Ratu (gelar): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Membalikkan revisi 26076231 oleh Ruanganpribadiku (bicara) seharusnya menggunakan keturunan alih-alih peranakan, raja dan ratu sebaiknya tidak menggunakan r kapital kecuali nama gelar
Tag: Pembatalan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
(53 revisi perantara oleh 25 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Wiktionary}}
'''Ratu''' adalah gelar kebangsawanan di Indonesia dan dapat merujuk kepada dua hal, yaitu wanita yang memimpin kerajaan atau istri dari raja. Dalam konteksnya sebagai [[penguasa monarki]], wilayah kekuasaan ratu disebut dengan '''[[kerajaan]]'''.
{{untuk|kegunaan lain|Ratu (disambiguasi)}}
'''Ratu''' atau '''Rani''' adalah gelar kebangsawanan di Indonesia dan bisa merujuk ke dua hal, yakni wanita yang memimpin Kerajaan atau istri dari Raja. Gelar yang sepadan dengan Ratu untuk pria adalah [[Raja (gelar)|Raja]]. Dalam konteksnya sebagai [[penguasa monarki|Penguasa Monarki]], wilayah kekuasaan Ratu disebut dengan '''Kerajaan'''.
 
Gelar selain ratuRatu yang dapat merujuk kepadake penguasaPenguasa monarkiMonarki wanita adalah '''[[Maharaja|maharaniMaharani]]''' (dalamKemaharajaan kemaharajaan),atau '''[[Kaisar|kaisarina]]''' (dalam kekaisaranKekaisaran), ataudan '''[[sultanahSultanah]]''' (dalam kesultananKesultanan).
 
== Makna ==
 
Istilah ratuRatu masih berkerabat dengan istilah Datu dan Latu (latuhalatLatuhalat = ratuRatu baratBarat). Istilah ratuRatu sesungguhnya merupakan bahasa asli [[Nusantara]], khususnya bahasa [[Jawa Kuno]]. Ratu berarti penguasa atau pemimpin suatu kelompok dan gelar ini tidak memandang jenis kelamin. [[Prasasti Canggal]] misalnya, menyebut raja pertama [[Mataram Hindu]] sebagai '''"Rake Mataram Sang Ratu Sanjaya'''". Dalam sejarah [[Kerajaan Singhasari]] terdapat nama [[Mahisa Campaka]] yang menjabat sebagai '''"Ratu Angabhaya'''". BaikEntah [[Sanjaya]] maupunataupun [[Mahisa Campaka]] adalah nama laki-lakilelaki. Namun keduanya masing-masing bergelar ''ratu''"Ratu". Hal itu menunjukkan kalau ''ratu''"Ratu" tidak harus identik dengan perempuan.
 
Seiring berjalannya waktu, kebudayaan [[Hindu]] semakin berkembang di bumi [[Indonesia]]. Istilah '''raja'''"Raja" yang berasal dari [[bahasa Sanskerta]] mulai menggantikan penggunaanpemakaian gelar ratuRatu. Istilah ratuRatu bergeser menjadi terkesan [[femininFeminin]] dan bersinonimsinonim dengan '''raniRani'''.
 
Tidak diketahui dengan pasti kapan istilah ratuRatu mulai dipakai kaumuntuk perempuan. Naskah [[Babad Tanah Jawi]] yang ditulis pada abad ke-17 mulai membedakanbedakan penggunaanpemakaian gelar jabatan, yaituyakni untuk perempuan digunakandipakai istilah ratuRatu, misalnya [[Ratu Kalinyamat]] atau [[Ratu Pembayun]], sedangkan untuk laki-lakilelaki digunakandipakai istilah ''sultan"Sultan", prabu"Prabu", pangeran"Pangeran", panembahan,"Panembahan" atau sunan''"Sunan".
 
Akan tetapiTetapi tidak sepenuhnya istilah ratuRatu tergeser oleh rajaRaja. Meskipun raja-rajaPara Raja [[Jawa]] zaman sekarang menggunakanmemakai gelar [[sultanSultan]] atau [[sunanSunan]], namuntetapi [[bahasa Jawa]] untuk istilah [[istana]] tetap menggunakanmemakai kata [[keratonKeraton]] yang berasal dari kata ''"ke-ratu-an''", yang berarti tempat tinggal ratuRatu.
 
