Muhammad Sangidu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
(23 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox
| honorific_prefix =
| name = Muhammad Sangidu
| native_name =
| native_name_lang =
| image = Muhammad Sangidu (1).png
| image_size =
Baris 12 ⟶ 11:
| alt =
| caption =
|
|
|
|
| birth_name = Raden Hariya Muhammad Sangidu▼
| birth_place
| death_place
▲ | birth_name = Raden Hariya Muhammad Sangidu
|
| resting_place = [[Makam Karangkajen]]▼
▲ | birth_place = {{Flagicon|Belanda}} [[Kauman, Yogyakarta|Kampung Kauman]], [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]], [[Hindia Belanda]]
|
| nationality = ▼
▲ | death_place = {{Flagicon|Indonesia}} [[Kauman, Yogyakarta|Kampung Kauman]], [[Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta|Kalurahan Ngupasan, Kemantrén Gondomanan, Kota Yogyakarta]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta]]
|
▲ | resting_place = [[Makam Karangkajen]]
▲ | nationality =
▲ | spouse = * Nama istri pertama tidak diketahui
* Siti Jauhariyah
| partner = <!--For those with a domestic partner and not married-->▼
▲ | relations =
| children = * 3 anak dari pernikahan pertama▼
* 9 anak dari pernikahan kedua▼
| parents = <!-- overrides mother and father parameters -->▼
| mother = <!-- may be used (optionally with father parameter) in place of parents parameter (displays "Parent(s)" as label) -->▼
| father = <!-- may be used (optionally with mother parameter) in place of parents parameter (displays "Parent(s)" as label) -->▼
| relatives = ▼
| residence = ▼
| education = ▼
| alma_mater = ▼
| occupation = ▼
| profession = ▼
| known_for = Mengusulkan nama "Muhammadiyah"▼
▲ | salary =
| net_worth = <!-- Net worth should be supported with a citation from a reliable source -->▼
▲ | cabinet =
| committees = ▼
| portfolio = ▼
| awards = <!-- For civilian awards - appears as "Awards" if |mawards= is not set -->▼
}}
▲ | partner = <!--For those with a domestic partner and not married-->
'''Kiai Haji Muhammad Sangidu''' atau '''Kanjeng Raden Penghulu Haji (K.R.P.H.) Muhammad Kamaluddiningrat''' (lahir di [[Kauman, Yogyakarta|Kampung Kauman Yogyakarta]]{{efn|Kampung Kauman Yogyakarta berlokasi di wilayah ''ndalem'' keraton dan secara administratif merupakan bagian dari Kalurahan Ngupasan, Kemantrén Gondomanan ({{harvnb|Depari|2012|pp=15}}).}} pada 1883 dan dimakamkan di [[Makam Karangkajen]] setelah meninggal pada 1980) adalah Kepala Penghulu{{efn|Kata ''penghulu'' (Sunda: ''pangulu'', Jawa: ''pengulu'', Madura: ''pangoloh'', Melayu: ''penghulu'') berasal dari kata ''hulu'' yang berarti orang yang mengepalai. Namun, lama-kelamaan ''penghulu'' berarti seseorang yang ahli dalam agama Islam ({{harvnb|Pijper|1984|pp=67}}). Pada waktu itu, penghulu merupakan jabatan tertinggi dalam bidang keagamaan ({{harvnb|Darban|2004|pp=30–31}}). Apabila dibandingkan dengan penghulu yang ada di daerah-daerah, penghulu istana dipandang sebagai ''penghulu ageng'' dalam struktur kepenghuluan. Selain berfungsi sebagai penasihat dewan daerah, tugas dan wewenang penghulu meliputi berbagai macam urusan keagamaan secara umum, yaitu