ia berada di luar segalanya"), memiliki arti yang sama dengan "laisa kamitslihi syai'un" dalam Islam ("Tidak ada yang seperti Dia"; Qur'an Surah Ash-Syura bab 42 ayat 11).<ref name=":0" />
Walisongo juga menggunakan istilah “Sembahyang” (menyembah Sang Hyang Taya di Kapitayan) dalam memperkenalkan istilah “Shalat” dalam Islam. Dalam hal tempat pemujaan atau persembahyangan, Walisongo juga menggunakan istilah Sanggar di Kapitayan, yang merupakan bangunan empat persegi dengan lubang kosong di dindingnya sebagai simbol Sang Hyang Taya di Kapitayan, bukan arca seperti dalam agama Hindu. Istilah tempat untuk berdoa atau beribadah di Kapitayan ini juga digunakan oleh Walisongo dengan nama "Langgar" mewakili istilah Masjid dalam Islam.<ref>Sunyoto (2017).
Ada juga ritual tidak makan dari pagi hingga malam di Kapitayan, yang disebut dengan Upawasa (Puasa atau Poso). Kebetulan, ritual puasa dalam agama Hindu disebut juga dengan Upawasa atau Upavasa.<ref>{{Cite web|title=Upavasa - Banglapedia|url=http://en.banglapedia.org/index.php?title=Upavasa|website=en.banglapedia.org|access-date=2019-11-20}}</ref> Alih-alih menggunakan istilah puasa atau Siyam dalam Islam, Walisongo menggunakan istilah Puasa atau Upawasa dari Kapitayan dalam menggambarkan ritual tersebut. Sebutan Poso Dino Pitu dalam Kapitayan yang artinya puasa pada hari kedua dan kelima yang sama dengan puasa tujuh hari, sangat mirip dengan bentuk puasa Senin dan Kamis dalam Islam. Tradisi "Tumpengan" Kapitayan juga dilestarikan oleh para Walisongo dalam perspektif Islam yang dikenal sebagai "Sedekah". Inilah makna istilah yang disebut-sebut oleh Gus Dur (presiden keempat Indonesia) sebagai "mempribumikan Islam".<ref name=":0" />
=== Praktik ibadah ===
Dalam rangka melakukan puja bakti kepada Sanghyang Tunggal, penganut Kapitayan menyediakan sajen berupa tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tumbu (keranjang persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada Sanghyang Tu-nggal yang daya gaib-Nya tersembunyi pada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti tu-ngkub, tu-nda, wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-k, tu-ban, tu-rumbukan, tu-tuk. Para penganut Kapitayan yang punya maksud melakukan tu-ju (tenung) atau keperluan lain yang mendesak, akan memuja Sanghyang tu-nggal dengan persembahan khusus yang disebut tu-mbal.<ref name=":1">Sunyoto (2017).
Berbeda dengan pemujaan terhadap Sanghyang Tunggal yang dilakukan masyarakat awam dengan persembahan sajen-sajen di tempat-tempat keramat, untuk beribadah menyembah Sanghyang Taya langsung, amaliah yang lazim dijalankan para ruhaniwan Kapitayan, berlangsung di suatu tempat bernama sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpang dengan tutu-k (lubang ceruk) di dinding sebagai lambang kehampaan Sanghyang Taya.<ref name=":1" />
Baris 34 ⟶ 105:
== Sejarah ==
Tokoh-tokoh idola dalam ajaran
== Rujukan ==
Baris 47 ⟶ 118:
{{Authority control}}
{{Agama di Indonesia}}
[[Kategori:Kapitayan| ]]
[[Kategori:Kepercayaan tradisional Indonesia]]
[[Kategori:Spiritualitas]]
[[Kategori:Budaya Jawa]]
[[Kategori:Agama]]
[[Kategori:Agama di Indonesia]]
|