== Penguasa monarki ==
Dalam konteksnya sebagai [[penguasa monarki|Penguasa Monarki]], Ratu adalah padanan dari gelar [[Raja (gelar)|Raja]] dan merujuk ke wanita yang memimpin Kerajaan. Sepanjang sejarah, jumlah Ratu jauh lebih sedikit daripada Raja. Hal ini karena banyak kebudayaan masa lampau yang memandang bahwa kepemimpinan dan ranah masyarakat umum menjadi wilayah kaum pria.
Dalam konteksnya sebagai [[penguasa monarki]], ratu adalah padanan dari gelar raja, dan merujuk pada wanita yang memimpin kerajaan. Dalam beberapa kebudayaan, baik pria maupun wanita yang menjadi penguasa monarki menyandang gelar yang sama, tanpa membedakan jenis kelamin. Firaun, gelar yang disandang oleh para penguasa Mesir kuno, pernah disandang baik oleh pria dan wanita. Beberapa wanita yang menjadi firaun di antaranya [[Hatshepsut]] dan [[Kleopatra VII|Kleopatra]]. Penguasa Tiongkok antara tahun 221 SM sampai 1912 M menyandang gelar [[Kaisar Tiongkok|''huángdì'' (皇帝)]] dan gelar ini pernah disandang pria dan wanita. Dalam bahasa Indonesia, gelar ini diterjemahkan menjadi "kaisar" untuk laki-laki dan "kaisarina" untuk perempuan. Penguasa negeri Jepang menyandang gelar [[Kaisar Jepang|''tennō'' (天皇)]] dan diterjemahkan menjadi "kaisar" untuk laki-laki dan "[[Kaisarina Jepang|kaisarina]]" untuk perempuan, sebagaimana penerjemahan gelar ''huángdì''.
 
Dalam [[hukum Sali]] yang dianut banyak Monarki di Eropa, dinyatakan secara jelas bahwa wanita tidak mendapat tempat dalam masalah pewarisan takhta.<ref>Cave, Roy and Coulson, Herbert. ''A Source Book for Medieval Economic History'', Biblo and Tannen, New York (1965) p.&nbsp;336</ref> Selain itu, terdapat pula prinsip yang dianut kebanyakan masyarakat bahwa kepemilikan wanita akan lebur saat menikah dengan kepemilikan suaminya dan hal ini menjadikan wanita yang telah menikah memiliki hak kepemilikan pribadi yang sangat terbatas.<ref name="Emanuel">{{cite book|title=Property |last=Emanuel |first=Steven L. |date=2004 |publisher=Aspen Publishers, inc. |location=New York |pages=121}}</ref> Kepemilikan ini termasuk dalam masalah gelar. Saat seorang wanita naik takhta sebagai Ratu dan kemudian menikah, suaminya akan menjadi Raja dan memiliki wewenang untuk mengatur kerajaan, menjadikan sang suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istrinya. Prinsip ini disebut ''jure uxoris''. Seiring berjalannya waktu, beberapa pengecualian dibuat. Saat [[Mary I dari Inggris|Mary I]] yang saat itu menjadi Ratu Inggris menikah dengan [[Felipe II dari Spanyol|Felipe II]], Raja Spanyol, dibuat perjanjian agar kekuasaan Felipe di Inggris tidak terlalu kuat mengungguli Mary. Saudari sekaligus penerus Mary, [[Elizabeth I dari Inggris|Elizabeth I]], hindari polemik ini dengan tidak menikah seumur hidupnya. Saat gerakan hak asasi wanita semakin meningkat, akhirnya wanita memiliki kepemilikan untuk namanya sendiri masa sekarang. Terkait gelar, saat wanita menjadi Ratu, suaminya akan dianugerahi gelar Pangeran dan bukan Raja sebagaimana di abad pertengahan, hindari agar kedudukan sang pria tidak lebih tinggi dari Ratu itu sendiri. Di masa modern ini, hampir semua Monarki di Eropa telah ubah aturan pewarisan takhtanya menjadi primogenitur mutlak yang menyatakan bahwa takhta akan diwariskan ke anak kesatu tanpa memandang jenis kelamin.
Berbeda dengan yang telah disebutkan sebelumnya, di Eropa, gelar kebangsawanan memiliki bentuk pria dan wanita, seperti gelar bahasa Inggris "''prince''–''princess''", "''king''–''queen''", dan "''emperor–empress''". Dalam konteks penguasa monarki, biasanya seorang pemimpin monarki wanita menyandang gelar yang sama sebagaimana istri pemimpin monarki pria. Di [[Britania Raya|Inggris Raya]], gelar ''queen'' dapat digunakan untuk penguasa monarki wanita (contoh: [[Elizabeth II dari Britania Raya|Elizabeth II]]) dan istri dari ''king'' atau raja (contoh: [[Elizabeth Bowes-Lyon|Elizabeth Boweys-Lyon]]). Penggunaan ini dapat menimbulkan keambiguan dari kedudukan orang yang menyandang gelar tersebut. Lantaran permasalahan ini, beberapa wanita yang menjadi penguasa monarki di Eropa mengambil gelar yang biasanya disandang penguasa monarki pria. Jadgiwa, wanita yang memerintah Polandia dari 1384 sampai 1399, dimahkotai sebagai ''rex'' (gelar yang biasa disandang Raja Polandia lain) dan bukan ''regina'' (gelar yang biasa disandang permaisuri Raja Polandia).
 