pernikahan, perolehan nafkah, gugatan cerai, rujuk, wasiat/warisan, hibah, dan sebagainya ({{harvnb|Albiladiyah|2006|pp=13–14}}). Tugas penghulu yang berkenaan dengan Kesultanan Yogyakarta meliputi upacara keagamaan keraton, pernikahan keluarga sultan, penasihat sultan, serta mengurusi tempat ibadah atau makam ({{harvnb|Ismail|1997|pp=65–82}}). Penghulu membawahi ''ketib'', ''modin'', ''barjama'ah'', dan ''merbot''. Pejabat dalam organisasi Masjid Agung Yogyakarta ini terdiri atas orang-orang yang ahli dalam agama Islam ({{harvnb|Hamzah, dkk|2007|pp=5}}).}} [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Kesultanan Yogyakarta]] ke-13 yang dilantik pada 1914 untuk menggantikan [[penghulu]] sebelumnya, K.R.P.H. Muhammad Khalil Kamaluddiningrat. Sangidu merupakan kerabat [[Ahmad Dahlan]] dan menjadi pendukung organisasi [[Muhammadiyah]] yang didirikan Dahlan. Dia dikenal sebagai pemegang ''stamboek'' (kartu anggota Muhammadiyah) pertama, karena merupakan anggota pertama organisasi Muhammadiyah. Selain itu, dia adalah sosok yang mengusulkan nama "Muhammadiyah" kepada Dahlan.▼
| relations =
| children = {{plainlist|
}}
▲ | parents = <!-- overrides mother and father parameters -->
▲ | mother = <!-- may be used (optionally with father parameter) in place of parents parameter (displays "Parent(s)" as label) -->
▲ | father = <!-- may be used (optionally with mother parameter) in place of parents parameter (displays "Parent(s)" as label) -->
▲ | relatives =
▲ | residence =
▲ | education =
▲ | alma_mater =
▲ | occupation =
▲ | profession =
▲ | known_for = Mengusulkan nama "Muhammadiyah"
| salary =
▲ | net_worth = <!-- Net worth should be supported with a citation from a reliable source -->
| cabinet =
▲ | committees =
▲ | portfolio =
▲ | awards = <!-- For civilian awards - appears as "Awards" if |mawards= is not set -->
| denomination =
| movement =
}}
▲'''Kiai Haji Muhammad Sangidu''' atau '''Kanjeng Raden Penghulu Haji (K.R.P.H.) Muhammad Kamaluddiningrat''' (
Ketika menjadi Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta, Sangidu berperan dalam menjadikan ajaran Muhammadiyah sebagai paham yang dominan di Kampung Kauman. Walaupun sebelumnya pernah terjadi ketegangan antara Ahmad Dahlan dan ulama-ulama tradisional di Kampung Kauman, pendekatannya yang kooperatif dengan pihak keraton berhasil menghindarkan konflik. Dia juga memanfaatkan budaya lokal sebagai media berdakwah. Sangidu juga mencoba mengubah adat pernikahan masyarakat agar hanya memberikan suguhan yang sederhana, dan dia pernah mengusahakan ketepatan 1 Syawal (yang merupakan tanggal jatuhnya [[Idulfitri]] dalam [[kalender Hijriah]]) dengan menggunakan metode [[Hisab dan rukyat|rukyat ''bil aini'']] (mengamati dengan penglihatan) alih-alih perhitungan ''aboge'' ([[kalender Jawa|tahun Jawa]]). Selain itu, dia memelopori pendirian sekolah bersistem modern yang kini dikenal dengan nama [[Madrasah Muallimin Muhammadiyah]] dan [[Madrasah Muallimat Muhammadiyah]], serta membantu merintis [[Frobelschool]] yang merupakan [[taman kanak-kanak]] (TK) pertama yang didirikan oleh bangsa Indonesia.
