Kutai Lama, Anggana, Kutai Kartanegara: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Histori Pendidikan yang tidak ada datanya Tag: menghilangkan bagian [ * ] VisualEditor |
Wadaihangit (bicara | kontrib) melengkapi halaman dengan foto #WPWP |
||
(3 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{desa
|peta =
|foto =Kantor Desa Kutai Lama, Kutai Kartanegara.JPG
|keterangan =Kantor desa Kutai Lama
|nama =Kutai Lama
Baris 9:
|kecamatan =Anggana
|kode pos =75381
|luas =
|penduduk =
|kepala desa=
'''Kutai Lama''' adalah [[desa]] di Kecamatan [[Anggana, Kutai Kartanegara|Anggana]], Kabupaten [[Kabupaten Kutai Kartanegara|Kutai Kartanegara]], Provinsi [[Kalimantan Timur]], [[Indonesia]].
== Sejarah ==
Pada awal abad ke-14 Kerajaan [[Kabupaten Kutai Kartanegara|Kutai Kartanegara]] yang
Kutai Lama Sebagai Ibukota Kerajaan Kutai Lama menjadi bagian penting dalam sejarah perjalanan Kerajaan Kutai Kartanegara. Kerajaan ini merupakan kerajaan [[Melayu Banjar|Melayu]] yang bermula dari kerajaan bercorak Hindu yang didirikan pada tahun 1300 Masehi dengan rajanya yang pertama yakni [[Aji Batara Agung Dewa Sakti]] (1300-1325). Kerajaan inilah yang disebut dengan nama Tanjung Kute yang berada di Pulau [[Kalimantan|Tanjungnagara]] atau Kalimantan dalam naskah [[Kakawin Nagarakretagama]] (1365) pada masa ekspedisi nusantara Kerajaan [[Majapahit]] oleh [[Gajah Mada]]. Ibukota kerajaan Kutai Kartanegara awalnya berada di daerah
Peristiwa Bersejarah di Kutai Lama Sebagai ibukota pertama Kerajaan Kutai Kartanegara, Kutai Lama memberikan andil yang sangat besar antara tahun 1300 hingga 1732. Dalam kurun itu, ada tiga peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah yaitu diterimanya Islam oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang menjadikan rakyat Kutai akhirnya memeluk Islam, berubahnya bentuk kerajaan menjadi kesultanan, dan peleburan atau penggabungan dua kerajaan Kutai hasil dari aneksasi oleh Kerajaan Kutai Kartanegara.
Habib Tunggang Parangan: Ulama Penyebar Islam di Tanah Kutai Penyebaran Islam di kerajaan Kutai Kartanegara yang sebelumnya bercorak Hindu bukanlah hal yang mudah. Semua tak terlepas dari perjuangan seorang tokoh ulama penyebar agama Islam yang bernama lengkap Habib Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya yang berasal dari Hadralmaut, Yaman Selatan yang bergelar Datuk Tunggang Parangan (Tuan Tunggang Parangan) atau yang lebih dikenal dengan nama Habib Tunggang Parangan. Habib Tunggang Parangan hijrah dari Yaman untuk menyebarkan Islam di Pulau Jawa, Sumatera, kemudian ke Sulawesi dan akhirnya bertemu dengan seorang ulama besar asal Riau yang telah lama menetap di Sulawesi yang bernama Khatib Tunggal Abdul Makmur bergelar Datuk Ribandang dan dikenal sebagai penyebar Islam di Kerajaan Luwu, Gowa dan Tallo (Sulawesi) serta Bima (Nusa Tenggara). Pertemuan kedua ulama besar ini menjadi awal syiar Islam ke Pulau Kalimantan dimana terlebih dahulu Habib Hasyim berdakwah di Ketapang Kalimantan Barat dan disanalah mendapat gelar Habib Tunggang Parangan serta sebutan Si Janggut Merah. Bersama Datuk Ribandang, Habib Tunggang Parangan mulai menyebarkan Islam di Kutai Lama pada masa pemerintahan Raja Aji Mahkota, raja ke-6 dari Kerajaan Kutai Kartanegara yang memerintah dari tahun 1525 hingga 1589. Sebelum kedatangan Habib Tunggang Parangan di tanah Kutai, Islam pernah masuk melalui saudagar-saudagar Arab dari Minangkabau hanya saja para ulama tersebut belum berhasil mengajak Raja Aji Mahkota untuk memeluk Islam. Begitupun dengan usaha yang dilakukan oleh Datuk Ribandang dan Habib Tunggang Parangan, karena kondisi masyarakat Kutai yang dianggap belum kondusif dengan syiar Islam, Datuk Ribandang memutuskan untuk meneruskan syiar Islamnya di Sulawesi. Kepindahan itu tidak diikuti oleh Habib Tunggang Parangan, ulama itu tetap bertahan di Kutai Lama dan akhirnya berhasil mengajak Raja Aji Mahkota masuk Islam. Habib Tunggang Parangan melakukan syiar Islam di tanah Kutai sampai akhir hayatnya dan makamnya berdekatan dengan makam Raja Aji Mahkota dan Raja Aji Dilanggar. Raja Aji Mahkota dan Raja Aji Dilanggar Aji Mahkota adalah raja Kutai Kartanegara yang pertama kali memeluk agama Islam. Oleh sebab itu diberi gelar Raja Mahkota Islam dan juga putranya Aji Pangeran Dilanggar, yang nantinya menjadi raja Kutai Kartanegara yang ke-7. Pada masa pemerintahan Raja Mahkota, tepatnya