Di Asia Timur, hanya ada sejumlah wanita yang menjadi Penguasa Monarki. Jepang memiliki delapan wanita yang menjadi Maharani. Namun saat Jepang adopsi sistem pewarisan takhta Prusia di [[Zaman Meiji]], wanita tidak diperkenankan lagi untuk menjadi Maharani. Saat Kerajaan Silla bawah kepemimpinan [[Seondeok dari Silla|Ratu Seondeok]], satu dari pejabat tinggi kerajaan melakukan pemberontakan dengan alasan "pemimpin wanita tidak bisa memimpin negara" (女主不能善理).<ref>* [http://english.historyfoundation.or.kr/?sub_num=32 (7. Silla and Wa) - ''Bidam''] {{webarchive |url=https://web.archive.org/web/20111005152946/http://english.historyfoundation.or.kr/?sub_num=32 |date=October 5, 2011 }}</ref>
Dalam kesultanan, gelar bagi penguasa monarki wanita dapat berbeda-beda antara satu kesultanan dengan kesultanan yang lain. Berbeda dengan gelar yang telah disebutkan sebelumnya yang hanya digunakan di daerah tertentu, gelar sultan dan turunannya digunakan secara meluas dari Afrika sampai Asia Tenggara, membuat penggunaannya juga menyesuaikan adat istiadat setempat. Shajar al-Durr, pemimpin Mesir pada tahun 1250 dan menjadi wanita pertama yang menjadi penguasa monarki dalam sejarah Islam, menyandang gelar sultan saat naik tahta sebagaimana laki-laki. Sedangkan di [[Kesultanan Aceh|Aceh Darussalam]], [[Safiatuddin dari Aceh|Safiatuddin Syah]] menyandang bentuk wanita dari gelar sultan, yakni sultanah, saat naik tahta pada tahun 1641. Di beberapa negara bagian di Malaysia, sultanah adalah gelar resmi bagi istri sultan.
 
Pada abad ketiga belas, dunia Islam menyaksikan dua wanita yang menjadi Penguasa Monarki. Di [[Kesultanan Delhi]], Sultan Iltutmish menjadikan putri dia, Raziya, Pangerani/Puteri Mahkota, suatu hal yang tidak lazim di masa itu. Para bangsawan sepeninggal Iltutmish abaikan pencalonan itu dan memilih Rukn ud din Firuz sebagai Sultan. Namun terbukti bahwa Firuz tidak cocok untuk menjadi seorang penguasa, terlebih waktu itu ibu dia justru memegang kontrol negara dengan tangan besi. Sepeninggal Firuz, barulah Raziya dinobatkan sebagai Sultan. Di Mesir, Syajar Ad Durr yang merupakan Janda Sultan Mesir terdahulu naik takhta di 1250. Namun Khalifah Al-Mus'tashim tidak beri restu ke dia, sehingga takhta selanjutnya diberikan ke Izzuddin Aybak yang kemudian menjadi suami Syajar Ad Durr.<ref>Al-Maqrizi, p.463/vol.1</ref> Meskipun begitu, beberapa Kesultanan luar Timur Tengah cenderung lebih longgar terhadap kepemimpinan wanita. Maladewa memiliki lima Sultanah, [[Kesultanan Samudera Pasai|Samudera Pasai]] memiliki satu Sultanah dan [[Kesultanan Aceh|Aceh Darussalam]] pernah diperintah empat Sultanah berturut-turut.
=== Daftar ratu sekarang ===
 