== Latar belakang keluarga ==
Raden Hariya Muhammad Sangidu adalah putra dari Kiai Ma’ruf Ketib Tengah Amin dan Nyai Sebro (Raden Nganten Ketib Amin).{{sfnp|Hidayat, dkk|2013|p=31|ps=}} Dia dilahirkan pada 1883 di Kampung Kauman.{{efn|Kampung Kauman Yogyakarta berlokasi di wilayah ''ndalem'' keraton dan secara administratif merupakan bagian dari Kalurahan Ngupasan, Kemantren Gondomanan ({{harvnb|Depari|2012|pp=15}}).}}{{sfnp|Hoedyana Wara|1985|p=17|ps=}} Sangidu merupakan anak pertama dari lima bersaudara yang memiliki adik-adik bernama Raden Hariya Muhsin, Raden Nganten Muhsinah, Raden Hariya Ali, dan Raden Hariya Syarkowi. Ayahnya adalah anak kedua dari sepuluh orang anak Kiai Maklum Sepuh atau Kiai Penghulu Muhammad Maklum Kamaluddiningrat (Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta ke-9),{{sfnp|Hidayat, dkk|2013|p=31|ps=}}{{sfnp|Rohman|2019|p=205|ps=}} sedangkan ibunya merupakan anak keempat dari Kanjeng Raden Tumenggung Ronodirdjo dari istri ketiganya yang bernama Gentang Pakem. Ronodirdjo sendiri adalah seorang pejabat Bupati Anom Patih Danuredjo atau wakil bupati di Kesultanan Yogyakarta.{{sfnp|Hidayat, dkk|2013|p=30–32|ps=}} Sangidu juga merupakan ''sedulur'' ''gawan'' dengan Ahmad Dahlan yang kelak akan menjadi pendiri [[Muhammadiyah]]. ''Sedulur gawan'' sendiri merupakan saudara dari hasil pernikahan antara janda dan duda yang masing-masing membawa anak. Anak bawaan tersebut lantas menjadi saudara.{{sfnp|Darban|2000|pp=117}}
== Pernikahan ==
Baris 71 ⟶ 72:
Upaya Sangidu dalam membela ajaran Ahmad Dahlan dimulai ketika dirinya mengikuti paham baru tersebut dan mengajarkannya kepada beberapa santri Kampung Kauman di Pendopo Tabligh. Meskipun saat itu Muhammadiyah belum terbentuk secara resmi, tetapi dia meminta kepada para santrinya untuk mengamalkan ajaran Islam secara nyata, terutama [[Surah Al-Ma'un|Surah Al-Ma’un]].{{efn|Surah Al-Ma’un inilah yang dijadikan dasar bagi Ahmad Dahlan untuk menggali sumber daya masyarakat guna membangun basis teologi pengembangan amal sosial Muhammadiyah pada kemudian hari. Prinsip keikhlasan yang terkandung di dalam surat tersebut juga menjadi salah satu pelengkap untuk menyukseskan amal usaha Muhammadiyah ({{harvnb|Sudja|1989|pp=15–16}}).}}{{sfnp|Anshoriy|2010|p=67–69|ps=}}{{sfnp|Lembaga Pustaka dan Informasi PP. Muhammadiyah |2010|p=39|ps=}} Para santri juga diminta untuk beramal secara sosial. Mereka diajak untuk menyantuni para pengemis, memberinya makan, menyuruh mereka mandi dan kemudian memberi mereka pakaian, dan akhirnya mengajak mereka bersembahyang.{{sfnp|Widyastuti|2010|p=4|ps=}}{{sfnp|Noer|1988|p=90|ps=}}
Seperti halnya Dahlan, Sangidu lebih banyak memberikan contoh daripada memberikan ceramah kepada para santrinya. Saat itu, [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] adalah kota tujuan kaum urban asal kawasan pinggiran untuk mengadu nasib. Tindakan yang dilakukannya sebagai perwujudan dari Surah Al-Ma’un adalah mengumpulkan para pekerja dan fakir miskin yang berasal dari kawasan pinggiran ke pendopo rumahnya untuk belajar ilmu keagamaan bersama dengan para santrinya.{{sfnp|Widyastuti|2010|p=4–5|ps=}} Ide-ide dan pemberdayaan rakyat kecil dari Dahlan dan Sangidu tersebut sampai sekarang masih dipahami dengan baik oleh para pegiat Muhammadiyah dan [[Nasyiatul Aisyiyah]] (NA).{{sfnp|Dzuhayatin|2015|p=54|ps=}}
Sebelum Sangidu menjabat sebagai penghulu Kesultanan Yogyakarta, dia menghadapi tantangan dalam menyebarkan dakwah [[amar makruf nahi mungkar]]. Apabila Dahlan dituduh sebagai "kiai kafir" dan gerakan pembaruan yang disebarkannya dikatakan "[[Kekristenan|Kristen]] alus" oleh para ulama yang mempertahankan pola lama, Sangidu dianggap sebagai perusak hubungan persaudaraan di antara masyarakat Kauman. Hal ini disebabkan karena Kiai Djalal dan Sangidu sebagai pimpinan Pendopo Tabligh membela gerakan yang dicetuskan oleh Ahmad Dahlan, sedangkan Muhsin sebagai pimpinan Langgar Dhuwur yang masih bersaudara dengan Kiai Djalal dan Sangidu tidak menyetujui gerakan pembaruan tersebut.{{sfnp|Darban|2000|p=70–73|ps=}}
