Tanjung Merah, Matuari, Bitung: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Tugas pengguna baru Newcomer task: copyedit |
||
(11 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{rapikan}}
{{kelurahan
|peta =
Baris 10 ⟶ 9:
|kode pos =95547
|nama pemimpin =
|luas =
|penduduk =1.
|kepadatan =
}}
'''Tanjung Merah''' adalah salah satu [[kelurahan]] di kecamatan [[Matuari, Bitung|Matuari]], [[Kota Bitung]], [[Sulawesi Utara]], [[Indonesia]].
Baris 30 ⟶ 29:
Karena diberi tugas sebagai penjaga keamanan, maka orang-orang yang ditempatkan di pos pengintai itu terdiri atas Wadian (pemimpin agama), Tonaas (pemimpin adat) dan Waraneij (prajurit perkasa). Orang-orang pertama yang dikirim adalah keluarga Wadian Tewu Tanod* dari negeri Treman dan keluarga Waraneij Bugis Ibrahim Lengkong dari Negeri Tumaluntung.
Pada tahun 1811
Keluarga keluarga tersebut membentuk pemukiman darat (dena) ditempat yang agak jauh dari pantai sehingga tidak kelihatan dari laut. Rumah rumah pada waktu itu berbentuk panggung yang dibangun diatas tiang kayu setinggi kira kira 3 meter. Untuk naik dan turun dari rumah rumah ini digunakan tangga kayu atau bambu yang hanya disandarkan sehingga bisa diangkat, hal ini memang disengaja karena kalau para laki laki dewasa pergi mengintai musuh atau mengadakan patroli, maka yang tertinggal di rumah hanyalah kaum perempuan dan anak-anak. Dengan demikian apabila para te’dong datang menyerang, mereka (orang jahat) tidak bisa langsung naik ke rumah karena tangganya sudah diangkat. Selain itu, kaum perempuan dan anak-anak dipersenjatai dengan tombak, batu dan semacam alat semprot dari bambu yang diisi dengan air bercampur rica (cabe).
Pada saat di tempat itu kian banyak orang dan situasi dirasa aman, maka pemukiman penduduk dipindahkan agak ke tepi pantai, dan sejak itu dinamakan Tana' Rundang karena didekat pemukiman itu terdapat sebuah tumbuna (tanjung) yang tebingnya berwarna kemerah-merahan. Pada tahun 1827 Tana’ Rundang disahkan sebagai banua (negeri) melalui suatu upacara adat yang dipimpin Dimia um Banua, yakni Opo Nusa, Opo Simedeman dan Opo Tindadas dari Laikit. Pada upacara itu sekaligus juga mengukuhkan Wadian Tewu Tanod selaku Tunduan Teterusan (pemimpin kampung panutan).
Setahun kemudian, yakni pada tahun 1828 orang Mangindano datang dalam jumlah besar dan menyerang negeri baru itu. Menurut tutur cerita, para te’dong itu datang dengan menggunakan 4 pakata (sejenis perahu) yang masing-masing membuat sekitar 150 orang. Maka terjadilah pertempuran yang mengakibatkan banyak korban di kedua pihak. Daratan Tumbuna dan air laut disekitarnya bersimbah darah sehingga disebut juga Tana’ Da’ (Tanah Darah). Pertempuran itu merupakan “arena perang” paling mengerikan sepanjang sejarah Negeri Tanjung Merah. Itulah sebabnya sekalipun berhasil dimenangkan oleh orang Tana’ Rundang namun telah menimbulkan ketakutan berkepanjangan dikalangan penduduk, bahkan ada beberapa keluarga yang langsung pulang ke negeri asal mereka dan tidak pernah kembali ke Tana’ Rundang. Trauma ini telah melahirkan ungkapan sindiran (satire), khususnya di wilayah Minawerot, yaitu
Pada tahun 1845 Negeri Tana’ Rundang secara administratif disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai desa dan dimasukkan dalam wilayah kepolisian distrik Tonsea, Tewu Arnold Tanod tetap terpilih sebagai Hukum Tua atau Ukung Tua (kepala keluarga yang dituakan) tambahan nama Arnold adalah nama baptis dia seiring masuknya agama Kristen di negeri itu (dikupas khusus pada sejarah GMIM Eben Haezer, Tanjung Merah), dan Ibrahim Bugis Lengkong dipercayakan sebagai
Penting untuk diketahui sebagai fakta perjalanan sejarah, bahwa sekitar akhir abad ke
Selain sejarah Tanjung Merah juga terjadi peristiwa-peristiwa penting antara lain wabah penyakit Malaria, tahun 1934 pernah dilanda banjir besar yang hampir meratakan seluruh pemukiman, masa pendudukan Jepang banyak orang Tanjung Merah hampir dibantai tentara Nipon di Tasik Koki, pergolakan PRRI/Permesta rumah-rumah penduduk termasuk gedung gereja musnah dibakar.
Adapun lokasi jalan utama
Kendati demikian, Negeri Tanjung Merah tetap ada hingga sekarang. Tanjung Merah memang negeri para Waraneij dibawah pimpinan Tunduan Teterusan, yakni kaum prajurit perkasa yang setia mengorbankan jiwa raga untuk mempertahankan hak dan martabat kemanusiaan, khususnya di tanah leluhur. Keteguhan para tumani Banua Tana’ Rundang itu barangkali bukanlah sesuatu yang perlu diagung-agungkan, namun paling tidak, itulah bukti sebuah keperkasaan dan ketabahan yang patut dimiliki sepanjang generasi orang Tanjung Merah dimana saja berada. Tanjung Merah adalah negeri tertua yang juga merupakan Tumani um Banua Bitung, sehingga merupakan “warisan” sejarah yang patut dijaga dan dikembangkan bersama menjadi kampung cagar budaya Minahasa.
Baris 53 ⟶ 52:
# Tewu Tanod, Treman, 1827-1853
# Ibrahim Bugis Lengkong, Tumaluntung, 1853 – 1875
# R. Tanod, Treman, 1875 – 1887
# J. Siby, Tontalete, 1887 - 1892
Baris 95 ⟶ 94:
# Lokasi-lokasi yang disebut sampai sekarang tetap ada di Tanjung Merah.
# https://m.facebook.com/notes/albert-kusen/perang-tondano-1809-kisah-heroik-orang-minahasa-melawan-pasukan-belanda/400330743448
{{Matuari, Bitung}}
|