Saat ini, hanya ada dua wanita yang berkedudukan sebagai ratu dalam konteksnya sebagai penguasa monarki.
Meskipun demikian, tidak setiap Monarki masa lampau batasi kepemimpinan wanita. Di Majapahit, [[Tribhuwana Wijayatunggadewi|Tribhuwana Tunggadewi]] bisa mewarisi takhta menjadi Maharani saat saudaranya mangkat tanpa memiliki keturunan.
{| class="wikitable sortable"
 
|+
== Gelar ratu dalam berbagai bahasa ==
|-
Ini adalah beberapa gelar asing yang bisa disepadankan dengan gelar Ratu dalam konteksnya sebagai Penguasa Monarki dalam bahasa Indonesia.
! Ratu !! Negara !! Tanggal
 
|-
=== Eropa ===
| rowspan="16" | '''[[Elizabeth II]]'''<br />[[File:Queen Elizabeth Toronto 2010.jpg|125px]] || {{flag|Inggris Raya}} || rowspan="4" | 6 Februari 1952
Sebagaimana gelar kebangsawanan Eropa yang lain untuk wanita, gelar untuk Ratu juga bisa dipakai untuk Permaisuri Raja.
|-
* ''Regina'', Ratu dalam [[bahasa Latin]]. Gelar ini lalu diturunkan ke beberapa bahasa, seperti:
| {{flag|Kanada}}
** ''Reina'' dalam [[bahasa Spanyol]]
|-
** ''Reine'' dalam [[bahasa Prancis]]
| {{flag|Australia}}
* ''Queen'', Ratu dalam [[bahasa Inggris]] dan secara spesifik, gelar ''Queen'' dibagi menjadi dua yaitu Ratu yang punya kekuasaan dan kedaulatan untuk negara ataupun politik yang disebut ''Queen Regnant'', sedangkan gelar Ratu yang hanya sebatas istri Raja dan tidak punya kedaulatan disebut ''Queen Consort'' ([[permaisuri|Ratu Permaisuri]]). Gelar ini diturunkan dari bahasa Jerman ''*kwoeniz'' atau ''*kwenon'' yang bermakna "istri". Awalnya gelar ini dipakai oleh Permaisuri Raja, lalu dipakai oleh Ratu. Gelar untuk Raja di beberapa [[rumpun bahasa Jermanik]] yang lain, seperti:
|-
** ''Dronning'' dalam [[bahasa Norwegia]] dan [[bahasa Denmark]]
| {{flag|Selandia Baru}}
** ''Drottning'' dalam [[bahasa Swedia]]
|-
** ''Koningin'' dalam [[bahasa Belanda]]
| {{flag|Jamaika}} || 6 Agustus 1962
* [[Tsarina]] ([[Aksara kiril|aksara Kiril]]: цари́ца) dalam [[bahasa Rusia]] (dan bermacam ejaannya dalam [[rumpun bahasa Slavia]] yang lain), bentuk wanita dari [[Tsar]].
|-
* ''[[Basileus|Basillissa]]'' ([[Alfabet Yunani|aksara Yunani]]: Βασίλισσα), gelar [[bahasa Yunani]] yang merupakan bentuk wanita dari gelar ''basileus'' (βασιλεύς).
| {{flag|Barbados}} || 30 November 1966
 