Baris 95 ⟶ 96:
Terkait dengan sikap Sangidu yang kooperatif dengan kekuasaan kesultanan, sejarawan Harry Jindrich Benda menegaskan jika strategi dakwah yang dilakukan oleh Sangidu merupakan salah satu langkah dalam membangun budaya baru di tengah paradigma tradisionalisme masyarakat saat itu.{{sfnp|Benda|1985|p=32|ps=}} Sangidu dalam hal ini justru telah mengubah posisinya dari ulama yang hanya bisa "disentuh" oleh orang-orang tertentu, seperti para santri dan orang-orang yang dekat dengan golongan [[bangsawan]], menjadi seseorang yang dekat dengan masyarakat di sekitarnya. Sikap kooperatif dan gagasannya yang moderat ini dalam pandangan sejarawan M.T. Arifin menyebabkan pemikiran-pemikirannya dapat diterima oleh kalangan kesultanan. Sikap tersebut dilakukan berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak bertentangan secara substantif dengan [[Akidah Islam|akidah]] yang diyakininya.{{sfnp|Arifin|1990|p=38–39|ps=}}
Sebagai salah satu keturunan Sangidu, Widiyastuti turut menilai bahwa posisi yang diberikan oleh pihak kesultanan kepada kakeknya tersebut dimaksudkan untuk memberikan suasana yang stabil.{{sfnp|Widyastuti|2010|p=18|ps=}} Selain itu, posisi ini juga dimaksudkan agar ide-ide pemurnian Islam dapat berkembang di dalam keraton. Menurut sejarawan [[Merle Ricklefs|M.C. Ricklefs]], sikap Sangidu ternyata efektif mendorong para kerabat keraton untuk mengikuti ajarannya.{{sfnp|Ricklefs|2006|p=52|ps=}}
Sejalan dengan pandangan Arifin dan Widiyastuti, pengkaji Muhammadiyah [[Deliar Noer]], mengomentari posisi Sangidu dalam kaitannya dengan pengembangan pembaruan Islam yang digagas oleh Ahmad Dahlan ini pada dasarnya tidak bisa steril dari peran [[Hamengkubuwana VII]] sebagai sultan saat itu. Noer menambahkan bahwa pihak kesultanan tidak mempersulit gerakan Muhammadiyah yang turut disebarkan oleh Sangidu. Hamengkubuwana VII paling tidak "memberikan angin" kepada ide pembaruan Muhammadiyah agar berkembang dalam kehidupan warganya, khususnya Kampung Kauman.{{sfnp|Noer|1988|p=86–87|ps=}}
Baris 180 ⟶ 181:
* {{Cite journal|last=Depari|first=Catharina Dwi Astuti|year=April 2012|title=Transformasi Ruang Kampung Kauman Yogyakarta Sebagai Produk Sinkretisme Budaya|url=https://ojs.uajy.ac.id/index.php/komposisi/article/view/1044|journal=Jurnal Arsitektur Komposisi|volume=10|issue=1|pages=|doi=|issn=1411-6618|ref={{sfnref|Depari|2012}}}}
* {{Cite journal|last=Rohman|first=Fandy Aprianto|year=Agustus 2019|title=K.H. Sangidu, Penghulu Penemu Nama Muhammadiyah|url=https://patrawidya.kemdikbud.go.id/index.php/patrawidya/article/view/294|journal=Jurnal Patra Widya|volume=20|issue=2|pages=|doi=|issn=2598-4209|ref={{sfnref|Rohman|2019}}}}
* {{Cite journal|last=Seniwati|first=|last2=Lestari|first2=Tuti Dwi|year=Desember 2019|title=Sikap Hidup Wanita Muslim Kauman: Kajian Peranan Aisyiyah dalam Kebangkitan Wanita di Yogyakarta Tahun 1914–1928|url=https://jurnalwalasuji.kemdikbud.go.id/index.php/walasuji/article/view/11|journal=Jurnal Walasuji|volume=10|issue=2|pages=|doi=|issn=2502-2229|ref={{sfnref|Seniwati|Lestari|2019}}|access-date=2019-12-06|archive-date=2020-12-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20201216190043/https://jurnalwalasuji.kemdikbud.go.id/index.php/walasuji/article/view/11|dead-url=yes}}
'''Bacaan lanjutan'''
Baris 206 ⟶ 207:
{{lifetime|1883|1980|}}
[[Kategori:Muhammadiyah]]
[[Kategori:Ulama Indonesia]]
|