pada tahun 1575 Kerajaan Kutai Kartanegara yang awalnya bercorak Hindu berubah menjadi kerajaan Islam. Pada masa itupula peradaban Islam mulai berkembang di Kutai Lama dan bersama dengan Habib Tunggang Parangan sang raja melakukan penyebarluasan ajaran Islam di tanah Kutai. Sepeninggalan ayahnya, Aji Pangeran yang bergelar Raja Aji Dilanggar menggantikan posisi ayahnya dan menjadi raja ke-7 Kutai Kartangera yang memerintah dari tahun 1600 hingga 1605. Pada masa pemerintahannya, Islam disebarluaskan secara masif dan syiar Islam berjalan melalui pendekatan kekuasaan dan masuk ke aspek sistem kerajaan. Kepemimpinan Aji Dilanggar tak lama. Lima tahun memimpin, ia digantikan oleh putranya yang bernama Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa. P eleburan Dua Kerajaan di Tanah Kutai Pada abad ke-17 tepatnya tahun 1635, Kerajaan Kutai Kartanegara di bawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Kutai Dinasti Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara kedua kerajaan tersebut. Warisan Sejarah, Penguat Sektor Pariwisata Rentang abad 18 hingga 19, Kesultanan Kutai Kartanegara tetap eksis dengan rentetan sejarah yang pasang surut, mulai dari serangan dari luar tanah Kutai, konflik internal kesultanan, hingga perlawanan terhadap kolonial Belanda. Dan pada abad ke-20 di era kemerdekaan, tepatnya tahun 1960, masa kesultanan berakhir sebagai konsekuensi penyatuan NKRI.▼
''Habib Tunggang Parangan'': Ulama Penyebar Islam di Tanah Kutai Penyebaran Islam di kerajaan Kutai Kartanegara yang sebelumnya bercorak Hindu bukanlah hal yang mudah. Semua tak terlepas dari perjuangan seorang tokoh ulama penyebar agama Islam yang bernama lengkap ''Habib Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya'' yang berasal dari [[Hadramaut|Hadralmaut]], [[Yaman Selatan]] yang bergelar Datuk Tunggang Parangan (Tuan Tunggang Parangan) atau yang lebih dikenal dengan nama Habib Tunggang Parangan. Habib Tunggang Parangan hijrah dari Yaman untuk menyebarkan Islam di Pulau Jawa, Sumatera, kemudian ke Sulawesi dan akhirnya bertemu dengan seorang ulama besar asal Riau yang telah lama menetap di Sulawesi yang bernama Khatib Tunggal Abdul Makmur bergelar Datuk Ribandang dan dikenal sebagai penyebar Islam di Kerajaan Luwu, Gowa dan Tallo (Sulawesi) serta Bima (Nusa Tenggara).
Pertemuan kedua ulama besar ini menjadi awal syiar Islam ke Pulau Kalimantan dimana terlebih dahulu Habib Hasyim berdakwah di Ketapang Kalimantan Barat dan disanalah mendapat gelar Habib Tunggang Parangan serta sebutan Si Janggut Merah. Bersama Datuk Ribandang, Habib Tunggang Parangan mulai menyebarkan Islam di Kutai Lama pada masa pemerintahan Raja Aji Mahkota, raja ke-6 dari Kerajaan Kutai Kartanegara yang memerintah dari tahun 1525 hingga 1589. Sebelum kedatangan Habib Tunggang Parangan di tanah Kutai, Islam pernah masuk melalui saudagar-saudagar Arab dari Minangkabau hanya saja para ulama tersebut belum berhasil mengajak Raja Aji Mahkota untuk memeluk Islam. Begitupun dengan usaha yang dilakukan oleh Datuk Ribandang dan Habib Tunggang Parangan, karena kondisi masyarakat Kutai yang dianggap belum kondusif dengan syiar Islam, Datuk Ribandang memutuskan untuk meneruskan syiar Islamnya di Sulawesi. Kepindahan itu tidak diikuti oleh Habib Tunggang Parangan, ulama itu tetap bertahan di Kutai Lama dan akhirnya berhasil mengajak Raja Aji Mahkota masuk Islam. Habib Tunggang Parangan melakukan syiar Islam di tanah Kutai sampai akhir hayatnya dan makamnya berdekatan dengan makam Raja Aji Mahkota dan Raja Aji Dilanggar. Raja Aji Mahkota dan Raja Aji Dilanggar Aji Mahkota adalah raja Kutai Kartanegara yang pertama kali memeluk agama Islam. Oleh sebab itu diberi gelar Raja Mahkota Islam dan juga putranya Aji Pangeran Dilanggar, yang nantinya menjadi raja Kutai Kartanegara yang ke-7.
▲
Namun di era reformasi, awal abad 21, tepatnya 22 September 2001, penobatan Putra Mahkota Kesultanan menandai penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara yang digagas oleh Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais pada tahun 1999. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud menghidupkan feodalisme di daerah namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai kerajaan tertua di Indonesia serta dapat mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur
Baris 49 ⟶ 55:
{{Anggana, Kutai Kartanegara}}
{{Authority control}}
|