|-
=== Timur Tengah ===
| {{flag|Bahama}} || 10 Juli 1973
* [[Firaun]], gelar yang umumnya merujuk kepada pemimpin [[Mesir Kuno]] dari zaman [[Dinasti pertama Mesir|Dinasti Pertama]] (sekitar 3150 SM) sampai penghunian Makedonia di 350 SM.<ref>{{cite book|title=World History: Patterns of Interaction|url=https://archive.org/details/mcdougallittellw00beck|last2=Black|first2=Linda|last3=Krieger|first3=Larry S.|last4=Naylor|first4=Phillip C.|last5=Shabaka|first5=Dahia Ibo|publisher=[[McDougal Littell]]|year=1999|isbn=0-395-87274-X|location=Evanston, IL|last1=Beck|first1=Roger B.}}</ref> Bisa disandang oleh pria (Raja) ataupun wanita (Ratu).
|-
* ''Malikah'' ([[abjad Arab]]: ملكة), Ratu dalam [[bahasa Arab]]. Gelar ini pernah dipakai saat Syajar Ad Durr memerintah Mesir di 1250. Gelar ini juga dipakai oleh Permaisuri Raja.
| {{flag|Grenada}} || 7 Februari 1974
** ''Malkat'' ([[abjad Ibrani]]: מלכת), Ratu dalam [[bahasa Ibrani]].
|-
 
| {{flag|Papua Nugini}} || 16 September 1975
=== Asia Timur ===
|-
Beda dengan gelar di Eropa, Asia Timur, penguasa wanita dan istri penguasa pria memiliki gelar yang berbeda. Gelar penguasa wanita cenderung sama dengan penguasa pria.
| {{flag|Kepulauan Solomon}} || 7 Juli 1978
* ''Yeowang'' ([[hanja]]: 女王, [[hangeul]]: 여왕), Ratu dalam [[bahasa Korea]]. Di Korea, pernah terdapat tiga orang Ratu yang memerintah. Ratu juga bisa memakai gelar ''Wang'', gelar yang dipakai raja.
|-
* ''Joō'' ([[kanji]]: 女王), Ratu dalam [[bahasa Jepang]]. Di Jepang, gelar ini juga dipakai secara resmi untuk merujuk ke putri yang merupakan kerabat jauh Kaisar Jepang.
| {{flag|Tuvalu}} || 1 Oktober 1978
 
|-
== Daftar ratu sekarang ==
| {{flag|Saint Lucia}} || 22 Februari 1979
Tidak ada
|-
| {{flag|Saint Vincent dan Grenadine}} || 27 Oktober 1979
|-
| {{flag|Belize}} || 21 September 1981
|-
| {{flag|Antigua dan Barbuda}} || 1 November 1981
|-
| {{flag|Saint Kitts dan Nevis}} || 19 September 1983
|-
| '''[[Margrethe II of Denmark|Margrethe II]]'''<br />[[File:HM The Queen of Denmark.jpg|125px]] || {{flag|Denmark}} || 14 Januari 1972
|}
 
== Permaisuri ==
Baris 67 ⟶ 59:
 
== Gelar kebangsawanan ==
Di [[Cirebon]] dan [[Banten]], keturunan [[bangsawan]] perempuan yang masih memiliki jalur keturunan dari [[Kesultanan BantenSultan]] menggunakan gelar ratu. Di [[daerah Banjar]], anak-anak perempuan raja yang berkuasa menyandang gelar ratu, misalnya [[Ratu Intan]], [[Ratu Zaleha]] dan sebagainya, dan untuk anak lelaki raja bergelar pangeran. Gelar ratu juga pernah dipakai sebagai nama lain untuk sultan, misalnya Ratu Lama, [[Ratu Anum]], tetapi belakangan lebih populer dipakai [[Sultan]] atau [[Panembahan]]. Di [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kasunanan Surakarta]], selain digunakan untuk permaisuri atau istri utama raja atau sultan, ratu juga digunakan untuk putri raja dengan permaisuri tatkala sudah dewasa.
 
== Catatan kaki ==
{{Reflist|33em}}
 
== Daftar pustaka ==
* Al-Maqrizi, al-Mawaiz wa al-'i'tibar bi dhikr al-khitat wa al-'athar,Matabat aladab,Cairo 1996, ISBN 977-241-175-X.
 
== Lihat pula ==
{{div col|cols=3}}
* [[Penguasa monarki]]
* [[Kaisar]]
* [[Maharaja]]
* [[Maharani]]
* [[Raja (gelar)|Raja]]
* [[Raja (gelar dari Maluku)|Raja]]
* [[Permaisuri]]
* [[Ibu suri]]
* [[Sultan]]
* [[Sultanah]]
* [[Pangeran]]
* [[Putra mahkota]]
 
[[Kategori:Gelar bangsawan]]
[[Kategori:Penguasa monarki]]
[[Kategori:Gelar kerajaan]]